Oleh : Tabrani Yunis
Suatu ketika di bulan Juli 2006, seorang penulis, D. Keumalawati yang saya kenal cukup kreatif melahirkan karya-karya sastra dan juga aktif menulis di media massa itu pada tanggal 19 Juli 2006 ia menulis sebuah tulisan yang bernada bertanya. Saat itu ia menulis dengan judul, ”Jujurkah Dunia Pendidikan Kita?” D. Kemalawati yang seharian bekerja sebagai guru di sebuah SMK di kota Banda Aceh ini, dalam tulisannya itu memberikan gambaran kegusaran yang mendalam terhadap dunia pendidikan kita. Betapa D. Kemalawati gelisah dan galau melihat fenomena dan realitas pendidikan kita yang sedang berlangsung saat ini. Kegalauan D. Kemalawati sebagaimana tergambar dan terdeskripsi dalam tulisan itu dilandasi pada realitas kontemporer yang saat ini melanda dunia pendidikan kita yang bernama sekolah.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang berfungsi menjalankan fungsi edukatif saat ini dipandang semakin tidak jujur. Salah satu indikator yang digunakan oleh D. Kemalawati adalah apa yang terjadi dalam hiruk pikuknya pelaksanaan ujian nasional di tanah air baru-baru ini. Ujian nasional yang telah dijadikan sebagai sebuah standard kelulusan siswa itu dalam banyak catatan masyarakat kita penuh dengan tanda tanya. Tanda tanya yang mengarah pada ketidakpercayaan pada hasil UAN tersebut, karena banyak terjadinya hal-hal yang kontradiktif, paradoksal, dan bahkan tidak masuk akal. Indikator lain yang membuat kegalauan itu adalah pada sebuah statement sang Menteri pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam rapat kerja dengan komisi X DPR RI 28 Juni 2006 yang menyatakan bahwa beliau malu karena hasil penyelidikan yang oleh Tim Investigasi menemukan banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan UN.
Kecurangan adalah sebuah bentuk ketidakjujuran yang kerap kali terjadi dalam kehidupan kita, termasuk saat ini dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak kita dan bahkan kita sendiri belajar kejujuran. Sekolah yang selama ini menjadi harapan bagi kita untuk membangun sikap-sikap positif yang mulia, seperti beraklak baik dalam artian menjunjung nilai-nilai kejujuran, sopan, santun, dan sebagainya, ternyata kini tidak lagi menjadi semakin sirna. Dikatakan demikian, karena apa yang disebut dengan kejujuran itu, kini semakin sulit untuk didapatkan di lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Benarkah kini di sekolah kita mengalami krisis kejujuran? Atau bisakah kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam melaksanakan Ujian Nasional selama ini dapat dijadikan sebagai indikator bahwa memang kejujuran itu sudah tidak ada di lembaga pendidikan kita ?
Mungkin terlalu sempit atau bisa jadi dianggap sangat tidak berdasar kalau kita katakan bahwa kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan UN menjadi indikator ketidakjujuran pendidikan kita. Namun, tidak salah, bila dijadikan sebagai salah satu indikator. Karena masih banyak unsur atau elemen lain yang bisa dijadikan indikator. Bila kita benar-benar jujur, maka kecurangan yang dilakukan oleh siswa, guru, kepala sekolah maupun para pengambil kibijakan pendidikan dengan manipulasi nilai UN tersebut, adalah sebuah bentuk bentuk ketidak jujuran tersebut. Sekolah sebagai salah satu basis atau learning center of honesty, selama ini sudah kehilangan makna kejujuran.
Sulit dan Langka
Idealnya, lembaga pendidikan yang bernama sekolah, seperti halnya rumah (keluarga) adalah sebuah lembaga yang menjadi basis untuk belajar kejujuran. Seperti kata orang bijak, kejujuran itu berangkat dari rumah dan sekolah. Mengapa demikian? Tentu saja, jawabannya karena seorang anak, belajar kejujuran yang pertama adalah dari kejujuran yang ada di dalam keluarga dan yang ada di sekolah. Percaya atau tidak, bahwa dalam keluarga yang baik atau di sekolah yang baik, yang meletakkan basis pemahaman yang agamis, kita selalu saja diajarkan agar selalu bersikap jujur. Hidup dengan kejujuran selalu saja dijadikan sebagai sebuah jalan yang bisa mengantarkan kita pada posisi selamat. Maka, sebagai perwujudan dari penanaman sikap jujur tersebut, seringkali kita mendengar anjuran atau pepatah petitih seperti, ”Jauhilah yang jahat, dan hiduplah dengan jujur. Janganlah sekali-kali menyimpang dari jalan yang benar”. Atau ada yang mengatakan seperti ini, jujur adalah pangkal kebahagiaan dan keselamatan. Atau juga ada yang mengatakan bahwa, kalau ingin selamat berjalanlah di atas rel kejujuran, dan sebagainya. Pendeknya, anjuran berlaku jujur adalah anjuran yang banyak kita temukan dalam agama yang diwujudkan dalam berkehidupan sosial. Begitu pentingnya menjaga dan bersikap jujur dalam hidup ini. Oleh sebab itu, setiap anak di dalam keluarga dan bahkan dalam kurikulum pendidikan, diajarkan dengan nilai-nilai kejujuran. Maka, harapan untuk menjadikan keluarga dan sekolah sebagai tempat belajar kejujuran menjadi semakin strategis.
Namun, bila kita mencoba masuk ke dalam lembaga pendidikan yang bernama sekolah itu saat ini, apakah masih menemukan nilai dan prinsip kejujuran tersebut? Barangkali terlalu ekstrim dan mengada-ngada bila kita katakan bahwa lembaga pendidikan yang bernama sekolah sudah tidak jujur. Para guru atau para praktisi pendidikan pasti akan menggugat, bertanya apa landasan pemikiran yang mengatakan bahwa sekolah sekarang sudah tidak jujur. Bisa saja anda, sang pembaca akan berkata ”ah itu tidak benar”.
Nah, apapun jawabannya. Benar atau salahkah bila tuduhan itu muncul, yang paling penting kita harus menganalisis dahulu isi dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu, agar kita bisa menjawabnya, perlu upaya untuk melihat dari dekat terhadap kondisi sekarang di lembaga pendidikan kita. Mari kita amati satu persatu dan catat semua fenomena dan realitas yang sedang berkembang. Mungkin para guru, praktisi pendidikan dan para pembaca akan menemukan banyak catatan penting yang bisa mengarah pada pembenaran terhadap pernyataan bahwa saat ini kejujuran itu kian langka dan sulit ditemukan di sekolah. Salah satu indikator kita yang bisa kita jadikan sebagai alat ukur terhadap kejujuran di sekolah adalah dengan apa yang saat ini masih menjadi bahan perdebatan dengan hasil Ujian Nasional yang dianggap memiliki tingkat validity dan liability yang tinggi itu. Hingga kini, walau para pejabat pendidikan kita berbesar hati dan bahkan eforia terhadap hasil yang dicapai pada tahun 2006 yang lalu, tingkat validitas hasil masih saja diragukan oleh masyarakat kita.
Andai kita mau melihat dengan jujur. Kita akan bertanya, bagaimana kita bisa belajar kejujuran di sekolah, kalau saat ini sudah banyak guru yang dalam menjalankan tugas sudah tidak jujur. Misalnya, karena tuntutan dan dijejalkan dengan berbagai persyaratan dalam sistem kenaikan pangkat, demi mengejar angka kredit dalam mengusulkan pangkat, tidak sedikit guru yang berbuat curang. Berapa banyak guru yang saat ini dengan jujur bisa memberikan nilai terhadap yang sesuai dengan hasil yang diperoleh anak? Ini adalah salah satu hal yang bisa kita jadikan sebagai sebuah alat ukur, karena masih banyak realitas lain yang bisa kita temukan. Lalu, kalau kita ingin mengukur tingkat kejujuran seorang Kepala Sekolah, mungkin semakin banyak fakta ketidakjujuran itu kita jumpai. Bertanyalah kita, jujurkah seorang kepala sekolah dalam memperoleh jabatan kepala sekolah?. Kita harapkan kepala sekolah bisa menjawab dengan jujur, sekurang-kurangnya terhadap dirinya. Jabatan kepala sekolah sebagai jabatan yang boleh dikatakan jabatan yang tergolong ”top karir” tersebut biasanya diperjuangkan dengan cara-cara yang sarat dengan ketidakjujuran. Bisa dengan memanfaatkan hubungan nepotisme, bisa dengan membayar sejumlah uang, bisa pula dengan berkolusi. Ini adalah fenomena umum dalam memperoleh sebuah jabatan di negeri ini. Lalu, kejujuran apa yang bisa kita pelajari dari seorang kepala sekolah yang memperoleh jabatan secara tidak jujur? Transparansi? Akuntabilitas? Atau apa ?
Untuk belajar transparansi, agaknya kita semakin jauh. Realitas menunjukan bahwa kebanyakan kepala sekolah sangat tidak transparan kepada para guru dalam mengelola dana-dana yang masuk ke sekolah. Berapa banyak kepala sekolah yang mau secara transparan memberitahukan sumber-sumber pendapatan sekolah kepada para guru yang menjadi stake holders pendidikan? Celakanya, banyak kepala sekolah yang berkata, Bapak dan Ibu guru, tidak perlu banyak tanya. Tugas ibu dan Bapak hanya mengajar. Jangan tanya-tanya soal uang di sekolah. Ini bukan urusan ibu dan bapak guru. Kalau ada guru yang mau bertanya soal dana block Grant, BOS bahkan sekolah yang menerima bantuan dari bencana tsunami dan sebagainya, sebaiknya jangan bertanya di dalam rapat. Datanglah ke ruangan kepala sekolah. Aneh bukan? Padahal, yang namanya transparansi itu adalah bagaimana agar semua guru di sekolah diberikan hak untuk tahu akan penggunaan dana di sekolah. Ketidakjujuran seorang kepala sekolah, juga tergambar pada sikap dan perilakunya. Di satu sisi, penampilan tampak sangat agamis, perkataan sangat agamis, bahkan menggunakan ayat-ayat suci, tetapi kala berkaitan dengan uang, ya sikap itu berbeda antara kata dan perbuatan. Belum lagi kita bertanya soal akuntabilitas, semakin tidak bisa dipertanggungjawakan. Celaka bukan ?
Ketidakjujuran guru, kepala sekolah pada hakikatnya tidak semata-mata bersumber atau disebabkan oleh faktor yang ada dalam diri guru dan dalam diri kepala sekolah saja. Semua ini juga terkait dengan sistem pemerintahan kita yang kini semakin sulit kita temukan kejujuran itu. Jadi, kegundahan dan kegalauan D. Keumalawati dalam tulisannya tanggal 19 Juli 2006 itu bisa kita jawab demikian.
Namun pertanyaan kita selajutnya, kalau begini kondisi yang ada di dalam lembaga pendidikan kita dan kondisi sistem di pemerintahan kita, maka pertanyaan kita adalah bisakah kita belajar kejujuran di sekolah? Kalau kita mau menganalisisnya, salah satu jawaban yang bisa kita prediksikan adalah semakin sulit kita bisa belajar kejujuran di sekolah saat ini. Di tengah kesulitan ini juga barangkali, kita memang tidak bisa berharap dan menuntut agar sekolah dan pemerintah bisa jujur. Haruskah demikian? Subhannallah.
Tabrani Yunis
Peminat masalah sosial dan Pendidikan, berdomisili di Banda Aceh