Tulisan bermula ketika seorang teman, Tanti Skober, dosen Sejarah Unpad, update di-wall FB-nya menulis, sedang menonton "Sang Pencerah" bareng anak-anak (mahasiswa) Sejarah. Saya langsung mengomentari, dapatkah film seperti sang pencerah disebut sebagai sebuah historiografi?
Dari beberapa teman yang memberikan komentar, barangkali hanya Adhi Pramudya yang memberikan respon khusus atas komentar saya. Dia bilang, "Hanung (Bramantio) bilang kalo di sana sini ada kekurangan terutama catatan sejarah yang tidak terdokumentasikan sepenuhnya. Artinya--sesuai naturalnya film--pasti ada interpretasi. Gimana tuh jadinya?"
Apa itu Karya Sejarah?
Bagi saya, sebuah karya sejarah (historiography) itu tidak dilihat dari bentuknya, melainkan harus dilihat dari metode penggarapannya. Bentuknya bisa jadi apapun, bisa jadi buku, bisa jadi film, bisa jadi komik, bisa jadi novel. Sekali lagi, poin yang terpenting ketika kita hendak menyebut satu karya itu historiografi atau bukan, haruslah disimak dari proses penggarapannya.
Sudah menjadi konsensus umum di kalangan sejarawan jika suatu karya akan disebut sebagai historiografi jika memiliki kaidah-kaidah yang sudah disepakati. Kaidah-kaidah tersebut adalah metode sejarah. Metode ini merupakan tahap-tahap penelitian sejarah yang diawali dengan tahap pengumpulan data (heuristik), kritik ekstern (otentisitas), kritik intern (validitas), interpretasi, dan terakhir penulisan atau historiografi.
Juga sudah menjadi konsensus umum di kalangan sejarawan jika tidak ada karya sejarah yang obyektif, karena tidak mungkin sebuah karya sejarah menghindari diri dari subyektifitas. Di dalam ilmu sejarah dikenal prinsip "intersubyektif" yang secara prinsip dipahami sebagai kebenaran sejarah itu sifatnya konsensus.
Interpretasi dan historiografi, dalam metode sejarah, adalah proses subyektif, yang mana sejarawan atau penulis sejarah mengerahkan pengetahuan, perasaan, dan pikiran-pikirannya pada saat merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Jadi, interpretasi dalam karya sejarah, bukanlah sebuah masalah. Interpretasi diakomodir oleh metode sejarah dan disadari sebagai ruang bagi sejarawan untuk mengutarakan pendapatnya terhadap peristiwa sejarah.
Fiksi dan Non-Fiksi
Hanung Bramantio dan aktor-aktor yang terlibat dalam film "Sang Pencerah" tidak mengelak jika dalam film tersebut terdapat banyak unsur fiksinya. Kata Hanung saat interview dalam acara MataNajwa, pengetahuan dasar tentang KH Ahmad Dahlan awalnya hanya sebatas gambar lukisan KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang diketahui umum.
Selain itu, hanya ada satu sumber tertulis sejaman yang menceritakan tentang kehidupan KH Ahmad Dahlan. Ironisnya, sumber yang ditulis oleh Muhamad Siradj, salah seorang murid KH Ahmad Dahlan itu diperoleh dalam bentuk softcopy dari perpustakan Leiden, Belanda. Minimnya sumber itulah yang ditambal dengan interpretasi dan beberapa fiksi.
Perkara fiksi dan non-fiksi inilah yang sebenarnya paling menarik. Hampir sebagian besar sejarawan "konvensional" bersikukuh mempertahankan batas fiksi dan non-fiksi. Sebagian sejarawan secara tegas menolak mengakui bahwa dalam setiap karya sejarah sebenarnya terkandung unsur-unsur fiksi.
Ketidakmauan sebagian sejarawan untuk mengakui kesejarawanan Pramoedya Ananta Toer adalah salah-satu gejala adanya tembok yang sengaja dibangun untuk membedakan sejarawan dengan sastrawan. Padahal, sebenarnya sulit untuk mengatakan jika karya sejarah terbebas dari unsur fiksi, khususnya ketika dalam metode sejarah terdapat aspek interpretasi.
Sebaliknya, katakanlah Tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer sebagai karya fiksi, adakah dari kita yang menolak fakta jika proses penulisan karya-karya itu didahului dengan penelitian sejarah yang mengikuti prinsip-prinsip pokok metode sejarah? Artinya, dalam karya "fiksi" sekalipun, pasti ada penelitian sosial dan sejarah. Jika tidak, karya itu tidak akan "hidup" dan "menjejak di bumi".
Pendekatan Multidimensi
Dalam tradisi penulisan sejarah modern dikenal istilah "pendekatan multidimensi". Istilah ini merupakan salah-satu kontribusi Prof. DR. Sartono Kartodirdjo. Inti dari istilah ini adalah saran bagi sejarawan untuk merekonstruksi sejarah dengan secara aktif mengoptimalkan kekayaan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, baik ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam.
Hal ini dimaksudkan agar karya sejarah tidak hanya berisi deskripsi naratif prosesual semata, melainkan masuk lebih dalam dengan mengorek dimensi-dimensi struktural dalam setiap peristiwa sejarah. Dengan begitu, karya sejarah akan lebih kaya dan lebih bermanfaat.
Bagi saya, film, seperti Sang Pencerah, adalah sebuah karya yang paling multidimensi. Dalam eksposisi yang tertuang dalam film tersebut, tidak hanya terdapat pendekatan-pendekatan ilmu sosial, melainkan juga terdapat pendekatan ilmu-ilmu lain, seperti fisika, arsitektur, fashion, dan lain-lain. Dengan kekayaan pendekatan yang tertuang dalam film tersebut, pesan-pesan sejarah yang terkandung dalam tokoh KH Ahmad Dahlan, bisa dicerna lebih baik.
Kalau tidak percaya, silakan bandingkan dengan karya apapun tentang KH Ahmad Dahlan yang tersaji dalam bentuk tulisan? Mana yang lebih efektif?
Penutup
Sewaktu berada di kereta menuju Yogyakarta, saya bersama dengan seseorang yang tengah asik membaca "Kartun Riwayat Peradaban" yang diterbitkan Gramedia.
Saya tanya sama dia, apa yang membuat kamu tertarik membaca buku itu?
Dia bilang, "saya penggemar komik dan komik itu menarik, karena menceritakan sejarah dalam bentuk yang asyik."
Lantas, saya bertanya lagi, "kamu suka dengan pelajaran sejarah?"
Dia jawab, "tidak, saya tidak suka."
"Kenapa?" saya kembali bertanya.
"Pelajaran sejarah itu berat dan membosankan. Kita dituntut untuk menghapal tahun, nama, dan lain-lain," jawabnya lugas.
"Terus, apa bedanya dengan komik itu?" tanya saya.
"Karena, komik ini tidak menuntut kita hafal tanggal, bulan, tahun, tapi mengajak kita memahami makna pada setiap peristiwa," jawabnya.
Percakapan ringkas itu mengingatkan saya pada ucapan tokoh Ahmad Dahlan yang diperankan Lukman Sardi, yang mengkhawatirkan umat tercerai berai hanya karena para ulama salah dalam menyampaikan ajaran.
Saya kira, makna dari ucapan itu juga berarti bagi sejarawan, jangan sampai masyarakat semakin asing dari sejarahnya hanya karena para sejarawan keliru dalam cara penyampaiannya.
Salam
Dhitta Puti Saraswati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar