Minggu, 02 Mei 2010

Tersenyum & Tertawa = Olah Raga

Tersenyum dan tertawa merupakan salah satu bentuk komunikasi sederhana yang mudah dipahami. Dibalik itu, kedua hal tersebut menyimpan beragam manfaat bagi manusia termasuk secara fisik dan psikologis. Ironisnya, sebagian individu cenderung memandang sepele manfaat senyum.

Hasil riset menunjukan tertawa dan tersenyum memberikan efek yang sama seperti menjalani olahraga. Tak hanya itu, pada momen dimana seseorang merasa begitu bahagia, senyum memiliki efek meningkatkan suasana hati, meminimalisir produksi hormon stres, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan tekanan darah dan tingkat kolesterol dalam darah.

Seperti latihan fisik, senyum juga bermanfaat merangsang nafsu makan, menawarkan cara yang potensial untuk membantu pasien yang kurang gizi dari makanan mereka. "Efek dari tertawa atau tersenyum sama seperti anda berolahraga berulang-ulang, " tukas peneliti dari California, Lee Berk seperti dikutip dari daily mail, Kamis (30/4).

Sebelumnya, peneliti meminta relawan melihat dua video berdurasi 20 menit. Video pertama bertemakan cerita sedih dan kedua bertemakan cerita lucu. Peneliti sengaja memisahkan minggu yang berbeda untuk video tema yang berbeda, untuk memastikan dampak tidak tumpang tindih.

Dari kedua video, peneliti mengukur tekanan darah dan tingkat dua hormon nafsu makan, leptin dan ghrelin. Hasilnya, tidak ada efek yang signifikan terlihat usai relawan melihat video menyedihkan. Namun, efeknya justru terlihat ketika relawan melihat video kedua dimana tercatat perubahan tekanan darah, naiknya nafsu makan dan turunya produksi leptin. Catatan itu mirip seperti efek dari latihan fisik tahap sedang.

"Esensi dari penelitian ini adalah penyedia layanan kesehatan seharusnya memberikan wawasan baru dan pemahaman, dan opsi lebih lanjut sehingga pasien yang tidak terburu-buru menggunakan aktivitas fisik untuk menormalkan atau meningkatkan selera makan mereka," ujarnya.

Kata dia, banyak pasien tua menderita karena nafsu makan berkurang sebagai akibat dari depresi dan kurangnya aktivitas fisik. Ia mencatat penurunan nafsu makan sering terlihat pada pasien lanjut usia setelah kematian pasangan, dan orang-orang sakit kronis. Berk menilai pasien berusia lanjut mungkin bisa menggunakan terapi senyum untuk membantu mereka mendapatkan kembali nafsu makan mereka.

"Ini menarik, emosi positif yang dihasilkan dari perilaku seperti saat bermain musik atau bernyanyi, dan tawa riang diterjemahkan sebagai jenis mekanisme biologis pemicu sikap optimis," terangnya.

Salam Street Smart NLP
Teddi Prasetya Yuliawan

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” sudah menjadi sebutan umum di masyarakat Indonesia untuk sosok seorang guru. Maklum, tidak ada bentuk penghargaan resmi di negara ini yang secara khusus didedikasikan untuk guru. Tidak ada bintang jasa, tidak ada gelaran tertentu yang berlaku resmi secara nasional untuk mengapresiasi peran guru dalam membangun bangsa, terutama dalam membangun karakter bangsa.

Para guru pun sepertinya sudah pasrah dengan sebutan tersebut, dan tidak mengeluh. Mengajar anak-anak bangsa merupakan satu tugas yang mulia, menurut mereka (para guru) mulia dan menurut kita tidak barangkali. Masih untung disebut “pahlawan”, daripada tidak diberi sebutan apa-apa. Masih untung tidak disamakan dengan “buruh”, meskipun dalam kenyataannya mereka menjadi buruh kasar untuk sistem yang mengusung jargon “nama baik sekolah”, atau “pendidikan berbasis kompetensi”, atau apapun namanya: tidak ada daya untuk melawan kesewenang-wenangan ketika gaji disunat untuk keperluan yang tidak jelas, kurikulum diutak atik seiring pergantian menteri, atau jadwal Ujian Nasional dimajukan sehingga mereka harus menyelesaikan kurikulum sesegera mungkin (tapi gaji tidak dinaikkan).

Pahlawan tanpa tanda jasa, dapat diinterpretasikan sebagai pahlawan yang “tidak akan pernah diberi tanda jasa”, atau sebagai pahlawan yang “tidak perlu diberi tanda jasa”.

Keniscayaan seorang guru adalah “tidak pernah atau tidak perlu diberi tanda jasa” ?

Begitu sulitkah membuat suatu kategori bintang jasa khusus untuk guru ?

Apakah perlu pembahasan di parlemen sampai berhari-hari, sekedar untuk mengakui jasa guru sampai ke level negara ?

Mungkin pemerintah merasa sudah cukuplah guru diberi ucapan “terima kasih” oleh murid-muridnya dalam bentuk puisi ?

Atau sebutan “pahlawan” cukup sebagai alat cuci tangan pemerintah untuk tidak memperhatikan kesejahteraan guru ?

Apa yang saya suarakan di sini mungkin terkesan sepele.
Mengapa hanya sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” saja diributkan ?

Menurut saya, apa yang kita tanamkan di otak kita tentang suatu obyek, itu akan mempengaruhi tindakan kita ke depan yang berkaitan dengan obyek tersebut. Saya ambilkan contoh: ketika kita sudah menanamkan dalam diri kita bahwa “Semua polisi itu adalah tukang palak”, maka dalam setiap tindakan kita, kita akan selalu mewaspadai kemungkinan seorang polisi akan menodong, minta uang secara paksa, dan sebagainya. Padahal tidak demikian. Dalam kasus guru, saya khawatir bahwa sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” akan membuat citra guru di mata pemerintah dan masyarakat sebagai sosok yang tidak perlu secara khusus diberi perhatian. Sudah terbukti bukan, kesejahteraan kebanyakan guru masih di bawah standar, meskipun gaji mereka dinaikkan.

Padahal, baik buruknya bangsa ini sangat ditentukan oleh para guru. Prof. Dr. B. J. Habibie tidak akan seperti sekarang ini tanpa jasa Oemar Bakri, eh…, guru. Para pembaca tidak akan dapat membaca tulisan saya, kalau tidak pernah diajar oleh guru. Mungkin di Indonesia ini hanya AD (pentolan sebuah grup musik Indonesia) saja yang tidak mengakui besarnya jasa guru.

Saya masih percaya para guru di Indonesia bukan orang-orang pengejar harta yang membabi buta. Akan tetapi, ada sisi kemanusiaan para guru di Indonesia yang tidak dapat kita pungkiri, yaitu bahwa mereka juga membutuhkan penghasilan yang memadai untuk menghidupi keluarganya. Dan tidak dapat dibantah pula bahwa tingkat kesejahteraan mereka juga mempengaruhi kinerja mereka dalam mencerdaskan kehidupan para muridnya. Kinerja guru akan mempengaruhi pula kualitas para muridnya. Tentu saja, para guru mempunyai sisi idealisme: meskipun gaji kecil, tetapi mencerdaskan kehidupan bangsa itu lebih penting.

Untuk dapat memberi perhatian pada guru, langkah pertama menurut saya adalah, perbaiki dahulu pencitraan untuk para guru. Saya mengusulkan sebutan untuk mereka diganti. Bukan “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi “pahlawan dengan jasa paling besar (untuk pembentukan karakter bangsa)”. Logikanya, dengan pencitraan yang saya usulkan, ketika kita memberi tanda jasa untuk seorang pahlawan non-guru, kita seharusnya memberi tanda jasa yang lebih istimewa lagi kepada guru. Ketika kita menyadari begitu besarnya jasa para guru, saya yakin tindakan-tindakan kita ke depan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan guru dapat lebih tepat sasaran.

Pemerintah juga harus menyadari, bagaimana karakter bangsa kita ke depan, akan sangat dipengaruhi oleh optimal atau tidaknya peran guru. Bagaimana mungkin peran guru menjadi optimal ketika setelah jam pelajaran sekolah selesai, dia harus menjadi pemulung sampah ?

Bagaimana mungkin guru akan berimprovisasi jika pikirannya melayang ke anaknya yang sakit dan tak terobati karena biaya pengobatan mahal ?

Bagaimana mungkin guru dapat menjelaskan pertanyaan yang memusingkan dari murid-muridnya kalau perutnya keroncongan karena hanya makan sekali dalam sehari ?

Guru bukan robot, dan guru masihlah manusia. Jadi, prioritaskanlah kesejahteraan guru dalam RAPBN/APBN kalau ingin membangun bangsa ini menjadi lebih baik !!

Sebagai penutup, saya tuliskan lirik sebuah lagu yang menurut saya lebih cocok sebagai lagu untuk menghormati para guru, tanpa menghilangkan respek saya pada lagu “Hymne Guru” yang sering dinyanyikan pada setiap Hari Pendidikan Nasional dan Hari Guru. Lagu ini populer sekali di TVRI belasan tahun yang lalu:

Kita jadi pandai menulis dan membaca
dari siapa…

Kita jadi pintar beraneka bidang ilmu
dari siapa…

Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita jadi pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita
Penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara…

Salam Pendidikan
Terimakasih Guru

Pendidikan Indonesia

(dalam sebuah renungan)
Oleh: I Gusti Ngurah Parthama

Sejarah bangsa mencatat pendidikan menjadi bagian penting dalam perkembangan sebuah bangsa. Indonesia pun mengalaminya. Sayangnya, justru saat dunia sedang berkompetisi dengan pengembangan pendidikan, pengetahuan, dan ilmu teknologi, bangsa ini justru masih tetap berkutat mencari karakter pendidikan yang sesuai. Sesuatu yang justru melemahkan karakter bangsa secara keseluruhan. Harusnya, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei menjadi momentum penting untuk perenungan perjalanan pendidikan bangsa.

Pendidikan memang penting. Bahkan, pepatah kuno mengatakan kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina. Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang tertinggi. Berharap bahwa investasi jangka panjang tersebut akan membuahkan hasil beberapa tahun kelak. Kemampuan penguasaan informasi, pengetahuan, dan teknologi setidaknya membuka kesempatan bagi mereka untuk bersaing di kancah globalisasi sekarang ini. Sebuah tipikal pengharapan ideal masyarakat umum terhadap pendidikan di Indonesia.

Harapan yang tentunya tidak muluk-muluk. Para orangtua belajar dari pengalaman masa lalu. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa hanya mereka yang terpelajar mampu mencerdaskan bangsa ini dan pada akhirnya mampu membawa bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Pencapaian yang memungkinkan bangsa ini berdiri pada kaki sendiri dan tidak lagi dalam kungkungan kolonialisasi penjajah. Sebuah cerminan yang sudah menjadi nyata bahwa orang-orang terpelajar memiliki peran penting. Mereka dengan bekal pendidikan dari sekolah-sekolah Belanda atau berlatar pendidikan Jepang justru dapat menjadikan Indonesia lebih baik.

Cerminan inilah yang justru memudar saat ini. Keteladanan tokoh-tokoh pendidikan pada masa lalu malah kian menghilang. Pendidikan Indonesia seperti kehilangan arah. Cengkeraman kapitalisme dan globalisasi yang begitu kencang menyebabkan pendidikan menjadi bagian yang juga terkena imbas. Pendidikan mahal dan pendidikan berkurikulum Barat menjadi hal yang mudah untuk ditemui saat ini. Sementara, sekolah-sekolah mulai berlomba-lomba memajang predikat menuju sekolah berstandar internasional.

Masih banyak persoalan yang membelit pendidikan Indonesia. Mulai dari kualitas sumber daya manusia terutama pengajar. Kemampuan mengajar, kesejahteraan, latar belakang pendidikan, serta penyebarannya yang tidak merata masih menjadi persoalan klasik. Juga ditambah dengan fasilitas yang timpang antara sekolah di perkotaan dan pedesaan maupun pedalaman. Persoalan juga tidak usai sampai di sana. Problematika pembelajaran mulai dari pengadaan buku-buku yang silih berganti hingga pada evaluasi melalui Ujian Nasional (UN) masih terus membayangi dunia pendidikan Indonesia setiap tahunnya. Kini bahkan pendidikan tinggi dituding menjadi penyumbang pengangguran terdidik. Perguruan tinggi, diploma, hingga akademi dianggap tidak mampu menyesuaikan kurikulum mereka dengan perkembangan dunia kerja.

Pemetaan Pendidikan

Saat ini yang paling penting untuk dilakukan adalah pemetaan pendidikan Indonesia. Segala ketimpangan sudah sepantasnya tidak dibiarkan. Ketimpangan pada akhirnya menyebabkan kecemburuan pada masyarakat yang pada akhirnya mereka justru menyerbu sekolah atau universitas dengan predikat mapan. Meskipun hal itu harus dibayar mahal dengan berbagai macam pengeluaran. Pemetaaan paling tidak mampu memaparkan kekurangan-kekurangan dunia pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Wilayah yang tergolong luas mulai dari Sabang hingga Merauke membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan hal itu tentunya patut disyukuri. Perbedaan karakteristik erat kaitannya dengan keberagaman masyarakat sudah seharusnya menjadi keunggulan yang selanjutnya menjadi penyumbang kebhinneka-tunggalikaan di Indonesia.

Pendidikan memang tidak dapat dipisahkan dari karakter masyarakatnya. Hal tersebut seharusnya sudah dilakukan sejak dulu oleh pemerintah. Sehingga tidak semata-mata hanya "menasionalisasi" kurikulum-kurikulum yang ada. Masyarakat perkotaan dengan perkembangan industri. Untuk itu pengetahuan dan teknologi tentu akan mudah beradaptasi jika mendapat fasilitas yang mendukung. Teknologi komputer, internet, dan lainnya menjadi hal mutlak untuk mendukung proses pembelajaran. Sedangkan mereka yang di pedesaan masih lekat dengan pertanian, perikanan, dan perkebunan. Sudah tentu kombinasi teknologi dan informasi akan memudahkan mereka mengembangkan sektor tersebut. Tentu yang tidak kalah penting adalah menangani pendidikan di pedalaman. Prosesnya tidak akan jauh berbeda seperti misalnya mereka yang terbiasa hidup dengan alam baik di hutan ataupun di laut.

Selama ini ikon pendidikan memang cenderung terpusat pada satu sisi saja. Misalnya lebih tersentralistik pada daerah perkotaan atau di Jawa saja. Berbagai universitas, diploma, hingga akademi dianggap lebih baik dari daerah lain. Kecenderungan orang tuamenganggap anak-anaknya akan mendapatkan pendidikan lebih baik dan lebih mapan. Padahal anggapan itu justru salah. Dalam kaitan itulah proses pemetaan menjadi penting. Selama ini barangkali baru pada tingkatan pendidikan tinggi yang begitu intens melakukan kegiatan semacam akreditasi. Masyarakat luas dapat mengetahui kekuatan sebuah universitas dengan universitas lainnya. Sedangkan jenjang pendidikan di bawah justru masih belum terlihat jelas. Predikat-predikat sekolah seperti sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah berstandar internasional malah lebih mudah terekat pada jenjang pendidikan pertama dan atas.

Begitu banyaknya persoalan yang dialami pendidikan Indonesia sudah tentu memerlukan pemikiran-pemikiran dengan visi jauh ke depan. Target-target selama ini memang sudah dipancangkan, namun realisasi menuju ke arah tersebut malah tidak terlihat. Universitas berlomba-lomba menggaungkan posisi sebagai world class university. Sekolah bekerja sendiri untuk meningkatkan status agar dicari peserta didik. Kondisi yang serba tidak jelas itu tentunya tidak menguntungkan para peserta didik. Setiap tahun ajaran baru kebingungan serupa pasti terulang. Calon siswa atau mahasiswa kelelahan mencari sekolah atau universitas yang sesuai. Padahal mereka juga telah lelah menempuh ujian akhir di jenjang pendidikan sebelumnya. Belum lagi jika proses pencarian itu melewati berbagai tes masuk yang tentunya tidak mudah. Sedangkan saat menamatkan pendidikan tinggi, mereka kembali didera kelelahan-kelelahan baru untuk mencari kerja yang juga tidak mudah.

Saatnya memang untuk merenungi pendidikan Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang berulang setiap tahun ajaran baru seharusnya menjadi titik tolak untuk perubahan. Tanpa ada perubahan maka pendidikan Indonesia masih jalan di tempat. Tertinggal jauh dari negara-negara lain yang lebih memperhatikan pendidikan bagi generasi-generasi penerus bangsa. Tanpa perubahan, generasi kita hanya akan menjadi "penonton" kompetisi global di masa mendatang.

Penulis, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana

* Saat ini yang paling penting untuk dilakukan adalah pemetaan pendidikan Indonesia.

* Pemetaaan paling tidak mampu memaparkan kekurangan-kekurang an dunia pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

* Perbedaan karakteristik erat kaitannya dengan keberagaman masyarakat sudah seharusnya menjadi keunggulan yang selanjutnya menjadi penyumbang kebhinneka-tunggal- ikaan di Indonesia.