Senin, 27 Juni 2011

Berhenti Merokok

Dulu saya adalah perokok kelas berat. Setiap hari paling tidak dua bungkus rokok kretek saya habiskan. Dan itu saya mulai ketika saya masih duduk di SMP klas 3! Seorang teman ’menjerumuskan’ saya dengan memasok saya rokok gratis dengan mencuri dari warung neneknya setiap hari dan ketika neneknya tahu saya sudah terjerat!

Bagaimana cara saya untuk bisa tetap merokok? Banyak jalan menuju Roma kata orang. Apalagi kalau cuma mau merokok. Artinya, seorang yang sudah kecanduan merokok tidak akan keberatan diminta jalan kaki ke Roma asal dibekali rokok. hehehe…! Kalau sudah ketagihan dan benar-benar tidak punya rokok saya dan teman saya tidak segan-segan ’ngutis’ alias memunguti puntung rokok orang lain yang masih panjang untuk kami teruskan. ”Lanjutkan!” mungkin kira-kira demikian motto kami. ’Lebih panjang lebih baik’ dan ’demi wong cilik’ seperti kami.

Karena ‘karir’ merokok saya sudah cukup panjang maka saya sudah pernah menghisap hampir semua merk dan jenis rokok. Bahkan jenis yang dari Aceh juga pernah saya coba. Saya pernah lama setia pada rokok Bentoel Biru. Tapi saya juga menyukai rokok Jarum 76. Meski demikian saya paling lama ’berkomitmen’ pada merk Gudang Garam. Salah satunya adalah rokok GG yang dalam kaleng.

Karena kalengnya cukup bagus maka saya simpan di kamar dan tak lama kemudian kamar saya sudah jadi gudang tumpukan kaleng rokok GG. Mungkin kalau ada petinggi perusahaan rokok GG datang ke kamar saya mereka akan terinspirasi untuk memberi saya penghargaan sebagai ’The Best GG Smoker of the Year’ saking kagumnya melihat tumpukan kaleng rokok GG di kamar saya tersebut.

Setiap teman yang masuk pertama kali di kamar saya akan terbelalak melihat begitu banyaknya (dan mungkin begitu rapihnya) tumpukan kaleng rokok GG tersebut.
“Beli di mana kaleng sebanyak ini?” kata seorang teman.
“Kaleng ini hanya bonus.” jawab saya. “Saya beli rokoknya.”
“Jadi kamu sudah menghabiskan rokok di semua kaleng ini?” tanyanya tak percaya.
“Hard to believe, memang. Tapi ini baru sebagian. Saya tidak suka mengumpulkan bungkus rokok yang terbuat dari kertas. Lagipula saya mungkin perlu kamar tiga kali lebih besar kalau saya mengumpulkan setiap bungkus dari rokok yang saya hisap.”

Apakah saya tidak tahu bahayanya merokok? Don’t be silly. Setiap perokok tahu tentang bahayanya merokok bagi kesehatan mereka. Masalahnya adalah saya belum mendapat ‘hidayah’ untuk berhenti merokok. Lho berhenti merokok saja kok perlu hidayah? Iyalah! Kita sebetulnya selalu membutuhkan ‘hidayah’ agar berhenti melakukan hal-hal yang buruk, tercela, membahayakan diri sendiri, macam merokok misalnya. Jangankan saya, sedangkan para dokter saja banyak yang merokok. Para dokter yang merokok itu ibarat ulama yang suka asbun. Dia tahu bahwa itu sesuatu yang harus ia hindari tapi ia tidak bisa berhenti karena kecanduan.

Apa bahayanya merokok? Kalu ingin benar-benar tahu sila cari saja di Google. Insya Allah kita akan menemukan begitu banyak bahaya merokok, baik bagi si perokok maupun orang-orang yang tinggal di dekatnya. Tapi untuk saya bahaya pertama datang dari ayah saya. Beliau tidak segan-segan menempeleng saya jika beliau mencium bau rokok dari mulut saya. Beliau adalah orang tua yang waras dan orang tua yang waras tentu akan melarang anaknya untuk merokok. Jadi saya harus hati-hati benar dengan bau nikotin yang menempel di tubuh saya jika saya masuk rumah selepas menikmati asap rokok kretek.

Untungnya di depan rumah saya ada tumbuh pohon jeruk nipis dan aroma daunnya cukup kuat untuk melawan bau nikotin yang menempel di tubuh dan pakaian saya. Saya ambil beberapa lembar, remas-remas dan oleskan pada bagian tubuh khususnya di mulut dan muka. Cara ini cukup efektif sehingga suatu hari saya lupa melakukan ritual itu karena ayah saya memanggil saya dengan tiba-tiba.

Baru saja saya mendekat tiba-tiba ayah saya menempeleng pipi saya. “Plak!” Telinga saya berdenging. Saya langsung bengong dalam beberapa detik, :”Ada apa ini?” dalam hati saya. Belum sempat saya bertanya ayah saya sudah menghardik,:”Kamu merokok lagi rupanya!” Saya langsung tersadar dan mengeluh dalam hati, “Oh, My God! Mengapa saya begitu ceroboh!” Saya menyesali kecerobohan tersebut. I should have been more cautious next time.

“Sampai kamu bisa punya penghasilan sendiri jangan harap kamu akan Bapak perkenankan merokok.” Begitu kata beliau pada saya yang masih terbengong-bengong

Mungkin maksud beliau baik, tapi larangan ini tidak cukup efektif untuk saya. Saya justru terobsesi dengannya. Saya tetap merokok, di belakang beliau tentunya. Dan ketika saya pertamakali mendapat beasiswa kuliah di PGSLPYD (nanti lain kali saya ceritakan tentang ini) saya langsung membeli dua bungkus rokok dan secara demonstratif saya merokok di hadapan ayah saya!

Ketika ayah saya hendak meradang dan menerjang saya buru-buru mengingatkan koimitmen beliau bahwa mulai saat itu saya sudah punya hak untuk merokok karena sudah mendapatkan penghasilan sendiri (meski dari beasiswa). Beliau tidak berdaya, tentu saja. Tak mungkin beliau akan menelan sendiri ludahnya.

Jadi berhati-hatilah kalau membuat batasan dengan anak Anda. Saya belajar dari kesalahan ayah saya dan saya melarang anak saya merokok tanpa embel-embel’kecuali kamu sudah punya uang sendiri’. Pokoknya ya tidak boleh merokok (kapan pun).

Like father like son, anak saya merokok sembunyi-sembunyi di luar rumah, juga ketika masih kelas 3 SMP! (Tobaaat… Gusti! Kok saya kena karmanya anak saya!)
Saya bisa membaui asap yang menempel di bajunya meski hanya sedikit. (ingat, saya seorang veteran). Tapi menempeleng anak saya kalau ketahuan merokok kayaknya nggak deh! Saya sudah ’bertobat’ dengan cara mendidik dengan kekerasan. Maksimum saya marah menghardik dengan bersuara keras dan mata melotot. Tapi sebaiknya Anda tidak menjumpai saya ketika marah. Kata istri saya bahkan tanaman di pot bisa mati kalau saya marahi. Konon di Amazon ada suku tertentu yang punya teknik untuk merobohkan sebuah pohon tanpa menebangnya. Pohon itu cukup diteriaki oleh beberapa orang berjam-jam, berhari-hari dan pohon itu akan mati dengan sendirinya.dengan akar membusuk (mati ngenes, kata orang Jawa). Jadi berhati-hatilah dengan teriakan dan hardikan Anda. Kita tidak pernah tahu akar mana yang kita bunuh dengannya.

Merokok adalah kesenangan saya (dulu). Rokok adalah teman yang setia (dulu). Semua momen adalah tepat untuk merokok jika Anda sudah jadi pecandu. Ketika Anda butuh inspirasi, rokok sungguh tepat untuk dijadikan penyulut (meski belum tentu juga Anda akan dapat inspirasi). Begitu Anda dapat inspirasi maka rokok yang Anda beri penghargaan atau Anda mengganjar diri Anda dengan rokok juga (makanya ada iklan rokok yang berbunyi ”Kenikmatan Sukses’). Kalau sudah merokok berbungkus-bungkus tapi belum dapat inspirasi juga maka biasanya kita menyalahkan yang lain, dan bukan rokoknya. Biasanya kita menyalahkan otak kita yang mampet.

Kalau Anda stress, rokok juga yang kita sulut. Bangun tidur, mata kita sudah mencari rokok. Mau lancar BAB? Merokok resepnya. Habis makan? Tak ada yang lebih nikmat ketimbang merokok. Ini kenikmatan sejati! Buka puasa perlu yang manis-manis? Tidak bagi perokok. Mereka perlu yang berasap! Cari teman? Rokok. Banyak kerjaan? Perbanyak jumlah rokok yang Anda hisap. Dimarahi bos? Merokok saja. Mendapat pujian dari Bos? Nikmati dengan sebatang rokok dong!

Ingin nampak macho? Datangi cewek yang Anda taksir. Cabut sebatang rokok dengan gaya tertentu dan selipkan di bibir dengan ekspresi tertentu (acuh tak acuh tapi khidmat). Letakkan rokok di posisi tepi bibir dan gulirkan dengan lidah ke tengah. Pastikan bahwa cewek yang Anda taksir memperhatikan Anda meski jangan sampai ia tahu bahwa Anda nampang sebenarnya. Nyalakan dengan korek api Zippo yang berbunyi ‘Cling!’ (dulu saya punya banyak koleksi korek Zippo ini). Dekatkan nyala api ke ujung batang api. Pandangan kita mesti penuh konsentrasi tertuju pada ujung rokok walau sebenarnya perhatian kita pada cewek yang kita taksir. Hisap dalam-dalam, tengadahkan kepala dan hembuskan perlahan. Fiuh…!Bukan main gayanya…! (paling tidak, begitulah perkiraan kita) Saya belum pernah melihat ada orang yang bisa bergaya begitu ‘macho’ dengan cara minum kopi, makan ‘French fries’, atau nenggak Cocacola!

Ada berapa banyak cewek yang berhasil saya gaet dengan gaya ‘macho’ ini? Saya lupa menghitungnya tapi yang penting saya merasa melambung tinggi dengan gaya saya tersebut. Untungnya ini tidak saya praktekkan pada istri saya dulu karena ternyata ia membenci perokok.

Apakah saya pernah berusaha untuk berhenti merokok sebelumnya? Banyak kali! Berbagai metode sudah saya lakukan. Kalau dada saya terasa sakit dan napas saya tersengal-sengal tiba-tiba saya mendapat ‘hidayah’ untuk berhenti merokok. Sayang ‘hidayah’ tersebut melemah ketika saya dalam keadaan sehat. Rokok kembali mengajak saya ‘melewatkan hari dan masa dengan penuh selera dan gaya’. (Lagipula banyak perokok berusia tua yang nampaknya bahkan lebih sehat ketimbang yang tidak merokok. Banyak juga orang yang meninggal karena kanker paru-paru padahal tidak pernah merokok. Pokoknya banyak alasan deh!). Saya selalu kalah oleh rokok. Saya benci dengan fakta ini tapi saya harus mengakuinya.

Jadi bagaimana saya bisa berhenti merokok secara total? Begini ceritanya.

Pada tahun 1990 saya merasa bosan dengan pekerjaan dan usaha yang saya rintis. Pekerjaan tersebut sudah terasa rutin, monoton dan tentu saja membosankan. Saya ingin perubahan pada hidup saya dan saya melamar ke Bontang International School jauh di pedalaman Kalimantan Timur. Saya butuh tantangan baru dan bekerja di lingkungan ekspatriat nampaknya menarik.

Pada awalnya perkerjaan saya cukup menyibukkan saya karena mesti menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Tapi lama-lama pekerjaan menjadi semakin ringan dan semakin ringan. It’s just a repetition of what we have been doing before lagipula jumlah siswa saya merosot hingga tinggal belasan anak saja. Jam mengajar saya hanya sekitar 2 jam sehari dan sisanya saya harus berusaha untuk mencari berbagai hal agar saya tidak mati bosan. Saya sangat benci ‘doing nothing’ dan percaya bahwa orang bisa mati karena menganggur.

Oleh sebab itu saya harus mencari tantangan dalam hidup saya sehari-hari selama di Bontang. Saya perlu mencari ‘lawan’ untuk saya kalahkan. Dan tiba-tiba saya melihat bahwa ini kesempatan baik bagi saya untuk mengalahkan kebiasaan merokok saya.

Jadi saya tetapkan tantangan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Situasi membantu saya karena saya memang sudah tidak merokok di depan siswa bule saya. Merokok di depan siswa adalah ’tercela’ dan saya harus masuk ke gudang atas sekolah untuk bisa menikmatinya. Saya banyak menganggur sehingga rokok tidak lagi menjadi ’a friend in need’ tapi saya juga tidak bisa berhenti karena sudah jadi pecandu. Saya tegaskan pada diri saya jika saya tidak bisa berhenti total sekarang maka saya tidak punya harapan. It’s now or never!

Untuk memperkuat tekad saya maka berhenti merokok tersebut maka program tersebut saya gabung dengan latihan jogging setiap sore sepulang kerja. Saya mengambil sebuah program jogging dari sebuah majalah yang lengkap petunjuknya hari perhari secara bertahap dan saya mengikutinya dengann tekun. Saya ingin menjadi ‘Satria’ yang baru!

Apakah saya berhasil berhenti merokok? Tentu saja. Saya akan mengutuki diri saya setiap saat jika saya kalah lagi dalam kondisi demikian. Saya punya jiwa pemenang dan berhenti merokok bukan tantangan terberat dalam hidup saya. Masih banyak hal yang ingin saya kalahkan dalam hidup ini dan masih banyak juga hal yang belum berhasil saya kalahkan. Hidup masih penuh dengan pertarungan-pertarungan dan itu yang membuat saya bergairah dalam hidup!

Salam

Satria Dharma

Bagaimana menjadi Guru Ideal ?!

Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan contoh atau keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.

Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami.

Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Tapi, dia pun harus bisa menerima kritikan dari peserta didiknya. Dari kritik itulah dia dapat belajar dari para peserta didiknya.

Guru ideal justru harus belajar dari peserta didiknya. Dari mereka guru dapat mengetahui kekurangan cara mengajarnya, dan melakukan umpan balik (feedback). Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini? Apakah guru ideal hanyalah guru yang sudah lulus sertifikasi guru? Benarkah demikian?

Dari hasil perenungan yang mendalam, dan juga hasil wawancara dengan teman-teman guru di mana penulis bertugas, didapatkan pendapat yang beragam dan mengerucut pada tiga pendapat tentang guru ideal.

Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah:

Pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Senyum, Salam, Sapa, Syukur, dan Sabar).

Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki sifat selalu berkata benar, penyampai yang baik, kredibel, dan cerdas. Guru yang memiliki keempat sifat itu adalah guru yang mampu memberikan keteladanan dalam hidupnya karena memiliki budi pekerti yang luhur. Selalu berkata benar, mengajarkan kebaikan, dapat dipercaya, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh guru dalam mendidik anak didiknya karena memiliki motto iman, ilmu, dan amal. Memiliki iman yang kuat, menguasai ilmunya dengan baik, dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.

Ketiga, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan perilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat.

Kelima kecerdasan itu adalah:

1. kecerdasan intelektual

2. kecerdasan moral

3. kecerdasan social

4. kecerdasan emosional

5. kecerdasan motorik

Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, mengapa?

Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses. Segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus plagiarisme (menjiplak karya tulis ilmiah milik orang lain) dan korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.

Selain kecerdasan intelektual dan moral, kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan selalu memperdulikan orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Dia pun harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak mudah marah, tersinggung, dan melecehkan orang lain. Dia harus memiliki sifat penyabar dan pemaaf.

Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kecerdasan motorik harus senantiasa dilatih agar guru dapat menjadi kreatif dan berprestasi. Dia memiliki ambisi dan cita-cita yang tinggi seperti menggapai bintang di langit. Tak salah bila pada akhirnya peserta didik mengatakan, “guruku mampu menggapai bintang di langit.”

Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila anda berprofesi sebagai seorang guru harus mampu berlomba-lomba untuk menjadi sosok guru yang ideal. Ideal di mata peserta didik, ideal di mata masyarakat, dan ideal di mata Sang Maha Pemberi. Bila semakin banyak guru ideal yang tersebar di sekolah-sekolah kita, maka sudah dapat dipastikan akan banyak pula sekolah-sekolah berkualitas yang mampu membentuk karakter siswa untuk memiliki budi pekerti yang luhur. Mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang diharapkan oleh para leluhur bangsa.

Semoga sosok guru ideal semakin banyak dalam dunia pendidikan kita.
Amin...

Salam
Wijaya Kusumah

Kita, Kisah Al, dan Ronggo Warsito

Oleh : Hendrawan Nasution*

KOMPAS.com - Belum lagi hilang gaung pendidikan karakter yang dicanangkan sebagai tema utama Hari Pendidikan Nasional oleh Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), dunia pendidikan kita sudah disodorkan fenomena buruk, yaitu berita-berita yang mengungkapkan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN).

Di Jakarta, ketidakjujuran penyelenggaraan UN terungkap dengan adanya pengaduan seorang bocah yang tidak tahan diintimidasi untuk secara sengaja melakukan perbuatan tercela ini. Mirisnya, kecurangan yang sama juga terungkap di Surabaya, tepatnya di SDN Gadel 2, Surabaya, Jawa Timur.

Di sekolah ini, siswa pintar yang bernama Alif (Al) lagi-lagi dipaksa untuk membagikan jawaban kepada teman-temannya. Perbuatan memalukan ini dilakukan secara sistematis dan telah melalui gradi resik contek-menyontek. Dan, hal terparah yang membuat kita "harus" mengelus dada adalah klimaksnya, yaitu pengusiran keluarga dan orang tua Al dari desa tempat mereka tinggal.

Inikah hasil dan harga sebuah kejujuran? Inikah yang dinamakan pendidikan karakter bangsa ini?

Kalau jawabannya, "ya", maka terawang Raden Ngabehi Rangga Warsita (baca: Ronggo Warsito) dalam Serat Kalatida, yang mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman edan (gila) adalah benar adanya. Mereka yang tidak ikut edan tidak akan kebagian. Artinya, mereka yang "lurus" harus disingkirkan atau segera menyingkir.

Berbagai pihak memberikan tanggapan kasus kecurangan massal tersebut. Beberapa mengatakan, bahwa di dunia akademis, contek-menyontek adalah perbuatan paling tercela yang tak termaafkan. Oleh karena itu, para pelaku perbuatan tersebut harus mendapat sanksi.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menerimanya sebagai suatu kenyataan yang ada di republik ini. Tak sedikit pula, ada yang mengendap-endap mencari kesempatan untuk bersiap membuat momentum ini sebagai proyek yang menghasilkan uang.

Pendidikan Karakter dan Berkarakter

Fenomena di atas hanyalah sebagian kecil dari puncak gunung es yang tampak jelas di permukaan. Kenyataannya, masalah yang dihadapi bangsa ini adalah jauh lebih besar.

Harus diakui, bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan Kementerian Agama (Kemenag) memang telah mengupayakan pendidikan karakter sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional. Sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pendidikan karakter yang notabene adalah pendidikan berbangsa dan bernegara tidak pernah lepas dari kurikulum.

Di zaman orde lama (orla) pendidikan karakter ditularkan melalui indoktrinasi politik yang pada masa orde baru (orba) diubah menjadi Pancasila dan Pendidikan P-4 dan kemudian di era reformasi saat ini diubah lagi menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Semua itu merupakan bukti, bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama telah berusaha untuk memberikan pendidikan karakter.

Dalam kurikulum pendidikan karakter di tingkat SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, PKn mengajarkan nilai-nilai akhlak sebagai manusia sosial. Siswa ditanamkan untuk tidak berbohong, menyontek, mengambil barang yang bukan hak miliknya dan lain sebagainya. Dalam hal etika berbangsa dan bernegara, kurikulum juga mengajarkan bagaimana keharusan siswa menghargai pendapat orang lain, patuh terhadap hukum, dan tidak melakukan penindasan terhadap kelompok minoritas. Tapi, di sisi lain juga harus diakui bahwa kurikulum ini tidak berkarakter.

Kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini semakin jauh panggang dari api. Ketika para founding father mengamanahkan ke-Tuhan-an, kekerasan terhadap pemeluk agama lain semakin sering terjadi, dan pembiaran penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan sudah menjadi hal umum. Pertikaian kelompok demi pertikaian kelompok menyimpan dendam yang semakin menjauhkan semangat persatuan nasional. Demikian pula dominasi mayoritas yang semakin menancapkan kukunya dan sejalan dengan suburnya korupsi di berbagai bidang yang merupakan diskursus semangat kerakyatan dan keadilan sosial.

Apa jadinya semua ini? Percuma menanyakan Kemdiknas dan Kemenag alasan para siswa menghalalkan contek-menyontek dan sogok-menyogok. Mereka sama bingungnya ketika dihadapi pada realita, bahwa tempat mereka bekerja menyandang gelar sebagai kementerian-kementerian paling korup di bumi pertiwi ini.

Berbagai kebohongan dan manipulasi terjadi di jajaran kementerian tersebut. Sebagai lembaga yang merumuskan kurikulum, mereka yang berada dalam lembaga ini seharusnya mengetahui serta memahami isi dari pendidikan karakter itu sendiri dan bersikap paling gigih dalam menerapkan nilai-nilai yang diajarkan. Perilaku-perilaku demikian itulah yang menyebabkan kegagalam kurikulum ini. Pendidikan karakter yang tidak berkarakter.

Pembentukan Karakter

Ada tiga lembaga paling bertanggung jawab terhadap gagal dan berhasilnya pendidikan karakter nasional, yaitu lembaga keluarga, pendidikan dan lingkungan (baca: masyarakat). Keluarga sebagai institusi sosial terkecil merupakan tempat awal nilai-nilai putih seorang manusia digoreskan.

Hampir 90 % dari masa golden age yang merupakan masa penting pertumbuhan seorang anak dihabiskan bersama keluarga. Saat ini, institusi keluarga mengambil peranan terbesar dalam peletakan dan pembangunan fondasi nilai-nilai luhur, sikap, kepribadian, watak dan karakter.

Semua nilai-nilai yang diperoleh anak-anak itu merupakan hasil dari komunikasi internal yang terjadi di institusi tersebut, baik verbal maupun non-verbal. Nasihat, larangan, kewajiban dan anjuran orang tua merupakan komunikasi verbal yang perlu dan sangat perlu dilakukan. Ketidakpedulian orang tua terhadap transfer nilai-nilai benar salah dan baik buruk akan menyebabkan seorang anak mempunyai hati yang tumpul terhadap eksistensi individu maupun sosial di luar dirinya.

Transfer nilai tidak cukup hanya melalui komunikasi verbal. Pola perilaku orang tua dan anggota keluarga inti juga menjadi faktor utama pembentukan karakter anak. Berawal dari hal-hal kecil, seperti membuang sampah di tempat yang benar, sikap saling menghormati sesama dan menghargai pendapat anggota keluarga lain merupakan pelajaran yang membekas di hati seorang anak dan kerap untuk ditiru. Sebaliknya, sikap inkonsisten, plin-plan, dan kemunafikan salah seorang atau anggota keluarga lainnya akan segera dapat terekam dengan mudah dan ditiru oleh seorang anak.

Lembaga kedua yang bertanggung jawab adalah lembaga pendidikan, sebagai lembaga formal baik sekolah maupun madrasah yang secara resmi melakukan transfer ilmu pengetahuan yang di dalamnya termasuk sistem nilai, etika dan moral. Dalam institusi inilah interaksi sosial seorang anak terjadi.

Tidak berbeda jauh dengan institusi keluarga, dalam institusi pendidikan ini seorang anak secara sistematis diajar berbagai ilmu pengetahuan, baik yang bersifat know what, know why dan know how.

Di lembaga pendidikan formal, peserta didik diajarkan bersikap jujur, saling menghormati/menghargai orang lain, termasuk hak-haknya, tidak serakah, empati sosial dan sebagainya. Kendati demikian, sekali lagi, transfer ilmu pengetahuan di atas masih sangat normatif sekali.

Memang, semua hal di atas tidak berarti apapun selain sebagai basic tools yang pemanfaatannya tergantung dari sistem nilai yang dimiliki user. Bila si user mempunyai sikap dan karakter yang baik, maka pemanfaatannya akan mengarah pada tujuan positif dan sebaliknya.

Tidak dapat kita bayangkan, betapa bingungnya seorang peserta didik ketika diharuskan untuk memberikan contekan pada teman-temannya oleh seorang yang seharusnya mengajarkan kejujuran dan proudness atas originalitas. Betapa confusing-nya peserta didik kala mengetahui adanya miss-management di tempat yang seharusnya dikelola oleh para pendidik profesional.

Profesional di sini tidak hanya berarti pendidik yang memiliki absen jari, sesuai aturan, tetapi juga mempunyai integritas. Lagi-lagi, sistem nilai, etika, moral dan ilmu pengetahuan lainnya yang diajarkan di lembaga pendidikan harus diujicobakan dengan realitas lingkungan tempat peserta didik berada.

Betapapun baik dan konsistennya pengetahuan tersebut diajarkan pada peserta didik, tidak akan merubah apapun tanpa suri tauladan dari lingkungan pendidikan itu sendiri. Tidak salah pepatah mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.

Lembaga terakhir yang bertanggung jawab terhadap berhasil atau gagalnya pendidikan karakter nasional yang berkarakter adalah lembaga lingkungan. Di dalam lingkungan inilah semua nilai, sikap, watak dan karakter serta ilmu pengetahuan yang dipelajari secara normatif di lembaga keluarga dan pendidikan saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi. Etika, moralitas dan karakter yang baik dari seorang anak akan tertutup oleh debu maksiat dan kemunafikan dalam tatanan masyarakat yang terjungkilbalik dan sebaliknya.

Apa yang dikatakan seorang anak ketika melihat polisi yang melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh invividu atau kelompok atas yang lainnya? Kemelut batin apa yang dirasakan seorang anak ketika ada individu dan sekelompok orang tega melakukan pembunuhan dengan mengatasnamakan agama? Keresahan apa yang dirasakan oleh seorang anak ketika melihat wakil-wakil rakyatnya ramai-ramai masuk penjara karena ketahuan mencuri uang rakyat?

Semua sikap inkonsistensi, plin-plan dan kemunafikan akan menyebabkan kontraproduktif pada pendidikan karakter nasional. Sayangnya, lembaga lingkungan ini merupakan cermin dari dua lembaga sebelumnya. Apabila lembaga keluarga dan lembaga pendidikan berhasil memproduksi anak-anak bangsa dan peserta didik yang baik dan berkarakter, maka lembaga lingkungan pun akan terdiri manusia-manusia yang mempunyai karakter. Dengan semakin banyaknya anak bangsa yang memiliki karakter positif, maka akan terbentuk bangsa yang berkarakter.

Kurikulum Pendidikan Karakter Terpadu

Apapun resikonya, tidak ada jalan lain bagi bangsa ini untuk segera melakukan perubahan karakter. Bangsa ini seharusnya tidak pernah berhenti berupaya untuk meletakkan nilai baik buruk maupun benar salah secara kuat. Namun, sekali lagi, perlu diingat bahwa pendidikan dan pembangunan karakter yang menghabiskan energi dan materi tidak akan pernah berhasil tanpa sinergi dari lembaga keluarga, pendidikan dan lingkungan.

Sudah saatnya, bagi pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan karakter untuk mengintegrasikannya dengan lembaga keluarga dan lingkungan. Tanpa sinergi dari ketiga lembaga itu, bangsa ini akan terus menuju kebangkrutan ekonomi dan pendangkalan moral. Seperti orang bijak mengatakan bahwa; "You lose your wealth, you lose nothing; You lose your health, you lose something; You lose your character, you lose everything".

(*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan di Jakarta)