Selasa, 02 Maret 2010

LIterasi 1/2 Mati

(sebuah intermezzo)

"Dengan informasi di atas, saya sih tidak terlalu heran kalau kasus-kasus akan bermunculan semakin banyak. Literasi jaman sekarang, sudah tidak bisa lagi berkutat seputar membaca teks, tetapi juga bagaimana mengelola informasi itu menjadi sesuatu yang berguna. Dan itu semua, hanya bisa berjalan kalau kita tahu tata-kramanya.

"Karenanya, media literacy, atau melek media sudah sepantasnya jadi perhatian kita. Jangan sampai diperdaya informasi, berdayalah dengan informasi!"

Salam,
Literasi pada zaman sekarang memang tidak hanya sebatas membaca teks--saya sangat setuju. Namun, sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh artikel ini di tempat lain, membaca teks sendiri--di Indonesia--juga belum selesai alias punya problem sendiri.

Pertama, membaca teks mendapat tantangan hebat berupa "melihat" informasi alias menonton pelbagai tayangan di televisi, dll. Menonton tentu tidak salah. Tapi, menonton jelas sangat berbeda dengan membaca teks. Jim Trelease, dalam Read-Aloud Handbook, membedakan secara sangat signifikan antara menonton (melihat dan mendengar) dengan membaca teks. Karena menonton lebih mudah ketimbang membaca teks, porsi menonton akhirnya menenggelamkan membaca teks.

Kedua, di Indonesia kegiatan membaca yang diajarkan di sekolah, dugaan saya, lebih menekankan pada "speed reading" ketimbang "deep reading". Membaca jenis pertama memang lebih mudah diajarkan ketimbang yang kedua. Namun, sayangnya, budaya timur belum mendukung kegiatan membaca cepat. Akhirnya, yang dikejar adalah kuantitas membaca, bukan kualitas membaca. Anak didik bisa cepat membaca, tapi yang dibaca belum tentu dipahaminya secara mendalam dan berdampak pada pengembangan pikiran. Saya khawatir saja, pengajaran "speed reading' di sekolah ini dapat membunuh keinginan untuk menikmati sebuah bacaan--membaca dengan nyaman dan menyenangkan.

Ketiga, internet jelas sangat bermanfaat-- tak ada yang tidak dapat memetik manfaat darinya. Hanya, menurut Nicholas Carr, internet membuat sebagian penggunanya melakukan kegiatan membaca secara loncat sana dan loncat sini. Dan ini sangat berlawanan juga dengan "deep reading". Efeknya sudah sangat jelas, kegiatan membaca yang meloncat-loncat itu membuat pikiran tidak dapat fokus dan bertafakaur (merenungkan sesuatu yang bermakna). Efek berikutnya, dari kegiatan membaca yang tak fokus itu membuat kegiatan menulis menjadi mandul alias tidak menunjukkan sebuah pemikiran yang solid dan berpijak.

Semoga ketiga hal itu tidak berlangsung lama dan banyak orang--terutama para guru--menyadarinya. Sebab hanya dengan "deep reading" dan merumuskan secara tertulis hasil "deep reading"-lah banjir informasi kemudian dapat dikendalikan dan dimanfaatkan. Melek informasi akan menjadi tanggung dan tak menghasilkan apa-apa jika "deep reading" dan kegiatan menulis menghilang dari kegiatan belajar.

Salam,
Hernowo