Rabu, 07 Januari 2009

Harapan dan Rezki


Dari dulu, tak terpikir untuk menjadi guru. Terus terang, kurasa ilmu akademikku tak mumpuni. Ditambah faktor krisis percaya diri yang kerap muncul, buat aku sering minder bila harus bicara di depan banyak orang dari dulu.

Aktif di kegiatan organisasi saat kuliah membuatku mulai bisa berbicara di depan umum (setidaknya di depan kelas). Namun tetap tak terpikir untuk menjadi guru, apalagi jurusanku bukan pendidikan. Saat menjelang wisuda, ada keinginan muncul untuk belajar di program Akta Mengajar IV, program keahlian untuk ambil SIM (Surat Izin Mengajar) ujar seorang koordinator liputan di harian berpengaruh di kota Padang padaku ketika aku mengajukan lamaran menjadi wartawan.

Hingga akhir ikuti program tersebut, masih tak ada keinginan untuk menjadi guru. Aku malah ingin bangun sekolah dan memanajemeninya, itulah alasan (baca: keinginan) kenapa terus bertahan belajar tentang dunia ajar mengajar selama 1 tahun plus kuliah praktek mengajar 3 bulan. Meskipun, salah seorang staff redaksi senior Republika pernah pula celetuk saat aku interview untuk jadi wartawan di Republika; “Kamu itu jadi guru saja, ga usah jadi wartawan” kenapa? “Dari gaya kamu bicara dan menjelaskan, lebih cocoknya menjadi guru.” tetap saja aku tak terlintas untuk masuk kelas dan mengajar.

Pengalaman pertama mengajar datang saat aku ditawari menjadi instruktur/dosen bahasa Inggris di sebuah lembaga pendidikan, setingkat diploma dua. Aku jalani profesi tersebut selama lebih kurang 3 bulan. Awalnya susah banget, berdamai dengan hati yang tak rela dan krisis percaya diri yang sering menghantam. Apalagi ketika seseorang ngomong bahwa setelah ia melihatku beberapa kali, dia menyimpulkan aku lebih baik bekerja dengan benda mati saja. Mungkin kesimpulan tersebut diambil karena melihat sifat introvertku. Tiga bulan bertahan, aku milih mengundurkan diri. Bukan karena terpengaruh kata-kata orang tersebut atau karena menyerah kalah pada kekurangan-kekurangan yang aku rasa (toh…aku yakin itu bisa diubah sedikit demi sedikit), tapi lebih karena permasalahan dengan attitude dan suasana kerja. Beberapa lama setelah berhenti dari profesi tersebut, ternyata buat aku kadang merindukan suasana kelas lagi….

Kemaren, pagi, sebuah sms datang isinya ucapan selamat. Dari tetangga sebelah, orang tua langsung pergi ke tempat si pengirim sms. Pulang, beliau langsung mengabarkan aku lulus cpns dan diterima menjadi seorang GURU SMP untuk bidang studi bahasa Inggris. Di samping bersyukur, tak bisa aku pungkiri aku gamang dengan hal itu.

“Tak akan dicabut nyawa seseorang sebelum sempurna rezkinya, dan tak akan dicabut nyawa seseorang sebelum sempurna umurnya,” ucap seorang sahabat, “Mungkin memang telah rezki abang di sana,” ujarnya lagi dari Batam via hp. Rezki dan tanggung jawab tentunya…

NB: Pada Bapak/Ibu guru dan senior-senior sekalian, serta semua…mohon bimbingan dan dukungannya untuk saya. Okee

Salam dari teman seperjuangan mengajar,
Rifki