Senin, 26 September 2011

Sepatu Guru & Sepatu Hakim

Jika adil, guru disembah. Jika lalim, guru disanggah. Kalimat tersebut saya ”gubah” dari ungkapan Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Kalimat bijak itu merupakan ungkapan lama di khazanah budaya Indonesia.

Di situ ada nilai demokratis. Namun, poin tersebut tidak tecermin lagi dalam contempt of court (meminjam istilah Karni Ilyas dalam goresannya di Tempo, 7 Nov 1987) di negara kita. Beda halnya dengan contempt of court di negara Barat, yang khusus menganut hukum Anglo Saxon.

Di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara persemakmuran, ada asumsi kuat bahwa tidak akan ada hakim yang tidak adil. Alias: tak ada ungkapan hakim lalim hakim disanggah. Sebab, jabatan hakim sangat mulia. Hakim merupakan orang pilihan.

Selain dituntut memiliki pengetahuan luas –melebihi keterampilan penegak hukum lainnya, hakim punya integritas yang tak tercela. Ia tidak saja mesti bebas dari kekuasaan lain, tapi juga tidak boleh tergoda oleh uang, wanita, bahkan ancaman sekalipun.

Hakim terkadang dilukiskan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Ia diharapkan menjadi ultimum remedium (senjata pemungkas) yang siap membabat semua yang ketidakberesan di bidang lain. Ibaratnya, semua bagian di masyarakat bisa kotor dan bobrok, tapi lembaga peradilan harus bersih sih sih.

Karena itu, ada ungkapan di sana: kalau orang melecehkan jabatan hakim, sang hakim bakal berucap, ”Seandainya Anda berdiri di sepatu saya.” Artinya kira-kira begini: Begitu beratnya beban seorang hakim.

Saya bisa membayangkan betapa tenteramnya jika menemui kekhusyukan dalam ruang sidang, bukan caci-maki sebagaimana lazimnya terjadi di sini. Bahkan, wasit yang juga disebut hakim di lapangan hijau kerap mendapatkan perlakuan manusiawi jika keputusannya dianggap merugikan satu pihak.

Dia bisa dipukuli dan dikeroyok beramai-ramai secara brutal oleh pemain dan ofisial ”kampungan”. Jika beruntung, si wasit paling dikata-katai seperti anjing, bangsat, matamu suwek, jancuk, PKI, nggateli, dan aneka menu kata haram jadah lainnya. Waks!

***

Istri saya saban hari rajin bertanya kepada saya. Terutama, menanyakan hal-hal yang berbau kebahasaan dan seputar dunia menulis. Saya menjawabnya dengan senang hati dan kebetulan tahu jawabannya. Kalau nggak tahu, ya nggak saya jawab. Tak bisa menjawab toh tidak akan menurunkan gengsi saya. Eh, lagi pula buat apa menyimpan gengsi?

Saya lantas berbagi cerita kepadanya soal curhat teman guru. Ia mengeluh karena murid-muridnya sering bertanya. Saya bingung. ”Bukankah guru seharusnya malah senang karena murid sering bertanya?” tanya saya kepada rekan tersebut.

”Iya sih, tapi kalo sering-sering, ya pusing aku. Sedikit-sedikit nanya. Sedikit-sedikit nanya. Gimana coba, apa nggak pusing?” kelitnya. Aneh, pikir saya. Tapi, saya enggan menyanggahnya. Mungkin ia sedang memiliki sedikit problem yang terbawa sampai ruang kelas.

Sebelum mengakhiri perbincangan, saya teringat ungkapan sepatu hakim. ”Seandainya kamu berdiri di sepatu guru,” ucap saya kepadanya. Sudah pasti dia bakal berkilah bahwa dirinya kan guru, kenapa disuruh berandai-andai berdiri di sepatu guru? Kami berpisah.

Saya lantas menatap mata Ibu Eko Prasetyo, istri saya. Menanyakan kepadanya tentang hikmah yang bisa dia ambil dari cerita tadi.

Dia menggelengkan kepala. Saya tersenyum kecut, berusaha memahami alasan ketidaktahuannya.

”Beban seorang guru itu berat, sangat berat. Sama dengan beban seorang hakim, orang yang kadang dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi.”

”Iya, karena guru bertanggung jawab pada murid dan institusinya,” sahutnya pendek.

”Benar. Tapi, lebih dari itu, guru tidak hanya dituntut bisa mencari solusi bagi para anak didiknya. Ia sosok yang sempurna. Ia juga diharapkan dapat memilah, menyelesaikan, dan menuntaskan masalah dengan baik. Karena tuntutan kesempurnaan itu, guru mesti berupaya keras berlaku adil pada anak didiknya, koleganya, orang lain, dan yang paling penting adalah bersikap adil terhadap dirinya sendiri,” tegas saya. Ia mengernyitkan dahi, sedemikiankah sempurna sosok guru?

Pertanyaan itu tak lekas saya jawab, biar ia cari tahu sendiri. Manakala istri saya setengah memaksa jawab dari bibir saya, hanya kalimat pendek yang ia dapatkan. ”Jadilah guru,” tegas saya sambil melucuti seluruh pakaian saya.

Salam
Eko Prasetyo

Tidak ada komentar: