Kamis, 24 Juli 2008

Pendidikan dan Kebangkitan Indonesia

Pendidikan Harus Mengantar Kita pada Kebangkitan Indonesia.
Enampuluh tahun kita sudah merdeka, namun pendidikan bagi anak bangsa ternyata belum mampu memerdekakan jiwa kita. Kita malah menyaksikan kemunduran dan ketidakjelasan orientasi pendidikan. Selama beberapa dekade terakhir, kita melihat bahwa pendidikan lebih banyak diarahkan bagi upaya untuk menciptakan "tenaga-tenaga siap pakai" untuk melayani kepentingan ekonomi. Anak didik dipersiapkan menjadi "modal sosial" atau "sumber daya manusia" untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi hamba bagi tujuan-tujuan yang sifatnya materialistik.
Akibatnya, ketika kita mengalami krisis multidimensi, manusia-manusia Indonesia yang jiwanya rapuh karena tidak tersentuh oleh pendidikan kita, tak mampu untuk segera bangkit. Kita lantas hanya menjadi saksi bagi datangnya berbagai masalah secara silih-berganti: Ancaman disintegrasi bangsa dan konflik horizontal, antar etnis dan antaragama; Ketertinggalan dan ketidakmandirian masyarakat dalam bidang ekonomi; Tata pemerintahan dan perpolitikan nasional maupun daerah yang belum berorientasi pada rakyat, penuh intrik dan korup; Serta ketertinggalan dalam percaturan internasional dan masih adanya ancaman terhadap kedaulatan negara.
Ditambah dengan bencana alam yang terjadi di Aceh dan di berbagai tempat di Nusantara, maka lengkaplah sudah derita yang dialami oleh bangsa ini.
Sayang sekali, kita seperti tidak sadar bahwa pendidikan kita selama ini belum mampu menciptakan manusia-manusia yang tangguh, yang telah bangkit jiwanya, untuk membangkitkan kembali Indonesia dari keterpurukan. Semestinya kita bersama-sama mempertanyakan kembali relevansi pendidikan kita untuk mengatasi berbagai persoalan yang dialami bangsa ini. Pendidikan tidak seharusnya menjadikan kita sebagai individu-individu yang hanya memikirkan diri sendiri. Pendidikan juga harus menempatkan kita sebagai mahluk sosial dan mahluk spiritual.
Sungguh menyedihkan, di tengah-tengah situasi yang demikian, ketika kita justru butuh sekian alasan untuk "bersatu", kita mendengar tentang adanya Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2004-2009 yang berencana membuat dua jalur pendidikan: Jalur Formal Mandiri dan Jalur Formal Standar. Sebuah gagasan yang justru berpotensi menciptakan "disintegrasi" berdasarkan kelas sosial.
Sudah saatnya kita bangkit dan mulai melakukan perubahan!
Sesungguhnya, tokoh Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara, telah memberikan dasar yang kuat bagi tujuan pendidikan nasional kita. Pendidikan tidak dimaksudkan untuk semata-mata menciptakan orang pintar serta memberikan keterampilan teknis dan sikap profesional. Pendidikan, sebagaimana didambakan para perintis kemerdekaan kita, harus bersifat holistik. Harus membangkitkan jiwa dan "memanusiakan manusia".
Hanya dengan itu kita akan menuju Kebangkitan Indonesia, sebagai sebuah langkah awal untuk mewujudkan cita-cita universal: Satu bumi, satu langit, satu umat manusia.
Oleh karena itu, demi mewujudkan cita-cita pendidikan nasional bagi kebangkitan Indonesia, kami menyerukan:
1. Agar pemerintah, parlemen dan masyarakat untuk melihat dan mencermati kembali paradigma pendidikan nasional Indonesia, yang seharusnya mengarah pada upaya untuk "memanusiakan manusia" dalam pengertiannya yang holistik. Diperlukan perumusan baru paradigma pendidikan nasional yang akan mampu membangkitkan jiwa dan menumbuhkan cinta kasih dalam diri manusia, selain melengkapinya dengan keahlian dalam berbagai bidang.
2. Agar pemerintah, parlemen dan masyarakat mengkaji kembali segala bentuk perundangan maupun peraturan dalam bidang pendidikan yang berpotensi menciptakan "disintegrasi" sosial di masyarakat. Segala potensi disintegrasi sosial, termasuk "pengkotak-kotakan" berdasarkan kelas sosial dan agama, harus dihilangkan dan tidak dapat ditolerir keberadaannya.
3. Agar pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional, bersama-sama dengan berbagai institusi pendidikan di Indonesia, dapat menggali dan mengangkat kembali nilai-nilai universal dari khazanah budaya Nusantara, yang telah terbukti mampu mempersatukan bangsa dalam sebuah platform persatuan dan kebangsaan, untuk dijadikan sebagai bagian yang inheren dalam kurikulum pendidikan kita. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengadakan kembali pelajaran Budi Pekerti atau pelajaran lain yang memiliki substansi pendidikan secara holistik.
4. Agar pemerintah lebih selektif dalam memberikan izin bagi pendirian lembaga-lembaga pendidikan. Izin mendirikan sekolah semestinya diberikan pada orang-orang yang telah teruji visinya dalam bidang pendidikan dan bukannya diberikan pada para pebisnis yang hanya ingin meraih keuntungan belaka.
5. Agar Departemen Pendidikan Nasional, bersama-sama dengan berbagai institusi pendidikan di Indonesia, dapat mengkaji kembali pengajaran agama yang diberikan di sekolah-sekolah. Pelajaran agama semestinya tidak justru menciptakan munculnya sentimen terhadap orang-orang yang beragama lain. Dalam hemat kami, mengingat agama merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas hubungan pribadi manusia dengan Sang Maha Pencipta dan Maha Pengasih, ada baiknya untuk memikirkan penempatan pelajaran agama sebagai bagian dari kegiatan ekstra kurikuler.
6. Agar pemerintah mulai memberikan perhatian khusus bagi para guru dengan cara meningkatkan kualitas maupun metodologi pengajarannya, mengangkat kembali moralnya maupun menjaga kesejahteraan mereka. Para guru yang tertekan jiwanya tentu tidak dapat diharapkan untuk menghasilkan anak-anak didik yang berjiwa merdeka.
7. Agar masyarakat ikut serta memantau lembaga-lembaga pendidikan yang menyesatkan masyarakat dengan janji-janji muluk yang tak pernah dapat dipenuhinya. Masyarakat juga perlu memantau lembaga-lembaga pendidikan yang meracuni anak didik dengan kebencian pada kelompok etnis, suku maupun agama tertentu.
8. Agar masyarakat menyadari bahwa pendidikan bukan semata-mata dilakukan melalui jalur formal belaka. Oleh sebab itu masyarakat secara luas, meskipun tidak berhubungan langsung dengan lembaga-lembaga pendidikan formal, harus ikut berpartisipasi secara aktif dalam memberikan pendidikan nilai-nilai universal bagi anak didik maupun bagi lingkungan sekitarnya, di luar sekolah.
9. Agar media massa turut mengambil tanggung jawab dalam menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung tercapainya cita-cita pendidikan ini - yaitu untuk "memanusiakan manusia" - yang dapat direfleksikan melalui berbagai program maupun berita yang mendidik. Paradigma bisnis semata dalam dunia media yang selama ini menjadi dasar bagi produksi program serta berita yang mengeksploitasi kriminalitas ataupun dunia klenik, sudah saatnya untuk ditransformasi karena justru menjadi kontra-produktif terhadap tujuan pendidikan nasional.
Demikian seruan kami.
Semoga bangsa kita tetap jaya.
National Integration Movement (NIM).

Tidak ada komentar: