Selasa, 05 Juli 2011

Belajar Lebih Inovatif dengan Ice Breakers

Pentingnya penggabungan antara keilmuan dan keahlian dalam pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan sangatlah penting, mengingat motivasi belajar siswa yang mudah rapuh karena mudah bosan dan sulit berkonsentrasi. Oleh karenanya sudah selayaknya seorang guru haruslah berinovasi untuk menghadirkan pembelajaran yang kreatif. Di antaranya hal yang diperlukan adalah pentingnya menghadirkan `ice breakers' sebagai awalan untuk pembelajaran yang menarik perhatian para siswa didiknya.

Melalui `ice breakers' sebetulnya lebih berfungsi untuk menumbuhkan energi belajar, saling mengenal, dan membangun hubungan yang hangat siswa satu sama lain. Idealnya guru mampu membuat para siswa didiknya nyaman saat berbicara dalam bahasa Inggris. Buatlah upaya sedemikian rupa agar mereka berdiri dari tempat duduknya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang menarik minat siswa didik. Sehingga saat mereka kembali duduk, guru sudh mendapatkan perhatian penuh dari siswa didiknya.

Beberapa contoh menerapkan teknik `ice breakers' di antaranya adalah `call the name' dan `catch the ball". Call the name adalah sebuah permainan kata-kata dengan menggabungkan kata sifat atau sebuah objek yang menarik. Misalnya nama buah atau binatang dengan menggabungkannya dengan nama siswa sebagai bentuk aktivitas pengenalan diri. Untuk memainkan aktivitas ini para siswa didik bisa melakukannya dengan cara berdiri membentuk lingkaran besar dan kemudian memulainya dengan menyebutkan julukan dan namanya sesuai dengan abjad pertama namanya. Misalnya, Smart Sandra, Alice the Apple, Brilliant Brian, dan lain lain sesuai kreativitas para siswa didik.

Agar alur aktivitas ini terasa runut dan mengalir, para siswa harus menyebutkan nama siswa sebelumnya, sehingga siswa kedua akan mengucapkan kalimat sebagai berikut, misalnya `he is Brilliant Brandon and i am Alice the Apple. Kemudian dilanjutkan oleh siswa ketiga yang melanjutkan dengan menyebutkan nama siswa sebelumnya dan memperkenalkan diri sendiri. Misalnya "He is Brilliant Brandon, she is Alice the Apple, and i am Cute Charlie, dan seterusnya.

Tentu saja aktivitas permainan ini bisa diimbuh atau dikurangi sesuai kebutuhan atau aturan main yang disepakati seluruh siswa dalam kelas. Terutama, jika menurut mereka penyebutan nama teman dan dirinya sendiri cukup untuk lima atau tujuh nama saja, karena jika penyebutan semua nama teman sekelas akan terasa panjang dan mungkin malah membuat siswa bosan. Dan, pelajaran berharga yang didapat dari kegiatan ini adalah membantu para siswa dan guru untuk lebih mengenal satu sama lain.

Contoh kedua dari `ice breakers' ini adalah `catch the ball'. Dalam aktivitas ini guru dapat memulai dengan membuat bola dari kertas. Mintalah para siswa berdiri dan membentuk lingkaran besar dan guru berada di tengah pusat lingkaran. Instruksi dari kegiatan ini adalah lemparkan bola kepada salah satu siswa dan mulailah dengan percakapan singkat. Misalnya mengenalkan nama, asal tempat tinggal, kegemaran dan seterusnya. Kemudian siswa melemparkan kembali kepada guru dan guru melemparkan ke siswa lain dimulai dengan mengulang perkenalan sebelumnya baru kemudian mengenalkan diri sendiri, dan selanjutnya melemparkan bola ke guru lagi dan begitu seterusnya.

Aturan dalam kegiatan ini, siswa yang lalai menangkap bola harus dihukum dengan menampilkan kemampuan bakatnya, misal bernyanyi, menari atau lainnya. Dalam hal ini siswa juga dapat belajar untuk berkonsentrasi agar tidak lalai menangkap bola dan memahami aturan kegiatan serta belajar bertanggungjawab sebagai bentuk konsekuensi dari kelalaiannya tersebut.

Kegiatan semacam `ice breakers' ini sangatlah bermanfaat untuk menuntun siswa menuju pembelajaran yang menyenangkan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang konon sulit. lce breakers mudah dilakukan dengan meluangkan waktu sejenak untuk memulihkan energi belajar siswa karena kegiatan pembelajaran sebelumnya tanpa harus mengurangi inti pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu marilah para guru mulailah dari sekarang dengan menciptakan awalan pembelajaran yang menarik untuk membantu meningkatkan motivasi belajar siswa.

Semoga bermanfaat
Salam
Yuli Astuti Hasanah

Jumat, 01 Juli 2011

Dua Jenis Guru

Guru Pertama adalah guru kognitif, sedangkan Guru Kedua adalah guru kreatif.

Guru Kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara,
banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan. Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga. Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral, kertas lipat, lidi, atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.

Guru Kognitif

Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui
seseorang, semakin pintarlah orang itu. Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif adalah guruguru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS),sangat patuh pada ”tupoksi”. Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan babbab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas, mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas. Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anakanak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit.

Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya.Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting. Saya sering menyebut anakanak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.

Guru Kreatif

Guru Kreatif Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka. Belenggu-belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar, sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya. Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill.

Berbeda dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia. Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri, dan seterusnya. Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu lainnya.

Sebaliknya, guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat peraga, kita akan buat sendiri dari limbah. Kalau perlu, kita ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,”ujarnya. Saya tertegun.

Seperti itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara Olimpiade Matematika atau Fisika, tetapi mereka mampu membuat generasi muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar. Mereka kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di University of Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat tesis apa yang mereka inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam minat dan objektif masa depan saya.

Sewaktu saya bertanya, mereka menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan badan Anda pada baju kami, kami hanya membantu setiap orang untuk membuat bajunya sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya.”

Salam
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Banyak Duduk Percepat Kematian

British Journal of Sports Medicine pada 2010 pernah merilis penelitian menarik tentang bahaya duduk yang bisa meningkatkan risiko kematian. Kini riset itu diperkuat dalam American Journal of Epidemiology Juni 2011.

Para ahli menyimpulkan duduk dalam jangka waktu lama atau sedikitnya 6 jam sehari cukup membuat seseorang mati muda. "Pria 18 persen adapun wanita 37 persen," begitu perkiraan persentase risiko kematian yang ditulis dalam Huffington Post. Kecenderungan ini berlaku setelah aktivitas rutin tersebut dilakukan selama 13 tahun.

Penelitian ini dinilai akurat lantaran dilakukan terhadap 123 ribu orang dalam kurun waktu 14 tahun. Para peneliti mengamati pola duduk seseorang dalam rentang waktu 3 jam dan 6 jam. Hasilnya, orang yang duduk 6 jam atau lebih yang paling banyak berisiko mati.

Seseorang yang berlama-lama duduk cenderung diserang berbagai penyakit seperti diabetes, depresi, dan obesitas. Tempat seseorang duduk pun tak jadi soal, apakah di kantor, sekolah, mobil, di depan komputer, atau televisi. Intinya duduk enam jam atau lebih berbahaya bagi kesehatan.

Lalu bagaimana cara mengatasi masalah duduk yang sudah menjadi kebiasaan manusia modern? Para peneliti American Cancer Society mengimbau masyarakat tidak khawatir.

Potensi kematian akibat duduk dapat dilawan dengan pola hidup sehat. Misalnya melakukan olah raga rutin minimal 30 menit yang dilakukan selama 5 hari dalam seminggu.

Salam
RUDY