Jam sembilan pagi. Seorang pegawai, datang ke kantor, rapi wangi, duduk di depan komputer sambil merasakan hembusan AC dingin di kulit. Di waktu yang sama, seorang montir, mendorong rolling door bengkelnya, membereskan alat yang segera membuat tangan bernoda hitam, bersiap menanti pelanggan. Manakah pekerjaan yang lebih baik?
Pertanyaan ini muncul karena saya teringat anak-anak didik saya yang telah lulus. Saya bertemu dengannya di sebuah pusat perdagangan dan ia mundur sambil menunduk, malu dengan pekerjaannya sebagai trolleyboy. Saya bertemu dengan yang lainnya di tepi jalan, dan ia menghindar karena masih juga menganggur. Saya bertemu dengan yang lainnya lagi, dan ia sibuk mencari nama lain untuk menyamarkan pekerjaannya sebagai waitress.
Kenapa demikian? Perkiraan saya, adalah karena adanya pandangan tentang sesuatu yang disebut ‘pekerjaan yang sesungguhnya’ .
Saya juga mengerti sulitnya mencari pekerjaan yang dianggap layak bagi lulusan SMA. Ditambah lagi, mereka biasanya belum menemukan hal yang menjadi minat mereka, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain selain menjadi pegawai.
Tapi, apakah pekerjaan yang baik itu? Apakah yang berhadapan dengan komputer? Berkantor di gedung bertingkat? Berpakaian fashionable? Saya kira kita sepakat bahwa tidak demikian. Pekerjaan yang baik dalah pekerjaan yang bernilai ibadah, tapi juga haruslah pekerjaan yang kita sukai, yang memenuhi kebutuhan rohani kita, yang membuat kita bahagia ketika mengerjakannya.
Dan saya teringat novel Sang Pemimpi.
Ikal, tokoh utama novel ini, bekerja sebagai juru sortir di kantor pos. Selain senang dengan baju seragamnnya, ia menemukan kebahagiaan ketika bisa membantu orang yang kesulitan mencairkan wesel. “Maka dengan sebuah cap karet berukiran nama dan nomor induk pegawaiku, aku memberi otorisasi di belakang wesel itu: DIKENAL PRIBADI. Bangga minta ampun aku dengan privilege sebagai pegawai pos itu, selain senang dapat memberi bantuan kecil untuk rekan sekampung.”
Ada lagi, film Janji Joni.
Joni adalah pengantar film, dan dia dengan tegas berkata dia bahagia dengan pekerjaannya. “Pekerjaan menyampaikan sesuatu adalah pekerjaan mulia. Bahkan itulah ini tugas para nabi.”
Inilah yang saya impikan dari para lulusan di sekolah saya. Menemukan pekerjaan yang mereka sukai. Tidak harus berpakaian licin dan berjalan di atas ubin mengilap. Bisa saja berpeluh, bercoreng cat, berkotor-kotor, asal membuat hati bahagia. Lagipula, pada banyak kasus, pekerjaan seperti penjual sate ayam, kadang berpenghasilan sama, atau bahkan lebih, daripada pegawai bank.
Jadi, apa yang akan saya jawab bila anak-anak didik bertanya, “Jadi saya harus bagaimana?”
Tentu saja, jangan bosan bila saya mengatakan temukan minatmu, lalu bangun mimpi-mimpimu. Jangan biarkan pandanganmu tertipu dengan tampilan luar yang mentereng, karena hatimulah yang lebih penting.