Minggu, 07 Agustus 2011

Bila ABG Bicara Nasionalisme

(sebuah cerita)

Di beranda sebuah rumah di pelosok desa yang baru saja dimasuki aliran listrik. Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun sedang meminum teh bersama Kakeknya. Untuk memudahkan membaca, kita sebut saja Cucu dan Kakek.

Cucu bertanya di saat yang bersamaan ketika angin berhembus. “Nasionalisme itu apa, Kek?” intonasinya yang masih ceria dan blak-blakan mengisi udara senja waktu itu. Kakek menyeruput tehnya dalam diam. Dia memandang ke halaman depan dengan penuh arti, tidak menggubris pertanyaan cucunya sama sekali.

“Kek? Kakek kok diam saja? Arti nasionalisme itu apa, Kek?” tanya sang cucu yang haus akan jawaban. Sementara itu, Ibu yang baru saja menjemur pakaian tiba-tiba membisu. Seakan “nasionalisme” dan pahamnya adalah hal yang dilarang di desa ini. Cucunya kebingungan.

Karena dia masih kecil dan membenci keheningan yang mencekam seperti ini, dia mencoba untuk merubah suasana. Dia menggigil karena angin, menuang tehnya ke dalam cangkir. Sebelum meminumnya, dia kembali bertanya, “Kalau koruptor, artinya apa Kek?” dengan harapan semoga saja dijawab. Kakek melihat sesaat. Yang tampak di mata Cucu adalah sorot mata yang menginginkan pengetahuan dan jawaban. Karena Kakek sudah
merasa cukup mengulur waktu, beliau akhirnya menjawab.

“Koruptor itu, sesungguhnya, tidak memiliki arti apapun di muka bumi ini.” suara Kakek terdengar sangat berat seolah-olah sepatah kalimat tersebut adalah kalimat pusaka yang akan mengakibatkan kiamat bila diucapkan oleh mulut yang salah. Tetapi, di sisi yang lain kita dapat menangkap bahwa jawabannya ada benarnya dan sangat bijaksana. Dapat ditebak bahwa Kakek adalah seseorang yang merugi karena kelakuan koruptor. Dapat ditebak bahwa Kakek adalah seseorang yang membenci, atau mungkin ingin ikut membasmi koruptor. Dapat ditebak bahwa Kakek sedang menekankan pada cucunya untuk tidak menjadi koruptor.

“Kalau gitu, kenapa di televisi ada banyak sekali koruptor..” tanya Cucu sambil menggaruk kepala keheranan. Cucu masih belum menangkap maksud dari jawaban Kakek.

Kakek diam lagi. Beliau menyundut tembakaunya, mengembuskan asapnya dengan sangat tenang.

“Kek?”

Beliau masih terdiam. Barulah setelah Ibu kembali ke dalam rumah, ia berbicara dengan sangat pelan, nyaris berbisik, bahwa pembicaraan ini harus dihentikan karena kepala negara saat itu bukanlah orang yang menerima kritik. Salah bicara, bisa-bisa dijebloskan dalam penjara. “Cucuku, kita masih harus ekstra hati-hati dalam membicarakan hal seperti ini. Orang-orang di atas, yang memiliki jabatan, tidak semuanya jujur dan tidak selalu menepati sumpahnya untuk mengabdi pada negara. Bisa kau mengerti maksudku?” tentunya dalam bahasa daerahnya.

“Iya, iya, Kek.” cucunya hanya mengangguk mengiyakan. Dia tidak tahu sama sekali bahwa petuah dari kakeknya adalah “dalil”-nya menghadapi hidup di negaranya, menyikapi orang yang bekerja disana, dan hidup di lingkungan yang sama tanpa tercemari sifat busuknya.

“Jadi, nasionalisme itu apa, Kek?” tanya Cucu sekali lagi.

“Nasionalisme itu... rasa cinta kamu terhadap Ibu Pertiwi.”

“Ibu Pertiwi itu siapa, Kek?”

“Ibu Pertiwi adalah dia yang engkau tapak dan yang engkau tengok. Ibu Pertiwi adalah segalanya disini. Ibu Pertiwi adalah Nusantara, dan Nusantara adalah Ibu Pertiwi itu sendiri,” tidak terasa setelah memberi penjelasan seperti itu, air mata Kakek membasahi pipi keriputnya. Akan tetapi Cucu masih belum menyadarinya.

“Lalu apa yang dimaksud dengan rasa cinta dengan Ibu Pertiwi itu, Kek?”

Kakek tertawa dengan suaranya yang serak, tawa Kakek terdengar seperti suara burung kakaktua parau yang sedang tersedak biji pepaya.

“Cucuku.. suatu saat nanti, kalau kamu sudah besar seperti Bapakmu, kamu akan mengerti sendiri apa arti dari nasionalisme. Kamu akan menyadari arti dari nasionalisme setelah rasa itu benar-benar hilang.”

“Hmm.., berarti nasionalisme adalah rasa yang berharga sekali, ya Kek?”

Kakek terdiam, dia terlihat sedang merenungi apa yang diucapkan oleh cucunya. Cucunya benar, rasa nasionalisme adalah rasa yang berharga sekali hingga orang baru merasakannya 'ada' ketika rasa nasionalisme sudah benar-benar hilang. Nasionalisme yang ada sekarang, di waktu itu, adalah rasa membela diri atau bangsa yang dicap sebagai nasionalisme.

“Ya, kamu benar.” jawab Kakek dengan singkat. Mendengar nada bicara beliau yang seperti itu, merasakan dinginnya udara malam waktu itu, mereka memilih untuk menyudahi pembicaraan.

Sekarang, di waktu ini. Apakah itu nasionalisme?

Nasionalisme, kalau kita sesuaikan lagi adalah semangat membela negara. Semangat persatuan demi terwujudnya suatu tujuan yang diharapkan bersama. Dimulai dari hal-hal yang fenomenal dari supporter Indonesia di Suzuki AFF Cup kemarin sampai urusan-urusan kenegaraan yang mengatasnamakan Nasionalisme. Lalu apa yang dimaksud dengan Nasionalisme? Apa maksud dari Kakek, nasionalisme adalah rasa yang baru
terasa adanya ketika sudah dilupakan di masyarakat saking berharganya?

Sudut pandang Kakek dapat ditebak begini: nasionalisme bangsa kita adalah rasa cinta Ibu Pertiwi yang menomorsatukan cara masyarakat bersosialisasi dan berbudaya menurut daerahnya masing-masing di Nusantara. Karena dunia sudah semakin maju, perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi sudah semakin canggih, tradisi sosial dan budaya kedaerahan yang sesuai dengan hakikat Ibu Pertiwi ini dilupakan.
Lama kelamaan, ketika masyarakat menyadari bahwa perilaku modern ini tidak cocok, mereka akan membela budaya daerahnya masing-masing. Tapi bukan sebagai rasa nasionalisme sebagai jati diri. Jati diri bangsa Indonesia terkikis jaman, itulah kenyataan.

Salam
bun-yanummarshus

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Agar tidak terjadi kekeliruan, pembuat tulisan dengan judul tersebut adalah siswa SMP (saat ini telah SMA) yang saya bagikan di suatu milis.

---bym, 28/12/12---