Minggu, 10 Mei 2009

Sandiwara Kebohongan UN

Dunia pendidikan tidak ubahnya seperti panggung sandiwara yang melakonkan kebohongan. Para kepala sekolah pada sibuk mengamankan wajahnya di depan para pejabat yang nebeng untuk memamerkan wajahnya juga di depan pejabat yang di atasnya. Di musim pementasan seperti ini para sutradara yang di kepalai oleh kepala sekolah pada sibuk menyusun skenario yang akan di pentaskan pada pertunjukan UN. Hampir semua sekolah di negeri "antabaranta" ini bisa dipastikan sibuk mengikuti festival pementasan sandiwara yang di beri judul "kebohongan UN".

Dari kerajaan "DEPARTEMEN PENDIDIKAN" telah membuka sayembara barang siapa yang bisa mementaskan naskah yang di bungkus dengan kode kerahasiaan kerajaan akan mendapatkan imbalan dengan nilai kelulusan. Karena nilai itu akan di gunakan untuk mengatahui seberapa "pinter" dan berhasilnya para sutradara (Kepala Sekolah) untuk "pinter” berbohong. Sehingga kelak kerajaan ini mampu di standarkan dengan kerajaan yang ada di benua lain.

Dengan demikian para sutradara sibuk berbenah dengan mendandani para pemainnya dengan dandanan yang menor, ada yang lipstiknya di tebalin sehingga waktu bicara bisa menunjukkan busa-busa yang menjanjikan, ada yang di bedaki sampai menor agar cantik dan ganteng, sehingga bisa menunjukan wajah yang bisa mengkelabui.

Para kepala sekolah yang dianggap tidak becus mementaskan naskah akan mendapatkan panilaian yang jelek oleh kepala dinas, kepala dinas akan mendapat dampratan dari penguasa. Begitu seterusnya sehingga terbentuk anak tangga, dan masing-masing anak tangga mempunyai kepentingan mengamankan wajahnya, kedudukannya, asap dapur, asa mulutnya sampai ke asap mobilnya masing-masing. Apalagi bagi sutradara yang baru saja duduk di kursi empuknya maka maunya dan harus menghitung lagi barapa dia sudah merogoh kantongnya untuk mendapatkan kursi empuknya tadi.

Karena jaman sekarang untuk mendapatkan kursi yang empuk tidak ada yang gratis. (Itu aja berebut dulu mendapatkannya)

Dari narasi di atas merupakan kejadian yang real, nyata yang terjadi hampir di seluruh sekolah di negeri ini. Untuk itu saya mencoba mengetuk hati para sahabat guru yang masih punya idealisme yang lurus untuk ikut memerangi kebohongan di dunia pendidikan, karena generasi yang di ciptakan dari pementasan itu adalah generasi pembohong, generasi pecundang, generasi yang otaknya tidak mau melihat kondisi yang sebenarnya. Generasi yang tidak gentel karena tidak mau mengakui kelemahan diri sendiri.