Minggu, 17 Mei 2009

Guru yang memimpin bangsa

Kita hanya perlu membaca kembali sejarah Indonesia untuk mengetahui bagaimana peran sosial dan historis para guru dalam proyek besar mencapai kemerdekaan. Para guru di masa pergerakan, terutama mereka yang mengajar di sekolah partikelir, punya peran signifikan.

Banyak cerita yang bisa kita dengar ihwal peran guru-guru sekolah partikelir itu. Dari beberapa tulisan Pramoedya, misalnya, seperti dalam novelet *Bukan Pasar Malam *dan kumpulan cerpen *Cerita dari Blora*, kita tahu bagaimana aktifitas ayahnya di sekolah dasar Boedi Oetomo, tidak hanya dalam mengajar murid-muridnya, tetapi juga dalam organisasi pergerakan.

Pemerintah kolonial akhirnya menyadari watak subversif sekolah partikelir. Pada September 1932, dilansir *Wilden Scholen Ordonantie* (Ordonansi Sekolah Liar) yang melarang beroperasinya sekolah-sekolah yang didirikan tanpa izin. Apa yang dilakukan ayah Pram, bukan kasus unik. Jika kita membaca riwayat hidup para pemimpin di masa awal lahirnya Indonesia, kita akan menyadari betapa banyak di antara mereka yang ternyata seorang guru, setidaknya pernah menjadi guru.

Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung, bahasa Belanda hingga sejarah. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir secara intensif dan teratur jadi guru anak-anak di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal, tapi juga non-formal, seperti pendidikan politik diam-diam, di antaranya dengan mengecat perahu yang dengan warna merah putih dan diajari lagu-lagu perjuangan.

Dari kelompok “kiri”, Semaoen, Alimin hingga Tan Malaka juga punya pengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolah di sebuah kawasan perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru nyaris di semua tempat pelariannya di luar negeri. Momen sebagai guru itu bahkan menjadi metanoia, semacam pencerahan yang tuntas, bagi Tan Malaka. Selama mengajar perkebunan kolonial, Tan Malaka menyaksikan bagaimana orang-orang pribumi yang bekerja di perkebunan itu sungguh-sungguh diperlakukan tak selayaknya manusia. Pemahaman sosial itu menyebabkan Tan Malaka menceburkan diri ke dunia pergerakan dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan lantas ditugaskan mengelola sekolah partai yang lantas masyhur sebagai “Sekolah Tan Malaka”.

Dari militer, Soedirman dan Nasution juga punya pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama kurang lebih 5 tahun menjadi kepala sekolah di sebuah SD Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung PETA. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu pada 1938 dan di Palembang pada 1939-1950 sebelum jadi tentara KNIL.

Daftar pemimpin Indonesia yang menjadi guru bisa sangat panjang jika satu per satu disebutkan di sini, seperti misal Ki Hadjar Dewantara, Ir Djuanda, atau Ratulangie (Daniel Dhakidae pernah menulis dengan memikat kualitas guru dalam diri Ratulangie).

Dengan intelijensi (kognisi) di atas rata-rata dan sikap hidup (afeksi) yang tulus mengabdi pada cita-cita kemerdekaan (yang sering dipantik oleh pengalaman sosial seperti Tan Malaka), tak mengherankan jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dll., dengan mudah bertukar tempat dari seorang guru kemudian jadi pemimpin massa.

Jika dalam ruangan mereka mengajar mata pelajaran berhitung, membaca, dan menulis, di lapangan pergerakan mereka mendidik kesadaran rakyat akan pentingnya kemerdekaan. Dan murid para guru yang telah bersalin menjadi pemimpin itu adalah seantero penduduk Hindia Belanda, dengan ruang kelas sepanjang Sabang-Merauke.

Dengan struktur kesadaran macam itu, tak heran jika di Indonesia istilah *the founding fathers* dengan mudah dipertukarkan begitu saja dengan istilah “guru bangsa”. Jangan heran juga jika Goerge Washington atau Thomas Jefferson di Amerika hanya disebut sebagai *the founding fathers *dan tak pernah disebut “guru bangsa”, karena istilah guru bangsa, sepengetahuan saya, tak tercetak dalam struktur kesadaran bangsa Amerika.