Minggu, 08 Februari 2009

Refleksi 1 Muharam 1430 H


Memisahkan Yang Beradab dan Jahiliah ?
Oleh A. Mustofa Bisri
Penanggalan Islam bermula dari ide Amirulmukminin Umar Ibn Khatthab r.a.( 586-644 M). Ide itu muncul setelah sahabat Umar mendapat surat dari Abu Musa 'Asy'ari r.a. Gubernur di Kufah itu menyatakan bahwa dirinya telah menerima beberapa surat yang tidak bertanggal. Amirul mukminin pun, seperti kebiasaannya, mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat -seperti sayidina Utsman Ibn 'Affan dan sayidina Ali Ibn Abi Thalib- untuk diajak bermusyawarah mengenai idenya tentang penanggalan Islam itu. Dalam musyawarah muncul bermacam-macam pendapat mengenai hari bersejarah apa yang akan dijadikan patokan bagi penanggalan Islam. Ada yang berpendapat sebaiknya tarikh Islam dimulai dari tahun lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tetapi, ada yang sebaliknya, mengusulkan dimulai dari wafatnya; ada yang berpendapat sebaiknya dimulai dari saat Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul. Juga ada yang berpendapat sebaiknya dimulai dari saat Rasulullah SAW diisramikrajkan serta ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari tahun Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Akhirnya, usul yang terakhir itu yang menjadi keputusan. Dibandingkan dengan tonggak-tonggak sejarah dalam Islam yang lain, hijrah ke Madinah memang merupakan yang paling bermakna. Hijrah merupakan tonggak pemisah antara kondisi jahiliah di Makkah dan kondisi peradaban Islam di Madinah. Tonggak pemisah antara kekufuran dan iman; kemusyrikan dan ketauhidan. Atau, menurut istilah sayidina Umar r.a., merupakan pemisah antara yang haq dan yang batil. Semangat hijrah dari satu kondisi ke kondisi yang lain, terutama dari yang buruk ke yang baik, diharapkan terus menyala di dada umat Muhammad SAW. Sebab, setiap tahun baru mereka diingatkan kembali kepada peristiwa bersejarah yang penuh makna itu. Bukan hanya perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah. Meskipun itu saja sudah memerlukan pengorbanan yang besar. Diharapkan lebih dari itu, orang bisa teringat betapa kebodohan dan keangkuhan jahiliah ditinggalkan muslim-muslim teladan di bawah pimpinan sang pemimpin teladan Nabi Muhammad SAW menuju peradaban dan keluhuran akhlak.
Perselisihan digantikan oleh persatuan.
Permusuhan digantikan oleh persaudaraan.
Kesombongan digantikan oleh kerendahan hati.
Fanatisme buta digantikan oleh tawassuth wal I'tidaal.
Merasa pintar dan benar sendiri digantikan oleh ketawadukan
dan kesediaan menghargai pihak lain.
Bila hijrah secara fisik sudah tidak ada,
kita masih bisa mengambil hikmah dari maknanya yang agung itu.
Di tahun baru Hijriah ini kita, misalnya, bisa kembali menghadirkan tokoh-tokoh Muhajirin dan Ansor yang begitu mulia budi pekertinya untuk kita teladani. Mereka tak henti-hentinya menebar kasih sayang ke mana-mana, terutama dengan amar makruf nahi mungkar. Mereka tidak saling membenci dan saling menghina. Mereka yang memiliki kelebihan justru bersikap tawaduk kepada sesama. Dan, yang memiliki kelebihan ilmu, misalnya, tidak menjadi pongah dan merendahkan orang lain. Yang memiliki harta tidak menjadi congkak dan bakhil terhadap sesama. Semua meniru belaka pemimpin agung mereka, Nabi Muhammad SAW, Nabi Kasih Sayang yang memiliki kelebihan tak ada bandingannya, namun selalu bersikap tawaduk dan rendah hati.
Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk melakukan hijrah dari kondisi jahiliah yang tengik menuju kondisi peradaban yang beradab. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk menundukkan ego kita sendiri yang degil dan melawan setan yang terkutuk, serta memudahkan kita mendapatkan keridaan-Nya. Amin. ?Selamat Tahun Baru! Selamat ''Berhijrah'.
KH A. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Tabilin, Rembang