Minggu, 12 April 2009

"Air Mata Ibu"


Hari ini genap 58 tahun usia Ibuku. Usia yang sudah tidak muda lagi. Dari kerutan di wajahnya terlihat kerasnya perjuangan hidup yang dialaminya. Hari-hari yang dilaluinya selalu dihiasi dengan indahnya perjuangan dan doa. Hal ini telah kubuktikan, bahkan sejak pertama kali ku menatap dunia.

Sekitar 28 tahun yang lalu, saat pertama kalinya ku menatap dunia, ada skenario indah yang digariskan Allah untuk ku. Ada segumpal daging yang Allah titipkan di dadaku. Segumpal daging yang cukup besar bagi sesosok bayi kecil yang belum mengerti apa-apa. Disinilah awal kurasakan perjuangan Ibuku. Menunggui anaknya di ruang operasi walaupun luka pasca kelahiran belum benar-benar mengering. Melupakan semua lelah dan penat di rumah sakit, hanya untuk memastikan bahwa bayi yang baru saja dilahirkannya selamat dan dapat hidup dengan normal. Tidak cukup sampai disitu, perjalanan hidup yang dijalaninya bukanlah perjuangan yang mudah untuk dilakukan. Mengurus lima orang anak sering membuatnya menjadi seperti itu, karena setiap anak punya cerita tersendiri akan riwayat kesehatannya. Masih jelas dalam ingatanku, beberapa kali Ibuku harus berurusan dengan rumah sakit.

Saat ini, di usianya yang sudah tidak muda lagi, masih segudang masalah yang sering kubebankan padanya. Masalah-masalah yang sudah seharusnya tidak menjadi beban pikirannya lagi. Hari ini, kulihat air mata ibuku menetes lagi. Bukan karena kesedihan yang begitu mendalam, tapi keharuan yang teramat sangat. Keharuan akan kerinduan yang mendalam pada anak-anaknya. Keharuan akan hasil perjuangannya dahulu. Keharuan akan kebahagiaan saat anak-anaknya berkumpul di hari bahagianya. Sudah lama tidak kulihat air mata itu, terakhir kulihat saat kuucapkan permohonan maaf ku dalam rangkaian acara “sungkeman” sebelum akad nikah ku berlangsung kira-kira tiga tahun yang lalu.

Hari ini kurenungi lagi perjalanan hidupku, belum banyak yang bisa kuberikan untuk membahagiakan ibuku. Masih banyak ku berkutat pada permasalahan rumah tanggaku sendiri yang cukup banyak menyita waktu. Sampai suatu saat ku utarakan kegundahanku akan kontribusi yang sangat minim dariku untuk membahagiakannya. Namun jawabnya dengan penuh bijak, “Nak, orangtua itu menyayangi anaknya tanpa mengharapkan pamrih sedikitpun, tidak ada harapan atau keinginan untuk mendapatkan balasan apapun dari anak-anaknya. Apa yang diberikan orangtua itu hanyalah wujud kasih sayang yang tulus untuk anak-anaknya, sebesar apa kasih sayang orang tua, akan terlihat dari perjuangan orangtua dalam membesarkan anak-anaknya. Membalas jasa orang tua tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh seorang anak. Yang paling mungkin kamu lakukan adalah membalas jasa orangtua dengan cara melakukan hal yang sama atau bahkan lebih baik kepada anak-anakmu. Didik dan perlakukan anak-anakmu dengan baik jauh lebih baik dari apa yang kamu terima dulu. Melihat anak-anakmu tumbuh cerdas dan berakhlak baik adalah balasan terbaik buat Ibu”.

Ahh.. Ibuku.. Kau tetap bijaksana, sama seperti yang kukenal sejak masa kecilku dulu.
Ya Allah berikanlah Ibuku umur yang barokah, dalam cinta Mu dan limpahan ridho Mu. Berikanlah senantiasa kebahagiaan dalam setiap detik perjuangan nya”.
“Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayanii soghiiro…”

Catur Suryopriyanto
www.sahabatsuryo.blogspot.com