Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu. Di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS At-Taghabun [64]: 14-15)
Dalam Jalan Rahmat, Kang Jalal merujuk ayat 14 dan 15 Surah At-Taghabun untuk menunjukkan bahwa ada tiga cara memberi maaf. “Ada tiga kata untuk menyebutkan arti kata memaafkan dalam ayat tersebut, yaitu ta’fu, tashfahu, dan taghfiru,” tulisnya. Selanjutnya Kang Jalal menguraikan bahwa ta’fu berasal dari kata afa yang berarti menghapus jejak atau menghilangkan bekas. Di padang pasir terkadang bukit pasir dapat hilang begitu saja ketika ada topan yang meniup habis bukit tersebut. Orang Arab berkata, “Afat al-rih al-jibal” (Angin menghapuskan bukit).
Tashfahu berarti melepaskan seseorang dari hukuman yang seharusnya dia terima. Ada seorang budak melarikan diri dan tertangkap. Budak itu pun dihadapkan kepada tuannya. Semestinya si budak mendapatkan hukuman berupa cambukan akibat kesalahan yang telah dilakukannya. Apabila majikan budak itu kemudian membebaskannya dari hukuman tersebut, sang majikan itu pun ber-tashfahu. Kata ketiga, taghfiru, pada awalnya berarti menutupi atau menyembunyikan. Inilah yang disebut to forgive is to forget (memaafkan berarti melupakan).
Kita tahu bahwa memberi maaf adalah perilaku terpuji. Bahkan, di dalam Al-Quran, perilaku memberi maaf ini merupakan salah satu ciri orang-orang yang bertakwa. Keluarga kita, anak-anak kita, sahabat-sahabat kita adalah manusia biasa. Mereka, termasuk diri kita, tentulah pernah tergelincir atau jatuh ke dalam jebakan setan. Mereka, termasuk diri kita, pernah terdorong oleh hawa nafsurnya sehingga berbuat kesalahan. Mereka, termasuk diri kita, sepanjang hidup menumpuk dosa. Akan tetapi, lewat kasih sayang-nya, Allah menyembunyikan dosa-dosa itu.
“Salah satu nama Allah adalah Sattar Al-‘Uyub, penutup aib,” tulis Kang Jalal. “Maka, jika kita ingin menyembunyikan aib diri, sembunyikan pula aib orang-orang yang pernah berbuat zalim kepada diri kita.” Apabila kita mampu melakukan tiga hal—sebagaimana ditunjukkan dalam tiga arti kata maaf: menghapuskan luka hati hingga tak kelihatan lagi, membebaskan seseorang dari hukuman akibat kesalahannya, dan menutup aib orang lain atau melupakan kesalahan orang lain seetlah pemberian maaf—dapat dipastikan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kita. Dengan begitu, Allah juga akan menghapuskan akibat buruk dari dosa tersebut. Apa dampak yang akan kita terima jika Allah menghapuskan akibat buruk dari dosa-dosa kita?
Seorang Arab dari pedalaman datang menemui Ali bin Abi Thalib. Dia menyampaikan keluhannya kepada Imam Ali karena beratnya kehidupan, sempitnya rezeki, dan banyaknya tanggungan yang harus diurus. Imam Ali pun memberikan nasihat kepadanya, “Hendaklah kamu ber-istighfar karena Allah berfirman, ‘Minta ampunlah kamu kepada Tuhanmu. Sesungguhnya, Dia Maha Pengampun. Nanti Allah akan mengirimkan hujan (rezeki) kepada kamu dengan berlimpah. Dan Dia akan memperbanyak harta kamu dan anak-anak kamu dan Dia jadikan bagimu kebun-kebun dan sungai-sungai.’”
“Wahai Amirul Mukminin, aku sudah banyak ber-istighfar tetapi aku tidak melihat diriku terlepas dari kesusahanku.” Imam Ali lantas menjelaskan bahwa ada kemungkinan doa dan permintaan ampun kita tertahan gara-gara kita tidak mau memberikan maaf kepada orang-orang di sekeliling kita—termasuk istri dan anak-anak kita—yang telah melakukan kesalahan terhadap kita. Memberi maaf akan membantu terlepasnya doa dan permintaan ampun dari diri kita yang tertahan itu.
Wallahu a’lam.
Salam
Hernowo
Minggu, 15 Mei 2011
Pemimpin Berkualitas
Kepada Para Agen Perubahan,
Saya percaya bahwa sebagai warga dunia dan bangsa yang majemuk, kita memiliki tujuan sama, yaitu menjembatani perbedaan budaya. Kita berkewajiban membangun dan mengembangkan hubungan yang berkesinambungan dan saling menguntungkan di bidang-bidang strategis seperti perekonomian, perdagangan, dan keamanan.
Pemimpin berkualitas merupakan syarat utama bagi aspirasi ini. Pertanyaannya adalah, siapakah para pemimpin berkualitas ini? Mereka adalah orang-orang yang memiliki empati terhadap rekan sejawatnya di seluruh nusantara. Mereka juga orang-orang yang secara pragmatis mampu mencapai konsensus melalui musyawarah mufakat.
Dewasa ini kita dihadapkan pada tantangan sosial dan politik. Bagi negara-negara berkembang, baik yang berada di bawah kekuasaan individu atau kelompok elit, peluang korupsi yang kerap hadir bersama kekuasaan menjadi sumber kegagalan. Hal ini berimbas pada terbatasnya akses terhadap kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat akibat tangan-tangan koruptor yang berkuasa. Upaya-upaya penanggulangan akan eksploitasi kemiskinan yang sudah tersistem di masyarakat, kebijakan-kebijakan eksklusif yang hanya menguntungkan sebagian kelompok, dan pelanggaran hak asasi manusia akan sia-sia kekurangan pemimpin yang mampu bertindak tegas. Pemimpin tersebut adalah mereka yang bertanggung jawab, cerdas, berpengetahuan luas, dan berasal dari masyarakat di negara itu sendiri.
Upaya mengatasi korupsi, sifat elitis, dan keterbatasan masyarakat hanya bisa dicapai melalui kepemimpinan yang diwarnai kekuatan intelektual serta moral yang kental. Karakter ini dibutuhkan untuk memerangi kondisi buruk dan keluar sebagai pemenang.
Perhatikan peristiwa-peristiwa di sekitar Anda. Kisah-kisah yang disiarkan di televisi menceritakan bencana dan kelaparan. Kisah-kisah tersebut mendorong para donor membuat program wajib penanggulangan bencana secara kolektif. Kisah lainnya, perhatian terhadap upaya pengentasan buta huruf, angka kematian bayi, dan masalah kesehatan gagal mengatasi akar permasalahan, walaupun dimulai dengan sebuah niat mulia.
Apakah yang sebenarnya telah kita raih melalui upaya pemberantasan buta huruf dan peningkatan usia harapan hidup apabila tidak mampu memberikan pertolongan nyata yang berkesinambungan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan?
Kita semua menyadari bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam membangun dinamika perekonomian yang berdemokrasi serta kokoh. Namun sayangnya, kata “pendidikan” yang diterapkan di negara-negara berkembang umumnya hanya diterjemahkan tidak lebih dari sekadar upaya penanggulangan buta huruf dan mendukung sistem hafalan yang berlaku. Ketimbang “pendidikan” semata, dewasa ini Indonesia masih membutuhkan “kepemimpinan yang analitis, berpengetahuan luas, dan bertanggung jawab”.
Karena berbagai alasan, lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita belum mampu menciptakan pemimpin-pemimpin yang tercerahkan secara intelektual, moral, dan beretika untuk membaktikan diri mereka kepada kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ini umumnya masih bersifat tradisional dan dikelola oleh pemerintah.
Beruntung, beberapa negara maju menyediakan kesempatan bagi sekumpulan kecil pemimpin berkualitas dan pegawai pemerintahan sebagai sandaran masyarakat. Seiring berjalannya waktu, Indonesia dapat belajar dari pengalaman Amerika Serikat. Pendidikan merupakan kunci utama yang berhasil meluncurkan negara AS menjadi sebuah bangsa yang lebih demokratis dan makmur. Undang-undang yang menjamin pendidikan tinggi atau ketrampilan bagi veteran Perang Dunia ke-II (G.I. Bill) berperan besar dalam membuka kesempatan bagi jutaan orang Amerika. Generasi muda di sana berhasil meraih posisi tertinggi dalam hal kepemimpinan dan produktivitas. Bantuan berupa hibah, pinjaman, dan beasiswa dari Badan Federal, Negara Bagian, dan swasta berperan besar dalam membuka akses ke pendidikan berdasarkan prestasi. Hal ini merangsang kecakapan intelektual dan kreativitas di masyarakat yang membantu AS mengatasi tantangan-tantangan di era modern.
Presiden Barack Obama merupakan cermin keberhasilan dari metode tersebut. Jaringan klub-klub eksklusif Amerika yang hanya membukakan akses pada segelintir kelompok elit bukanlah jalur yang ditempuhnya untuk meraih kepemimpinan. Melainkan, Ia melangkah dengan hasrat pribadi untuk maju dan membuka kesempatan meraih pendidikan yang berlandaskan meritokrasi. Perjalanannya menuju Gedung Putih tidak melalui lembaga hukum elit atau korporasi, tetapi melalui kerja keras tanpa pamrih untuk meningkatkan taraf hidup lapisan prasejahtera di lingkungannya.
Beberapa teori ekonomi politik menganggap bahwa kelompok kelas menengah yang besar memiliki pengaruh baik dan menciptakan stabilitas masyarakat. Ini dikarenakan kelompok kelas menengah tidak memiliki kecenderungan kelas bawah yang revolusioner dan eksplosif maupun kecenderungan absolutis yang tertanam kuat di kalangan atas.
Klasifikasi golongan masyarakat sebagai kelas menengah atau bukan dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, kondisi fisik tempat mereka bekerja, dan gaya hidup mereka daripada hubungan mereka dengan alat-alat produksi.
Jika kita menyepakati bahwa makna “kelas” memasukkan unsur-unsur intelektual dan material, lalu pendidikan merupakan syarat utama seseorang dapat mempertahankan statusnya, dapat dipahami mengapa dewasa ini kita menyaksikan tingkat pertumbuhan di negara-negara bekas komunis yang telah menerapkan kapitalisme lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan di negara-negara terbelakang yang semula memiliki pendapatan per kapita sama dengan mereka.
Sebagai perbandingan, negara-negara bekas komunis secara umum beruntung karena mewarisi penduduk yang berpendidikan sangat tinggi sehingga negara-negara bekas komunis itu telah lepas landas meninggalkan kita. Sementara mereka melesat membangun kapasitas material, kita di Indonesia masih berjuang untuk membangun kapasitas intelektual sebelum dapat berlanjut membangun kapasitas material.
Penanggulangan masalah pendidikan untuk kesejahteraan masyarakat luas adalah tangung jawab orang-orang yang memiliki kepekaan moral. Oleh karena itu, saya yakin sepenuhnya bahwa negara ini, dengan jumlah penduduknya yang besar dan sumber dayanya yang luar biasa, perlu menciptakan sebanyak mungkin—dan secepat mungkin—upaya-upaya pembentukan pemimpin. Negara ini membutuhkan pemimpin yang mampu membuat lompatan besar untuk menghilangkan kesenjangan dan mengembangkan segala potensi yang ada di masyarakat.
Salam
Putera Sampoerna
Saya percaya bahwa sebagai warga dunia dan bangsa yang majemuk, kita memiliki tujuan sama, yaitu menjembatani perbedaan budaya. Kita berkewajiban membangun dan mengembangkan hubungan yang berkesinambungan dan saling menguntungkan di bidang-bidang strategis seperti perekonomian, perdagangan, dan keamanan.
Pemimpin berkualitas merupakan syarat utama bagi aspirasi ini. Pertanyaannya adalah, siapakah para pemimpin berkualitas ini? Mereka adalah orang-orang yang memiliki empati terhadap rekan sejawatnya di seluruh nusantara. Mereka juga orang-orang yang secara pragmatis mampu mencapai konsensus melalui musyawarah mufakat.
Dewasa ini kita dihadapkan pada tantangan sosial dan politik. Bagi negara-negara berkembang, baik yang berada di bawah kekuasaan individu atau kelompok elit, peluang korupsi yang kerap hadir bersama kekuasaan menjadi sumber kegagalan. Hal ini berimbas pada terbatasnya akses terhadap kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat akibat tangan-tangan koruptor yang berkuasa. Upaya-upaya penanggulangan akan eksploitasi kemiskinan yang sudah tersistem di masyarakat, kebijakan-kebijakan eksklusif yang hanya menguntungkan sebagian kelompok, dan pelanggaran hak asasi manusia akan sia-sia kekurangan pemimpin yang mampu bertindak tegas. Pemimpin tersebut adalah mereka yang bertanggung jawab, cerdas, berpengetahuan luas, dan berasal dari masyarakat di negara itu sendiri.
Upaya mengatasi korupsi, sifat elitis, dan keterbatasan masyarakat hanya bisa dicapai melalui kepemimpinan yang diwarnai kekuatan intelektual serta moral yang kental. Karakter ini dibutuhkan untuk memerangi kondisi buruk dan keluar sebagai pemenang.
Perhatikan peristiwa-peristiwa di sekitar Anda. Kisah-kisah yang disiarkan di televisi menceritakan bencana dan kelaparan. Kisah-kisah tersebut mendorong para donor membuat program wajib penanggulangan bencana secara kolektif. Kisah lainnya, perhatian terhadap upaya pengentasan buta huruf, angka kematian bayi, dan masalah kesehatan gagal mengatasi akar permasalahan, walaupun dimulai dengan sebuah niat mulia.
Apakah yang sebenarnya telah kita raih melalui upaya pemberantasan buta huruf dan peningkatan usia harapan hidup apabila tidak mampu memberikan pertolongan nyata yang berkesinambungan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan?
Kita semua menyadari bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam membangun dinamika perekonomian yang berdemokrasi serta kokoh. Namun sayangnya, kata “pendidikan” yang diterapkan di negara-negara berkembang umumnya hanya diterjemahkan tidak lebih dari sekadar upaya penanggulangan buta huruf dan mendukung sistem hafalan yang berlaku. Ketimbang “pendidikan” semata, dewasa ini Indonesia masih membutuhkan “kepemimpinan yang analitis, berpengetahuan luas, dan bertanggung jawab”.
Karena berbagai alasan, lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita belum mampu menciptakan pemimpin-pemimpin yang tercerahkan secara intelektual, moral, dan beretika untuk membaktikan diri mereka kepada kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ini umumnya masih bersifat tradisional dan dikelola oleh pemerintah.
Beruntung, beberapa negara maju menyediakan kesempatan bagi sekumpulan kecil pemimpin berkualitas dan pegawai pemerintahan sebagai sandaran masyarakat. Seiring berjalannya waktu, Indonesia dapat belajar dari pengalaman Amerika Serikat. Pendidikan merupakan kunci utama yang berhasil meluncurkan negara AS menjadi sebuah bangsa yang lebih demokratis dan makmur. Undang-undang yang menjamin pendidikan tinggi atau ketrampilan bagi veteran Perang Dunia ke-II (G.I. Bill) berperan besar dalam membuka kesempatan bagi jutaan orang Amerika. Generasi muda di sana berhasil meraih posisi tertinggi dalam hal kepemimpinan dan produktivitas. Bantuan berupa hibah, pinjaman, dan beasiswa dari Badan Federal, Negara Bagian, dan swasta berperan besar dalam membuka akses ke pendidikan berdasarkan prestasi. Hal ini merangsang kecakapan intelektual dan kreativitas di masyarakat yang membantu AS mengatasi tantangan-tantangan di era modern.
Presiden Barack Obama merupakan cermin keberhasilan dari metode tersebut. Jaringan klub-klub eksklusif Amerika yang hanya membukakan akses pada segelintir kelompok elit bukanlah jalur yang ditempuhnya untuk meraih kepemimpinan. Melainkan, Ia melangkah dengan hasrat pribadi untuk maju dan membuka kesempatan meraih pendidikan yang berlandaskan meritokrasi. Perjalanannya menuju Gedung Putih tidak melalui lembaga hukum elit atau korporasi, tetapi melalui kerja keras tanpa pamrih untuk meningkatkan taraf hidup lapisan prasejahtera di lingkungannya.
Beberapa teori ekonomi politik menganggap bahwa kelompok kelas menengah yang besar memiliki pengaruh baik dan menciptakan stabilitas masyarakat. Ini dikarenakan kelompok kelas menengah tidak memiliki kecenderungan kelas bawah yang revolusioner dan eksplosif maupun kecenderungan absolutis yang tertanam kuat di kalangan atas.
Klasifikasi golongan masyarakat sebagai kelas menengah atau bukan dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, kondisi fisik tempat mereka bekerja, dan gaya hidup mereka daripada hubungan mereka dengan alat-alat produksi.
Jika kita menyepakati bahwa makna “kelas” memasukkan unsur-unsur intelektual dan material, lalu pendidikan merupakan syarat utama seseorang dapat mempertahankan statusnya, dapat dipahami mengapa dewasa ini kita menyaksikan tingkat pertumbuhan di negara-negara bekas komunis yang telah menerapkan kapitalisme lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan di negara-negara terbelakang yang semula memiliki pendapatan per kapita sama dengan mereka.
Sebagai perbandingan, negara-negara bekas komunis secara umum beruntung karena mewarisi penduduk yang berpendidikan sangat tinggi sehingga negara-negara bekas komunis itu telah lepas landas meninggalkan kita. Sementara mereka melesat membangun kapasitas material, kita di Indonesia masih berjuang untuk membangun kapasitas intelektual sebelum dapat berlanjut membangun kapasitas material.
Penanggulangan masalah pendidikan untuk kesejahteraan masyarakat luas adalah tangung jawab orang-orang yang memiliki kepekaan moral. Oleh karena itu, saya yakin sepenuhnya bahwa negara ini, dengan jumlah penduduknya yang besar dan sumber dayanya yang luar biasa, perlu menciptakan sebanyak mungkin—dan secepat mungkin—upaya-upaya pembentukan pemimpin. Negara ini membutuhkan pemimpin yang mampu membuat lompatan besar untuk menghilangkan kesenjangan dan mengembangkan segala potensi yang ada di masyarakat.
Salam
Putera Sampoerna
Selasa, 10 Mei 2011
Pendidikan Keteladanan
Saya pun berharap wajah-wajah keceriaan mengiringi hari-hari indah anda bersama keluarga. Keluarga sakinah mawaddah warahmah. Keluarga yang di dalamnya ada figur keteladanan dari ayah dan ibu. Mampu memimpin keluarga kecil bahagia sejahtera dengan penuh kasih sayang, karena didalamnya telah ditanamkan pendidikan keteladanan.
Pendidikan keteladanan di mulai dari keluarga dan diajarkan pula di sekolah. Anak sudah harus diarahkan untuk mengikuti hal-hal baik yang dilakukan oleh para orang dewasa agar mereka mendapatkan contoh konkrit dari apa yang dilihatnya.
Seorang anak adalah mesin foto copy yang canggih, apapun yang diperbuat oleh bapak dan ibunya maupun lingkungan keluarga akan dicontoh oleh si anak. Tinggal sekarang kemana si anak akan diarahkan? Oleh karena itu bijaklah dalam berbicara maupun bertindak. Ingatlah dalam keluarga ada yang sedang menjiplak anda.
Pendidikan anak diawali dari rumah. Oleh karenanya semakin besar anak, sebagai orang tua harus semakin berhati-hati bertingkah laku & berkata-kata, takut anak meniru yang buruk. Anak-anak adalah peniru yang baik.
Pendidikan keteladanan sebenarnya ada dalam rumah-rumah kita. Dia bersemayam dalam hati kita masing-masing, karena pada hakekatnya keteladanan muncul dari dalam diri.
Hal itu terlihat dari bagaimana seorang ayah yang melindungi anak-anaknya dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Bagaimana seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan belaian lembut seorang ibu. Semua itu mereka lakukan demi keberlangsungan hidup anak-anaknya.
Ketika ayah dan ibu tak lagi menjadi teladan bagi anak-anaknya. Ketika seorang kakak tak memberikan teladan kepada adiknya, dan ketika yang tua tak memberikan teladan kepada yang muda. Apa yang terjadi?
Kita tentu akan melihat bahwa budi pekerti telah hilang dari dalam diri.
Mereka yang muda tentu akan mengikuti gaya orang tuanya. Bila orang tuanya baik, maka anak pun akan cenderung baik. Ketika orang tuanya jahat, maka anak pun akan berkecenderungan jahat pula. Lingkungan sangat membentuk kepribadian anak.
Pendidikan keteladanan harus dimulai dari keluarga. Para orang tua harus dapat memberikan keteladanan kepada anak-anaknya.
Ketika orang tua mengajak anaknya untuk beribadah, maka orang tuanya itu harus memberikan keteladanan lebih dulu. Jangan sekali-kali mengajak anak untuk beribadah, ketika orang tua tak melakukannya. Sebab bila itu terjadi anak akan protes dan cenderuang memaki dan mengumpat.
Bisa saja keluar kalimat, “ayah saja tidak sholat, dan ibu saja tidak mengaji”.
Pada akhirnya anak melihat kelakuan buruk orang tuanya. Anak akan cepat meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Keteladanan positif pun tak terjadi.
Menjadi orang tua ideal perlu ilmu. Menjadi guru ideal juga perlu ilmu. Jika orang tua dan guru mengamalkan ilmunya dengan benar, saya yakin keteladanan bisa diberikan pada anak.
Sayangnya, banyak suami istri tidak mencari ilmu mendidik anak karena sibuk dengan urusan pemenuhan kebutuhan keluarga. Mereka mengandalkan guru di sekolah untuk mendidik anaknya. Namun, ternyata guru telanjur dipusingkan dengan urusan administrasi sekolah dan urusan keluarga. Mereka hanya sempat mentransfer materi pelajaran tapi lupa menanamkan keteladanan. Kalau sudah begitu, semoga kita tidak termasuk golongan orang yang merugi.
Pendidikan keteladanan harus dipupuk dari anak masih usia dini. Tentu memori otaknya akan menyimpan semua hal baik yang dilihatnya. Tetapi bila kita sebagai orang tua tak memberikan keteladanan, maka jangan salahkan bila anak kita berkelakukan kurang ajar.
Dalam dunia persekolahan kita, pendidikan keteladanan harus diberikan guru kepada anak didiknya. Menyatu dalam kurikulum yang bernama pendidikan karakter atau watak di sinilah fungsi mendidik itu diperkukan. Para peserta didik diajarkan bagaimana mencontoh hal-hal baik yang ada dalam kehidupannya sehari-hari.
Banyak orang tua lupa bahwa mereka itu guru pertama bagi anaknya. Keluarga itu adalah sekolah pertama anak. Merah, putih, dan hitamnya anak tergantung pada orang tuanya. Sayangnya, urusan mendidik anak dianggap sebagian orang tua hanyalah urusan guru di sekolah.
Saya kira, pendidikan keteladanan akan berjalan dengan baik dalam dunia pendidikan bila kita sebagai orang tua, guru, dan dosen mampu memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Tak perlu ini dan itu dalam memberikan keteladanan, karena keteladanan itu sederhana. Sangat sederhana.
Tetapi kenapa di antara kita sering tak melakukannya???
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Pendidikan keteladanan di mulai dari keluarga dan diajarkan pula di sekolah. Anak sudah harus diarahkan untuk mengikuti hal-hal baik yang dilakukan oleh para orang dewasa agar mereka mendapatkan contoh konkrit dari apa yang dilihatnya.
Seorang anak adalah mesin foto copy yang canggih, apapun yang diperbuat oleh bapak dan ibunya maupun lingkungan keluarga akan dicontoh oleh si anak. Tinggal sekarang kemana si anak akan diarahkan? Oleh karena itu bijaklah dalam berbicara maupun bertindak. Ingatlah dalam keluarga ada yang sedang menjiplak anda.
Pendidikan anak diawali dari rumah. Oleh karenanya semakin besar anak, sebagai orang tua harus semakin berhati-hati bertingkah laku & berkata-kata, takut anak meniru yang buruk. Anak-anak adalah peniru yang baik.
Pendidikan keteladanan sebenarnya ada dalam rumah-rumah kita. Dia bersemayam dalam hati kita masing-masing, karena pada hakekatnya keteladanan muncul dari dalam diri.
Hal itu terlihat dari bagaimana seorang ayah yang melindungi anak-anaknya dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Bagaimana seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan belaian lembut seorang ibu. Semua itu mereka lakukan demi keberlangsungan hidup anak-anaknya.
Ketika ayah dan ibu tak lagi menjadi teladan bagi anak-anaknya. Ketika seorang kakak tak memberikan teladan kepada adiknya, dan ketika yang tua tak memberikan teladan kepada yang muda. Apa yang terjadi?
Kita tentu akan melihat bahwa budi pekerti telah hilang dari dalam diri.
Mereka yang muda tentu akan mengikuti gaya orang tuanya. Bila orang tuanya baik, maka anak pun akan cenderung baik. Ketika orang tuanya jahat, maka anak pun akan berkecenderungan jahat pula. Lingkungan sangat membentuk kepribadian anak.
Pendidikan keteladanan harus dimulai dari keluarga. Para orang tua harus dapat memberikan keteladanan kepada anak-anaknya.
Ketika orang tua mengajak anaknya untuk beribadah, maka orang tuanya itu harus memberikan keteladanan lebih dulu. Jangan sekali-kali mengajak anak untuk beribadah, ketika orang tua tak melakukannya. Sebab bila itu terjadi anak akan protes dan cenderuang memaki dan mengumpat.
Bisa saja keluar kalimat, “ayah saja tidak sholat, dan ibu saja tidak mengaji”.
Pada akhirnya anak melihat kelakuan buruk orang tuanya. Anak akan cepat meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Keteladanan positif pun tak terjadi.
Menjadi orang tua ideal perlu ilmu. Menjadi guru ideal juga perlu ilmu. Jika orang tua dan guru mengamalkan ilmunya dengan benar, saya yakin keteladanan bisa diberikan pada anak.
Sayangnya, banyak suami istri tidak mencari ilmu mendidik anak karena sibuk dengan urusan pemenuhan kebutuhan keluarga. Mereka mengandalkan guru di sekolah untuk mendidik anaknya. Namun, ternyata guru telanjur dipusingkan dengan urusan administrasi sekolah dan urusan keluarga. Mereka hanya sempat mentransfer materi pelajaran tapi lupa menanamkan keteladanan. Kalau sudah begitu, semoga kita tidak termasuk golongan orang yang merugi.
Pendidikan keteladanan harus dipupuk dari anak masih usia dini. Tentu memori otaknya akan menyimpan semua hal baik yang dilihatnya. Tetapi bila kita sebagai orang tua tak memberikan keteladanan, maka jangan salahkan bila anak kita berkelakukan kurang ajar.
Dalam dunia persekolahan kita, pendidikan keteladanan harus diberikan guru kepada anak didiknya. Menyatu dalam kurikulum yang bernama pendidikan karakter atau watak di sinilah fungsi mendidik itu diperkukan. Para peserta didik diajarkan bagaimana mencontoh hal-hal baik yang ada dalam kehidupannya sehari-hari.
Banyak orang tua lupa bahwa mereka itu guru pertama bagi anaknya. Keluarga itu adalah sekolah pertama anak. Merah, putih, dan hitamnya anak tergantung pada orang tuanya. Sayangnya, urusan mendidik anak dianggap sebagian orang tua hanyalah urusan guru di sekolah.
Saya kira, pendidikan keteladanan akan berjalan dengan baik dalam dunia pendidikan bila kita sebagai orang tua, guru, dan dosen mampu memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Tak perlu ini dan itu dalam memberikan keteladanan, karena keteladanan itu sederhana. Sangat sederhana.
Tetapi kenapa di antara kita sering tak melakukannya???
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Langganan:
Postingan (Atom)