Senin, 28 Juli 2008

Lihat + / -nya buku Online


Menurut salah satu kawan saya, mari kita selalu melihat positif negatifnya suatu usaha!. Ok deh: Contoh aspek Positive: saya yang di luar negeri, karena Internet cepat, maka saya bisa download buku-buku pelajaran dari Diknas. Ini akan bermanfaat buat anak saya misalnya. Diknas sdh bekerja keras. Sudah berupaya beli copyright banyak buku, sehingga ini bisa diakses gratis. Siapa aja jadi bisa fotocopy!. Dari pada kenyataan yangg sering muncul di lapangan, buku pelajaran jadi ajang bisnis sekolah. Bahkan Diknas secara terus menerus berusaha untuk mengatasi masalah teknologinya, antara lain buku itu dapat diakses melalui berbagai server di berbagai propinsi.
Contoh aspek Negative: Bikin banyak orang di Indonesia frustasi. Akibatnya, cukup banyak yang meragukan apakah benar ada buku online tersebut. Sebab mereka bolak-balik download, nunggu sampai setengah jam, tapi tidak muncul2. Bayangin download buku yg ratusan halaman? Padahal di sana ada berpuluh buku online loh. Mengapa sih harus online!. Coba deh dihitung dananya yang online, lalu dibandingkan dana yg dipakai jika diedar dengan CD, atau di cetakkan buat sekolah yang miskin. Bukankah jauh lebih banyak sekolah yang tidak punya akses Internet. Atau dihitung juga dong, berapa kira-kira harga yang harus ditanggung guru (onkos akses Internet dan cetaknya)?. Bukankah pemerintah wajib memperhitungkan supaya jangan membebani para guru, orang tua, atau pun murid.
Yang sering membuat saya khawatir kalau ini hanya berbasis proyek. Pokoknya ada proyek, yah udah, selesai deh!. Saya bersama teman-teman pernah terlibat dalam proyek pengembangan buku, dan ini tidak main-main. Pengembangan buku ini atas kerjasama banyak orang, termasuk para guru, ada ujicoba, ada reviu dari pakar de el el. Namun apa yang terjadi saat ini. Proyek selesai!. Dan entah bagaimana kelanjutan dan hasilnya di lapangan?. Para guru yang saya cintai, jangan terlalu gundah dengan buku online. Keberadaan buku online bukan berarti akan meningkatkan kualitas mengajar kita. Bahkan ada bahayanya jika kita terlalu terpaku pada buku pelajaran. Nanti dikiranya, jika siswa sudah jawab semua pertanyaan yang dibuku pelajaran, maka tugas mengajar kita selesai. Atau jangan sampai guru menjadikan buku2 sebagai acuan utama pengajarannya, tapi lebih baik jika bahan memperkaya pengajaran guru. Buku-buku yang sudah beredar, tetap bisa dimanfaatkan. Yang penting, lihat saja kurikulum. Mungkin catatan saya di http://journey.maesuri.com/ bermanfaat: Salam pendidikan.
Teman-teman guru yang saya cintai, saya harus katakan, bahwa apa pun kebijakan pemerintah untuk memajukan pendidikan ini, berapapun dana yang dialokasikan untuk pendidikan kita, apa pun jenis pelatihan/workshop/seminar disiapkan buat guru, kualitas pembelajaran dan pengajaran yang terjadi di kelas ada di tangan para teman-teman guru. Pembelajaran di kelas dengan mata pelajaran apa pun, seharusnya dapat membantu anak didik belajar tentang pentingnya akan akan hal yang mereka pelajari. Bantu anak didik kita merasakan pentingnya kerja sama, berkomunikasi, bertanggung jawab, mengharagai orang lain, dan lain-lain. Semua ini tidak bisa terwujud jika teman-teman guru hanya berceramah di depan kelas. Pengajaran yang baik harus melalui kegiatan yang direncanakan, dipertimbangkan secara matang, kegiatan yang melibatkan anak berfikir secara bermakna.
Para teman guru yang saya cintai, pembelajaran hanya terjadi ketika kita mau berfikir. Maka pikirkanlah apakah kehadiran teman-teman di kelas telah membuat setiap anak belajar?. Membuat mereka memahami suatu hal yang baru?. Membuat perubahan tingkah laku ke arah yang positif?. Apakah keberagaman kebutuhan anak di kelas telah terpenuhi?. Apakah setiap individu yang mengikuti pembelajaran di kelas mendapat nilai tambah bagi diri mereka?. Jika, dari perenungan ini teman-teman dapat berkesimpulan bahwa teman-teman tidak punya jaminan bahwa semua peserta didiknya di kelas belajar, maka teman-teman harus bertanya dan berusaha menjawabnya: bagaimana saya dapat mengetahui bahwa anak didik saya mendapat sesuatu tambahan pengetahuan dan pemahaman dalam setiap pertemuan di kelas?. Tak lain adalah kita harus memahami secara mendalam materi yang kita ajarkan, harus ada komunikasi yang baik antara kita dan anak didik kita, harus ada kedekatan dengan mereka, dan harus ada strategi. Pandanglah diri teman-teman guru sebagai pebelajar. Kita belajar menjadi guru yang baik. Salah satu alat ampuh adalah belajar dari ruang kelas atau belajar dari anak didik kita, atau melalui komunikasi dengan teman guru lain, atau merenungkan pengajaran kita, atau bertanya kepada yang lebih ahli.
Kunci keprofesionalan guru terletak pada keinginan yang kuat para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Bukankah kita berharap agar siswa kita mau belajar keras. Kita pun demikian. Guru sejati adalah pelajar yang sejati. Depdiknas Harus Berjiwa Besar Akui Kegagalan. (Sabtu, 26 Juli 2008 1:09 WIB Jakarta, Kompas - Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional), diminta berjiwa besar dan berani mengakui gagal dalam penyediaan buku pelajaran yang tidak membebani masyarakat. Kegagalan pemerintah untuk mengatasi persoalan buku pada setiap tahun ajaran baru jangan dialihkan kepada guru atau penerbit.
Banyak aturan soal pendidikan dan guru yang dilanggar pemerintah meskipun sudah ada undang-undangnya. Tetapi, pemerintah selalu mengambinghitamkan guru. Kami tidak ikhlas jika persoalan buku mahal semata-mata dialihkan kepada guru yang dinilai kolusi dalam pengadaan buku untuk siswa di sekolah tertentu, kata Sulistiyo, Ketua UmumPengurus Pusat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/7). Pemerintah, kata Sulistiyo, tutup mata terhadap persoalan mahalnya buku dengan tetap tidak membebaskan pajak kertas untuk buku pelajaran.
Gembar-gembor program e-book pemerintah juga tanpa perhitungan matang karena masyarakat tidak dapat mengakses buku teks online atau versi cetaknya dengan mudah. Menurut Fitriani Sunarto, Koordinator Kelompok Independen untuk Advokasi Buku (Kitab), selama ini buku pelajaran sering dianggap sebagai bagian yang terpisahkan dari pelayanan pendidikan. Ketika pemerintah mengumumkan pendidikan gratis, buku pelajaran tidak disubsidi secara penuh. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan buku sebagai bagian dari pelayanan pendidikan dan pemerintah berkewajiban menyediakan buku teksbagi semua mata pelajaran di sekolah. Kenyataannya malah sebaliknya. Dana bantuan operasional buku justru dipotong. Padahal, buku itu, setidaknya di tingkat pendidikan dasar, harus disediakan secara gratis untuk setiap siswa di sekolah, papar Fitriani.
Program e-book pun dinilai tidak tepat sasaran. Di Indonesia penyerapan pengguna internet baru mencapai tujuh persen. Buku-buku digital yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah hanya dapat dinikmati para siswa yang memiliki akses ke internet, yang kebanyakan berasal dari golongan keluarga berada di perkotaan. Secara terpisah, di Jakarta Timur Pembinaan Aparatur (Binap) dan Verifikasi Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta menerima 1.097 pengaduan dari masyarakat, sebagian besar soal penjualan buku di sekolah. Tim Binap juga sudah memeriksa 28 kepala sekolah yang diduga menjual buku pelajaran di sekolah kepada murid-muridnya. Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Sukesti Martono mengatakan, laporan dari masyarakat melalui layanan pesan singkat sangat beragam, mulai dari saran, pertanyaan, sampai aduan soal paksaan membeli buku di sekolah.
Bahkan, ada orangtua siswa yang mengadu dipungut Rp 10.000,00 untuk biaya perpisahan. Kami akan mengklasifikasikan aduan dan bakal menindak setiap pungutan liar di sekolah, sekecil apa pun jumlahnya, katanya. Menurut dia, membeludaknya laporan masyarakat membuat jumlah kepala sekolah yang bakal diperiksa bisa bertambah.

Tidak ada komentar: