(sebuah cerita)
Jalanan menuju kota Bandung hari ini sedikit padat, maklum hari ini weekend – tanggal muda pula. Hmm… akhirnya berhasil juga menemui temanku yang sedang kerja lab di kampusnya. Kok dia pucat sekali yah?? Ohh, sedang sakit rupanya! Kok memaksa pergi ke lab siang panas bolong begini, hari sabtu pula?! Hayoo, kita pulang saja, istirahat dan bersenang-senang! :)
Ahhh, kita berdua memang butuh isi pulsa untuk ponsel masing-masing. Hmmm, ternyata aku lupa mengatur kerja ponselku agar dapat digunakan di luar kota tempat asalku – Jakarta. Jadi tak perlu aku membeli pulsa itu, toh aku di kota ini hanya sampai besok sore. “Bicaralah kau kepada si penjual pulsa dan ambil apa yang kau butuhkan!”, nyataku pada temanku. Sembari menunggu, tak sadar ada seorang pria mendekatiku. Oh, ia menanyakan angkutan umum yang ingin ia tumpangi. Hmmm, sayangnya aku tak pernah hafal arah dan jenis angkutan umum yang melaju di sekitar belakang kampus temanku ini. “Hei, kau tahu angkutan umum ke arah Dago?”, sela tanyaku di tengah transaksi jual beli yang sedang berlangsung. Ohhh, ternyata dari sini tak ada trayek yang langsung ke arah Dago – harus berjalan menembus Jalan Dayang Sumbi. Kebetulan rumah temanku, tempat kami hendak menuju, juga berada di daerah Dago, di Jalan Bang Bayang tepatnya. Lelaki yang menanyakan jalan tampak sedikit panik atas apa yang ia hadapi dan arah mana yang harus ia tuju. Akhirnya, kami memutuskan untuk jalan bersama melintasi Jalan Dayang Sumbi, toh kami memang ke menuju ke arah yang sama.
Satu hal yang belum kuceritakan mengenai lelaki ini adalah mengenai kondisi fisiknya yang buta. Ya, ia memang seorang tuna netra yang sedang kebingungan menanyakan arah, jalan, sekaligus angkutan umum untuk mencapai tempat tujuannya. Menurutnya, kejadian ini tidak perlu terjadi bila si supir angkutan umum yang sebelumnya ia tumpangi tidak asyik mengobrol dan akhirnya mengacuhkan pesannya untuk turun di daerah Simpang Dago. Namun kenyataannya, disinilah ia sampai dan terbengkalai, di belakang salah satu kampus terkenal di kota Bandung. Berjalan bersama seorang tuna netra tentu tidak sama dengan berjalan bersama dengan teman-teman yang ‘melek’. Dengan sedikit krbingungan, cepat-cepat kuberinisiatif untuk membimbing si lelaki tuna netra dengan memberikan tanganku sebagai ‘pegangan dan arahan’ baginya. Aku dapat merasakan kebingungan dan keanehan yang dialami temanku karena sekarang kami berjalan bersama seorang asing dan ia memegangi tanganku cukup erat.
Aku tahu bahwa sebenarnya ada cara yang benar (efektif) untuk menjadi pemandu bagi para tuna netra bila kita hendak membantunya. Aku pernah ditunjukkan caranya, namun sayang aku sudah tak ingat lagi karena peristiwa ini terjadi di sekian tahun yang lampau. Ahhhh, aku sedikit kecewa pada diriku sendiri. Well, setidaknya aku berusaha semampuku. Meski harus kuakui apa yang aku lakukan agak-agak ‘menyerempet bahaya’. Seperti, kami berjalan di sebelah kanan jalan dan aku berada di posisi paling kanan, sehingga membuat si tuna netra berada paling dekat dengan lalu lalang kendaraan. Hey, aku lupa – ia tidak bisa melihat kalau saja ada motor atau mobil atau kendaraan lain melintas tepat di sampingnya meski dari arah yang berlawanan (datang dari hadapannya). Nyaris terserempet! Ia kaget dan panik dengan lalu lalang di samping kiri badannya. Lagi, aku membawanya berjalan melintasi trotoar yang tidak terlalu aman karena ukurannya yang sempit dan lebih tinggi dari jalan dan selokan, belum lagi permukaannya yang tidak rata dan banyak lubang. Nyaris terjeblos! Bagaimana kuingatkan dia bahwa ada lubang menganga di hadapannya atau ia berjalan terlalu ke pinggir? Akhirnya aku membawanya berjalan di jalan raya, meski lebih dekat dengan lalu lalang kendaraan – paling tidak permukaannya lebih rata dan ‘jauh’ dari ketinggian, mengingat kesulitanku memberikan instruksi bila kami sudah berjalan terlalu ke pinggir trotoar atau bila menghadapi lubang di antaranya.
Lelaki ini berjalan agak terburu-buru – aku dapat merasakan ini, atau memang jalannya yang ‘agak cepat’. Di tengah perjalanan singkat ini, kami memulai percakapan. Mulai dari sekolah, nama, tempat tinggal, dan beranjak mengenai cerita perjalannya sampai di tempat ini – seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya. Ternyata, ia memang tergesa-gesa dan bergegas untuk mencapai tujuannya – ke tempat ia akan memijat di daerah Dago Atas. Ia seorang tukang pijat panggilan. Pantas saja kurasa ‘dorongan’ di tanganku agar segera bergegas berjalan menuju tempat ia bisa mendapatkan angkutan umum yang benar. Ia sudah terlambat untuk ‘panggilannya’ karena peristiwa ketidaksimpatikan si supir angkutan umum yang sebelumnya. Dan terasa kegeramannya karena ia harus membuat orang lain menunggu dirinya – sepertinya ia tidak suka datang terlambat untuk menunaikan tugasnya.
Sampai menemukan angkutan umum yang kami tuju, ternyata belum selesai juga panduan yang harus diberikan – bahwa inilah angkutan umum yang kami maksud, di sini pintunya, masuklah dan di sini tempat kau bisa duduk. Kami pun naik bersama dan melanjutkan uraian percakapan kami. Sayangnya, tempat yang kami tuju adalah perhentian sebelum tempat tujuan si lelaki tuna netra. Jadi, di sinilah kami turun dan mengucap salam kepada si lelaki tuna netra dan melanjutkan pesan kepada si supir angkutan umum agar ia menurunkan ‘teman baru’ kami ke tempat perhentian yang ditujunya.
Kejadian ini mengingatkanku untuk memberikan pesan kepada teman-temanku untuk belajar ‘keahlian’ yang satu ini – sebagai pemandu bagi para tuna netra. Penting! Aku mengingat, betapa ingin aku membantu para tuna netra ini, namun apa dayaku bila tak cakap dalam berempati dan tak tahu cara (teknik) melengkapi ‘keterbatasan’ mereka? Well, meski bukan berarti aku akan mencari setiap tuna netra yang butuh bantuan di jalanan dan berusaha membantu mereka. Tapi, kecakapan yang satu ini tetap dibutuhkan, seandainya kita menemui mereka yang mengalami ketersesatan atau kebingungan atau masalah apapun, di jalan dan di tempat lain. Karena seperti yang dialami oleh teman baru kami tadi, ia diturunkan di pinggir jalan tanpa tahu ada di mana (Hahh, gara-gara keteledoran dan keacuhan si supir angkutan umum!). Aku pun tak ingat untuk menggambarkan di mana ia berada saat itu, karena aku pun tak sadar bagaimana harus bersikap dengan tepat.
Satu lagi, maukah kamu mengulurkan tangan dan mulutmu untuk menjadi alat pandu bagi para tuna netra ini – sebagai pengganti matanya yang tak berfungsi dan juga tongkat yang dipegangnya? Karena, mereka yang membutuhkanmu di luar sana kebanyakan (hampir pasti) adalah orang asing yang mungkin baru kali itu saja kau temui. Seorang buta yang asing, yang mungkin akan melakukan kontak fisik denganmu secara langsung. Maukah kau mempelajari ini? Aku mau!!!
Salam
MC Hartanti