Kita dapat menemukan kata-kata Maya Soetoro, adik tiri Barack Obama, tersebut di atas dalam buku karya Stanley Ann Dunham, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara: Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia (Mizan, 2008). Buku Ann ini diterjemahkan dari disertasinya. Dan kata-kata itu, tepatnya, berasal dari Teguh Santosa, teman Maya Soetoro, yang pernah berkuliah di Universitas Hawaii yang di universitas inilah Ann Dunham pernah berkuliah pula.
Teguh Santosa memberikan pengantar-menarik dalam buku Ann Dunham edisi Indonesia tersebut. Teguh Santosa pulalah yang membantu Penerbit Mizan sehingga disertasi Ann Dunham dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Untuk mempersiapkan buku ini,” tulis Teguh dalam pengantarnya, “penulis berdiskusi secara intensif dengan adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, dan Profesor Alice Dewey dari Jurusan Antropologi UHM yang menjadi ketua komite disertasi Ann Dunham.”
Ann, lanjut Teguh, bukan sekadar perempuan yang melahirkan dan membesarkan Obama. Lebih dari itu, Ann adalah teman diskusi yang turut membentuk pemahaman Obama mengenai realitas dunia di luar Amerika Serikat. Membuat Obama mengerti dan menyadari bahwa berbagai perbedaan yang ada di muka bumi ini—sesuatu yang fitrah dan given—mestilah dijembatani dengan dialog, bukan dengan mesin perang.
Dalam sebuah tayangan video yang mengawali peluncuran buku Obama di Jakarta, apa yang dikatakan oleh Teguh itu tampaknya diakui oleh Obama sendiri. Obama mengatakan tentang ibunya, Ann, sebagai berikut, “Ibuku membangunkan aku pukul 4.30 pagi dan kami bersiap-siap pergi ke sekolah. Dan aku sering mengeluh dan menggerutu. Anda bisa membayangkan, anak usia 6 atau 7 tahun dan harus bangun pukul 4.30 pagi.”
Dengan bahasa yang seakan-akan menunjukkan bahwa Obama ingin terus mengenang ibunya, Obama melanjutkan, “Dan kalau dia melihatku melakukan hal itu, dia akan sangat marah. Dia akan berkata kepadaku, ‘Bayangkan kalau kamu berada dalam posisi orang itu. Apa yang akan kamu rasakan?’ Pemikiran sederhana itu yang aku tak yakin aku memahaminya sewaktu kecil dulu kini benar-benar menancap di dalam kepalaku.”