Minggu, 18 September 2011

Kisah Orang Bodoh

Ketika awal masuk kuliah di kampus tahun 1999, kami para mahasiswa baru harus mengikuti tes TOEFL, hasilnya banyak teman dari kota besar terutama dari Jakarta dan Bandung ber-skor 500 ke atas, sedangkan saya yang tinggal di desa walau SMA di kota Sidoarjo hanya 300 :)

Bodohnya saya juga tidak merasa perlu untuk khawatir tuh..:) Saya masih merasakan euforia kebanggaan sebagai anak desa yang miskin yang diterima di ITB yang merupakan pertama kalinya di kalangan keluarga besar.

Di masa kuliah banyak teman saya yang ikutan kursus bahasa inggris dan kegiatan semacam Student English Forum, saya malah tenggelam dengan kegiatan lain yang tidak terlalu produktif dan malah bergumam dalam hati,"ngapain sih ikutan kayak gituan..."

Ketika teman-teman begitu bersemangat kuliah dan begitu ambisius untuk mendapatkan IP bagus, saya malah jarang kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk wirausaha dan kegiatan luar sambil berkata, "kuliah tidak penting..."

Kebetulan saat itu usaha saya dan teman-teman lagi bagus, sebagai mahasiswa yang biasa dibuat dag dig dug dengan budget bulanan tiba-tiba punya sepeda motor, megang laptop, pake hp dan bepergian ke Jakarta dan daerah lain secara intens karena proyek. Saya merasakan euforia mahasiswa kaya baru. Tapi saya tidak punya rencana bagaimana jika gagal, padahal saya bukan dari keluarga mampu yang bisa membantu kalo saya jatuh.

Ketika usaha saya mulai menurun setelah lulus kuliah tahun 2006, saya mulai sadar betapa bodohnya saya ketika mengobrol dengan teman saya yang ketika itu bekerja di IBM, intinya dia bercerita bahwa sejak awal kuliah dia sudah merencanakan akan bekerja di perusahaan seperti Boston Consulting dan akhirnya terwujud di IBM. Dia sudah mempersiapkan kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk bekerja di perusahaan seperti itu.

Sesuatu yang sedikit saya sesali kenapa tidak saya lakukan sejak dulu. Saya mulai terintimidasi melihat perkembangan teman-teman seangkatan yang sudah mulai mapan secara karir dan penghasilan.

Sejak itulah saya mulai banyak mendengar dan menganalisa diri.
Berikut pelajaran yang saya dapatkan :

1. Saya harus memperluas wawasan yang tepat

Saya lahir di desa dari keluarga berpendidikan rendah dimana tidak ada budaya intelektual, saya juga jadi harapan keluarga untuk meningkatkan taraf hidup. Mestinya saya lebih cerdas untuk bisa berkembang secara pribadi dan lebih memberikan perhatian ke perubahan budaya keluarga agar adik-adik saya bisa meningkat juga taraf hidupnya.

Sejak itu saya lebih sering bertemu dengan orang-orang yang saya anggap berhasil dan minta nasihat ke mereka tentang hidup dan masa depan. Saya memang tidak punya ayah, saudara atau kakak yang bisa mengarahkan tapi saya bisa mencari figur-figur itu ke orang lain yang tepat dan itu saya dapatkan dari Pak Budi Rahardjo yang eks direktur Mandiri Sekuritas, Pak Johand Dimalouw yang mantan VP Chevron, Pak Boyke yang owner RPE, Mas Bakhtiar Rakhman yang produser Laskar Pelangi, dan alumni yang lain.

Saya juga mendapat banyak input dari membuat program ALUMNI BERPRESTASI untuk alumni SMAN 1 Sidoarjo dengan mewawancarai 15 profil alumni inspiratif. Mereka orang-orang hebat yang bisa sukses dengan menjadi dirinya sendiri.

2. Saya harus punya rencana hidup

Tidak semua input yang saya terima bisa saya aplikasikan, saya sesuaikan dengan kondisi saya dan saya harus punya back up plan kalo gagal dengan impian saya.

3. Saya harus terus belajar

Saya kutip quote ini dari FB Usman Efendi, teman SMP dan SMA saya, "jika kita selalu merasa paling benar maka kita semakin salah, jika kita merasa paling pintar maka kita semakin bodoh saja, jika kita merasa paling kuat, itu artinya kita semakin lemah..."

Ada masukan lagi?
Semoga teman-teman bisa belajar dari kebodohan saya ini :)

Salam
Rulan Kis

Tidak ada komentar: