Setiap setelah salat Magrib, istri saya membaca Alquran. Biasanya, saya ikut mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibacanya.
Suatu ketika saya bertanya kepadanya.
”Kok saya ndak pernah diajak sih?” tanya saya.
”Diajak apa?” Dia balik bertanya.
”Baca Alquran,” ujar saya.
”Lho, saya kan selalu mengajak?” kata dia serius.
”Kapan?” tanya saya.
Dia lantas menjawab bahwa ajakan itu diisyaratkan lewat lantunan ayat-ayat suci tadi. Saya akhirnya baru ngeh. Memang, ”ajakan” itu bisa membuahkan hasil. Saat dia membuka kitab suci dan membacanya, saya ikut-ikutan. Latah demi kebaikan.
Istri saya hampir selalu saja sibuk mengurusi tugas-tugas mengajarnya. Mulai menyiapkan RPP hingga menilai tugas siswa. Suatu ketika dia mengeluh kebingungan. Hal itu terjadi saat ia ditunjuk sebagai panitia family day.
Kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan guru dan siswa, tapi juga orang tua atau wali murid. Istri saya menyatakan kebingungannya dalam memilih permainan yang cocok untuk acara itu. Saya berseloroh, ”Kok bisa nggak dapet ide?”
Ia lantas mengaku tidak fokus sehingga seolah sulit menelurkan ide. ”Coba cari dan baca buku-buku parenting di lemari. Barangkali kamu bisa menemukan ide setelah membaca salah satunya,” saran saya.
Akhirnya ia mendapatkan ide itu dari hasil ”berburu” buku-buku lawas. Lain hari, ia mengeluh lagi. Kali ini ia kesulitan menemukan ide dalam menyusun sebuah tulisan. Saya kemudian menegurnya secara halus.
”Ide itu berseliweran. Mosok nggak isok mengambil salah satunya?” sindir saya. Ia bergeming. Saya lantas menyarankannya untuk rajin baca koran (setiap hari kami dikirimi koran) sebagai salah satu kiat untuk menggaet ide.
Manakala ia melakukannya (baca buku atau koran), hampir pasti ia menuai ide yang diinginkannya (sesuai dengan bidangnya). Dari situ, saya bertekad untuk mengajaknya membaca.
Mengajak di sini bukan menyuruhnya secara langsung untuk buka buku atau koran, lalu membacanya. Bukan itu. Sebab, belum tentu istri saya bisa menerima ajakan (lebih tepatnya perintah) membaca itu. Wong baca novel saja ia mengaku jengah dengan alasan tebal. Saya tidak bisa langsung memaksakan hobi membaca kepadanya.
Cara yang saya tempuh adalah membaca buku, majalah, atau koran di depannya. Sesekali saya memancingnya dengan berita yang dianggap menarik pada saat itu. Dengan begitu, saya berharap adanya interaksi dan ketertarikan istri saya dalam membaca berita tersebut.
Biasanya saya memancingnya dengan isu-isu pendidikan terkini. Saya menganggapnya berhasil jika terjadi dialog antara kami. Dengan begitu, tentu ada tanya jawab, ada interaksi.
Cara tersebut terus saya lakukan, yakni membuka dan membaca buku atau koran di dekat istri saya. Tentu itu dilakukan pada saat kami sedang santai. Alhamdulillah, cara tersebut sukses.
Istri saya yang dulu agak ”menjauhi” novel kini demen membacanya meski tebal sekalipun. Menularkan membaca mungkin tidak mudah. Sebab, tidak semua orang doyan membaca. Padahal, bangsa yang gemar membaca akan menjadi bangsa yang maju. Karena itu, virus membaca memang perlu ditularkan mulai dari lingkup keluarga.
Saya bersyukur karena istri saya kini suka membaca. Baik itu sekadar baca majalah atau koran. Dengan begitu, ia tidak akan tertinggal informasi dan bisa menambah khazanah pengetahuan. Ia tak sadar bahwa saya telah meniru caranya saat mengajak saya membaca Alquran. Saya berharap, ia juga menularkan kegemaran membaca di lingkungan anak didiknya. Begitu seterusnya.
Salam
Eko Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar