Rivalitas kini menjadi aroma yang mudah ditemui. Menjelang pemilu presiden (pilpres) yang dihelat pada Juli mendatang, para capres dan cawapres sibuk melontarkan visi dan misi, dan tentu saja dengan segala bumbu politik janji mereka terhadap pembangunan bangsa ini ke depan. Konsekuensinya, pejabat yang sama-sama satu atap bisa menjadi rival saat masing-masing mencalonkan diri untuk maju ke panggung pilpres tersebut.
Meski demikian, tentu alangkah sejuknya bila rivalitas itu hanya berwujud kulit, tanpa menyentuh isinya. Artinya, sesudah bersaing memperebutkan sesuatu, tetap sama-sama saling menghargai. Yang kalah menghormati yang menang. Yang menang tak merendahkan yang kalah. Sama-sama saling menghargai. Betapa indahnya jika bangsa ini dipimpin oleh petinggi seperti itu.
Pada 3 April 2009, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan istri berkunjung ke Surabaya bersama beberapa pejabat negara untuk bersilaturahmi dengan para guru dari Surabaya dan sekitarnya. Pada hari itu pula bertepatan dengan malam puncak penutupan program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Program tahunan tersebut terasa amat istimewa karena menghadirkan presiden atas undangan Pak Dahlan Iskan.
Malam-malam sebelum acara silaturahmi itu, saya kebagian menjadi panitia dan bekerja sama dengan beberapa pihak. Saya ditunjuk oleh ketua program untuk membuat denah ruang pembagian kursi pejabat dan peserta. Tentu saja mulanya saya terkejut mendapat tugas itu. Pasalnya, selain saya termasuk junior, tentu saja saya bukan ahli tata ruang atau arsitek. Namun, saya meyakinkan diri untuk menerima “kehormatan” tersebut. Bismillah, saya pasti bisa! Begitu saya menyemangati diri.
Hari-hari menjelang acara puncak terasa begitu berat dan tegang. Saya harus mengikuti rapat tim bersama protokoler istana. Belum lagi malamnya saya harus bekerja untuk menyunting berita untuk keesokan harinya. Stres menjadi karib yang menemani saya pada hari-hari itu. Apalagi, rencana yang sudah disusun matang bisa berubah dengan cepat atas permintaan tim protokoler istana kepresidenan. Lelah itu pasti. Tapi, saya tetap berpikir positif agar stres dan lelah dapat terusir. Mulanya, saya ragu apakah bisa mendatangkan sekitar empat ribu guru di lokasi acara puncak nanti.
Akhirnya, hari yang ditunggu tiba. Para peserta yang rata-rata para pencetak tunas bangsa tersebut mulai berdatangan sore itu. Saya harus wira-wiri dari lokasi pendaftaran ke DBL Arena, tempat acara puncak dihelat. Menjelang senja, ribuan guru telah memenuhi aula luas berkapasitas maksimal 4.400 orang tersebut. Nyaris tak ada bangku yang tak terisi. Penuh dan sesak.
Saya terus mengawasi perhelatan puncak itu dari salah satu lorong kecil. Banyak peserta yang mulai tak kebagian tempat sehingga para panitia harus bekerja ekstrakeras untuk mengatur jalannya acara. Sekitar pukul 18.25 WIB, Presiden SBY dan istri muncul dari tribun atas VVIP menyapa ribuan guru yang telah hadir. Udara yang terasa gerah karena banyaknya peserta mulai berubah. Suasana riuh dan para peserta melakukan standing ovation untuk menyambut kedatangan SBY.
Dalam pidatonya, SBY berjanji untuk lebih memperhatikan kesejahteraan para guru di Indonesia. Dia pun menyangkal kabar bahwa tunjangan guru akan dihentikan. “Kabar tersebut tidak benar,” ujarnya, yang disambut tepuk tangan meriah dari ribuan guru.
Saya menyaksikan orasi SBY tersebut dari sebuah sudut panggung yang terlindung oleh sebuah pot besar berisi pohon palma ukuran sedang. Peluh bercucuran menahan lelah. Capai itu seolah terbayar lunas setelah melihat kegembiraan para peserta mendengar janji presiden untuk mengakomodasi fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru.
Salah satu lagu kebangsaan mulai dikumandangkan untuk mengiringi penutupan acara tersebut. Saya melihat, mendengar, dan mencatatnya!
Pemimpin yang rendah hati dan peduli terhadap rakyatnya adalah sosok idaman. Apalagi menjelang pilpres seperti saat ini. Saat sibuk merampungkan suatu naskah, saya membaca manuskrip lama tentang Presiden Iran Ahmadinejad. Bukan artikel yang memuat beritanya, tapi foto-foto aktivitas presiden yang dimusuhi oleh Amerika Serikat itu.
Tak ada kesan mewah meski Ahmadinejad seorang pemimpin negara. Dalam suatu potret, tampak dia mengadakan jumpa pers di kediamannya yang amat sederhana. Di foto lainnya, dia digambarkan sedang makan yang juga sederhana, bukan masakan ala istana kepresidenan. Saya kian takjub melihat potretnya saat mengerjakan ibadah salat di suatu pinggiran jalan. Bahkan, di foto lainnya diperlihatkan bagaimana sang presiden tidak berada di shaf terdepan meski dia seorang pemimpin negara. Mengesankan.
Itulah Mr President yang saya lihat. Jauh tapi dekat. Saya tak mengenalnya, bahkan belum pernah bersua. Kendati demikian, saya seolah merasa sangat akrab dengan sang Mr President karena kesahajaannya.
Berbeda dengan acara pada 3 April lalu. Saya melihat langsung presiden bangsa ini, tapi saya tak jua merasakan kedekatan sebagai rakyatnya. Atau, saya sendiri yang justru menjauhkan diri? Entahlah. Namun, saya masih punya asa untuk memiliki pemimpin bangsa yang jujur, amanah, fathonah, rendah hati, dan dekat dengan rakyat tidak hanya pada saat musim kampanye tiba. Tentang harapan lainnya, mudah-mudahan menu persaingan antar pemimpin tak lagi menjadi sajian utama yang saya dan bangsa ini konsumsi setiap hari. Semoga Allah SWT mendengarkan doa ini, amiin ya robbal alamin.
Catatan: Eko Prasetyo