Senin, 01 Februari 2010

Menulis itu menakjubkan

”Apa pun yang Anda tulis, Anda harus merasa bangga dan berbahagia telah berhasil menulis. Menulis itu menakjubkan,” ujar saya cepat kepada para peserta pelatihan menulis. Coba Anda bayangkan. Kita hanya punya 26 huruf. Di antara ke-26 huruf itu, tak semua huruf kita pakai. Namun, coba lihat, apa pun yang ada di dalam benak Anda, Anda dapat menunjukkan (menuliskan) -nya meski beberapa di antaranya harus dituliskan dengan sangat susah payah.

Dengan menuliskan apa yang Anda pikirkan, hal-hal yang semula tidak tampak, kemudian menjadi tampak karena dapat dibaca dengan kedua belah mata Anda. Ajaib bukan? Coba, sekarang, merenunglah sejenak. Apa yang Anda pikirkan? ”Saya sedang memikirkan keluarga saya di rumah,” ujar seorang peserta. ”Coba rumuskan keadaan keluarga Anda saat ini,” kata saya.

Peserta itu pun menuliskan keadaan keluarganya. Setelah beberapa saat, tampaklah di layar komputer sebuah kata yang memiliki banyak sekali arti. ”Keluarga saya bahagia.” Bayangkan, hanya dengan 3 kata yang terdiri atas 19 huruf di mana 7 huruf di antaranya sama—sehingga huruf yang digunakan sesungguhnya hanya 13—sebuah makna yang luar biasa pun muncul. Padahal makna-makna itu semula hanya ada di dalam benak!

Tentu saja, menulis tidak hanya sekadar sebuah permainan ajaib sebagaimana dicontohkan di atas. Kejaiban menulis juga dapat mewakili sebuah hal yang sangat kompleks yang dipikirkan oleh manusia. Misalnya saja tentang bagaimana kompleksnya sebuah perasaan. Jika perasaan diwakili oleh warna, ada kemungkinnan warna gelap mewakili perasaan yang tidak bercahaya. Warna merah, sebaliknya, mungkin bisa mewakili perasaan yang ceria.

Namun, bagaimana jika perasaan itu tidak dapat diwakili oleh warna? Apakah ia bisa diwakili oleh kata-kata? Ya, bisa meskipun betapa sulitnya perasaan itu dikomunikasikan. ”Saya lagi tidak mood.” Kata ”mood” adalah sebuah wakil yang sah atas keadaan seseorang yang lagi tidak ”nyambung” atau perasaannya tidak ”tune in” dengan sesuatu yang sedang dilakoninya. Sementara itu, ”Saya lagi bergairah,” dapat mewakili sebaliknya. Dahsyat bukan, kata-kata yang dituliskan untuk menunjukkan perasaan itu?

Mau tahu lagi yang lebih kompleks? ”Kita memang jarang bertanya, apa sebenarnya arti sebuah sajak untuk diri kita—apa arti puisi? Tak mudah memang buat menjawabnya. Tapi saya pernah mendengarkan orang membaca petilan-petilan Gitanjali karya Rabindranath Tagore, sajak kerinduan Amir Hamzah pada Tuhan, dan puisi Chairil Anwar yang dimulai dengan kalimat termasyhur itu: Cemara menderai sampai jauh/ Kurasa hari jadi akan malam...

”Saya tak tahu, masih adakah sekarang orang yang gemar mendengarkan itu lagi, dan mencoba mengulanginya sendiri diam-diam. Bila tak ada, betapa rugi.”

Ada yang tahu, itu tulisan siapa? Kita lanjutkan saja kata-kata itu ya? Dan mengapa ada yang rugi jika tak mendengarkan kata-kata itu? ”Sebab, mereka tak akan pernah mengalamai sebuah dunia pengalaman yang menggetarkan—yang mungkin tak akan membuat kita jadi lebih pintar atau hebat, tapa yang bisa mengukuhkan ikatan batin kita kembali dengan hidup.

”Puisi bukanlah rangkaian kata-kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah persentuhan antara kita dan dunia luar, antara kita dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita—sabuah kontak yang, dalam kata-kata seorang penyair, ’sederhana seperti nyanyi’.”

Indah bukan? Itulah keajaiban menulis. Dan Goenawan Mohamad, lewat rangkaian kata-kata yang saya kutip di atas, membuktikannya untuk kita.

Salam
Hernowo