Minggu, 08 Februari 2009

Ketti Meong-ku Chayang…


SEKOLAH KUCING
(Kucing, Siti, Joko, dan Kamto)
“Allimuu aulaadakum ‘alaa qodri ‘uquulihim”

Hampir setiap hari, dari pagi sampai sore hujan tak kunjung reda -memang sedang musimnya. Tapi banyak orang mengatakan salah satu musim (salah mangsa), pertanda bahwa metabolisme kehidupan ini sedang amburadul. Di rumah masing-masing: Siti, Joko, dan Kamto selain hari minggu, hari itu mereka memang sedang malas keluar rumah, dan memilih menghabiskan liburannya di rumah. Ketika senja tiba, Siti, Joko, dan Kamto masing-masing menemukan seekor kucing yang tengah berteduh di teras rumah dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Melihat keadaan kucing yang memelas itu Siti, Joko, dan Kamto tergerak hatinya untuk menolong kucing tersebut dengan mempersilahkan kucing itu masuk ke dalam rumah.

Apa yang dilakukan Siti, Joko, dan Kamto terhadap kucing tersebut?

Siti, tidak hanya sekedar menolong kucing dari kedinginan, dia juga tergerak hatinya untuk memelihara sekaligus mendidiknya. Karena Siti tidak mau maksud baiknya terhadap si kucing itu kelak di kemudian hari justru malah merugikan, contohnya; Siti tidak mau kucing itu kencing dan berak di sembarang tempat, dia juga tidak suka kalau kucing itu kelak makan apa saja sesuka hati di rumahnya –Siti juga paling benci dengan bau-bau badan disebabkan apa tidak pernah mandi. Yang jelas Siti itu tipe orang yang sangat perfect, orang yang telah terbiasa tertib, teratur, dan orang yang selalu menjaga martabat, harga diri dan sopan santun. Atas dasar latar belakang itu Siti memulai mendidik kucing di rumahnya. Pertama-tama yang dia lakukan yakni memberi nama si kucing itu, dia paling tidak suka dengan hal-hal yang berbau anonym, segala sesuatu yang dia temui, pertama-tama yang ia cari, yang ia lihat adalah merk, label, cap dan sejenisnya. Hari itu Siti sibuk membuka kamus, catatan, bahkan dia ingat nama-nama dari novel yang pernah ia baca, maka si kucing mendapat hadiah nama yaitu ketti.

Ketti dilatih untuk kencing dan berak di tempat yang telah disediakan. Perlahan-lahan ketti diajarkan tata tertib, Ketti juga diberi pelajaran tentang hak dan kewajiban misalnya ketti tidak boleh makan kecuali makan makanan yang telah disediakan. Di bidang sopan santun, ketti sama sekali tidak diperkenankan lari-lari di dalam rumah, apalagi lompat lewat jendela. Proses latihan dengan aturan yang ketat dan diberlakukannya sangsi yang berat apabila melanggarnya, walhasil si ketti jadilah kucing yang berbudaya, patuh, sopan, dan penurut tidak sebagaimana kucing-kucing yang lainnya.

Joko, tidak sebaik dan serinci Siti dalam melatih kucingnya. Joko punya keyakinan bahwa kucingpun kalau dididik akan bisa berguna untuk kepentingan dirinya. Joko mendorong motivasi kucingnya agar rajin menjaga rumahnya dari tikus-tikus. Si kucing akan mendapat hadiah dari Joko apabila dia telah berhasil menangkap tikus. Bila si kucing tidak melakukan tugasnya jangan harap akan mendapat hadiah, apabila berani mengambil makanan di meja makan tanpa seijin joko -si kucing akan mendapat ganjaran setimpal dari Joko; berupa cambukan sampai kucing merengek-merengek minta ampun.

Lain Joko, lain Siti. Kamto berfikir tenaang si kucing justru sebaliknya, sebaiknya kucing dibiarkan sebagaimana kucing seutuhnya –maka dilepaslah kucing itu dari rumahnya. Setelah hujan reda, dipersilahkan kucing itu pergi dari rumahnya.

Analisa:
Jika anda berposisi sebagai kucing tersebut, anda akan memilih menjadi kucing yang mana? Mengapa?
Diantara ketiga cara mendidik kucing tersebut manakah pendidik yang memperlakukan kucing sebagaimana kucing?

Coba anda ingat kembali model pendidikan yang pernah anda terima! Jika kucing diposisikan sebagai siswa dan ketiga tokoh tersebut adalah guru, pernahkah anda menerima model pendidikan yang demikian? Lebih cenderunga yanag mana?

“Aku tak kuasa menyaksikan pembodohan yang mengatasnamakan pendidikan”
(Paulo Freire)