Minggu, 27 Juli 2008

Kartiniku doelu tak Begini-Begitu???

Bulan April, bulan emansipasi katanya??
Ketika semua perempuan Indonesia walaupun mungkin tidak semua serentak menyulap diri mengenakan kebaya dan pakaian daerah lainnya. Sebuah seremoni atau kebiasaan yang terjadi hampir setiap tahun di negara ini. Ketika tepat pada bulan yang sama lahir seorang wanita bernama Kartini. Seorang sosok yang kerap dijadikan icon oleh kaum hawa sebagai pelopor perjuangan kaum perempuan untuk melepaskan belenggu dari adat istiadat yang merendahkan.
Seorang tokoh pembebasan wanita, yang menurut sebagian perlu diperingati dan untuk menghargai jasa- jasanya maka perlu untuk berpakaian ala jawa seperti beliau dulu. Sungguh apakah memang seperti itu?.
Ketika wanita menuntut persamaan haknya dengan laki–laki. Keinginan untuk bebas dan lepas melakukan hal apa saja dengan menghilangkan dominasi pria atas dirinya. Tidak lagi mau diatur baik oleh suami, ayah, paman ataupun saudara laki – laki yang lain. Berusaha untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri, mungkin itu kata–kata yang selalu didengar. Mengatasnamakan kebebasan dan emansipasi para wanita bebas tuk berekspresi dan mengekspresikan dirinya. Terjun ke berbagai bidang profesi yang selama ini didominasi laki–laki bahkan tak jarang melakukan hal yang bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat mereka anggap kuno, kampungan, gak modern dan lain sebagainya.
Tahukah kita apa yang menjadi cita–cita Kartini.???
Dalam bukunya yang fenomenal yang berjudul Door Duisternis Tot Licht ( Habis GelapTerbitlah Terang ) yang Kartini temukan dalam surat Al Baqarah ayat 257, yaitu firman Allah"…minazh- zhulumaatiilan-nuur" yang artinya "dari kegelapan-kegelapan (kekufuran) menuju cahaya (Islam)". Oleh Kartini diungkapkan dalam bahasa Belanda "Door Duisternis Tot Licht" dan kemudian oleh Armien pane yang menerjemahkan kumpulan surat-surat Kartini diungkapkan menjadi "HabisGelap Terbitlah Terang". Seorang kartini menuliskan kegelisahan hatinya melihat para wanita yang masih terkungkung dengan adat yang sedemikian rupa. Beliau prihatin dengan budaya adat yang membatasi wanita untuk menuntut ilmu. Ibu kita menginginkan persamaan hak dalam hal pendidikan untuk kaum wanita sama dengan laki–laki.
Hal yang sangat diinginkan oleh kartini bukanlah sebagai sarana kemenangan kaum hawa atas kaum adam, tapi terlebih sebagai bekal para wanita untuk mendidik anak–anak mereka menjadi generasi yang berkualitas. Karena Ibu adalah madrasah pertama dalam keluarga. Itulah yang diperjuangkan Kartini pada saat itu. Kartini menulis dalam suratnya: "Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi Ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. " [kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Okt 1902].
Kartini memang sempat kagum dengan kemajuan yang diperoleh oleh para wanita barat dikarenakan pergaulan beliau yang sering berkorespondensi dengan teman –temannya wanita Belanda. Tapi sebuah perubahan pemikiran ketika Kartini mengenal Islam dan mendalaminya. Budaya barat tidaklah cocok dengan budaya timur. Budaya barat bukanlah parameter keberhasilan dalam membentuk peradaban yang bermutu. Kartini menulis; "Dan saya menjawab, Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah" [kepada Ny.Abendanon, 12 Okt 1902].
"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat Ibu, terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" [surat kepada Ny.Abendanon, 27 Okt 1902].
Silau, fatamorgana, begitulah gambaran kodisi wanita Indonesia saat ini. Atas dasar emansipasi dan mendompleng perjuangan Kartini, begitu banyak wanita–wanita menjajakan dirinya di pinggiran jalan. Dengan dandanan yang menor dan baju yang minim mereka meninggalkan fitrah mereka sebagai seorang wanita. Selain itu para wanita saat ini enggan menjadi Ibu bagi anak–anak mereka dan perannya tergantikan dengan keberadaan baby sitter dirumah. Pada saat yang sama, lahan kerja untuk para lelaki sebagai suami dan pencari nafkah utama semakin sempit saja. Wanita–wanita berpakaian mini dan seksi lebih diprioritaskan oleh perusahaan–perusahaan untuk menempati posisi strategis demi meningkatkan penjualan. Wanita dijadikan obyek untuk menngkatkan penjualan. Sungguh ironis, mau menjual produk atau menjual tubuh wanita?.
Sedih mungkin ketika memikirkan hal ini, dan mungkin Kartinipun menangis jikalau melihat kondisi seperti ini. Kita masih terjajah oleh ideologi barat, dengan jurus feminisme mereka mencengkram dan merobohkan nilai–nilai tatanan dalam masyarakat kita. Bukan kemajuan yang akan didapat tapi justru membawa keterpurukan bagi kaum wanita ke dalam limbah kenistaan yang bernama eksploitasi. Islam tidak membatasi pergaulan selama tidak melampaui fitrah. Kedudukan antara hak dan kewajiban seimbang dalam Islam. Semuanya memainkan perannya masing–masing. Bahkan dalam menuntut ilmu sebagaimana sabda RasulullahSAW bersabda : “ Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Adi& Baihaqi) baik itu kaum wanita maupun laki – laki. Tidak ada larangan wanita tuk beraktifitas selama tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang Isteri dan Ibu bagi anak–anaknya. Wahai kaum wanita, aku tidak melihat dari suatu kaum (orang-orang) yang lemah akal (pemikiran) dan lemah agama lebih menghilangkan hati orang-orang yang sehat akal dan benaknya dari pada kamu (kaum wanita). Aku telah menyaksikan neraka yang penghuninya paling banyak kaum wanita. Maka dekatkanlah dirimu kepada Allah sedapat mungkin. (HR. Bukhari).
Semoga para kaum hawa menyadari kodrat dan fitrahnya sebagai seorang wanita, sebagai Isteri dan juga sebagai seorang Ibu yang menjadikan cita-cita Kartini untuk menimba ilmu sama seperti laki–laki. Menularkan ilmu tersebut untuk menjadikan generasi–generasi Indonesia mendatang yang berkualitas. Tidak hanya menjadikan hari Kartini sebagai seremonial saja tapi menjadikan momen tuk perubahan diri menuju arah yang lebih baik. Dan buatlah Kartini tersenyum melihatnya.
Merak, 21 April 2008 Al-Biruni 98

Tidak ada komentar: