Rabu, 06 Agustus 2008

Repotnya Mendapatkan Tunjangan


Dari Milis tetangga Fidelis Waruwu <waruwu@gmail.com> wrote: Selamat malam untuk semua, Hari ini KOMPAS menurunkan artikel "Repotnya Mendapat Tunjangan" Beberapa hal yang menjadi sebuah keprihatinan kita, ternyata: -ada yang memberi kesaksian bahwa ujung-ujungnya sertifikasi itu "duit"- ada beberapa guru melakukan kecurangan, kebohongan.. . -ada asesor yang nakal, menerima suap- 10 komponen yang dinilai, bukan tugas pokok guru. Untuk lebih lengkap, simaklah laporan kenyataannya, berikut ini: Sertifikasi Guru Repotnya Mendapat Tunjangan. KOMPAS/LASTI KURNIA.
Images Para guru menjalani kegiatan kuliah untuk mendapatkan ijazah S-1 di Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (5/4). Para guru tersebut kuliah untuk memenuhi persyaratan sertifikasi. Kamis, 10 April 2008 01:16 WIB Yurnal di Dalam pertemuan dengan sekitar 250 guru, Rektor Universitas Negeri Jakarta Dr. Bedjo Sujanto, MPd sempat menanyakan, siapa guru-guru yang belum ikut sertifikasi? Ternyata, hampir semua guru yang menghadiri pertemuan tersebut angkat tangan. Menyatakan belum. Pertemuan tersebut berlangsung di Jakarta bertajuk seminar dan workshop "Sertifikasi Guru: Problema dan Solusinya", digelar Pusat Kajian dan Pengetahuan Ilmu-ilmu Sosial (PKPIS) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Artinya, di Jakarta saja para guru kerepotan untuk memenuhi persyaratan sertifikasi, termasuk menyiapkan berkas portofolio yang dikelompokkan dalam 10 komponen. Padahal, jika lolos sertifikasi, guru akan mendapat tunjangan profesi satu kali gaji sesuai golongan. Jumlah yang lumayan. Iman Subekti, yang pernah 10 tahun bertugas di daerah terpencil di Papua dan sekarang bertugas di sebuah SMP di Jakarta, menanyakan, "Bagaimana dengan guru-guru di daerah terpencil, yang pergi mengajar dengan perahu, tentu tak punya kesempatan ikut seminar dan dapat sertifikat?" Kepala sekolah dasar di Tanah Abang, DKI Jakarta, Maria, menyatakan keheranannya, ada gurunya yang berprestasi lulusan S-1 dan S-2, tetapi namanya tak tercantum sebagai guru yang lulus sertifikasi.
Lain lagi menurut Soemantri, ia menilai sertifikasi ini ujung-ujungnya duit. Sepertinya, setiap guru mempunyai masalah yang khas, unik, dan muaranya mereka terkendala untuk bisa meningkatkan kesejahteraannya, mendapatkan tunjangan profesi. Bedjo Sujanto mensinyalir ada beberapa guru yang melakukan kecurangan, membohongi diri sendiri dan atasan. "Kecurangan bukan saja pada dokumen karya ilmiah dan sertifikat seminar, bahkan ada yang memalsukan ijazah S-1. Tak mudah pula mengontrolnya karena ada 246 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, "ungkapnya. Di sisi lain, ada pula asesor yang nakal dengan menerima uang suap dari orang yang mengaku guru. "Kalau asesornya masih memiliki hati nurani dan kejujuran, mungkin dapat dihindari. Tetapi kalau hanya mengejar uang, maka imannya pasti rontok. Ketidakjujuran inilah yang merusak pendidikan kita, "ujar Rektor UNJ ini. Bukan tugas pokok guru. Ia menilai, dari 10 komponen yang dinilai melalui dokumen portofolio, komponen tertentu bukan tugas pokok guru. Karena bukan tugas pokok guru, sebagian besar guru sulit untuk bisa memenuhinya. Namun, katanya lagi, karena keinginan yang besar untuk segera mendapat tunjangan profesi, berbagai cara dilakukan. Hal ini sebenarnya bukan semata-mata kesalahan guru, namun kekurangcermatan pada saat menyusun instrumen portofolio, yakni tidak menilai tugas pokok guru. Ini dapat dipahami karena, menurut Bedjo, instrumen disusun para konsultan yang rata-rata dosen perguruan tinggi. Instrumen itu cocok untuk para dosen karena seminar dan menulis makalah serta penelitian adalah tugas wajib yang harus dilakukan dosen. Sedangkan guru tak memiliki kewajiban untuk penelitian dan menulis makalah. Sangat memberatkan.
Sertifikasi bagi guru dalam jabatan, sebagaimana diatur Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007, yang dilaksanakan melalui penilaian portofolio, diakui guru-guru sangat memberatkan. Batas minimal lulus (passing grade) adalah 850 (57 persen dari perkiraan skor maksimum). Menurut guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP Bandung), Prof.Dr.Said Hamid Hasan,MA, sertifikat pendidikan, yang menjadi persyaratan guru berdasarkan ketentuan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, menarik untuk dikaji karena mengandung sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Permasalahan itu baik dari filosofi profesi guru, dari aspek teoretik kurikulum pendidikan guru, moral pendidikan guru, maupun pelaksanaan di lapangan. "Kalau kita cermati peraturan tersebut, terjadi duplikasi antara apa yang telah mereka pelajari sehingga berhak atas akta mengajar dengan apa yang harus mereka tempuh melalui 'proses pemberian sertifikat dalam jabatan'. Terlebih lagi terjadi suatu kelemahan konseptual yang cukup mendasar, di mana mereka harus menempuh ujian sertifikasi dari lembaga yang telah memberikan pengakuan mengenai kemampuan mereka dalam mengajar," ujarnya.
Menurut Hamid, mereka yang tak lulus dalam ujian sertifikasi dan harus mengikuti pelatihan profesi merupakan suatu ironi. Mereka adalah orang-orang yang sudah dinyatakan lulus oleh lembaga yang akan melatih mereka dalam berbagai kompetensi di bidang keguruan dan sekarang, karena tidak mampu mengisi portofolio dengan baik, harus mengikuti lagi pelatihan mengenai hal yang sama dari lembaga yang sama/yang diberi wewenang. "Pelatihan profesi itu merupakan kegagalan yang bersangkutan dalam membuat portofolio dan bukan karena ketidakmampuan mengajar," ujarnya, Apalagi, cukup banyak persyaratan yang dikehendaki dalam portofolio tidak mungkin dipenuhi guru yang berada di daerah pedalaman dan terpencil, seperti mengikuti workshop, seminar, dan pelatihan.
Guru di perkotaan sangat diuntungkan dengan kebijakan mengisi portofolio, yang meliputi 10 hal. Kesepuluh hal tersebut adalah kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman belajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, serta penilaian dari atasan dan pengawas. Selanjutnya, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Mereka punya dana, waktu, dan kebijakan untuk mengikuti kegiatan tersebut, sampai-sampai berani meninggalkan kewajiban tugas mereka mengajar di sekolah.
Namun, walaupun bisa dipenuhi, tetap saja tidak mudah. Jadi memang tidak mudah untuk mendapatkan tunjangan.

Tidak ada komentar: