Senin, 20 Oktober 2008

Grace is Gone

Renungan buat Suami
Ditulis pada September 16, 2008 oleh rezaervani
Oleh : Reza Ervani

Tulisan ini penulis buat sebagai kontemplasi protes atas sebuah joke tentang “peran seorang Istri” di mailing list perempuan.
Di antara berbagai film yang penulis tonton bersama istri tercinta, kami menemukan sebuah film luar biasa berjudul “Grace is Gone”. Sebuah Film yang diangkat dari kisah nyata, diperankan oleh John Cusack, Emily Churchill dan Rebecca Spence. John Cussack berperan sebagai Stanley Philips, seorang suami dari Grace - seorang istri yang berprofesi sebagai seorang tentara. Pernikahan mereka melahirkan dua orang putri, Heidi, 12 tahun, and Dawn, 8 tahun.
Suatu ketika berita mengejutkan datang ke kediaman mereka. Grace gugur di Iraq, tempat dia ditugaskan. Stanley shock, tapi dia berusaha mengendalikan diri dan mencari cara terbaik untuk mengatakan kepada dua orang putrinya bahwa ibu mereka tidak akan pernah pulang kembali. Lalu cerita diisi dengan upaya Stanley mengkondisikan kedua orang putrinya, membuat mereka bergembira dengan memenuhi segala yang mereka inginkan, termasuk mengajak mereka melakukan perjalanan menuju sebuah taman hiburan.
Di sisi lain, Stanley juga harus berjuang meredam kerinduannya sendiri pada sang istri, yang ia lampiaskan dengan menelepon ke rumah untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada sang istri, dan berharap telepon diangkat untuk sebuah keajaiban. Saya pribadi menitikkan air mata terharu ketika adegan ini berlangsung. Adegan ditutup dengan episode yang mengharukan di tepi pantai, saat Stanley akhirnya mengatakan kejadian sebenarnya kepada kedua putri mereka.
*****
Cinta …
Itulah yang penulis rasakan dalam alur cerita ini.
Ada sisi yang hilang dari sisi seorang suami ketika belahan jiwanya pergi.
Hal yang sama penulis rasakan ketika seorang teman bercerita betapa ia merindukan istrinya yang meninggal saat melahirkan anak mereka yang pertama.
Bagi penulis, pernikahan bukanlah sebuah formalitas. Dia adalah muara cinta dua orang hamba.
Ketika beranjak ke tempat tidur selepas tengah malam, usai menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, penulis sering mendapati istri penulis tertidur lelap.
Sejenak penulis duduk di tepi tempat tidur, menatap wajahnya, menyentuh pipinya, dan terkadang mengecup lembut keningnya. Bukan tanpa alasan …
Karena wajah itulah yang ada di saat-saat berat,
Wajah itulah yang hadir saat kesetiaan makhluk lain goyah
Wajah itulah yang menguatkan hati kala ragu menyergap untuk terus melangkah
Lalu, masih adakah alasan bagi kita untuk kemudian menganggap bahwa “jabatan” istri hanyalah formalitas yang pantas dilecehkan lewat guyonan-guyonan tidak sopan ?!
Dimana rasa terima kasih kita pada wanita mulia itu ?
Seharusnya yang tersisa di benak dada kita hanyalah satu, yaitu mencari cara terbaik untuk bisa mencintai anugerah itu dengan sempurna …
Diarsipkan di bawah: Fenomena Kemasyarakatan, Pemikiran yang berkaitan: , , ,