Jadi, hmmm…Guru … Apa yang ada di pikiran kita saat membayangkan profesi ini ? Profesi paling mulia di muka bumi ? The mother of all professions ? Anak tiri pemerintah ? Pahlawan tanpa tanda jasa? Pahlawan yang sudah mulai diakui kehadirannya? Penuturan di bawah ini mungkin bisa membantu kita memaknai profesi guru….
Apa yang sesungguhnya bisa dilakukan seorang guru?
Loretta adalah guru lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan Eko, sepupunya yang bekerja sebagai Chief Executive Officer di sebuah perusahaan multi nasional, mengajukan pertanyaan,”Apa sih sesungguhnya yang dilakukan seorang guru? Kok, kamu akhirnya jadi guru? Capek-capek kuliah, lembur buat tugas ratusan kali, kedinginan, jauh dari keluarga dan akhirnya jadi guru? Kata pepatah, ‘Those who can, do. Those who can’t, teach’.
Loretta menanggapi pertanyaan itu setelah berpikir sejenak….
“Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya membuat anak-anak bisa belajar lebih keras dari yang mereka kira dan dari yang orang tua mereka sangka.
Saya membuat mereka bisa duduk selama 40 menit kendati orang tua tak mampu membuat mereka duduk tenang selama 10 menit tanpa bantuan Ipod, DVD player, MP 3 player atau video game.
Saya membuat nilai 6 di tangan mereka serasa seperti piala di tangan Susi Susanti ketika ia menjuarai Olimpiade.
Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya membuat mereka takjub.
Saya membuat mereka berpikir.
Saya membuat mereka bertanya.
Saya memberi mereka pujian sehingga rasa percaya diri meningkat.
Saya mengajak mereka menyanyi di acara sekolah sehingga mereka berani tampil di depan umum.
Saya mengajarkan mereka untuk minta maaf seusai mereka melakukan kesalahan.
Saya mengajarkan mereka agar menghormati semua orang termasuk petugas kebersihan di sekolah serta penjaga kantin.
Saya mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat.
Saya meminta mereka untuk menanggung konsekuensi dari pelanggaran yang mereka lakukan.
Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya mengajar mereka membaca, menulis dan berhitung sehingga mereka tak mudah ditipu.
Saya menyuruh mereka untuk membaca, membaca dan membaca.
Saya meminta mereka berdiskusi dan mempertahankan pendapat jika mereka bisa menopangnya dengan alasan yang kuat.
Saya meminta mereka untuk memahami pandangan temannya dan tetap menaruh rasa hormat walau mereka tak setuju saat berdiskusi.
Saya meminta mereka untuk menghargai perbedaan.
Saya meminta mereka untuk mengakui kesalahan jika terbukti mereka salah.
Saya membawa mereka ke museum.
Saya meminta mereka untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan khidmat saat upacara bendera.
Saya meminta mereka tunduk, mengenang jasa pahlawan saat Lagu Syukur dikumandangkan.
Saya mengajarkan mereka untuk menghargai pahlawan.
Lebih dari semuanya, saya membuat mereka paham betul, bahwa jika mereka melakukan sesuatu dengan segala yang mereka miliki dan dengan semua potensi yang ada, pasti mereka akan berhasil.
Saya menyuntikkan semangat ke dalam tubuh mereka.
Saya memberikan mereka inspirasi.
Saya menyebarkan optimisme dan cinta kasih.
Guru memang tidak punya uang sebanyak pengusaha, apalagi CEO kayak kamu. Hmmm….I do not make money, I make a difference…Eko, what do you make?
Jadi, untuk yang terakhir kali, apa yang melekat di benak saat kita mendengar kata ‘guru’ ? apa sesungguhnya ‘menjadi guru’ itu ? Sindhunata, Pemimpin Redaksi majalah bulanan Basis, dalam sebuah tulisannya pernah mencoba menggugah kita untuk merenungkan apa makna pendidikan sesungguhnya (2001:3).
“…betapa pendidikan kita telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang paling dasar, yakni membantu anak didik menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Pendidikan perlu membuat manusia terkejut, mengapa ia begitu tertutup, padahal kesadarannya menuntut, hanya bila mau terbuka maka ia akan bahagia. Pendidikan juga perlu membuat manusia kaget, mengapa ia begitu takut, padahal kesadarannya menuntut, agar ia berani untuk memperjuangkan hidupnya. Pendidikan juga harus membuat ia benci terhadap dirinya, mengapa ia membenci dan menindas orang lain, padahal kesadarannya menuntut bahwa hanya dengan saling mencintai dan hormat satu sama lain, ia akan menjadi manusia bahagia dalam masyarakatnya”.
Marilah kita memaknai profesi guru dengan merenungkan pernyataan mengenai arti pendidikan yang dilontarkan Sindhunata di atas.
Selamat berpikir
Salam
Meicky
Rabu, 06 Juli 2011
Dasyatnya Doa Ibu
Kejadian Pertama
Hari itu, 31 Desember 1998, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam menjelang tahun baru, saya masih berada di rumah. Ibu dengan dibantu beberapa ibu-ibu tetangga sedang memasak menu untuk acara syukuran di kompleks perumahan kami. Tri, kawan sepermainan saya, memanggil-manggil saya untuk ikut keluar. Keluyuran, menikmati suasana malam menjelang tahun baru.
Sebelumnya, ibu tidak mengizinkan saya. Saya diminta di rumah dan membantu beliau. Namun, saya tidak mengindahkan. Kata bapak, waktu itu ibu sempat mengatakan, ”Awas kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Namun, saya tidak mendengarnya. Keburu keluar bersama kawan saya.
Kami naik motor. Tidak jelas tujuannya. Yang penting, kata Tri, jalan-jalan. Motor pun digeber cukup kencang. Sekitar pukul 20.00, saat melewati sebuah tikungan, Tri tidak mengurangi kecepatan. Tiba-tiba sebuah mobil Taft menyeruak di depan, Tri kaget. Karena panik, ia tak bisa mengendalikan laju motor. Motor bersama kami masuk parit, cukup dalam. Akibatnya, kami berdua terluka. Saya yang berada di boncengan mengalami luka serius di kaki.
Kendati meringis kesakitan, saya masih sadar. Berusaha meminta tolong. Pada saat itu, kaki kanan saya tidak kuasa menyanggah tubuh saya. Saya tidak bisa berdiri. Setelah dilihat, celana saya sudah berlumuran darah. Saya tak sempat melihat luka di kaki kanan saya tersebut. Yang jelas, darah yang keluar cukup banyak. Kepala saya mulai pening. Dalam kondisi setengah sadar dan pandangan yang mulai kabur, saya melihat kerumunan orang menuju ke arah saya. Setelah itu, saya tak tahu lagi apa yang terjadi.
Saat sadar, saya sudah berada di ruang perawatan khusus di RS Mekar Sari Bekasi. Menurut bapak, jika terlambat sedikit saja, nyawa saya saat itu mungkin tidak tertolong karena darah yang mengucur dari kaki saya cukup banyak.
Saya juga sempat melihat ibu. Tampak jelas beliau menahan tangis. Wajah saya dipeluk. Saya minta maaf kepada beliau. Setelah itu, saya kembali tak sadar. Pasrah pada apa pun yang terjadi.
Namun, saya sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara dunia. Setelah menjalani operasi, kondisi saya berangsur membaik. Memang lukanya cukup parah. Otot besar tepat di bawah dengkul robek. Dokter menjelaskan, saya bisa berjalan, tetapi pincang. Artinya, saya harus menerima kenyataan bahwa kaki kanan saya ini cacat.
Ibu berusaha terus membesarkan hati saya. Menghibur dan memberikan semangat agar saya tidak patah arang. Berhubungan atau tidak, saya percaya bahwa kejadian malam itu tak lepas dari doa beliau. Ibu bilang, beliau mendoakan keselamatan untuk saya. Dan itu dikabulkan oleh-Nya. Alhamdulillah.
Kejadian Kedua
Kala itu, selepas lulus dari IKIP Surabaya pada 2004 saya masih menjalani waktu-waktu tak menentu di Surabaya. Saya menganggur setelah sebelumnya sempat ”magang” di warung kopi milik paman. Tak betah, tapi saya tetap memutuskan untuk tinggal di Surabaya. Seolah dapat ilham, saya teringat ibu. Saya menelepon beliau dan menceritakan kondisi saya yang luntang-lantung di Surabaya. Sulitnya mencari kerja. Mau buka usaha pun tak sanggup. Mengirim lamaran kerja, sebagai guru dan pegawai swasta, tetapi belum kunjung ada panggilan. Semuanya saya ceritakan kepada beliau.
Di ujung telepon, pada pengujung pembicaraan, saya meminta restu ibu agar segera dapat kerja. Esoknya, saya dapat panggilan dari PT Tata Solusi Pratama (TSP) di divisi logistik. Hanya sekali ikut tes, saya dinyatakan diterima dan bekerja di sana. Meski hanya digaji Rp 800 ribu, saya sangat bersyukur. Alhamdulillah.
Kejadian Ketiga
Saya mulai tak kerasan di PT TSP. Saya sadar bahwa saya memiliki kemampuan lebih untuk sekadar jadi pegawai gudang (logistik). Saya ingin mengembangkan karir di bidang lain. Dan impiannya saya adalah jurnalistik atau pendidikan. Saya memberi tahu ibu soal niat saya untuk hengkang dari TSP. Beliau bilang, semua terserah saya. ”Pokoknya, apa yang terbaik menurutmu, ibu mendukung,” ucapnya waktu itu. Saya meminta restu beliau untuk mendoakan saya agar bisa mencapai apa yang saya cita-citakan.
Surat resign saya serahkan ke atasan. Dikabulkan. Saya resmi jadi pengangguran lagi. Namun, itu tak berlangsung lama. Secara tak sengaja, ketika ngopi di kawasan Ketintang, dekat kampus IKIP, saya membaca lowongan kerja. Terpampang jelas di situ, Jawa Pos butuh ”polisi EYD” alias tukang edit. Segera saya membeli amplop cokelat ukuran folio, kertas HVS selembar, dan menyiapkan berkas lain untuk mengirim surat lamaran kerja ke sana. Setelah siang saya mengirimkannya, malamnya saya telepon ibu. Meminta doa beliau.
Impian jadi nyata. Saya lolos tes administrasi dan ikut tes tulis. Setiap lolos, saya mengabarkan kepada ibu dan bapak. Ibu sangat antusias mendengarnya. Berharap saya bisa lolos dan meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Ketika ikut tes ketiga, yakni psikotes, saya melaluinya dengan baik. Selanjutnya, saya menjalani tes wawancara dengan kepala editor (Pak Guntur) dan koordinator liputan (Pak Baihaqi). Saya sempat dicecar oleh Pak Baihaqi tentang kebiasaan membaca. Bahkan, beliau sempat melontarkan nada tinggi ketika saya agak gugup ketika menjawab. Namun, saya lolos! Gembira bukan kepalang. Saya merasa juara meski belum sepenuhnya diterima. Paling tidak, saya sudah menyisihkan banyak sarjana bahasa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Seingat saya, ada lulusan UGM dan Undip. Wajah mereka tampak pasti. Namun, seperti ibu bilang bahwa saya pasti bisa. Doanya menjadi penyemangat yang dahsyat. Kepercayaan diri saya berlipat-lipat.
Tiba tes terakhir, yakni kesehatan. Jujur, saya ragu. Pasalnya, saya punya sakit jantung lemah. Sehingga telapak tangan dan kaki saya selalu basah. Ini membuat saya nggak pede. Saya memohon doa kepada ibu. Tinggal selangkah lagi. Esoknya saya mengikuti serangkaian tes kesehatan lengkap. General check up. Saya yakin doa ibu selalu menyertai setiap langkah saya. Bismillah. Dan betul, saya dinyatakan lolos. Allahu akbar. Tak menyangka impian saya untuk menggeluti dunia jurnalistik benar-benar terealisasi.
Kejadian Keempat
Saya berkenalan dengan seorang alumnus Undip, kader Partai Keadilan Sejahtera. Perempuan berparas cantik dan murah senyum. Kami memutuskan bertaaruf. Sekali bersua, saya lantas nekat berkunjung ke rumahnya di Pekalongan. Mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melamarnya. Benar-benar bonek lah. Padahal, kala itu, saya belum punya tabungan untuk menikah. Pada pertemuan selanjutnya, orang tua saya sowan ke Pekalongan. Beberapa minggu kemudian, ganti keluarga calon mertua yang menyambangi rumah orang tua saya di Bekasi.
Semuanya terasa begitu cepat. Ibu sempat tanya ke saya, ”Apa kamu sudah siap?” Saya jawab, ”Insya Allah, Bu. Saya sangat siap.” Modal yakin saja. Allah pasti menolong saya, begitu pikir saya waktu itu.
Setelah lamaran, tanggal pernikahan kami pun ditentukan, 8 Maret 2009. Dan kantong ini belum cukup ”tebal”. Bahkan, saya belum mendapatkan kontrakan buat kami.
Saya bilang ke ibu tentang hal ini. Bapak hanya sopir, penghasilannya tak seberapa. Jika ada order, dapat uang. Jika tidak, ya nganggur. Tidak pasti setelah beliau pensiun. Ibu hanya menjual nasi bungkus dan bikin kue yang dititipkan ke warung-warung. Sangat membantu finansial rumah tangga. Karena itu, saya nggak tega untuk minta bantuan keuangan kepada ibu dan bapak untuk biaya menikah. Bingung. Gamang sekali waktu itu.
Ibu membesarkan hati saya. ”Minta sama Allah, Dia pasti menolong,” jawab ibu singkat. Saya bersemangat lagi. Tanggal pernikahan sudah dekat. Saya berusaha mencari dana untuk modal nikah. Kemudian saya bertemu dengan Mas Mierza, bendahara Badan Amil Zakat (BAZ) Jatim. Saya mengutarakan kesulitan saya. Tanpa tedeng aling-aling, beliau bersedia memberikan pinjaman tanpa anggunan sama sekali. Alhamdulillah walaa ilaha illallah...
***
Saya tak pernah menyangsikan kekuatan doa seorang ibu. Memang manusia hanya bisa berusaha, selanjutnya keputusan berada di tangan Allah.
Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya, maka dia kafir.” (HR. Muslim)
Pada hadis lain disebutkan, ketika ditanya tentang peran kedua orang tua, Rasulullah SAW menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah)
Semoga Allah selalu melindungi ibuku, ibuku, ibuku, dan ayahku. Menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sejak kecil sampai sekarang. Amiin.
Salam
Eko Prasetyo
Hari itu, 31 Desember 1998, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam menjelang tahun baru, saya masih berada di rumah. Ibu dengan dibantu beberapa ibu-ibu tetangga sedang memasak menu untuk acara syukuran di kompleks perumahan kami. Tri, kawan sepermainan saya, memanggil-manggil saya untuk ikut keluar. Keluyuran, menikmati suasana malam menjelang tahun baru.
Sebelumnya, ibu tidak mengizinkan saya. Saya diminta di rumah dan membantu beliau. Namun, saya tidak mengindahkan. Kata bapak, waktu itu ibu sempat mengatakan, ”Awas kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Namun, saya tidak mendengarnya. Keburu keluar bersama kawan saya.
Kami naik motor. Tidak jelas tujuannya. Yang penting, kata Tri, jalan-jalan. Motor pun digeber cukup kencang. Sekitar pukul 20.00, saat melewati sebuah tikungan, Tri tidak mengurangi kecepatan. Tiba-tiba sebuah mobil Taft menyeruak di depan, Tri kaget. Karena panik, ia tak bisa mengendalikan laju motor. Motor bersama kami masuk parit, cukup dalam. Akibatnya, kami berdua terluka. Saya yang berada di boncengan mengalami luka serius di kaki.
Kendati meringis kesakitan, saya masih sadar. Berusaha meminta tolong. Pada saat itu, kaki kanan saya tidak kuasa menyanggah tubuh saya. Saya tidak bisa berdiri. Setelah dilihat, celana saya sudah berlumuran darah. Saya tak sempat melihat luka di kaki kanan saya tersebut. Yang jelas, darah yang keluar cukup banyak. Kepala saya mulai pening. Dalam kondisi setengah sadar dan pandangan yang mulai kabur, saya melihat kerumunan orang menuju ke arah saya. Setelah itu, saya tak tahu lagi apa yang terjadi.
Saat sadar, saya sudah berada di ruang perawatan khusus di RS Mekar Sari Bekasi. Menurut bapak, jika terlambat sedikit saja, nyawa saya saat itu mungkin tidak tertolong karena darah yang mengucur dari kaki saya cukup banyak.
Saya juga sempat melihat ibu. Tampak jelas beliau menahan tangis. Wajah saya dipeluk. Saya minta maaf kepada beliau. Setelah itu, saya kembali tak sadar. Pasrah pada apa pun yang terjadi.
Namun, saya sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara dunia. Setelah menjalani operasi, kondisi saya berangsur membaik. Memang lukanya cukup parah. Otot besar tepat di bawah dengkul robek. Dokter menjelaskan, saya bisa berjalan, tetapi pincang. Artinya, saya harus menerima kenyataan bahwa kaki kanan saya ini cacat.
Ibu berusaha terus membesarkan hati saya. Menghibur dan memberikan semangat agar saya tidak patah arang. Berhubungan atau tidak, saya percaya bahwa kejadian malam itu tak lepas dari doa beliau. Ibu bilang, beliau mendoakan keselamatan untuk saya. Dan itu dikabulkan oleh-Nya. Alhamdulillah.
Kejadian Kedua
Kala itu, selepas lulus dari IKIP Surabaya pada 2004 saya masih menjalani waktu-waktu tak menentu di Surabaya. Saya menganggur setelah sebelumnya sempat ”magang” di warung kopi milik paman. Tak betah, tapi saya tetap memutuskan untuk tinggal di Surabaya. Seolah dapat ilham, saya teringat ibu. Saya menelepon beliau dan menceritakan kondisi saya yang luntang-lantung di Surabaya. Sulitnya mencari kerja. Mau buka usaha pun tak sanggup. Mengirim lamaran kerja, sebagai guru dan pegawai swasta, tetapi belum kunjung ada panggilan. Semuanya saya ceritakan kepada beliau.
Di ujung telepon, pada pengujung pembicaraan, saya meminta restu ibu agar segera dapat kerja. Esoknya, saya dapat panggilan dari PT Tata Solusi Pratama (TSP) di divisi logistik. Hanya sekali ikut tes, saya dinyatakan diterima dan bekerja di sana. Meski hanya digaji Rp 800 ribu, saya sangat bersyukur. Alhamdulillah.
Kejadian Ketiga
Saya mulai tak kerasan di PT TSP. Saya sadar bahwa saya memiliki kemampuan lebih untuk sekadar jadi pegawai gudang (logistik). Saya ingin mengembangkan karir di bidang lain. Dan impiannya saya adalah jurnalistik atau pendidikan. Saya memberi tahu ibu soal niat saya untuk hengkang dari TSP. Beliau bilang, semua terserah saya. ”Pokoknya, apa yang terbaik menurutmu, ibu mendukung,” ucapnya waktu itu. Saya meminta restu beliau untuk mendoakan saya agar bisa mencapai apa yang saya cita-citakan.
Surat resign saya serahkan ke atasan. Dikabulkan. Saya resmi jadi pengangguran lagi. Namun, itu tak berlangsung lama. Secara tak sengaja, ketika ngopi di kawasan Ketintang, dekat kampus IKIP, saya membaca lowongan kerja. Terpampang jelas di situ, Jawa Pos butuh ”polisi EYD” alias tukang edit. Segera saya membeli amplop cokelat ukuran folio, kertas HVS selembar, dan menyiapkan berkas lain untuk mengirim surat lamaran kerja ke sana. Setelah siang saya mengirimkannya, malamnya saya telepon ibu. Meminta doa beliau.
Impian jadi nyata. Saya lolos tes administrasi dan ikut tes tulis. Setiap lolos, saya mengabarkan kepada ibu dan bapak. Ibu sangat antusias mendengarnya. Berharap saya bisa lolos dan meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Ketika ikut tes ketiga, yakni psikotes, saya melaluinya dengan baik. Selanjutnya, saya menjalani tes wawancara dengan kepala editor (Pak Guntur) dan koordinator liputan (Pak Baihaqi). Saya sempat dicecar oleh Pak Baihaqi tentang kebiasaan membaca. Bahkan, beliau sempat melontarkan nada tinggi ketika saya agak gugup ketika menjawab. Namun, saya lolos! Gembira bukan kepalang. Saya merasa juara meski belum sepenuhnya diterima. Paling tidak, saya sudah menyisihkan banyak sarjana bahasa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Seingat saya, ada lulusan UGM dan Undip. Wajah mereka tampak pasti. Namun, seperti ibu bilang bahwa saya pasti bisa. Doanya menjadi penyemangat yang dahsyat. Kepercayaan diri saya berlipat-lipat.
Tiba tes terakhir, yakni kesehatan. Jujur, saya ragu. Pasalnya, saya punya sakit jantung lemah. Sehingga telapak tangan dan kaki saya selalu basah. Ini membuat saya nggak pede. Saya memohon doa kepada ibu. Tinggal selangkah lagi. Esoknya saya mengikuti serangkaian tes kesehatan lengkap. General check up. Saya yakin doa ibu selalu menyertai setiap langkah saya. Bismillah. Dan betul, saya dinyatakan lolos. Allahu akbar. Tak menyangka impian saya untuk menggeluti dunia jurnalistik benar-benar terealisasi.
Kejadian Keempat
Saya berkenalan dengan seorang alumnus Undip, kader Partai Keadilan Sejahtera. Perempuan berparas cantik dan murah senyum. Kami memutuskan bertaaruf. Sekali bersua, saya lantas nekat berkunjung ke rumahnya di Pekalongan. Mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melamarnya. Benar-benar bonek lah. Padahal, kala itu, saya belum punya tabungan untuk menikah. Pada pertemuan selanjutnya, orang tua saya sowan ke Pekalongan. Beberapa minggu kemudian, ganti keluarga calon mertua yang menyambangi rumah orang tua saya di Bekasi.
Semuanya terasa begitu cepat. Ibu sempat tanya ke saya, ”Apa kamu sudah siap?” Saya jawab, ”Insya Allah, Bu. Saya sangat siap.” Modal yakin saja. Allah pasti menolong saya, begitu pikir saya waktu itu.
Setelah lamaran, tanggal pernikahan kami pun ditentukan, 8 Maret 2009. Dan kantong ini belum cukup ”tebal”. Bahkan, saya belum mendapatkan kontrakan buat kami.
Saya bilang ke ibu tentang hal ini. Bapak hanya sopir, penghasilannya tak seberapa. Jika ada order, dapat uang. Jika tidak, ya nganggur. Tidak pasti setelah beliau pensiun. Ibu hanya menjual nasi bungkus dan bikin kue yang dititipkan ke warung-warung. Sangat membantu finansial rumah tangga. Karena itu, saya nggak tega untuk minta bantuan keuangan kepada ibu dan bapak untuk biaya menikah. Bingung. Gamang sekali waktu itu.
Ibu membesarkan hati saya. ”Minta sama Allah, Dia pasti menolong,” jawab ibu singkat. Saya bersemangat lagi. Tanggal pernikahan sudah dekat. Saya berusaha mencari dana untuk modal nikah. Kemudian saya bertemu dengan Mas Mierza, bendahara Badan Amil Zakat (BAZ) Jatim. Saya mengutarakan kesulitan saya. Tanpa tedeng aling-aling, beliau bersedia memberikan pinjaman tanpa anggunan sama sekali. Alhamdulillah walaa ilaha illallah...
***
Saya tak pernah menyangsikan kekuatan doa seorang ibu. Memang manusia hanya bisa berusaha, selanjutnya keputusan berada di tangan Allah.
Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya, maka dia kafir.” (HR. Muslim)
Pada hadis lain disebutkan, ketika ditanya tentang peran kedua orang tua, Rasulullah SAW menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah)
Semoga Allah selalu melindungi ibuku, ibuku, ibuku, dan ayahku. Menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sejak kecil sampai sekarang. Amiin.
Salam
Eko Prasetyo
Selasa, 05 Juli 2011
Menjaga Konsistensi Menulis
Menjaga konsistensi menulis tak semua orang bisa melakukannya. Kita lihat saja teman-teman di kompasiana. Ada yang dulunya rajin menulis setiap hari. Bahkan dalam sehari bisa 3 sampai 4 tulisan. Namun hanya sedikit saja orang yang bisa menulis dengan penuh konsistensi hingga hari ini. Kenapa? Karena orang yang menulis dengan niat berbagilah yang akan terus bertahan dan mempertahankan konsistensinya.
Falsafah mata air selalu menjadi pijakannya dalam berpikir. Lihatlah mata air. Mengalir deras setiap hari. Semakin diambil airnya, justru malah semakin jernih airnya. Itulah sebuah falsafah hidup dari orang yang menjaga konsistensi menulis. Dirinya harus seperti mata air yang tak boleh berhenti mengalir.
Wah, kalau begitu susah dong! Ya gak susah, mudah saja kok! Asalkan ada komitmen yang tinggi dari dalam diri. Meminjam istilah Prof. Arief Rachman, AKU-nya harus kuat.
Apa itu AKU? A itu adalah ambisi atau cita-cita, K itu adalah kemauan atau Kemampuan, dan U itu adalah usaha atau kerja keras. Tanpa ambisi, kemauan, dan usaha mustahil anda akan mampu menjaga konsistensi dalam menulis. Sebab menulis itu membutuhkan pengorbanan, baik soal waktu dan juga hal lainnya.
Bagi saya yang berprofesi sebagai seorang guru, menulis itu adalah sebuah kebutuhan. Dengan menulis saya memproduksi dari apa yang telah saya baca.
Saya memiliki sebuah ambisi untuk menjadi seorang produsen pengetahuan dan bukan cuma sebagai konsumen pengetahuan. Pola berpikir saya pun sudah saya rubah. Dari guru yang suka download menjadi guru yang senang mengupload. Artinya, langkah dan pemikiran-pemikiran saya tentang dunia pendidikan akan terekam dengan jelas ketika saya masih hidup. Saya pun akan meninggalkan banyak jejak dalam dunia maya karena saya mampu menjaga konsistensi menulis setiap hari.
Menulis setiap hari itu mudah kawan. Hanya kitalah yang tak punya misi untuk diri kita sendiri. Ambisi tanpa diikuti oleh kemauan dan kemampuan sama saja dengan bermimpi. Oleh karenanya saya menjaga mimpi-mimpi itu menjadi nyata dengan cara menuliskannya. Perlu kerja cerdas, kerja ikhlas, kerja tuntas, dan kerja keras yang tak pernah henti. Saya ingin seperti almarhum Buya Hamka yang begitu produktif dalam menulis.
Menjaga konsistensi dalam menulis harus terekam dalam alam bawah sadar kita. Ketika itu sudah terekam, maka aktivitas yang akan dilakukan maupun yang telah dilakukan akan dengan mudah dituliskan, karena menulis telah menjadi sebuah kebutuhan. Tidak mudah memang, tapi bisa. Bila anda komitmen, dan membiasakan diri menulis sebelum tidur atau setelah bangun tidur atau disela-sela kesibukan anda bekerja, maka anda akan menjadi orang yang konsisten dalam menulis.
Lalu bagaimana cara mengatasi kemalasan diri? Caranya mudah saja. Segera tuliskan apa yang membuatmu malas. Dengan begitu tanpa disadari kegairahanmu dalam menulis akan muncul kembali. Seperti apa yang saya lakukan saat ini. Saya mencoba menulis dari kegalauan hati saya sendiri ketika melihat begitu banyak teman-teman guru yang tak mampu menulis. Budaya TULISAN masih kalah dengan budaya LISAN. Guru-guru kita pandai sekali bicara, tetapi ketika harus menuliskannya, hanya sedikit yang mampu melakukannya.
Untunglah, kegalauan hati saya dijawab Allah. Handphone jadul saya berbunyi. Pak Rully dan Pak Rio daripengajarplus.com mengajak saya makan siang bareng di rumah makan padang sederhana. Kami pun ngobrol ngalor ngidul untuk melaksanakan kegiatan creative writing dan edupreneurship di bulan Juni. Semoga kegiatan itu terwujud, dan alangkah senangnya bisa berbagi ilmu dengan teman-teman guru.
Akhirnya, saya harus menutup artikel ini dengan sebuah pesan, “Mari menjaga Konsistensi dalam Menulis”. Dengan menjaga konsistensi dalam menulis, akan membuat kita menjadi orang besar yang tulisan-tulisannya dirindukan. Terbukti, tulisan-tulisan saya tak pernah sepi dari pembaca, dan ada saja pembaca yang memberikan tanggapan. Tak usahlah bersedih hati bila pembaca tulisan kita hanya sedikit.
Sedikit demi sedikit bukankah lama-lama akan menjadi bukit?
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Falsafah mata air selalu menjadi pijakannya dalam berpikir. Lihatlah mata air. Mengalir deras setiap hari. Semakin diambil airnya, justru malah semakin jernih airnya. Itulah sebuah falsafah hidup dari orang yang menjaga konsistensi menulis. Dirinya harus seperti mata air yang tak boleh berhenti mengalir.
Wah, kalau begitu susah dong! Ya gak susah, mudah saja kok! Asalkan ada komitmen yang tinggi dari dalam diri. Meminjam istilah Prof. Arief Rachman, AKU-nya harus kuat.
Apa itu AKU? A itu adalah ambisi atau cita-cita, K itu adalah kemauan atau Kemampuan, dan U itu adalah usaha atau kerja keras. Tanpa ambisi, kemauan, dan usaha mustahil anda akan mampu menjaga konsistensi dalam menulis. Sebab menulis itu membutuhkan pengorbanan, baik soal waktu dan juga hal lainnya.
Bagi saya yang berprofesi sebagai seorang guru, menulis itu adalah sebuah kebutuhan. Dengan menulis saya memproduksi dari apa yang telah saya baca.
Saya memiliki sebuah ambisi untuk menjadi seorang produsen pengetahuan dan bukan cuma sebagai konsumen pengetahuan. Pola berpikir saya pun sudah saya rubah. Dari guru yang suka download menjadi guru yang senang mengupload. Artinya, langkah dan pemikiran-pemikiran saya tentang dunia pendidikan akan terekam dengan jelas ketika saya masih hidup. Saya pun akan meninggalkan banyak jejak dalam dunia maya karena saya mampu menjaga konsistensi menulis setiap hari.
Menulis setiap hari itu mudah kawan. Hanya kitalah yang tak punya misi untuk diri kita sendiri. Ambisi tanpa diikuti oleh kemauan dan kemampuan sama saja dengan bermimpi. Oleh karenanya saya menjaga mimpi-mimpi itu menjadi nyata dengan cara menuliskannya. Perlu kerja cerdas, kerja ikhlas, kerja tuntas, dan kerja keras yang tak pernah henti. Saya ingin seperti almarhum Buya Hamka yang begitu produktif dalam menulis.
Menjaga konsistensi dalam menulis harus terekam dalam alam bawah sadar kita. Ketika itu sudah terekam, maka aktivitas yang akan dilakukan maupun yang telah dilakukan akan dengan mudah dituliskan, karena menulis telah menjadi sebuah kebutuhan. Tidak mudah memang, tapi bisa. Bila anda komitmen, dan membiasakan diri menulis sebelum tidur atau setelah bangun tidur atau disela-sela kesibukan anda bekerja, maka anda akan menjadi orang yang konsisten dalam menulis.
Lalu bagaimana cara mengatasi kemalasan diri? Caranya mudah saja. Segera tuliskan apa yang membuatmu malas. Dengan begitu tanpa disadari kegairahanmu dalam menulis akan muncul kembali. Seperti apa yang saya lakukan saat ini. Saya mencoba menulis dari kegalauan hati saya sendiri ketika melihat begitu banyak teman-teman guru yang tak mampu menulis. Budaya TULISAN masih kalah dengan budaya LISAN. Guru-guru kita pandai sekali bicara, tetapi ketika harus menuliskannya, hanya sedikit yang mampu melakukannya.
Untunglah, kegalauan hati saya dijawab Allah. Handphone jadul saya berbunyi. Pak Rully dan Pak Rio daripengajarplus.com mengajak saya makan siang bareng di rumah makan padang sederhana. Kami pun ngobrol ngalor ngidul untuk melaksanakan kegiatan creative writing dan edupreneurship di bulan Juni. Semoga kegiatan itu terwujud, dan alangkah senangnya bisa berbagi ilmu dengan teman-teman guru.
Akhirnya, saya harus menutup artikel ini dengan sebuah pesan, “Mari menjaga Konsistensi dalam Menulis”. Dengan menjaga konsistensi dalam menulis, akan membuat kita menjadi orang besar yang tulisan-tulisannya dirindukan. Terbukti, tulisan-tulisan saya tak pernah sepi dari pembaca, dan ada saja pembaca yang memberikan tanggapan. Tak usahlah bersedih hati bila pembaca tulisan kita hanya sedikit.
Sedikit demi sedikit bukankah lama-lama akan menjadi bukit?
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Langganan:
Postingan (Atom)