Jumat, 05 Desember 2008

Kisah sedih Desak Suarti

Rekan-rekan mungkin masih ingat kisah sedih yang dialami Desak Suarti.
Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mendaftarkan hak cipta atas desain tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO. Kisah sedih ini ternyata tidak berhenti sampai di sana. Kasus yang kurang lebih identik juga terjadi pada pengrajin perak Ketut Deni Aryasa. Namun bedanya jika Desak digugat di pengadilan AS oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan raksasa dari New York, Deni Aryasa digugat di Negara sendiri. Ia dituduh melanggar hak cipta milik sebuah perusahaan raksasa asing. Kasus sangat memperihatinkan.
Bali Times bahkan melaporkan adanya intimidasi dan teror yang dialami istri Deni Aryasa yang saat itu tengah hamil 9 bulan. Bahkan di duga, intimidasi tersebut melibatkan unsur birokrasi. Horor ini membuat ratusan pekerja seni di Bali kini resah menyusul diklaimnya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Para pekerja seni menjadi takut untuk berkarya. Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan satu desain pun, "ungkap Anak Agung Anom Pujastawa. Mereka kemudian berjuang dengan berdemonstrasi turun ke jalan.
Beberapa hari yang lalu, muncul sebuah berita gembira. Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, membebaskan Ketut Deni Aryasa dari segala dakwaan. Ia tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran atas hak cipta. Namun tentu saja, perjuangan belum berakhir. Saat ini diduga, ada ribuan artefak budaya Nusantara yang masih dalam persengketaan, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya. Sejauh ini, solusi yang ditawarkan adalah dengan mendaftarkan artefak budaya tradisional ke lembaga HAKI (hak kekayaan intelektual) . Solusi ini tentu saja tidak realistis. Pendaftaran HAKI memerlukan biaya yang cukup mahal. Apakah para pengrajin miskin memiliki kemampuan untuk itu? Terlebih lagi, Indonesia memiliki ragam budaya yang sangat tinggi. Ada jutaan artefak budaya? Dapat kita bayangkan berapa miliar dolar devisa negara yang harus terbuang percuma hanya untuk mendapatkan HAKI. Bukankah anggaran tersebut lebih baik kita gunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, seperti pendidikan gratis, pemberantasan kemiskinan, gizi balita dan lain sebagainya.