Minggu, 02 Januari 2011

Ibu ialah Guru Besar meski Buta Huruf

Ibu, kalau aku ditanya siapa pahlawanku

Namamu, Ibu, ’kan kusebut nomor satu

Karena aku tahu engkau adalah ibuku

Dan aku adalah anakmu.

Penyair Zawawi Imron-

Puisi di atas ditulis Zawawi Imron pada 1960-an dan entah sudah berapa ratus kali dibacanya. Setiap membacanya, ia melakukannya dengan takzim dan tak jarang menangis.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang berkaliber internasional, adalah contoh lain penyanjung sosok ibu. Karya-karyanya banyak diwarnai kisah-kisah yang melukiskan penghormatan yang tinggi kepada figur ibu. Termasuk, ibunya sendiri. Kekaguman tersebut dibungkusnya dalam cerita fiksi. ”Saya belajar kemandirian dan kejujuran dari ibu saya,” kata Pramoedya suatu ketika.

Bahkan, kata Pram, setelah ibunya meninggal ketika Pram masih sangat muda, dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar ia bertemu almarhum ibunya di bawah sebuah pohon mangga. Ketika Pram ingin mengambil buah mangga yang menggelantung di pohon, sang ibu menahannya.

Jangan pernah mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya. Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu harus memperolehnya dengan keringatmu sendiri. Kamu harus bekerja,” kata Pram menirukan pesan ibunya sebelum bayangan sang ibu lenyap.

Tak sedikit pula pemimpin besar bangsa yang memuja ibu. Kaisar Prancis Napoleoon Bonaparte, misalnya. Ia sering mengungkapkan pujian-pujiannya kepada sang ibu. Demikian pula Soekarno, proklamator RI. Sang ibunda pula yang memberikan pangestu (restu) dan menjuluki Soekarno kecil sebagai putra fajar.

***

Agil H. Ali
Insan pers nasional pasti tidak asing dengan nama tersebut. Dia dikenal sebagai wartawan senior yang ulung, lihai dalam berorasi sekaligus tulisannya sangat bagus. Pengakuan tersebut dilontarkan oleh para tokoh seperti Prof Sam Abede Pareno, wartawan senior Zaenal Arifin Emka dan Djoko Pitono, serta sastrawan yang juga guru besar (gubes) IKIP Surabaya (kini Unesa) Prof Budi Darma.

Agil dikenal sebagai laki-laki yang pintar menulis sekaligus orator ulung. Sedemikian besarnya daya tarik Agil ketika berbicara dan memengaruhi media massa, dua jenderal terkemuka pada masanya, Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, merasa perlu mengundang Agil untuk bertemu.

Para duta besar negara-negara kaya bergantian mengundang Agil untuk melakukan kunjungan jurnalistik ke negeri mereka. Agil pernah menjabat sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam dua kali periode, pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan anggota MPR.

”Ia memang pandai sekali berpidato. Pidato-pidatonya selalu menarik. Jarang saya menemui orang yang pintar bicara seperti Pak Agil,” kata Prof Budi Darma PhD.

Menurut gubes Unesa Prof Sadtono, orang-orang yang pintar berpidato dan menulis seperti Soekarno dan John F. Kennedy jelas adalah orang yang punya bakat besar dalam bahasa. ”Bakat itu adalah anugerah Tuhan kepada seseorang yang tak bisa dipelajari semua orang,” ujar Sadtono.

Agil adalah pendiri tabloid Mingguan Mahasiswa (1970-an) dan Mingguan Memorandum hingga menjadi koran harian (Memorandum, salah satu koran kriminalitas terbesar di Surabaya). Korannya telah menumbuhkan entah berapa ratus wartawan yang kini tersebar di berbagai media massa, termasuk radio dan televisi.

Kendati dikenal sebagai tokoh publik, Agil tak pernah lupa melontarkan kekagumannya kepada sang ibunda. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu memuji peran ibunya.

Agil pernah mengatakab bahwa ibundanya, Raden Ayu Syarifa Nur, sebenarnya perempuan yang buta huruf. Meski demikian, Agil mengaku belajar bahasa dan sastra dari ibunya. Kok bisa? ”Mengapa tidak, justru inilah yang luar biasa,” tegas Agil.

Dia mengatakan, kendati buta huruf, ibunya sering ”membaca” berbagai buku. Caranya, meminta anak perempuannya, kakak kandung Agil, untuk membacakannya. Buku sastra terkenal seperti novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wick, dilahapnya.

Suatu ketika, Syarifa, ibunda Agil, bahkan ”menyelamatkan” Agil. Kisahnya, pada paro kedua 1960-an, Agil mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat. Dia mengutarakannya kepada orang tuanya. Agil mengatakan dengan tegas ingin kuliah di Negeri Paman Sam agar nanti bisa berkeliling dunia.

Tak disangka, sang ibu melarang. Dia cemas anaknya nanti terpengaruh budaya ”bebas” di sana. ”Tidak, kamu tidak perlu sekolah di Amerika. Sekolah di tanah air saja. Kalau sekadar berkeliling dunia, kamu nanti pasti bisa,” ucap Agil menirukan perkataan ibundanya.

Kata-kata ibunya kemudian terbukti di kemudian hari. Setelah menjadi wartawan dan memimpin surat kabar, Agil sering bepergian ke luar negeri. Sejak 1970-an, undangan jurnalistik sering diterimanya dari Amrika Serikat, Jerman, Jepang, dan lain-lain. Ia pun sering diundang untuk menghadiri pertemuan pers internasional.

”Hingga kini saya tidak paham benar kekuatan apa yang dimiliki ibu saya. Kata-katanya yang bernada ramalan itu ternyata terbukti. Mungkin karena ibu saya benar-benar dicintai Allah lantaran sering mengagungkan kebesarannya setiap saat,” tutur Agil.

Dia masih ingat saat pulang dari lawatan pertamanya ke Amerika pada awal 1976. Ketika itu dia mengikuti prgram student leader selama hampir dua bulan. Laporannya di Mingguan Mahasiswa, yang diakuinya sebagai salah satu ulisan terbaiknya, di antaranya berjudul Langit di Atas Arizona Juga Langitku.

”Bagaimanapun, tulisan-tulisan saya itu adalah hasil ajaran ibu. Ibu saya adalah guru besar saya meski buta huruf,” tegasnya.

Istri Agil, Dr Mangestuti, mengatakan bahwa kecintaan Agil terhadap sang ibu memang luar biasa. Agil dikatakannya selalu membanggakan jerih payah sang ibu dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Ibu dikatakan sebagai wanita yang pandai, berani, pemurah, dan sangat menghargai tamu. ”Sifat ibu itu melekat erat dalam diri Agil. Ia selalu menjamu tamu yang datang ke rumahnya dengan sangat istimewa,” kata Mangestuti.

Salam
Eko Prasetyo

Tidak ada komentar: