Selasa, 04 Mei 2010

Wirausahawan Sosial

Mungkinkah sebuah entitas bisnis bervisi sosial? Bukankah pebisnis hanya sekadar mengejar keuntungan? Atau sebaliknya, hanya yayasankah yang bisa bergerak dalam usaha- usaha menangani masalah sosial?

Pertanyaan sejenis sudah sering bermunculan tetapi tak terjawab dengan tuntas. Wirausahawan sosial menjadi makhluk baru yang perlu dilihat.

Ya, wirausahawan sosial memang makhluk baru di Indonesia. Ketika Kompas diundang oleh British Council untuk melihat lembaga-lembaga terkait kewirausahawan sosial di Inggris, yang muncul di benak hanyalah perusahaan dan yayasan. Perusahaan adalah entitas bisnis yang berusaha memaksimalkan keuntungan, sedangkan yayasan bergerak lebih banyak usaha sosial tetapi tak boleh mengejar keuntungan.

Di antara perusahaan dan yayasan ada wirausaha sosial. Sebenarnya wirausaha sosial (social enterprise) sudah muncul di dalam buku-buku teks kuliah pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Baru kemudian pada 1980-an hingga 1990-an wirausaha sosial menyebar dan berkembang. Di Inggris, salah satu penggerak waktu itu adalah Bill Drayton, yang mendirikan wirausaha sosial bernama Ashoka.

"Kami mendefinisikan wirausaha sosial sebagai entitas bisnis yang tujuan utamanya bersifat sosial. Keuntungan yang didapat dari usahanya dinvestasikan kembali untuk mencapai tujuan sosial itu atau untuk kepentingan sosial. Kewirausahaan sosial lebih dari sekadar didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan profit bagi pemegang saham atau pemilik," kata Manajer Promosi Wirausaha Sosial dan Kebudayaan Kantor Kementerian Urusan Sektor Ketiga Tamsyn Roberts.

Definisi

Dengan definisi seperti itu, sebenarnya di Indonesia sudah terdapat wirausaha sosial, seperti Bina Swadaya. Lembaga ini mencari keuntungan melalui beberapa unit bisnisnya, tetapi keuntungan itu diinvestasikan kembali untuk membantu masyarakat kecil dan juga petani.

Ada juga beberapa lembaga dengan cara mengajukan berbagai proyek ke perusahaan-perusaha an untuk mengerjakan sejumlah proyek yang bersifat sosial, seperti pendidikan dan perbaikan lingkungan. Lembaga ini mengambil keuntungan dari proyek-proyek yang dikerjakan, tetapi keuntungan itu untuk diinvestasikan kembali bagi tujuan sosialnya.

Ada pula yayasan atau lembaga swadaya masyarakat yang juga mengelola unit usaha. Keuntungan yang didapat dari usaha itu digunakan untuk kegiatan sosial mereka. Mereka terbantu dengan keberadaan unit usaha ini karena menjadikan mereka tidak tergantung sepenuhnya kepada penyandang dana.

Namun berbeda dengan Indonesia, di Inggris lembaga-lembaga wirausaha sosial itu mendapat pengakuan pemerintah. Di samping perusahaan dan yayasan, Pemerintah Inggris mengakui keberadaan wirausaha sosial itu. Bahkan, pengakuan itu diwujudkan dalam bentuk keberadaan Kementerian Urusan Sektor Ketiga yang di dalamnya mengurus wirausaha sosial. Penyebutan sektor ketiga untuk memperlihatkan keberadaan lembaga yang berada di antara pemerintah dan swasta.

Pengakuan itu juga diwujudkan dalam bentuk penggelontoran dana-dana yang diperebutkan berbagai wirausaha sosial melalui berbagai proyek yang diusulkan oleh lembaga wirausaha sosial. Meski dana tersebut tidak hanya murni dari pemerintah, pemerintah berhak mengecek manfaat penerima dana itu. Hal ini untuk menjamin dana tersebut tidak disalahgunakan oleh penerima.

Wirausahawan sosial yang mendapat dana kemudian mengerjakan proyek yang sudah tentu harus bermanfaat bagi masyarakat, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, pengurangan jumlah warga yang tidak memiliki rumah, dan perbaikan lingkungan. Pemerintah kemudian akan mengaudit dana-dana yang disalurkan itu. Pemerintah mengecek manfaat yang diterima oleh masyarakat yang menjadi subyek dalam proyek-proyek itu.

"Dana utama kami berasal dari Millenium Award Trust, sebuah warisan bernilai 100 juta poundsterling dari The Milenium Commission," kata Direktur Pengembangan UnLtd Zulfiqar Ahmed, sebuah lembaga wirausaha sosial yang mengerjakan berbagai proyek dari dana itu.

Pengakuan keberadaan wirausaha sosial oleh pemerintah Inggris dilakukan karena pada kenyataannya lembaga tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menjawab berbagai tantangan masalah sosial dan lingkungan. Wirausaha sosial juga diyakini mendorong hal-hal yang bersifat etis dalam bisnis, memperbaiki pelayanan publik, dan pada kenyataannya wirausaha sosial menciptakan wirausahawan- wirausahawan baru untuk
menyelesaikan masalah-masalah masyarakat.

Pengakuan

Sebagai wujud pengakuan itu, kantor Kementerian Urusan Sektor Ketiga mengadakan berbagai kegiatan untuk mendorong kinerja wirausaha sosial. Mereka memberi penghargaan, memberi akses yang lebih besar dalam hal pembiayaan, dan dukungan bisnis bagi lembaga wirausaha sosial.

Perkembangan lembaga wirausaha sosial di Inggris telah melahirkan pula lembaga-lembaga konsultasi, pengembangan studi tentang wirausaha sosial di sejumlah perguruan tinggi, bahkan hingga lembaga yang menyediakan jasa fasilitas rapat dan pertemuan untuk sektor ketiga.

Hal lain yang menarik adalah lembaga wirausaha sosial memberi peluang untuk sejumlah sukarelawan aktif bergerak di dalam lembaga itu. Meskipun lembaga wirausaha sosial merupakan lembaga bisnis tetapi dengan tujuan-tujuan yang bersifat sosial, lembaga ini memberi peluang bagi sukarelawan untuk terlibat.

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan pengelolaan karyawan di lembaga wirausaha sosial. Apakah karena bertujuan sosial, kemudian mereka bisa digaji seadanya?

"Kami juga digaji layak. Kami digaji dengan patokan gaji untuk mereka yang bekerja di pelayanan publik. Kalau kami menjabat sebagai manajer, gajinya akan distandarkan dengan gaji manajer untuk lembaga pelayanan publik. Hal yang sama kalau kami menjabat sebagai direktur," kata Direktur Komunikasi dan Kebijakan School for Social Enterprise Nick Temple berkisah tentang gaji yang didapat di dalam lembaganya.

Perkembangan lembaga wirausaha sosial ini juga mulai menyebar ke luar Inggris. Beberapa negara di Asia juga mulai mengembangkan lembaga wirausaha sosial, seperti Thailand, Jepang, Vietnam, dan Filipina. Sebenarnya lembaga wirausaha sosial sudah ada di hampir banyak negara. Hanya saja pengakuan dari pemerintah belum ada.

Thailand mungkin lebih beruntung. Sejumlah pihak, mulai dari lembaga pemerintah, media, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha swasta, hingga pasar modal, pernah berkumpul untuk membicarakan tentang keberadaan lembaga wirausaha sosial. Bahkan, mereka telah membuat peta jalan bagi pengakuan lembaga wirausaha sosial.

Di Indonesia sebenarnya sudah lama lembaga-lembaga wirausaha sosial bermunculan. Sama dengan di beberapa negara di Asia pengakuan tentang lembaga itu belum ada. Pemerintah masih melihat hanya perusahaan dan yayasan sesuai dengan hukum yang ada. Meskipun demikian, wirausahawan sosial telah melangkah.

Salam enterpreneur
Agung Smile

Minggu, 02 Mei 2010

Kebencian VS Cinta Kasih

Kebencian tidak akan pernah berakhir jika dibalas dengan kebencian. Ia hanya akan berakhir jika diselesaikan dengan cinta kasih.

Lupakanlah orang yang pernah menyakiti Anda, dengan itu, Anda bisa mengosongkan energi negatif itu dari ruang hati sehingga ia bisa diisi dengan hal-hal positif dan konstruktif. (Status 27, Success & Joy Talks, DR. Ponijan Liaw)

Dunia ini terlalu sempit bagi orang yang memiliki banyak musuh. Karena ke sudut mana pun ia pergi, ia akan terus bertemu dengan orang yang tidak disukai.

Jika situasi dan kondisinya seperti itu, kemanakah gerangan ia harus berdiri?

Tidak ada satu tempat pun di kaki bumi mau pun di langit yang bisa menyewakan tempat aman, bebas dari orang-orang yang dibenci.

Sebagai seorang yang berpikiran positif, ada baiknya semua pihak merenungkan makna hakikat kehidupan dan eksistensinya di bumi ini. Terlebih lagi jika Anda seorang entrepreneur yang sejatinya harus membina relasi dengan banyak pihak agar ekspansi dan eskalasi usaha dan korporasi Anda bisa meningkat berdasarkan deret ukur. Semua pihak harus dirangkul. Tanpa itu, mustahil kesuksesan yang sesungguhnya akan dapat diraih.

Kerugian ‘Memelihara’ Kebencian

Jika ada pihak yang pernah melukai Anda, ingatlah bahwa mungkin ia tidak sengaja melakukannya. Mengapa Anda membawa beban itu kemana pun Anda pergi? Apakah hal itu akan dibawa sampai mati? Bukankah energi yang terkuras untuk itu berakhir sia-sia tanpa laba?

Sesungguhnya, terdapat sederet panjang kerugian yang menghampiri seseorang yang menyimpan dan memelihara kebencian itu. Ruang afeksi yang seyogyanya berisi karakter positif, konstruktif, simpatik dan empatik terpaksa tidak berdaya menerima desakan dahsyat dari energi negatif-destruktif (baca: kebencian) yang terus menerus membombardirnya setiap hari.

Hati menjadi pasif dan antipati. Sensitivitas hati berangsur lenyap secara berkala. Humanitas terhadap sesama menguap. Jika sudah demikian, peran hati yang sejatinya penuh kasih untuk berbagi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hati menjadi mati, walau pun pemilik fisiknya masih hidup. Akumulasi dari terabrasinya hati ini lambat laun akan membuat sang pemiliknya menjadi manusia yang apatis, negatif, pasif, abusif, agresif dan sensitif.

Ruang pergaulannya menjadi semakin menyempit. Padahal ruang itu seharusnya semakin diperlebar dari hari ke hari. Karena disanalah transaksi relasi sosial dan bisnis terjadi.

Balas dengan Cinta Kasih

Ada sebuah contoh menarik mengenai bagaimana seharusnya kebencian itu dibalas. Nelson Mandela, sang legenda Afrika Selatan, telah memberikan contoh bagaimana kebencian itu harus dibalas. 18 tahun ia dipenjara oleh musuh politiknya di negeri kulit hitam itu. Ia dituduh dengan dakwaan palsu. Dijebloskan ke penjara dengan pasal penuh rekayasa. Namun, ketika ia keluar dari balik terali besi, ia melupakan peristiwa itu dan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Afrika Selatan, dan ia menang! Ia adalah presiden pertama di negeri tandus itu yang dipilih secara demokratis.

Pernyataan pertama yang disampaikan oleh panglima tentaranya setelah ia dilantik menjadi presiden adalah ia siap menangkap petinggi tentara yang menjebloskan sang presiden ke penjara jika diperintahkan. Sang presiden murah senyum itu pun menjawab tidak perlu. Biarlah hal itu menjadi catatan sejarah hitam yang pernah terjadi pada dirinya. Rakyat yang akan menilai perjalanan hidup politik siapa yang layak diteladani dan tidak. Ia tidak mau menghukum.

Sang presiden telah mengajarkan kepada dunia bahwa kebencian itu tidak pantas dipelihara karena ia akan menjadi siklus yang tidak pernah akan berakhir.

Biarlah ia dibalas dengan cinta kasih agar semuanya berjalan dengan lebih menyenangkan.

Siapkah Anda menebarkan cinta kasih kepada mereka yang membenci?

Salam Cinta
Ponijan

Siapa yang kaya sebenarnya?

Seorang bijak memasang sebuah pengumuman di atas tanah kosong dekat rumahnya: “Tanah ini akan diberikan kepada siapa saja yang telah menjadi orang kaya dalam arti yang sesungguhnya.”

Suatu hari seorang petani kaya lewat di tempat itu, membaca pengumuman dan berkata pada dirinya sendiri, “Karena kawan saya si orang bijak itu telah siap melepaskan sebidang tanah, mungkin baik kalau saya memintanya sebelum didahului orang lain. Saya orang kaya yang mempunyai segala sesuatu. Jadi saya pasti memenuhi syarat.”

Segera saja petani kaya itu mengetuk pintu dan mengemukakan maksudnya. Orang bijak kemudian bertanya, “Apakah Tuan sungguh-sungguh telah kaya?” “Sungguh, karena saya mempunyai segala sesuatu yang saya butuhkan,” jawab petani.

Kawan, lanjut si orang bijak, “Anda sesungguhnya adalah orang miskin karena senantiasa merasa kekurangan. Coba pikir-kan baik-baik. Kalau Anda benar-benar sudah kaya, mengapa Anda masih meng-inginkan tanah itu?”

Pembaca yang budiman, siapakah sebenarnya orang kaya menurut Anda?

Banyak orang mendefinisikan kaya dan miskin semata-mata dari dimensi fisik. Dari sudut pandang ini maka kekayaan diukur dari banyaknya harta fisik yang dimiliki seseorang. Padahal sesungguhnya harta yang kita miliki itu berada di luar diri kita, dan karena itu suatu ketika mereka pun akan berpisah dari kita. Ketika meninggal dunia kita meninggalkan semua harta kita, bahkan yang belum sempat kita nikmati. Pada saat itu kita akan sampai pada kesadaran bahwa di dunia ini tidak pernah ada yang disebut hak milik, semuanya hanyalah hak pakai.

Ketika meninggal dunia kita hanya membawa selembar kain yang melekat di tubuh kita untuk menuju perjalanan beri-kutnya. Karena itu dari sudut pandang fisik, ketika meninggal dunia kita telah menjadi orang yang semiskin-miskinnya. Ini akan sungguh-sungguh membuka mata kita bahwa segala upaya yang kita lakukan untuk mengumpulkan harta sesungguhnya pekerjaan yang sia-sia. Inilah keterbatasan dunia fisik. Dan karena manusia sejatinya adalah makhluk spiritual, maka orang kaya dalam arti sebenarnya adalah orang yang kaya secara spiritual. Orang yang seperti ini akan membawa kekayaannya ke mana pun ia pergi dan menuju.

Ada empat ciri orang kaya dalam penger-tian ini. Pertama, orang kaya adalah orang yang selalu merasa cukup. Ia tidak memiliki banyak kebutuhan. Berapa pun banyaknya harta yang ia miliki, orang yang tercerah-kan ini senantiasa hidup sederhana. Ia menggunakan barang-barang kebutuhannya dengan seperlunya saja. Ia tidak terobsesi untuk memiliki lebih banyak barang lagi. Ia hanya memiliki barang yang benar-benar ia butuhkan.

Orang kaya adalah orang yang sederhana dan tak pernah menumpuk-numpuk barang. Hanya orang miskinlah yang senantiasa menumpuk-numpuk barang dan bangga dengan penumpukan barang itu.

Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah cerita menarik mengenai Socrates, filsuf Yunani terkemuka. Ia adalah orang yang sangat sederhana bahkan sepatu pun ia tak punya. Namun anehnya, ia sering tertarik oleh keramaian pasar dan sering pergi ke sana buat melihat segala macam barang yang dipertonton.

Ketika salah seorang kawannya bertanya mengapa demikian, Socrates berkata, “Saya senang pergi ke sana untuk mengetahui berapa banyak barang yang meskipun tidak memilikinya, saya tetap gembira.”

Ciri kedua orang kaya adalah orang yang memiliki tetapi tidak dimiliki. Ketika kita memiliki sesuatu maka kitalah yang menjadi tuan, sedangkan barang yang kita miliki menjadi budak kita. Dengan demiki¬an, kita dapat menggunakan barang itu sesuai dengan kebutuhan kita. Namun yang berbahaya ketika kita dimiliki oleh sesuatu. Di sini sesuatu itu telah menjadi tuan, sedangkan kita berada di posisi budak. Di sini kita sudah benar-benar terobsesi oleh sesuatu, dan telah tercipta kelekatan antara kita dengan sesuatu itu. Seolah-olah bila tidak mendapatkannya kita tidak akan bahagia. Dengan begitu, sesuatu itu pada hakikatnya telah mengendalikan kita, telah menentukan jalan hidup dan kebahagiaan kita.

Ketika kita dimiliki oleh sesuatu, kita sesungguhnya telah meletakkan harga diri kita pada sesuatu itu. Namun bukankah sesuatu itu suatu ketika pasti akan hilang dari tangan kita karena inilah sesungguhnya hukum alam yang sejati? Lantas kalau hal itu hilang, bagaimana pula dengan harga diri kita?

Ciri ketiga orang kaya adalah selalu memberi. Ini yang membedakannya dari orang miskin yang selalu meminta. Orang kaya sejati adalah mereka yang selalu siap memberikan apa pun yang dimiliki: uang, perhatian, pikiran, tenaga, waktu, dan se-bagainya. Mereka mampu memberi karena sumber daya spiritual yang mereka miliki begitu melimpah. Mereka percaya pada filosofi “tangan di atas” terlepas dari kondisi apa pun yang tengah mereka hadapi.

Keempat, orang kaya adalah orang yang memiliki banyak cinta. Mereka memiliki cinta karena senantiasa dekat dengan Sang Maha Pencinta. Para pemilik cinta ini memiliki energi yang begitu besar karena kemampuannya untuk mengakses cinta Ilahi. Karena itu mereka senantiasa berbagi cinta dan energi kepada siapa saja.

Sebaliknya orang miskin adalah orang yang senantiasa ketakutan. Mereka selalu diliputi rasa waswas dan khawatir. Takut miskin, takut lapar, takut diabaikan orang, takut kalah, takut ketahuan, takut tertangkap. Karena itu mereka menghabiskan begitu banyak energi buat melindungi diri sendiri. Kalau begitu, mana ada lagi energi yang tersisa dan bisa dibagikan kepada orang lain?

Salam
Arvan Pradiansyah
Penulis: "The 7 Laws of Happiness"
Motivator acara Smart Happiness
di Smart FM Jakarta