Selasa, 01 Februari 2011

Belajar Dini Hari

Kenalkah kamu dengan sepaket pertanyaan
-yang-standar-tapi-selalu-susah-dijawab ini:

"Kapan lulus?"

"Kerja apa sekarang?"

"Kapan nikah?"

"Mana calonnya?"
Dsb, dst.

Dan kenalkah kamu dengan rasa tak nyaman ketika keberhasilan hidupmu ditentukan dengan standar-standar pencapaian orang lain? Apakah orang yang lulus cepat berarti lebih pintar dari yang tidak lulus-lulus? Siapa yang menjamin bahwa kalau kamu bekerja di perusahaan multinasional, hidupmu akan lebih enak dari orang yang menjadi guru? Siapa bilang orang yang sudah punya pacar atau menikah pasti lebih bahagia dari yang masih lajang?

Tentang keberhasilan dalam hidup, teman pemancing yang baru kukenal semalam mengajariku sesuatu. Hidupnya mungkin tidak gemerlapan dengan ijazah universitas, pekerjaan mentereng atau istri yang cantik. Ia menghabiskan malam-malamnya memancing di tepi danau untuk kemudian dijual hasilnya. Kadang ia tidak pulang berhari-hari karena memancing. Saat lelah ia tidur di bawah naungan pohon rindang, berselimut cahaya pagi dengan AC angin semilir.

Teman baruku pandai bercerita, tentang danau, tentang ikan, udang, kepiting, ular, tentang cara memancing - ia punya cukup banyak cerita untuk kamu dengarkan semalam suntuk. Ia tahu banyak hal tentang perilaku hewan yang bahkan profesor biologiku tidak tahu. Ia tahu segala hal tentang danau tempatnya memancing - sejarahnya, politiknya, orang-orang sekitar, hewan-hewan yang hidup di sana.

Teman baruku tahu sesuatu yang aku tidak tahu tentang hidup: bahwa dalam semalam kamu bisa mendapat sampai 30 ekor lobster air tawar, masing-masing seharga 25 ribu rupiah, kalau kamu sabar menunggu. Tapi tidak selalu begitu. Kadang kamu sabar menunggu dan tidak mendapatkan apapun, atau kamu menunggu sangat lama lalu umpanmu digigit bukan oleh lobster yang kamu tunggu, melainkan kepiting kecil yang harus kamu lepas kembali ke air.

Untuk bisa menangkap lobster sebanyak temanku, kamu harus belajar. Bukan sehari, bukan sebulan, mungkin bertahun-tahun kamu habiskan hanya mendapat kurang dari 10 ekor semalam. Lalu kamu belajar dari kesalahanmu, kamu mengamati kebiasaan lobster-lobster itu. Kamu makin paham cara menggunakan alat pancingmu, makin terampil memilih tempat yang tepat, umpan yang tepat, waktu yang tepat. Intuisimu berkembang dan kepekaanmu meningkat, dan sedikit demi sedikit dirimu berubah - kamu menjadi seorang ahli memancing.

Lalu lobster-lobster pun datang ke kailmu, bertambah dari waktu ke waktu.

Kamu mungkin mengharapkan akhir yang megah untuk semua usaha keras itu. Maaf membuatmu kecewa. Tidak ada perayaan ataupun pencapaian dramatis seperti film-film Hollywood (yang mungkin akan menggambarkan ribuan lobster berebutan menggigit umpanmu). Ini dunia nyata. Lobster tetap datang satu demi satu, tidak tentu kapan - mungkin dua dalam satu jam, atau tidak satupun selama berjam-jam - dan saat menunggui pancingmu, waktu berjalan amat sangat lambat, kadang membuatku berpikir putus asa, "Jangan-jangan semua lobster di sini sudah habis dipancing dan tak ada lagi yang tersisa untukku." Hanya setelah semalam penuh kamu akan melihat keseluruhan hasil kerjamu, lalu kamu mengangguk puas: tangkapanmu ternyata cukup bisa dibanggakan.

Selama empat tahun karir memancingnya, teman baruku sudah menangkap ribuan, mungkin belasan ribu lobster, satu demi satu demi satu. Perlengkapannya? Hanya alat pancing sederhana ("alami," katanya) yang dibuatnya sendiri dari bambu dan pelampungnya dari sedotan diisi styrofoam. Ditambah belasan ribu jam gagal, belasan ribu jam belajar, belasan ribu jam bersabar.

Sepanjang perjalanan hidupnya yang sepi dari pengakuan, kurasa ia mendapatkan lebih dari sekadar lobster. Ia menjalankan perannya di dunia, membuat banyak orang bisa merasakan lezatnya lobster air tawar (kata temanku, lobster dari danau itu lebih gurih!). Ia telah menjadi seorang ahli perilaku hewan, ahli sejarah, ahli sosial, ahli kehidupan - seorang ahli tanpa sekolah, hanya dengan menghayati hidupnya bersama keseluruhan danau itu.

Aku membayangkan suatu saat di masa depan ketika rambut temanku sudah beruban dan ia menangkap lobster ke-100.000. Aku ingin ada di sana dan mengucapkan selamat padanya, karena dalam satu atau lain cara kurasa itu juga keberhasilan hidup - mungkin keberhasilan paling sejati.

Salam
Kandi Sekarwulan

Tidak ada komentar: