Senin, 01 Desember 2008

Menjadi Pendidik Efektif


Oleh : Ari Prabowo
Source : omahku.com

Dengan membaca tulisan ini diharapkan para pendidik dan Pengasuh TPA PLUS dapat melakukan assessment terhadap kemampuan mengajar dan berkomunikasi dengan Santri/Siswa. Self-Training ini dimaksudkan untuk memahami beberapa konsep yang terlalu abstrak untuk diterapkan seorang pendidik dalam proses belajar-mengajar. Misalnya konsep 'menghormati kebutuhan Santri/Siswa' , 'pendidikan afektif', 'pendidikan humanistis', 'komunikasi dua arah', dsb. Konsep-konsep tersebut benar, namun untuk menghindari kebingungan diperlukan penjelasan yang 'Jelas' dan dapat dipraktekkan. Dalam self-training ini pendidik diharapkan mampu membekali dirinya dengan keterampilan dan metode hingga hubungannya dengan orang lain, dalam hal ini Santri/Siswa, dapat menciptakan suatu tujuan diri (self direction), tanggung jawab pada diri sendiri (self responsibility) , penentuan nasib sendiri (self determination) , pengontrolan diri sendiri (self control) dan mengevaluasi diri sendiri (self evaluation).

Sebagai contoh dengan dikembangkannya metode oleh Thomas Gordon ini merupakan alternatif terhadap sebuah contoh permainan hoop-jump-biscuit, di mana Santri/Siswa yang berhasil melompat hingga ketinggian tertentu mendapat hadiah biskuit. Permainan tersebut memang menimbulkan motivasi pada Santri/Siswa, namun tanggapan Santri/Siswa dapat berbeda-beda. Seorang Santri/Siswa mungkin menganggap bahwa melompat terlalu sukar baginya sehingga dia menolak melompat. Santri/Siswa lain bisa jadi akan meninggalkan permainan sebab temannya yang dapat meloncat lebih tinggi akan mengejeknya sebagai orang lemah.

Inti dari self-training ini adalah hubungan antara pendidik dengan Santri/Siswa. Perlu diperhatikan bahwa Santri/Siswa, dengan perbedaan IQ, asal-usul, warna kulit, kemampuan, status sosial dan ekonomi, mempunyai satu kesamaan penting. Mereka adalah manusia yang memiliki ciri manusia, perasaan manusia dan respon manusia. Jadi tinggalkan mengklasifikasi, menguji, mengevaluasi, memberi label dan mengelompokkan Santri/Siswa dalam stereotip-stereotip tertentu seperti dokter memandang pasiennya. Ingat dengan metode ini pendidik akan
menjadi pengajar yang efektif, bukan penegak disiplin.

Dalam melihat model hubungan pendidik-Santri/ Siswa yang efektif terlebih dahulu seorang pendidik perlu meninggalkan mitos tentang pendidik yang baik. Pendidik adalah juga manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala perasaan kemanusiaannya. Jangan mengembangkan dua kepribadian, satu kepribadian untuk mengajar (akrab) dan satunya lagi untuk mengontrol. Dalam memandang tingkah laku Santri/Siswa kita dapat mengangankan sebuah segi empat tingkah laku Santri/Siswa, baik yang kita terima maupun tidak. Perlu diingat bahwa garis yang membatasi tingkah laku akseptabel dengan tingkah laku yang tidak akseptabel dapat berubah-ubah karena hal berikut :

Perubahan dalam diri sendiri (pendidik), misalnya di siang hari (lelah) lebih banyak tingkah tidak akseptabel. Perbedaan perasaan terhadap Santri/Siswa yang berbeda, cukup manusiawi seperti mengapa memilih X sebagai teman bukan Y. Pengaruh situasi atau lingkungan, misalnya berteriak di halaman berbeda dengan di ruang kelas. Kepura- puraan, dalam menerima atau menolak, perlu dihindari karena Santri/Siswa akan menjadi bingung atau merasakan adanya kepalsuan. Santri/Siswa dapat menangkap pesan non verbal, "pesan-pesan tubuh", dan lebih mempercayainya.

Dalam melihat masalah yang menghalangi proses belajar-mengajar juga perlu diperhatikan siapa pemilik masalah. Tentu penanganannya akan berbeda. Jika masalah adalah milik Santri/Siswa, seperti Agung sering membolos, Mira melamun di kelas, pendidik jangan mengirim pesan-pesan yang mengkomuniikasikan bahwa tindakan itu tidak akseptabel sehingga pendidik menghendaki anak itu berubah atau berbuat seolah-olah tidak mempunyai masalah.

Bahasa penolakan tersebut, yang merupakan penghalang komunikasi, dapat dikelompokkan dalam 12 kategori sebagai berikut : (Ingat hal ini merupakan penghalang jika Santri/Siswa 1 mengalami masalah, pada daerah bebas masalah pengaruh buruk hal-hal di bawah ini jauh berkurang.)

(1) Mengkomunikasikan penolakan : Memerintah, mengkomando, mengatur. Misal : Mengeluh terus, selesaikan pekerjaanmu". Pesan ini mengungkapkan kepada Santri/Siswa bahwa tindakannya tidak akseptabel pada saat itu juga. Dapat membuat Santri/Siswa marah atau kecewa.

(2) Memperingatkan, mengancam. Misal : "Sebaiknya kau cepat ambil bola itu kalau ingin dapat nilai bagus dalam pelajaran ini." Pesan ini mengatakan kepada Santri/Siswa bahwa pendidik tidak begitu menghormati kebutuhan dan keinginan Santri/Siswa. Dapat membuat Santri/Siswa takut dan bersikap tunduk.

(3) Menanamkan moral, mengkhotbahi, memberi keharusan. Misal : "Kau tahu tugasmu di sekolah adalah belajar. Kau harus meninggalkan masalahmu itu dirumah." Pesan ini mengharuskan Santri/Siswa memikul beban kekuasaan, tugas dan keharusan yang berasal dari luar. Dapat menimbulkan rasa bersalah dan menyiratkan bahwa pendidik meragukan kemampuan Santri/Siswa dalam memberi pendapat, membuat pertimbangan dan memegang nilai-nilainya sendiri.

(4) Menasehati, menawarkan pemecahan masalah dan saran.Misal : "Yang sebaiknya kau kerjakan adalah mengatur jadwal belajarmu. Setelah itu selesaikanlah pekerjaanmu. " Pesan ini ditafsirkan bahwa pendidik tidak mempercayai kemampuan Santri/Siswa dalam memecahkan masalahnya sendiri.

(5) Menceramahi, memberikan argumen logis. Misal : "Lihatlah kenyataannya. Ingatlah, waktumu tinggal 34 hari lagi untuk menyelesaikan tugasmu." Santri/Siswa dapat merasa rendah
diri dan tidak mampu atau justru menimbulkan penolakan dan kemarahan karena menyiratkan bahwa ia tidak logis dan tidak mengerti.

(6) Mengkomunikasikan penghakiman, evaluasi atau perendahan, menghakimi, mengkritik, tidak menyetujui, menyalahkan. Misal : "Kau ini sangat malas, atau kau ini paling suka menunda-nunda. " Pesan ini membuat Santri/Siswa merasa bodoh, tidak mampu, rendah diri, tidak berguna, jelek. Santri/Siswa akan menyembunyikan perasaannya, tidak mau mengambil resiko atau mencari bantuan ke orang lain.

(7) Membentak, menstereotipkan, memberi label. Misal : "Tingkahmu itu seperti anak SD saja, tidak seperti orang yang sudah akan menginjak SMU." Pesan ini mengandung efek merusak terhadap citra diri Santri/Siswa.

(8) Menginterpretasikan , menganalisis, mendiagnosis. Misal : "Kau hanya menghindar dari tugas itu." Pesan ini menyatakan pada Santri/Siswa bahwa pendidik mengetahui siapa Santri/Siswanya, apa motivasinya dan mengapa Santri/Siswa berbuat seperti itu. Penelahaan ini membuat Santri/Siswa merasa diekspos, ditelanjangi dan dipermalukan (jika benar) atau Santri/Siswa menjadi marah karena dituduh tidak benar (jika salah).

(9) Mengkomunikasikan agar Santri/Siswa merasa lebih baik, agar masalahnya lenyap atau mengingkari kalau dia mempunyai masalah, memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif. Misal : "Kau benar-benar seorang anak muda yang berbakat. Saya tahu kau pasti dapat menyelesaikan masalah itu." Pesan ini diartikan Santri/Siswa sebagai usaha untuk mempermainkan mereka, atau cara halus agar Santri/Siswa berbuat sesuai dengan apa yang diinginkan pendidik.

(10) Memberi kepastian, memberi simpati, menenteramkan, memberi dukungan. Misal : "Kau bukan satu-satunya orang yang pernah merasakan kejadian seperti ini. Saya juga pernah mengerjakan tugas berat dan saat itu saya pun berada dalam situasi seperti yang kau hadapi sekarang ini. Tapi sebenarnya keadaannya tidak seberat yang kau duga bila kau sudah mulai melakukannya" . Pesan ini meyakinkan Santri/Siswa bahwa pendidik tidak mengerti dan ingin Santri/Siswa membuang perasaan yang dirasakan Santri/Siswa. Ingin menyelesaikan masalah Santri/Siswa dengan jalan terbaik.

(11) Menanyai, mendesak, menginterogasi, mengecek jawaban. Misal : "Apa kau pikir tugas itu terlalu berat ?", "Berapa lama kau mengerjakannya ?" "Berapa jam yang sudah kau habiskan untuk mengerjakan ini ?" Pesan ini diartikan sebagai ketidakpercayaan, curiga atau ragu terhadap Santri/Siswa. Kadang ditafsirkan sebagai pertanyaan yang bersifat menjebak sehingga mereka takut. Dapat juga Santri/Siswa mengartikan bahwa pendidik sedang berusaha mencari informasi untuk memecahkan masalah Santri/Siswa, tidak meminta Santri/Siswa menyelesaikan masalahnya sendiri.

(12) Mengubah topik pembicaraan, mengalihkan perhatian Santri/Siswa atau sama sekali menghindarkan diri dari masalah Santri/Siswa.

(13) Menarik diri, mengganggu, sinis, melucu, mengalihkan perhatian. Misal : "Ayo, mari kita membicarakan sesuatu yang lebih menyenangkan. " "Sepertinya ada seseorang yang gampang marah pagi hari ini." Pesan ini mengkomunikasikan kepada Santri/Siswa bahwa pendidik tidak tertarik padanya, tidak menghormati perasaan Santri/Siswa atau bahkan menolak Santri/Siswa. Santri/Siswa dapat merasa ditolak dan terhina. Tiga pertanyaan dasar yang sering menimbulkan kesalahpahaman : Apa salahnya memberi fakta, menasihati, dan memberikan informasi ? ("Bukankah ini merupakan prinsip dasar seorang pendidik ?") Mengapa memuji dan memberi evaluasi positif tergolong dalam 12 penghalang komunikasi ? ("Saya diajar untuk memberi pujian untuk memperkuat dan mendorong tingkah laku yang baik".) Pujian yang diberikan kepada Santri/Siswa yang bermasalah dengan dirinya sendiri (tidak bahagia atau tidak puas dengan dirinya atau tindakannya) akan membuat Santri/Siswa merasa bahwa pendidik tidak memahami dirinya dan dapat membuat Santri/Siswa memperkuat pertahanan evaluasi dirinya yang rendah. Bila pujian dilakukan agar Santri/Siswa melakukan perbuatan seperti 'yang dikehendaki' pendidik, Santri/Siswa akan menilai pujian itu tidak tulus dan dibuat-buat. Selain itu di kelas pujian yang diberikan hanya kepada seorang atau sekelompok Santri/Siswa akan dirasakan sebagai evaluasi negatif oleh Santri/Siswalainnya. Dan Santri/Siswa yang biasa mendapat pujian akan merasamendapat evaluasi negatif bila suatu saat dia tidak dipuji. Pujian jika diberikan pada area bebas masalah bukan merupakan penghalang komunikasi asal diberikan secara spontan dan tulus terhadap tingkah laku Santri/Siswa.

Mengapa mengajukan pertanyaan dianggap tidak efektif ? (Mengajukan pertanyaan adalah alat yang sangat berguna dalam mengajar, 'cara Socrates' atau 'cara minta penjelasan'. ) Menanyai dan menyelidiki orang yang bermasalah akan menjadi penghalang komunikasi karena : Orang merasa terancam bila orang lain menyelidiki terlalu dalam tentang perasaan-perasaan yang belum bisa diungkapkannya. Pertanyaan dapat membelokkan masalah kalau tidak relevan dan tidak mengarah pada tujuan. Pertanyaan membatasi banyaknya persoalan atau perasaan atau topik yang dapat dikomunikasikan seseorang. Cara yang konstruktif dalam membantu Santri/Siswa menyelesaikan masalahnya adalah dengan melakukan hal-hal berikut :

Mendengar pasif (Diam).
Hal ini merupakan pesan nonverbal yang kuat yang membuat Santri/Siswa merasa diterima dengan tulus dan mendorongnya mengungkapkan masalah dengan lebih dalam. Tapi diam tidak membuktikan bahwa Anda benar-benar menaruh perhatian atau mengerti.

Respon Pengakuan.
Isyarat non verbal (mengangguk, mengerutkan dahi, tersenyum) dan isyarat verbal ("Oh", "Saya tahu") memberitahu Santri/Siswa bahwa anda benar mendengarkan dan menyatakan bahwa anda masih memperhatikan dan anda tertarik (empati). Tapi tidak membuktikan bahwa pendidik memahami masalahnya.Kunci Pembuka, Ajakan untuk Bicara. Hal ini memberikan dorongan tambahan agar Santri/Siswa berbicara lebih banyak, lebih dalam atau bahkan untuk mulai berbicara. Misal : "Apakah kau ingin membicarakan hal itu lebih lanjut ?", "Itu sangat menarik, apa lagi ?", "Sepertinya engkau mempunyai perasaan mendalam tentang hal itu", "Saya terkesan dengan apa yang kau katakan", "Apakah kau mau membicarakan hal itu ?".
Cara ini tidak efektif untuk menunjukkan suatu penerimaan, pengertian atau

3 kehangatan.
'Membuka pintu' bukan menjaga 'pintu tetap terbuka'. Bila terlalu sering digunakan akan menjadi klise. Mendengar Aktif (Umpan Balik). Membuktikan bahwa pendengar mengerti. Perlu diperhatikan bahwa apa yang dikatakan Santri/Siswa sering merupakan pesan yang telah disandikan. Sebagai contoh pertanyaan "Jam berapa sekarang" dapat berarti pesan bahwa "Saya lapar". Dengan mendengar aktif Santri/Siswa dan anda akan tahu bahwa pesan yang disampaikan telah diterima dengan benar, dan tidak hanya merespon sandinya saja.

Persyaratan untuk mendengar aktif :

Pendidik harus mempunyai perasaan percaya yang dalam terhadap kemampuan Santri/Siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tujuannya adalah memudahkan ditemukannya pemecahan, walaupun perlu waktu berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Pendidik harus dapat menerima dengan tulus perasaan-perasaan yang diungkapkan Santri/Siswa, walaupun berbeda dengan perasaan-perasaan yang 'harus' dimiliki Santri/Siswa berdasarkan pikiran pendidik.

Pendidik harus mengerti bahwa perasaan-perasaan sering kali berubah. Pendidik harus mempunyai keinginan membantu menyelesaikan masalah Santri/Siswa, dan menyediakan waktu untuk itu. Pendidik harus 'dekat' dengan tiap Santri/Siswa yang mengalami masalah, tapi harus dapat menjaga identitasnya, jangan sampai terlibat dengan perasaan-perasaan Santri/Siswa sehingga keterpisahan itu hilang. Pendidik harus mengalami perasaan seolah-olah perasaan yang dialami Santri/Siswa itu perasaannya sendiri tapi jangan sampai perasaan itu menjadi miliknya. Pendidik harus mengerti bahwa Santri/Siswa jarang dapat memulai berbagi masalah yang sebenarnya.

Mendengar aktif membantu Santri/Siswa menjernihkan, menggali lebih dalam dan menjauh dari masalah yang dikemukakan pada awalnya. Jika pendidik merasa tidak senang katakan "Saya merasa tidak cocok" dan membantu Santri/Siswa agar menemukan orang lain yang lebih cocok dan dapat menerima jenis-jenis masalah kehidupan yang sering dialami Santri/Siswa.

Pendidik harus menghormati kerahasiaan apa yang dialami Santri/Siswa dalam kehidupannya. Dengan menkonsultasi Santri/Siswa dapat memberikan lebih banyak untuk proses belajar-mengajar yang efektif. Hal ini disebabkan dengan mengkonsultasi Santri/Siswa, dalam hal ini dengan mendengar aktif, akan membantu Santri/Siswa bekerja danmelepaskan perasaan-perasaan yang berat (katarsis), membantu Santri/Siswa mengerti bahwa perasaan-perasaan itu adalah temannya (tidak jelek), memudahkan Santri/Siswa memecahkan masalah, tetap menyerahkan tanggung jawab kepada Santri/Siswa, membuat Santri/Siswa lebih mau mendengarkan pendidik, dan merapatkan hubungan antara seorang pendidik dan seorang Santri/Siswa.

Mendengar aktif dapat membantu setiap dibutuhkan suatu komunikasi yang lebih jujur dan terbuka. Cara ini dapat merangsang efektifitas diskusi mengenai topik tertentu, menanggulangi keengganan Santri/Siswa dalam mempelajari hal-hal baru, membantu Santri/Siswa yang tidak mandiri dan takut, memaksimalkan diskusi yang berpusat pada Santri/Siswa dan membuat rapat dengan orang tua lebih efektif, demikian pula rapat antara pendidik-orang tua-Santri/Siswa. Berikut ini adalah contoh-contoh yang dilakukan pendidik untuk masing-masing masalah.

Contoh salah dalam menanggapi keengganan Santri/Siswa

Situasi : Pendidik Sekolah Dasar meminta Santri/Siswanya menggambar 6 bola.
Matt : Saya tak bisa menggambar bola dengan baik.
Pendidik : Oh, menggambar bola sangat mudah. Gambarmu bagus sekali. (Meyakinkan kembali,mendukung)
Matt : Bagi saya tidak, gambar bola saya tidaklah bagus.

Contoh salah dalam membantu Santri/Siswa untuk mandiri

Pendidik : Charles, kau begitu pendiam. Kau harus lebih terlibat dalam diskusi kelas kita. Jika masalah adalah milik pendidik, dimana pendidik mungkin mengalami perasaan terganggu, frustasi, sebal, marah, bingung dan dongkol, pemecahannya menjadi berbeda. Untuk lebih memperjelas, masalah milik pendidik misalnya seorang Santri/Siswa menggores-gores permukaan meja yang baru atau beberapa Santri/Siswa menyela percakapan anda dengan seorang Santri/Siswa lainnya. Dalam hal ini dapat dilakukan usaha berikut :

Mencoba mengubah perilaku Santri/SiswaMencoba mengubah lingkunganMencoba mengubah diri anda sendir. Untuk hal semacam ini peran sebagai konselor tidak sesuai dan bahasa penerimaan tidak akan efektif bahkan terkesan dibuat-buat. Perlu diperhatikan bahwa bila Santri/Siswa mempunyai masalah maka inisiatif berkomunikasi ada pada pihak Santri/Siswa, sedang pendidik hanya sebagai pendengar, pembimbing dan lebih pasif dalam pemecahan masalah. Intinya adalah pendidik membantu memenuhi kebutuhan Santri/Siswa. Namun bila pendidik yang mempunyai masalah maka pendidik harus mengambil inisiatif berkomunikasi, pendidik juga berperan untuk mengirim dan memberi pesan. Di sini pendidik lebih aktif dalam pemecahan masalah karena pendidik sedang membantu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Dalam usaha mengubah perilaku Santri/Siswa biasanya pendidik mengirim pesan yang tidak efektif. Pesan yang disampaikan itu dapat dibagi menjadi beberapa kategori :

Pesan pemecahan, pendidik menyampaikan pemecahan kepada Santri/Siswa dan diharapkan Santri/Siswa menerimanya : Memerintah, mengkomando, mengatur. Misal : "Buang permen karet itu !"

Memberi peringatan, mengancam. Misal : "Jika kamu tidak berbaris, akan kubiarkan kamu berdiri di situ sehari penuh !"

Memoralisasi, mengkhotbahi. Misal : "Seharusnya kamu tahu bagaimana mengerjakan itu !"

Mengajar, menggunakan logika, memberikan fakta. Misal : "Buku untuk dibaca bukan untuk dicoret-coret. "

Menasehati, menawarkan pemecahan masalah. Misal : "Jika aku adalah kamu, aku akan kembali bekerja."

Pesan di atas gagal karena mengandung pesan tersembunyi : "Anda terlalu bodoh untuk dapat membantuku." atau "Kamu berubah karena aku menyuruhmu."

Pesan yang merendahkan : Menghakimi, mengkritik, tidak menyetujui, menyalahkan. Misal : "Kamu nakal !"

Membentak, menirukan, menghina. Misal : "Kamu seperti binatang liar hari ini !"

Menginterpretasi, menganalisis, mendiagnosis. Misal : "Kamu melakukan itu untuk menarik perhatian."

Memuji, menyetujui, memberi evaluasi positif. Misal : "Kamu punya otak untuk menjadi Santri/Siswa yang baik."

Meyakinkan kembali, memberi simpati,memberi dukungan. Misal : "Saya mengerti bahwa akan ada pertandingan sore ini, tapi jangan lupa kalian masih harus belajar sampai jam tiga."

Mendesak, menanyai, menginterogasi. Misal : "Mengapa kamu berdiri dan berjalan-jalan ?"

Santri/Siswa yang mempunyai konsep positif tentang dirinya akan menduga bahwa pendidik tidak berpijak pada kenyataan dan mengabaikan pesan ini, namun Santri/Siswa yang masih berjuang untuk mendapatkan harga dirinya akan menyimpulkan bahwa dirinya tidak beres dan makin memperburuk citra diri mereka.

Pesan tidak langsung :

Berolok-olok, menggoda/mengusik, menyindir, melencengkan pembicaraan dan mengalihkan komentar. Misal : "Saya tak pernah mengajar di depan segerombolan monyet sebelumnya."

Pesan ini gagal bisa karena terlalu halus sehingga tidak mempunyai efek, tidak dimengerti atau justru Santri/Siswa menganggap pendidik tidak berterus terang sehingga tidak layak dipercaya.

Kedua belas pesan di atas merupakan pesan Anda, seperti Anda hentikan itu !, Anda lebih baik diam atau ?! , Anda seperti bayi, Anda biasanya menjadi Santri/Siswa yang baik, dll. Seharusnya pendidik mengirim pesan Saya yang berisi tentang apa yang dia rasakan, seperti Saya frustasi dengan bunyi itu, Saya merasa terganggu bila orang-orang mondar-mandir di ruangan ini. Pesan anda tidak efektif karena akan diterima oleh Santri/Siswa sebagai evaluasi tentang dirinya. Contohnya jika anda merasa frustasi anda dapat berkata, "Kamu tidak sopan" dan ditangkap Santri/Siswa sebagai "Ia pikir aku buruk". Namun pendidik dapat juga berkata "Aku frustasi" dan diterima Santri/Siswa sebagai "Ia frustasi".

Agar mempunyai dampak luas bagi Santri/Siswa, pesan saya harusmempunyai tiga komponen, yaitu : Santri/Siswa harus mengetahui apa penyebab timbulnya masalah bagi pendidik. Misal : "Ketika saya menemukan kertas berserakan di lantai .....", "Ketika saya sering diganggu ketika tengah mengajar ......", "Ketika anda menggangguku .....", "Ketika anda meloncat naik-turun ..." . Dua pesan yang terakhir bukan pesan anda karena melaporkan fakta bukan ulasan. Berbeda dengan "Bila anda tidak saling memperhatikan ..."

Menunjuk langsung efek nyata atau konkret paa pendidik dari tingkah laku yang telah diutarakan. Misal : "Bila anda meninggalkan pintu tak terkunci (penjelasan tidak menghakimi) kadang barang-barang saya dicuri orang ...." (efek nyata).

Menyatakan perasaan-perasaan yang timbul dalam diri pendidik, sebab terkena efek nyata. Misal : "Bila kamu menjulurkan kakimu di gang di antara bangku-bangku (penjelasan tentang tingkah laku), saya dapat tersandung (efek nyata) dan saya akan jatuh dan cedera (perasaan).

Setelah mengirim pesan saya sering justru menimbulkan masalah bagi si Santri/Siswa. Oleh karena itu ditekankan perlunya mengurangi tekanan, dari konfrontasi menjadi mendengar aktif.

Contoh :
Pendidik : Allan, keterlambatanmu masuk kelas menimbulkan masalah bagiku. Kalau kamu masuk terlambat, saya harus menghentikan apa yang tengah saya lakukan. Ini mengacaukan pikiran saya dan membuat saya frustasi.
Santri/Siswa : Yah ..., banyak pekerjaan yangharus saya lakukan belakangan ini, sehingga tak bisa masuk kelas tepat pada waktunya.
Pendidik : Oh, ya, jadi kamu mempunyai masalah belakangan ini (Mendengar aktif) dst.

Perlu diingatkan jangan membuat pesan "Saya marah" karena itu sering diterima sebagai "Saya marah pada Anda" atau "Anda membuat saya marah". Marah adalah perasaan sekunder yang mengikuti perasaan primer. Misal pendidik cemas saat Santri/Siswanya tersesat dalam kamping
kemudian marah. Juga perlu diingatkan bahwa resiko terbesar dalam mengirim pesan saya adalah pengungkapan diri sendiri. Orang lain akan mengenal anda lebih dekat dan lebih dalam sehingga penolakan oleh orang lain setelah anda melakukan pengungkapan ini akan lebih menyakitkan. Namun hal ini lebih baik daripada terus-menerus hidup dalam kepura-puraan. Resiko kedua adalah kemungkinan timbulnya modifikasi diri karena sebelum mengirim pesan saya, sering pendidik harus menganalisis keadaan dengan lebih teliti dan kadang-kadang mereka yang harus melakukan modifikasi bukan si anak. Resiko ketiga adalah tanggung jawab. Pesan saya meletakkan tanggung jawab pada diri pendidik dengan kondisi kemanusiannya.

Cara kedua untuk memecahkan masalah milik pendidik adalah dengan mengubah lingkungan. Dengan memodifikasi lingkungan banyak tingkah laku Santri/Siswa yang tidak akseptabel dapat dicegah. Hal ini dapat dilakukan sebagai berikut :

Memperkaya lingkungan. Misal : Gunakan alat audio-visual, Undang pembicara tamu.

Memperburuk lingkungan. Misal : Kelamkan ruangan, Buat sekat-sekat belajar

Membatasi lingkungan. Misal : Batasi jumlah Santri/Siswa pada suatu tempat dan suatu waktu, Gunakan formulir pendaftaran untuk setiap aktivitas, Rancanglah pola lalu lintas untuk membatasi gerakan.

Memperbesar lingkungan. Misal : Karyawisata, Sekali-sekali gabungkan kelas-kelas, Gunakan fasilitas perpustakaan.

Menata kembali lingkungan. Misal : Singkirkan meja kursi yang tidak dipakai, Simpan bahan di tempat yang mudah dicapai.

Menyederhanakan lingkungan. Misal : Tempelkan peraturan, kebijaksanaan dan ketentuan pada tempat yang mudah dilihat Santri/Siswa, Beri label pada laci, file, tempat penyimpanan.

Mensistematisasikan lingkungan. Misal : Memberikan tugas tertentu pada orang tertentu.

Merancang lingkungan ke depan. Misal : Saling memberitahu adanya acara-acara penting, Beri tahu Santri/Siswa mengenai biaya penggunaan buku, bahan dan peralatan.

Selain itu juga perlu diperhatikan kualitas waktu. Dalam area bebas masalah terdapat tiga jenis waktu, yaitu waktu yang tidak jelas (difusi). Anak yang dibanjiri stimulus oleh kegiatan di lingkungannya mampu menyaring mana yang diperlukan dan yang tidak. Namun hal inimemerlukan energi sehingga suatu saat ia mendapati orang lain tidak akseptabel baginya sehingga ia ingin bebas dari waktu difusi.

Waktu individual.
Jika kebutuhan waktu individual terhambat anak dapat menjadi peka dan lekas marah atau berusaha memperolehnya dengan melamun dan berkhayal.

Waktu optimum.
Waktu terbaik untuk melakukan hubungan. Namun perlu diingat bahwa transaksi antar pribadi hanya dapat terjadi palingbanyak dalam triad (3 orang).

Walaupun telah menggunakan berbagai metode di atas, pendidik tetap akan menghadapi konfliks. Hal ini disebabkan kebutuhan yang memotivasiperilaku yang tidak akseptabel begitu kuat sehingga tidak dapat atau tidak mau berubah. Juga bisa disebabkan hubungan dengan pendidik begitu buruk sehingga Santri/Siswa tidak peduli untuk membantu pemenuhan kebutuhan pendidik.

Terdapat dua metode yang umum digunakan pendidik dalam menghadapi konfliks. Yang pertama adalah Metode Otoriter (Metode I) dan yang kedua adalah Metode Permisif (Metode II). Kedua metode ini mengandalkan kekuasaan di mana pada Metode I pemenangnya adalah pendidik dan pada metode II pemenangnya adalah Santri/Siswa. Sebenarnya ada dua jenis otoritas, yaitu otoritas yang didasarkan pada keahlian, pengetahuan dan pengalaman, serta otoritas yang diperoleh dari kekuasaan pendidik untuk memberi penghargaan atau menghukum Santri/Siswa. Otoritas yang pertama merupakan otoritas yang diakui Santri/Siswa dan penggunaannya tidak bermasalah. Sedang otoritas jenis kedua mempunyai banyak dampak buruk, di samping suatu saat pendidik akan kehabisan kekuasaan (kecenderungan pada Santri/Siswa yang lebih dewasa/SMU) karena Santri/Siswa sudah mampu memenuhi sendiri sebagian besar kebutuhannya.

Penggunaan Metode I akan bersifat destruktif bagi Santri/Siswa. Dan mereka akan mengembangkan mekanisme penanggulangan yang negatif. Misalnya Santri/Siswa merasa sebal, marah, memusuhi dan mekanisme penanggulangannya adalah dengan memberontak, menentang dan menantang.
Kemungkinan lain Santri/Siswa merasakan ketidakmampuan dan mengembangkan mekanisme penanggulangan berupa tunduk dan patuh.Penggunaan kekuasaan tidak mempengaruhi Santri/Siswa secara sungguh-sungguh. Kekuasaan cenderung memaksakan sehingga Santri/Siswa akan kembali ke perilaku semula setelah otoritas dan kekuasaan tidak ada. Sedang penggunaan Metode II menyebabkan pendidik tidak terpenuhi kebutuhannya dan memunculkan mekanisme penanggulangan yang serupa, seperti membalas dendam dengan memberikan ulangan mendadak atau justru memuji-muji Santri/Siswa, murah nilai agar menjadi pendidik paling populer.

Di luar dua metode di atas terdapat metode penyelesaian konflik tanpa kalah (Metode III). Metode III adalah suatu proses di mana pendidik menggunakan ketrampilan konfrontasi efektif dan mendengar aktif sebagai prasyarat. Langkah penyelesaian dalam metode III sebagai
berikut :

Memberi batasan masalah Pada langkah ini Santri/Siswa harus diyakinkan terlebih dahulu bahwa Metode III bukan suatu tipu muslihat untuk memanipulasi mereka dan partisipasi Santri/Siswa harus secara suka rela. Libatkan hanya Santri/Siswa yang merupakan bagian dari konflik, Santri/Siswa yang mempunyai informasi atau yang secara langsung dipengaruhi keputusan akhir. Nyatakan masalah anda (kebutuhan yang tidak terpenuhi) bukan penyelesaian yang anda inginkan. Bantu para Santri/Siswa untuk mengungkapkan kebutuhan mereka dan memisahkan dengan penyelesaian yang mereka kehendaki. Dan pastikan waktu yang tersedia cukup untuk melakukan minimal satu langkah, kecuali untuk jenis masalah tertentu.

Menciptakan kemungkinan penyelesaian Jangan mengevaluasi penyelesaian yang diusulkan. Jangan perlambat proses brainstorming (misal dengan mencatat lambat). Bangkitkan partisipasi dengan melontarkan pembukaan diri, seperti "Kira-kira berapa kemungkinan penyelesaian untuk masalah ini ?" Dorong setiap orang bertindak, tetapi jangan memaksa, memanggil pelajar tertentu atau berkeliling ruangan.Jika proses terlambat lontarkan pertanyaan pemusatan kembali, seperti "Cara-cara apa yang belum pernah kita pikirkan ?" atau "Pasti ada lebih banyak penyelesaian lainnya yang dapat kita hasilkan."

Mengevaluasi penyelesaian, coret daftar penyelesaian yang menghasilkan penilaian negatif dari siapa pun untuk alasan apa pun. Jangan terburu-buru kecuali jika jelas bahwa tiap orang menyetujui satupenyelesaian. Membuat keputusan jangan melakukan pengambilan suara.Ujilah penyelesaian yang diusulkan dengan membayangkan pelaksanaannya. Berusahalah mencapai konsensus, kalau perlu biarkan keputusan tetap tentatif dengan melontarkan pertanyaan "Saya ingin mecobanya, bagaimanadengan anda ?" Hal ini membantu Santri/Siswa memahami bahwa keputusan tidak kaku dan dapat diubah. Akhirnya tulis penyelesaian yang telah disetujui, menentukan bagaimana menerapkan keputusan, menilai kesuksesan penyelesaian.

Metode III memberi manfaat dan keuntungan sebagai berikut :

Tidak ada dendam dan perasaan bersalah.

Meningkatkan motivasi untuk menerapkan penyelesaian.

Dua orang pemikir lebih baik daripada seorang.

Tidak perlu 'penjualan' dalam Metode III. Sebagai perbandingan pada Metode I, pendidik membujuk Santri/Siswa untuk 'membeli' atau menerima penyelesaian. Tidak diperlukan kekuasaan atau otoritas.

Mengembangkan hubungan saling menghormati, saling memperhatikan dan saling percaya. Membantu mengungkap masalah sesungguhnya bukan hanya masalah permukaan. Santri/Siswa menjadi lebih bertanggung jawab dan lebih dewasa.

Metode III dapat digunakan untuk mengatasi konflik belajar-mengajar, konflik antar Santri/Siswa, menentukan peraturan dan kebijakan kelas. Namun perlu diingat bahwa Metode III tidak boleh digunakan pada masalah di luar area bebas pendidik, misalnya peraturan yang sudah ditetapkan sekolah atau Kanwil. Terkadang Metode Idiperlukan, yaitu jika ada bahaya nyata ("Jangan melompat sekarang"), anak tidak dapat mengerti logika posisi anda atau jika desakan waktu. ("Turunlah dari tangga atau kau akan ketinggalan bus").

Penerapan hal-hal yang telah dibahas di atas tetap memungkinkan terjadinya konflik, yaitu jika terjadi benturan nilai. Kasusnya misalnya tentang panjang rambut anak lelaki, panjang rok anak gadis, kode dan standar baju lain, perilaku seksual, dll. Dalam kasus ini pesan saya tidak efektif karena tidak adanya efek nyata atau kongkretpada pendidik. Metode III juga tidak efektif karena Santri/Siswa menolak menyelesaikan masalah yang menurut pendapat mereka bukan urusanpendidik. Bayangkan apakah anda bersedia menegosiasikan agama yang anda anut kepada orang yang tidak setuju.

Jadi jika terjadi benturan nilai pendidik harus berusaha menjadi konsultan yang efektif bagi pelajar. Konsultan yang efektif bekerja berdasarkan 4 peraturan dasar, yaitu :

Dia tidak mulai mencoba mengubah klien sampai dia yakin dia telah disewa. Pendidik yang belum merusak hubungan mereka dengan Santri/Siswa biasanya dapat disewa karena dianggap memiliki keahlian, kebijaksanaan, pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan. Presentasi penjualan dapatdilakukan misalnya dengan ucapan "Saya telah banyak membaca dan berpikir mengenai maslahitu (atau mempunyai beberapa ide, pemikiran, pemecahan) dan saya pikir itu akan bermanfaat bagi anda ... "atau "Bersediakah Anda mengatur waktu, yang sesuai dengan Anda dan saya, sebagai permulaan katakanlah kira-kira satu jam, hanya untuk melihat apakah kira-kira ide-ide saya menarik bagi Anda."

Dia datang dengan persiapan yang memadai dengan fakta-fakta, informasi dan data. Dapat dilakukan dengan membaca buku, mengumpulkan data melalui wawancara, menyiapkan peta, menyeleksi film yang cocok, mengorganisasi pengalaman anda secara sistematis, membuat garis besar ide anda.

Dia memberikan keahliannya secara ringkas, jelas dan hanya sekali - dia tidak membingungkan.
Rentetan pesan dapat dianggap sebagai khotbah, cuci otak, menekan, membujuk. Percobaan untuk mengubah orang lain biasanya menimbulkan penolakan dan sikap bertahan. Jika demikian gunakan mendengar aktif, misalnya : "Kamu pikir bahwa ide ini tidak bagus." atau "Kamu merasa itu sukar dipercaya" atau "Itu tidak cocok dengan pengalaman Anda.", dll Dia memberikan tanggung jawab kepada klien untuk menerima usahanya untuk melakukan perubahan.Juga penting diperhatikan bahwa anda menjadi model bagi nilai yang anda katakan. "Kerjakan seperti apa yang saya katakan, bukan seperti yang saya lakukan" bukanlah cara yang sangat efektif untuk mengajarkan nilai.

Sekolah yang ada selama ini ternyata mempunyai karakteristik yang menimbulkan masalah bagi pendidik. Secara garis besar hal ini disebabkan posisi pendidik sebagai bawahan dengan model militer (kesatuan komando), tidak dilibatkannya pendidik dalam pembuatan keputusan, sulitnya sekolah untuk berubah, membebankan nilai-nilai seragam dan melempar kesalahan pada orang lain, yaitu Santri/Siswa menyalahkan pendidik, pendidik menyalahkan kepala sekolah, kepala sekolah menyalahkan pengawas, dst. Dan yang menarik semua metode di atas juga dapat diterapkan untuk hubungan antara orang tua dengan Santri/Siswa.

*Tentang Thomas Gordon.

Dikenal luas sebagai pionir dalam kemampuan komunikasi pendidik dan ahli di bidang penggunaan metode-metode resolusi konflik terhadap hubungan sekolah-Santri/ Siswa-pendidik- orangtua, dan juga untuk kepentingan pengembangan pegawai dan organisasi-organisasi kemasyarakatan serta perusahaan. Dr. Gordon juga adalah pendiri dari Gordon Training International, dan telah menerbitkan banyak buku tentang tema-tema di atas, seperti: Group Centered Leadership, ParentsEffectiveness Training (PET), Leader Effectiveness Training (LET), dan Teacher Effectiveness Training (TET) yang telah disarikan di atas.

Referensi :

AHMAD BAEDOWI dkk. INDONESIAN MOSLEM ASSOCIATION IN AMERICA IMAAM - 2002

Disarikan dari buku Thomas Gordon,* Teaching Effectiveness Training (TET)