Rabu, 07 Januari 2009

Polisi Tidur

Saat membaca judul tulisan ini, aku yakin teman-teman yang tinggal di ibukota semacam Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya pasti sudah terbayang sebuah gundukan yang menghalangi laju motor dan mobilnya. Jika gundukan itu tinggi, tak pelak mobil dan motornya yang disetel rendah pasti sasis bawah akan terantuk.
Di Tahun 1960 dan 1970an, gundukan yang menghambat laju kendaraan itu hanya bisa kita temui di kompleks militer atau polisi. Gunanya mungkin untuk mencegah paksa kendaraan agar tidak ugal ugalan. Meskipun aneh, karena siapa yang berani bergajulan berkendaraan di kompleks militer yang bertuliskan marka "kompleks militer, maks 40 Km". Warkop dulu suka memplesetkan "angin saja takut berhembus kencang di sana". Waktu berlalu dengan cepat, di Tahun 2008 ini, dimana mana mudah kita temui gundukan yang sudah punya nama menjadi "Polisi Tidur" itu. Entah siapa yang menciptakan nama yang menjelekkan citra Polisi kita itu. Mungkin, karena gundukan itu bertugas menghalangi laju kendaraan seperti polisi, maka dianggap saja gundukan itu "polisi sedang tidur" Di Depok dan banyak daerah lain bertebaran "Polisi Tidur", dan celakanya sudah merambah ke jalan utama yang sudah seharusnya dilarang ada halangan seperti itu, tetapi warga sekitar jalan itulah yang memasangnya.
Kupikir, mungkin warga tidak percaya, jika hanya memasang marka "hati-hati banyak anak kecil" atau "hati-hati banyak anak sekolah" atau sejenisnya akan dipatuhi oleh pengendara mobil, terutama motor pribadi atau sewaan (ojek), sehingga mereka memaksa pengendara pelan pelan dengan cara lain. Fenomena polisi tidur adalah fenomena perilaku determinstik yang hitam putih namun terpendam. Bayangkan, bujukan untuk berkendaraan dengan hati-hati dan pelahan dalam marka jalan, tidak lagi dipercaya efektif, artinya caranya harus dipaksa, ya dengan gundukan tadi.
Polisi tidur merupakan indikasi masyarakat yang masih harus dipaksa, artinya masyarakat yang belum punya adab tinggi, karena masih belum mampu (atau mau) berfikir jauh, akibat dari sikap ugal ugalan tadi. Kesadaran atas akibat itu belum tumbuh dari dalam, masih memerlukan paksaan. Polisi tidur itu indikasi masyarakat yang senang dengan pendekatan militeristik yang cenderung hitam putih dan pemaksa serta enggan berfikir jauh, Leo Tolstoy mengejek sebagai sebuah dosa besar jika prajurit harus berfikir.
Namun, itulah cermin masyarakat kita, terutama yang urban, jika kepatuhan luntur, maka pendekatan pemaksa yang dilakukan. Pernahkan kita hanya mendapatkan teguran dari Polisi ketika melakukan kesalahan, padahal baru sekali dan tentu tidak disengaja? Tetapi, siapa tau "Polisi Tidur" itu sebuah kearifan lokal masyarakat dalam mendidik korps Polisinya dan pernahkah kita bayangkan bagaimana perasaan pak Polisi, terutama yang mau berfikir, ketika mendendarai motor rendah dan melindas saudaranya yang sedang tidur itu? Mungkin dia bergumam "Betul juga, tidur aja ngrepotin, apalagi ketika bangun".
Bravo pak Polisi, saya selalu simpati kepada anda ketika sedang berdiri mengatur lalin yang sedang padat apalagi sambil tersenyum sabar.
By: Nanang