Minggu, 05 April 2009

Jangan Lupakan Sejarah

Pembelajaran sejarah umumnya merupakan pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa. Kondisi itu timbul akibat faktor internal dan eksternal guru. Faktor internal meliputi kompetensi dan kualifikasi guru. Banyak guru menjalankan proses belajar-mengajar hanya mengandalkan satu buku sumber. Bahkan, ada yang hanya mengandalkan LKS dari suatu penerbit. Akibatnya, guru itu tidak bisa mandiri dalam berimprovisasi dalam menyampaikan materi pembelajaran.

Pada faktor eksternal, kita masih sering menemukan fakta bahwa guru sejarah di suatu sekolah berkualifikasi pendidikan bukan (tidak sesuai) dengan mata pelajaran yang disampaikannya. Misalnya, guru PKn, Bahasa Indonesia, atau Bahasa Inggris. Ini juga mendorong siswa tidak menyukai mata pelajaran sejarah.

Dua faktor tersebut kadang diperparah kebijakan kepala sekolah yang intinya menganggap rendah pelajaran sejarah. Indikasinya, pengurangan alokasi waktu, bahkan penghapusan, mata pelajaran Sejarah Nasional pada semester II. Waktu belajar itu dialokasikan untuk try out demi ujian nasional.

Melihat itu, sejarah sepertinya dianggap mata pelajaran yang terpinggirkan. Guru sejarah mestinya tidak menyerah terhadap semua itu. Guru sejarah harus mampu berbuat sesuatu agar mata pelajaran yang diampunya memikat hati siapa saja, baik siswa, guru mata pelajaran lain, maupun pengambil kebijakan.

Banyak teori dan model pembelajaran yang beredar di lingkungan MGMP atau wadah lain yang menaungi profesi guru. Guru jangan langsung menelan informasi yang ada. Identifikasi dulu model pembelajaran yang ada. Lalu, lakukan seleksi, mana model pembelajaran yang cocok untuk materi dan yang diharapkan. Sebab, tidak ada satu model pembelajaran pun yang cocok untuk semua materi/kompetensi dasar. Guru dituntut terampil memilih model dan menerapkannya.

Pada masa otonomi, dunia pendidikan terkena dampak. Salah satunya, adanya muatan lokal. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan sejak 2006, guru mendapat keleluasaan untuk mengembangkan objek kajian, disesuaikan dengan potensi daerah (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006 :4). Pertanyaannya, kenapa tidak kita manfaatkan keleluasaan itu?

Kalau kita manfaatkan kesempatan itu, bukannya malah menganggapnya sebagai hambatan, tidak akan ada lagi kata terpinggirkan. Sebaliknya, siswa akan bersorak, ''Hore, waktunya sejarah lagi."

Banyak model pembelajaran yang bisa kita lakukan untuk melakukan pembelajaran sejarah, baik indoor maupun outdoor. Penulis mengembangkan model outdoor. Sebab, sesuai BNSP, lingkungan di sekitar tempat tugas penulis banyak menawarkan materi pembelajaran sejarah yang menyenangkan. Maksudnya, banyak situs sejarah berupa candi, jembatan, pabrik gula, monumen, makam pahlawan, bendungan, dan lain-lain.

Situs-situs tersebut kita identifikasi, mana yang bisa dijadikan alat peraga suatu kompetensi dasar. Persoalannya tinggal mau atau tidak kita memanfaatkan situs-situs tersebut.

Kalau mau, risikonya capek. Sebab, kita harus membina sekian banyak anak untuk belajar sejarah di luar kelas dengan melakukan lawatan sejarah (laser). Kalau kita takut capek, bisa jadi kita sendiri yang membuat mata pelajaran kita terpinggirkan. Kalau selama ini banyak orang tersenyum karena diberi uang, mengapa guru sejarah tidak mampu membuat anak didiknya tersenyum dan tertawa karena kita berkorban dengan tenaga?

Metode lawatan sejarah dengan sepeda pancal terbukti amat menyenangkan. Selain sehat, ketika kita dan anak didik sampai di lokasi situs-situs sejarah, kemudian belajar dan guru bertanya dengan model studi kasus, siswa ramai-ramai berdiskusi. Setelah selesai di satu situs sejarah, laser dilanjutkan ke situs lainnya. Minggu berikutnya, masing-masing kelompok mempresentasikan karyanya di kelas dan dinilai guru. Karena lawatan sejarah memakan waktu lama, pelaksanaannya bisa dipilih pada hari libur. (soe)

Sumber:
http://www.klubguru.com/view.php?subaction=showfull&id=1236558454&archive=&start_from= &ucat=2&