Senin, 01 Februari 2010

Saatnya Menulis!

(sebuah obrolan cerita)

Baru saja saya mengikuti diskusi temu penulis bersama KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) dan sastrawan A.S. Laksana di Jawa Pos. Saya mencatat beberapa poin penting yang mungkin berguna sebagai informasi bagi penulis pemula. Khususnya, yang ingin mengirimkan tulisan opini ke media massa.

Saat menuliskan laporan ini, diskusi masih berlangsung gayeng dengan ratusan peserta yang terdiri atas kalangan akademisi, mahasiswa, dan pembaca Jawa Pos lain. Sebelum tanya jawab dengan Gus Sholah dan redaktur opini Jawa Pos, saya mengurai benang merah dalam diskusi tersebut. Yakni, jangan minder saat menulis!

Pesan tersebut disampaikan oleh Gus Sholah dalam forum temu penulis itu. Dia juga memompa motivasi kalangan muda untuk doyan menulis. Ya, saya tidak menafikan fakta bahwa minat generasi muda Indonesia dalam dunia tulis-menulis masih jauh dari harapan.

Beberapa waktu lalu, saya pernah berpesan kepada adik kelas yang kebetulan akan mengikuti tes sebagai calon guru bahasa Indonesia. Saya mengatakan kepadanya bahwa saat ini bahasa Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita. Meski, faktanya, berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan, tidak semudah yang dikatakan oleh mereka.

Maka, saya mewanti-wanti dia untuk menyiapkan visi-visinya sebagai calon guru bahasa Indonesia. Salah satunya, dia harus mampu mempersiapkan bekal berharga bagi muridnya. "Kamu harus beda dengan guru bahasa Indonesia lainnya. Siapkan produk yang berkualitas dan bermanfaat bagi murid-muridmu nanti. Misalnya, kamu buat muridnya getol menulis sehingga budaya sadar baca di kalangan pelajar terserap baik. Soal caranya, kamu pikirkan sendiri," kata saya kepada dia.

Nah, pesan senada tadi diungkapkan oleh Gus Sholah. Ada dua bekal penting yang dia sampaikan dalam forum temu penulis tersebut.

Pertama, tak boleh putus asa. Memang, banyak orang yang rajin mengirimkan tulisannya ke media. Namun, ketika tulisan tersebut berkali-kali tidak dimuat, dia serta-merta lunglai dan tak bergairah untuk mengirimkan tulisan kembali.

Untuk masalah itu, Gus Sholah mencontohkan bahwa perjuangan dirinya, Gus Dur, ataupun Gus Mus dulu "berdarah-darah" hingga bisa seperti sekarang. Maksudnya, tulisan tiga tokoh ulama tersebut pun sering tidak dimuat. "Butuh proses untuk mencapai tahap pada tulisan kita sampai ke taraf yang baik," ujar Gus Sholah. Proses tersebut, lanjut dia, berbeda-beda pada tiap individu. Ada yang butuh proses cuma seminggu, sebulan, setahun, bahkan bertahun-tahun.

Kedua, seorang penulis harus memahami etika bahasa. Tak bisa dimungkiri, banyak tulisan yang memuat tema pro kontra, namun tulisan tersebut memakai bahasa yang memojokkan. Akhirnya, tulisan tersebut tidak berimbang lagi.

Dalam hal etika bahasa, Gus Sholah juga mengajak peserta forum untuk membiasakan diri menulis dengan bahasa Indonesia yang (minimal) baik. Artinya, tata bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah. Yang tak kalah penting, tulisan itu enak dibaca dan mudah dipahami pembaca meski ditulis dengan bahasa yang sederhana.

Agaknya, menulis memang menjadi agenda yang mendesak. Bangsa ini akan menuai krisis hebat jika masyarakatnya enggan menulis. Padahal, bangsa yang tak bisa melahirkan penulis, ia akan tertinggal jauh dan dilupakan sejarah. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: "Sepandai apa pun seseorang, jika tidak menulis, ia akan dilupakan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Salam
Eko Prasetyo