Minggu, 21 Februari 2010

Enggan " By Pass"

(sebuah cerita)

Gaya bicaranya tegas. Bagi dia, sedikit bicara banyak bekerja bukan sekadar slogan. Dia memang pekerja yang ulet dan jarang mengeluh meski terlihat capek sekalipun. Dia adalah teman saya semasa di bangku kuliah dulu. Sehari-hari dia bekerja di bagian logistik sebuah perusahaan elektronik ternama.

Sejak lulus, kami jarang bersua. Saya kali terakhir bertemu teman tersebut ketika dia mengirim barang ke sebuah perusahaan yang kebetulan satu gedung dengan kantor saya. Sapa riang dan obrolan renyah menemani kami.

Di akhir obrolan, dia menitipkan pesan kepada saya. Dia minta saya menginformasikan tentang lowongan kerja bagi dia. Saya mengusahakan, tapi tak berani menjanjikan. Kemudian kami berpisah.

Saya ingat betul bahwa kawan tadi berasal dari keluarga yang bisa dibilang mapan dan berkecukupan. Ayahnya pensiunan TNI. Dulu, saat dia memutuskan untuk mandiri dan mencari kerja sendiri, saya sempat bertanya-tanya. Pasalnya, bisa saja ayahnya yang punya banyak relasi menolong kawan saya itu untuk mencarikannya pekerjaan. Tak perlu capek-capek memeras keringat keliling beberapa perusahaan memasukkan map cokelat yang berisi kerta lamaran kerja.

Namun, teman saya tak mau. Dijanjikan oleh ayahnya menjadi anggota TNI pun dia tak mau. Padahal, kalau mau, dia bisa dengan mudah diterima. Tidak saja karena faktor sang ayah, tapi postur dan prestasi akademis kawan saya tersebut sangat mendukung. Dia bersikukuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, tak peduli apa pun hambatan dan rintangannya.

Saya mendapati pengalaman bagus dari Andy F. Noya, host acara Kick Andy. Suatu malam, sekitar pukul 00.00, dia sangat terkejut. Betapa tidak, dia mendapati putranya, Rio, mengepel lantai dan memakai celemek hijau di salah satu restoran terkenal.

Mata Andy berkaca-kaca. Dia tak menyangka sang anak mau melakukan pekerjaan itu: menyikat dan mengepel lantai. Perasaan Andy campur aduk. Haru, sedih, dan bangga.

Rio magang tiga bulan di restoran itu. Dia tak peduli disaksikan banyak pengunjung mal ketika mengepel lantai dan membersihkan meja konsumen. Kendati tergolong dari keluarga mapan, Rio sedikit pun tak malu melakukan pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap "rendahan" itu. Sangat pantas Andy bangga terhadap anaknya tersebut.

Jikalau Rio mau, dia bisa magang di kantor yang lebih elite, tidak sebagai pelayan restoran. Namun, itu tak terjadi. Andy dan Rio telah memberikan pelajaran baik bagi orang tua dan remaja lainnya.

Saat ini, tak sedikit orang yang lebih memilih jalan pintas. Ada orang tua yang rela menjual rumah dan sawah agar sang anak diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ada orang yang mau menyetorkan sejumlah uang demi diterima kerja. Ada pula yang menjual kehormatannya hanya untuk naik jabatan.

Saya terkenang ketika dulu memasukkan beberapa lamaran kerja di sana sini. Meski, pada saat bersamaan, saya ditawari bekerja di sebuah perusahaan bonafit oleh salah seorang famili. Saya tak mau. Saya ingin merasakan sulitnya menghadapi tes kerja, mulai wawancara, psikotes, hingga tes kesehatan. Saya tak ingin diterima kerja lewat by-pass.

Sore ini langit di Surabaya tak begitu cerah. Awan baru saja kami dengan hujan. Basah. Begitu pula hati saya ketika menilik dua kisah di atas. Di tengah tergerusnya moralitas di negeri ini, masih ada orang-orang yang tak silau dengan segala fasilitas dan memanfaatkan nama besar keluarga.

Salam
Eko Prasetyo