Kamis, 08 September 2011

Mari Meniru SBY

Sebagai bapak bagi anak-anak dan suami bagi istri saya, sebenarnya saya membuat rancangan yang baik untuk keluarga. Saya merancang berpiknik sebulan sekali bersama mereka. Kalau tidak berhasil, saya tidur. Minimal itu baik bagi saya sendiri. Dengan demikian, saya tetap bisa berpiknik kendati tubuh saya hanya bercokol di rumah. Tidur adalah saat ketika Anda kembali ke dunia Anda sendiri, ke mimpi Anda, ke apa yang sangat pribadi. Anda boleh memiliki mimpi yang sangat bagus dan mempertahankan itu sekalipun saat ini Anda tidur dikelilingi sampah atau spanduk.

Anda memerlukan tidur yang berkualitas sebagai persiapan sempurna untuk menghadapi apa yang mungkin ruwet saat Anda terjaga. Itu saya tekankan karena kawan sendiri pun kadang bisa menyiksa. Saya baru mengalaminya beberapa hari lalu, ketika saya bangun tidur dan teman saya sudah menunggu di teras rumah. Begitu saya keluar, dia sudah mengajak bicara tentang surat Nazaruddin kepada SBY, yang katanya belum diterima oleh Pak Presiden tetapi sudah bisa dibaca oleh orang banyak sebagai surat terbuka.

Dia bertanya, apa artinya surat tersebut. Sialan, itu bukan pertanyaan yang saya harapkan ketika bangun tidur. Saya kira itu bukan surat sungguh-sungguh. Maksud saya, pesan sebenarnya mungkin bukan pada apa yang tertulis di sana. Nazaruddin pasti tahu persis jika dia menghendaki istri dan anak-anaknya tidak diganggu, dia tidak akan memohon kepada presiden dengan cara seperti itu. Dia akan melakukannya diam-diam –atau mungkin sudah?

Jadi, menurut saya, dia ingin menyampaikan sesuatu yang lain, sebuah pesan tersirat, dengan surat tersebut. Tetapi, Anda akan lelah sendiri memikirkan apa pesan tersirat dari surat itu.

Surat tersebut dibuka dengan kalimat ”Saya mohon kepada Bapak agar segera memberikan hukuman penjara kepada saya tanpa perlu lagi mengikuti proses persidangan untuk membela hak-hak saya.” Apakah itu sebuah permohonan? Tidak. Itu sebuah pemberitahuan oleh mantan bendahara Partai Demokrat kepada khalayak bahwa semua ini berada di dalam kendali SBY. Apa yang tampak sebagai proses hukum tidak lain adalah permainan kekuasaan belaka.

Jadi, meski dalam berbagai kasus SBY sering mengatakan tidak akan mencampuri proses hukum, Nazaruddin, sepertinya, sengaja mengabaikan ucapan presiden. Implikasi dari surat terbuka itu jelas: negara ini adalah negara kekuasaan.

Anda tidak perlu berpikir bahwa semua yang muncul dari Nazaruddin bisa dipercaya. Tidak semua yang keluar dari mulutnya adalah emas bagi penegakan hukum. Maka, ketika dia bungkam dan tiba-tiba lupa, biarkan saja. Tidak perlu Anda berpikir bahwa dia sengaja menyembunyikan emas dengan kebungkamannya.

Selanjutnya, pemberitahuan dalam surat dua paragraf itu diperkuat dengan penutup, ”Saya juga berjanji, saya tidak akan menceritakan apa pun yang dapat merusak citra Partai Demokrat serta KPK demi kelangsungan bangsa ini.”

Apakah itu sebuah upaya tawar-menawar dengan kekuasaan? Tidak sama sekali. Tawar-menawar dengan kekuasaan selalu dilakukan di ruang tertutup. Dan, poin yang dijadikan tawar-menawar oleh Nazaruddin sama sekali tidak penting bagi SBY. Pak Presiden mungkin sudah tidak membutuhkan partai tersebut –dia sebentar lagi turun dan tidak mungkin bertarung lagi pada pemilihan presiden berikutnya. Rusak tidak apa-apa. Saya kira jika menginginkan istri atau anak-anaknya maju sebagai kandidat, dia bisa membikin partai baru lagi, sebagaimana dulu Demokrat dibikin sebagai kendaraan untuk menopang dia naik.

Rasa-rasanya dia juga tidak terlalu peduli apakah KPK akan rusak citranya atau apa pun yang terjadi dengan lembaga tersebut. Lembaga itu pernah menjatuhkan vonis kepada besannya.

Jadi, tidak usah berharap Nazaruddin buka mulut. Kalaupun dia bungkam atau lupa, sepak terjangnya dalam proyek-proyek APBN sudah menunjukkan kepada kita bahwa Partai Demokrat rusak dengan sendirinya. Tetapi, apakah berguna untuk mengetahui kerusakan Partai Demokrat? Tidak. Pengalaman kita menunjukkan bahwa pilihan orang banyak sering sangat pragmatis: mereka mendukung partai apa pun yang berkuasa. Pada masa Orde Baru, Golkar selalu menang pemilu. Tidak penting bahwa dia selalu menang dengan cara-cara yang intimidatif, yang terpenting adalah memenangi pemilu.

Aduh, jengkel sekali saya harus berpikir tentang surat Nazaruddin. Saya sebetulnya hanya ingin menikmati sedikit kebebasan dengan tidur panjang pada hari peringatan kemerdekaan. Sudah dua kali lagu SBY dinyanyikan di dalam upacara kenegaraan. Mungkin tahun depan masih akan dinyanyikan. Saya kira jika Ibas atau Agus Harymurti bisa menciptakan lagu, lagu mereka bisa juga dinyanyikan bersama-sama dengan lagu-lagu si bapak. Atau, jika ibu negara berniat melakukan peragaan menyulam, kegiatan tersebut bisa juga disisipkan di dalam rangkaian upacara.

Becermin dari apa yang berlangsung tahun lalu, semula saya menduga bahwa upacara kenegaraan 17 Agustus di Istana Negara hanya bisa digunakan sebagai acara peluncuran bagi produk-produk keluarga SBY. Ternyata tidak. Tahun lalu memang begitu. Pada acara tersebut, dibagikan buku-buku tentang aktivitas keluarga SBY, seperti aktivitas Ibu Negara Kristiani Herawati Yudhoyono dan buku berjudul Sekarang Kita Makin Percaya Diri oleh putra sulung SBY.

Pada acara yang sekarang, ternyata orang luar boleh ikut meluncurkan produknya. Denny Indrayana meluncurkan bukunya, Indonesia Optimis, di acara itu. Ada juga koran dan tabloid dibagikan di sana. Kenapa Denny bisa? Apa haknya membuat pernyataan di acara kemerdekaan?

Oh, saya kira pertanyaannya jangan begitu. Jika Anda sedikit optimistis, Anda akan berpikir bahwa jika Denny Indrayana bisa, Mbah Samid juga bisa. Jika Mbah Samid bisa, Anda pasti bisa. Jadi, mulai sekarang, pikirkan produk apa yang bisa Anda luncurkan pada upacara kenegaraan 17 Agustus di Istana Negara. Belajarlah kepada SBY. Dia melakukan hal terbaik untuk diri sendiri dan keluarganya. Apa pekerjaannya? Dia presiden. Dia kepala rumah tangga yang pekerjaannya adalah presiden. Dia bisa memberi bintang jasa kepada istrinya. Jika Anda mau, Anda bisa memberikan bintang jasa kepada keponakan Anda.

Salam
A.S. Laksana

Tidak ada komentar: