(sebuah cerita)
Dear all,
Saat tolah toleh mengagumi kemegahan terminal 3 airport Jakarta tiga hari lalu, pandangan mata saya beradu dengan sosok yang amat saya kenal. Ya, dia kawan baik saya. Hampir 15 tahun kami berpisah. Reuni yang luar biasa...
Dia masih tetap seperti dulu: langsing (baca: kurus dan kecil, hehe). Saya yang berubah. Tapi kami tetap bisa saling mengenali.
Hari itu saya tahu, beliau sekarang dosen di sebuah PTN bergelar doktor. Ck ckk.. ckk... seangkatan saya sudah doktor? kemana saja diriku selama ini, waakakak...
"Sudah sertifikasi dosen?" saya memancing.
"Aku maunya sertifikat yang otomatis saja", katanya.
"Woww... calon profesor nih?".
Gila juga kawan saya itu. Usia muda beliau, Agustus nanti proses menjadi profesor diajukan. Dan kalau lolos, maka otomatis beliau dapat tunjangan sertifikasi dosen.
"Tapi, sampeyan nggak pantes jadi guru besar", saya bercanda. "Lha badan ceking kayak gini: guru kecil terus", wakakak. Kami tertawa lepas.
Sejurus kemudian dia menjelaskan perilaku beberapa kolega dosen yang tengah mencurangi proses sertifikasi dosen. Gila, baru bebarapa hari lalu saya ketemu teman yang memergoki kolega guru membeli 20 lembar sertifikat aspal (bayangin, dua puluh lembar sodara-sodara. ...), eh hal sama berlaku juga di kalangan dosen. Kawan saya itu membocorkan bagaimana rektornya berada dalam tekanan dosen-dosen "senior" untuk pengajuan serdos. Dan kawan baik saya itu tengah berjuang agar upaya "kecurangan" para koleganya ini terbongkar tanpa membahayakan dirinya (dia doktor yang jujur dan sederhana, dulu kami sama-sama aktivis masjid kampus meski kami dari perguruan tinggi yang berlainan).
Ahh... nggak guru, nggak dosen, sama saja...
Masa iya dosen PTN yang sedang tugas belajar punya surat keterangan mengajar di kelas? (di PTN, kalau sedang dikuliahkan maka dia terbebas dari beban mengajar). Kawan saya diam-diam tengah mencari celah agar belasan koleganya yang tengah mencurangi proses serdos ini digagalkan sertifikasinya.
Saya mendukungmu, kawan...
Salam kejujuran