Kamis, 03 Juni 2010

Jeritan Palestina

(sebuah cerita)

“NAMA saya dr. Swee Chai Ang. Saya adalah seorang dokter bedah ortopedis wanita, anggota Asosiasi Dokter Inggris.

Saya menulis surat ini kepada Anda dari Beirut Barat, dari Rumah Sakit Gaza, rumah sakit bagi kamp Sabra dan Shatila. Saya adalah salah satu anggota tim dokter asing yang bertugas saat terjadi pembantaian ribuan orang Lebanon dan Palestina di kamp-kamp, antara 15 hingga 18 September 1982.

Saya merawat beberapa korban, menyaksikan pengeboman dan penghancuran rumah-rumah di kamp. Rumah-rumah itu adalah tempat tinggal orang-orang Palestina dan Lebanon.

Mereka yang mati memang sudah mati, dan tidak ada satu pun dari kami yang dapat membuat mereka hidup kembali. Saya kini menyerukan kepada Anda atas nama mereka yang selamat dari pembantaian – kebanyakan mereka wanita dan anak-anak kecil.

Banyak dari rumah mereka telah dibom, diledakkan, dilindas dengan buldozer, dan dijarah. Tidak ada lisrik dan terjadi kelangkaan air. Meskipun begitu, ribuan orang telah kembali untuk hidup di antara tumpukan puing-puing ini, karena mereka tidak punya tempat lagi selain di sana.

Musim dingin di Lebanon segera tiba, dan ribuan orang di sini tidak akan mempunyai atap untuk melindungi tubuh mereka...”

*
Surat terbuka itu ditulis oleh dr. Swee, warganegara Singapura, pada 1 Oktober 1982, ditujukan kepada media massa di Inggris -- dan tak ada satu pun media yang mau memublikasikan surat itu!

Dr. Swee, seorang Kristen, mengabdikan dirinya pada Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS). Ia menolong semua korban perang tanpa mempersoalkan ras, golongan, maupun agama. Ia bekerja di bawah Sumpah Hipokrates: Dokter tidak boleh berpihak. Tetapi, kebiadaban Israel, dan ketidakadilan dunia terhadap bangsa Palestina, telah mendorongnya untuk ”berpihak.”

Betapa tidak. Hanya dalam tiga hari, Swee menyaksikan lebih dari 3.000 orang Palestina, tewas dibantai oleh pasukan Israel di kedua kamp pengungsian itu. Yang lebih memedihkan hatinya adalah, sebagian di antara para korban adalah mereka yang barusan coba disembuhkan dan diselamatkannya melalui pengobatan dan pembedahan darurat yang sulit.

”Aku harus menyuarakan kebenaran selagi masih hidup dan masih punya suara,” tulisnya dalam buku Tears of Heaven, From Beirut to Jerusalem (2002). Kesaksian yang diungkapkannya, adalah perwujudan dari rasa tanggungjawabnya sebagai manusia – melampaui tanggungjawab profesionalnya sebagai seorang dokter.

*
Derita bangsa Palestina adalah tangis panjang kemanusiaan. Mereka telah menjadi “pariah dunia”: dicap teroris, dan raga serta nyawa mereka diperlakukan lebih nista dari hewan. Mereka diusir dari negeri nenek-moyang sendiri, diburu, dan dibantai. Sejak 1948, hingga sekarang.

Apa yang dialami bangsa Palestina, adalah apa yang dialami bangsa Yahudi di masa silam. Sejak abad pertengahan, bangsa Yahudi terlunta-lunta dalam diaspora. Mereka diburu oleh Tentara Salib dan inkuisisi Gereja. Terakhir, jutaan orang dari mereka dibantai oleh rezim Nazi-Hitler di Eropa. Pengungsian mereka, kemudian mencapai bumi Palestina. Gerakan Zionisme, akhirnya mengklaim: itulah ”tanah yang dijanjikan” Tuhan bagi mereka. Maka, mereka pun merebut dan menduduki bumi Palestina, dan mendirikan negara Israel di tempat itu pada 14 Mei 1948. Direstui Inggris.

Sejak itu, giliran bangsa Palestina yang terusir dan diburu untuk dimusnahkan. Dan dunia, termasuk bangsa-bangsa Arab, tidak begitu peduli kepada mereka. Dan Israel, di bawah perlindungan Amerika, terus merajalela.

Dokter Swee sudah lama bersaksi. Dengan itu, ia ingin menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Ia memang tidak sendirian, tetapi dunia tidak juga ”berani” menolong. Maka, tentang kesabaran, ketabahan, tanggungjawab, keberanian, dan semangat juang pantang menyerah, kita harus belajar kepada orang-orang Palestina -- termasuk kepada kaum perempuan dan kanak-kanak mereka. Seperti dokter Swee.

Dari bangsa Palestina, kita juga belajar: tanpa persatuan, duka-cita tidak akan berakhir.

Salam
Yudhistira ANM Massardi