Minggu, 19 April 2009

Jadilah negarawan Jangan Politisi


Apabila Anda tetap ingin terjun ke dunia politik dan meraih kebahagiaan, jadilah negarawan. Demikian pesan-penting Arvan Pradiansyah dalam buku terbarunya, Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!. Meskipun buku Arvan ini tipis—hanya memiliki tebal 154 halaman—buku ini bagaikan kapsul: kecil, tapi menyimpan khasiat luar biasa. Apalagi jika Anda ingin mencari pegangan ketika ingin memilih wakil Anda di DPR pada pemilu April nanti. Saya jamin, buku ini akan mencerahkan Anda dalam menentukan pilihan Anda nanti.

Arvan secara cerdas memberikan semacam penyaring untuk menentukan kandidat yang, setidaknya, dapat diprediksi baik. Penyaring ala Arvan ini dipijakkan pada pendapat William C. Byham, pakar manajemen SDM dari Pittsburgh University: “Past behavior predict future behavior.” Merujuk ke sini, Arvan mengatakan bahwa kita cukup mempelajari “track record” dan perilaku masa lalu para kandidat itu.

Menentukan siapa wakil kita di DPR sangat penting karena di tangan merekalah masa depan negara kita itu akan ditentukan. Kita sudah tahu betapa banyak wakil kita di DPR yang lebih mementingkan partainya ketimbang rakyat (para pemilih) yang diwakilinya. Jadi, jangan sampai kita memilih politisi (lebih-lebih jika politisi itu “busuk” lagi). Kita harus dapat memilih seorang negarawan yang benar-benar memperjuangkan masa depan negara kita, bukan memperjuangkan partainya.

“Jadi, kalau kita ingin meramalkan perilaku seseorang di masa depan, kita cukup mempelajari perilakunya di masa lalu,” tegas Arvan. Yang dimaksud dengan perilaku di sini adalah apa yang dikatakan dan dilakukan (what was said and what was done) oleh si tokoh. Dan menurut Byham, ada tiga factor yang perlu dipertimbangkan dalam menilai past behavior: kebaruan (recency), kesamaan (similarity), dan dampak (impact). Silakan nanti Anda baca sendiri di buku Arvan ya soal ini.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana memilih seorang negarawan? Gunakan rumus para pencari berita, 5W1H (who, what, when, where, why, dan how), ujar Arvan. Para politisi biasanya mengabaikan “why” dan “where”. Nah, negarawan sangat menekankan dua unsur yang diabaikan oleh para politisi. “Karena itu, kalau politisi senantiasa menyibukkan dirinya dengan 3W1H, seorang negarawan menanyakan pertanyaan yang berbeda. Hanya dua hal yang penting bagi negarawan, yaitu WHY dan WHERE (2W),” tulis Arvan. Kok bisa?

Lagi-lagi, Arvan menggunakan alat-alat bantu yang sangat teruji untuk menjelaskan hal itu. Pertama, dia menyebut bahwa seorang pemimpin yang baik akan melakukan pertanyaan WHY secara terus menerus. Ini seperti sebuah alat (tool) dalam manajemen yang disebut “Why5Times”. Untuk menemukan akar dari segala masalah, kita harus menanyakan “mengapa” sebanyak lima kali dan jawaban atas pertanyaan “mengapa” yang kelima itulah biasanya jawaban kita yang sesungguhnya.

Kedua, Arvan merujuk ke penelitian Gay Hendricks dan Kate Ludeman, yang menulis buku bagus, The Corporate Mystic. Seorang pemimpin kata Hendricks dan Ludeman, senantiasa melakukan pemurnian niat. Tanpa niat yang benar, sebuah perusahaan hanya akan berkubang dalam kesulitan. WHY akan membantu seorang negarawan dalam menetapkan niatnya: untuk diri sendiri dan partainya atau benar-benar untuk rakyat dan negaranya?

Terkait dengan WHERE, menurut Arvan, ini menyangkut visi: Ke mana kita akan menuju? Ke arah mana kita akan berjalan bersama untuk mencapai apa yang kita cita-citakan? Visi menjelaskan doing the right things (melakukan hal yang benar) bukannya sekadar doing things right (melakukan dengan benar). Seorang negarawan adalah orang yang senantiasa melakukan hal yang benar bukan sekadar melakukan sesuatu dengan benar.

“Dua W adalah pertanyaan terpenting dari setiap manusia.” tutup Arvan. “Hanya pertanyaan 2W (‘why’ dan ‘where’)-lah yang akan membawa kita menuju tataran spiritual. Tanpa pertanyaan itu, kita akan kehilangan hakikat kemanusiaan kita sebagai makhluk spiritual. Mengabaikan kedua pertanyaan tersebut akan menurunkan derajat kita ke tingkat hewan, bahkan lebih rendah daripada itu.”

Saya tiba-tiba teringat kata-kata bagus Aristoteles, “Manusia adalah hewan yang berpolitik.”

Salam
Hernowo