Selasa, 09 Agustus 2011

Siapa Calon Presiden Kita?!

Bli Fajar ditanya beberapa kalangan tentang siapa calon presiden kita kelak. Pertanyaan ini juga menjadi pertanyaan sejumah lembaga survei. Semua orang bertanya karena dua hal: Presiden SBY sudah tak boleh mencalonkan diri kembali pada 2014. Kedua, terus merosotnya tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

Merosotnya kepercayaan rakyat memicu pemikiran pentingnya pergantian kepemimpinan itu segera. Atas dasar itulah, suhu politik nasional meningkat tajam. Tokoh agama sudah turun gunung menyuarakan perilaku kebohongan yang terus-menerus dilakukan pemerintah. Budayawan juga mulai bicara yang sama.

Budayawan melihat terjadi paradoks dalam kehidupan politik kenegaraan. Ketika pemimpin bicara penegakan hukum, pada saat yang sama aparat hukum melakukan pelumpuhan hukum. Ketika pemimpin menjanjikan kebangkitan ekonomi, pada saat yang sama terjadi inflasi. Ketika pemimpin ingin mengumpulkan pajak untuk membiayai pembangunan, pada saat itu terjadi eksploitasi pajak.

Rakyat paling jelata yang biasanya makan nasi tanpa lauk pauk alias hanya nasi sambal kini berteriak paling keras. Sambal sudah tak gratis lagi. Harga beras juga melonjak tinggi. Krisis pangan mulai mengintip di depan pintu.

Gejolak sosial ini bisa membesar jika terus dibiarkan. Isu pangan sangatlah sensitif. Jika yang miskin tak pernah ditolong dan dilindungi kepentingannya, dan jumlahnya terus membesar, mereka bisa menjarah. Inilah api pemicu paling cepat untuk terjadinya kerusuhan sosial seperti tahun 1998 lalu.

Politisi sudah mencium gelagat ini. Upaya pemakzulan sedang digalang. Hanya perlu 2/3 anggota DPR untuk memulai akrobat pelengseran.

Jika kondisi ini terus dipertahankan, keinginan mengganti pemerintahan akan terus membesar. Peristiwa 1998 bisa saja berulang. Sutiyoso, ketua PKPI, sudah bicara kondisi ini. Selain kerusuhan sosial, krisis pangan, lalu kenaikan harga BBM, bakal disusul reshuffle. Bukan tidak mungkin reshuffle akan disikapi dengan mundurnya sejumlah menteri dari partai koalisi pemerintah. Pada saat yang sama di Gedung DPR suara pemakzulan sudah semakin lantang dibunyikan.

Satu-satunya yang belum terpenuhi dalam "revolusi sosial" itu adalah kepemimpinan. Siapa pemimpinya? Siapa yang akan memimpin gerbong revolusi ini? Siapa pula yang akan menggantikan SBY, jika SBY dimakzulkan atau SBY memilih mundur.

Isu ini sangat krusial karena tidak ada tokoh yang dominan. Sejumlah lembaga survei juga belum menemukan sang kandidat. Rakyat belum satu suara menunjuk calon kandidat. Sedangkan tokoh yang selama ini berseliweran tak lagi bisa dipercaya memegang amanah rakyat.

Resistensi rakyat begitu tinggi terhadap mereka. Kita sebut saja Aburizal Bakrie, Suryadharma Ali, Hatta Radjasa, Ny Ani Yudhoyono, Prabowo, Wiranto, Megawati, Amien Rais, Sultan HB IX, Sutiyoso, Surya Paloh. Sementara tokoh muda belum dipercaya memimpin. Kita sebut saja mereka Anies Baswedan, Anas Urbaningrum, Maruaar Sirait, Sukardi Rinakit, Budiman Sudjatmiko, Yudhi Crisnandi, Marzuki Alie, Muhaimin Iskandar, Yeni Wahid.

Lantas siapa tokoh yang bisa memimpin rakyat dengan kondisi bangsa seperti ini. Bli Fajar menemukan tokoh pengganti SBY yang bisa mewakili semangat tokoh muda yang haus perubahan, berani, tegas, antikorupsi, mengedapankan keadilan, memiliki visi dan tujuan ke depan, cepat mengambil kebijakan dan tidak takut melawan para mafia hukum yang coba coba meruntuhkan negara bangsa serta banyak akalnya, ide-idenya brilian. Dia adalah Machfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi.

Pria yang bukan dari Jawa ini terbukti berhasil menjaga lembaganya paling "suci" dari semua lembaga negara. Dia juga berani menjaga kehormatan lembaga dan anggota di dalamnya dari serbuan mafia hukum. Dia juga orang pertama di jagat republik ini yang siap turun tahta jika terbukti korup atau bersalah.

Machfud adalah sosok yang sudah "selesai" dengan dirinya sendiri, "selesai" dengan semua kepentingannya. Dia sudah masuk ke wilayah pengabdian untuk bangsa.

Lengser karena batas waktunya sudah habis, dilengserkan oleh DPR/MPR, revolusi sosial, atau sebab-sebab lain, Machfud MD layak menjadi kandidat pengganti untuk memimpin bangsa ini ke depan.

Salam
Bli Fajar

Negeri yang Bikin Sakit Hati

Negeri yang Bikin Sakit Hati
Karena pemimpinnya sudah tak lagi punya nurani
Diganti, dijual dengan posisi sebuah kursi
Dan rakyat lugu yang selalu diimingi janji-janji


Negeri yang Bikin Sakit Hati
Punya presiden yang jagonya cuma basa-basi
Yang dipikirkan hanya pencitraan diri
Dan sensasi apa buat tivi besok pagi


Negeri yang Bikin Sakit Hati
Menterinya bilang setahun PLN tak pernah mati
Padahal lilin di warung pun tak tersisa lagi
Tambah stressnya data hilang mahasiswa yang sedang skripsi

Negeri yang Bikin Sakit Hati
Polisi, Hakim dan Jaksa bisa dibeli
Maling ayam dan pencopet digebuki
Sementara mafia di penjara dapat ruang Vi Ai Pi


Negeri yang Bikin Sakit Hati
Internet mahal dan operator monopoli
Sementara sang menteri sibuk ngurusin Blekberi
sambil update twitteran tiap hari


Negeri yang Bikin Sakit Hati
Pidato pejabatnya tentang peningkatan ekonomi
Tapi harga cabe melambung tak terbeli
Sementara petani tetap miskin gigit jari

Negeri yang Bikin Sakit Hati
Dinas Pendidikannya bikin RSBI
Biaya kuliah melambung tinggi
Sekolah tinggi hanya untuk jadi pegawai negeri


Negeri yang Bikin Sakit Hati
TKI di luar negeri disiksa sampai mati
Budaya bangsa dibajak tetangga sendiri
Presidennya malah sibuk bikin lagu nyaingin selebriti


Negeri yang Bikin Sakit Hati
Bahkan politikpun masuk ke PSSI
Bikin timnas mandul prestasi
Lalu sibuk bikin naturalisasi

Negeri yang Bikin Sakit Hati
Orang pajak sibuk bikin promosi
Orang pajak pula yang korupsi
Kataya di penjara tapi bisa nonton tenis di Bali


Negeri yang Bikin Sakit Hati
Jangan tanya kenapa sama penulis puisi ini
Tanya saja sama Aburizal Bakri atau Ibu Ani
Yang pengen jadi presiden baru nanti


Salam
Reza Ervani

Minggu, 07 Agustus 2011

Bila ABG Bicara Nasionalisme

(sebuah cerita)

Di beranda sebuah rumah di pelosok desa yang baru saja dimasuki aliran listrik. Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun sedang meminum teh bersama Kakeknya. Untuk memudahkan membaca, kita sebut saja Cucu dan Kakek.

Cucu bertanya di saat yang bersamaan ketika angin berhembus. “Nasionalisme itu apa, Kek?” intonasinya yang masih ceria dan blak-blakan mengisi udara senja waktu itu. Kakek menyeruput tehnya dalam diam. Dia memandang ke halaman depan dengan penuh arti, tidak menggubris pertanyaan cucunya sama sekali.

“Kek? Kakek kok diam saja? Arti nasionalisme itu apa, Kek?” tanya sang cucu yang haus akan jawaban. Sementara itu, Ibu yang baru saja menjemur pakaian tiba-tiba membisu. Seakan “nasionalisme” dan pahamnya adalah hal yang dilarang di desa ini. Cucunya kebingungan.

Karena dia masih kecil dan membenci keheningan yang mencekam seperti ini, dia mencoba untuk merubah suasana. Dia menggigil karena angin, menuang tehnya ke dalam cangkir. Sebelum meminumnya, dia kembali bertanya, “Kalau koruptor, artinya apa Kek?” dengan harapan semoga saja dijawab. Kakek melihat sesaat. Yang tampak di mata Cucu adalah sorot mata yang menginginkan pengetahuan dan jawaban. Karena Kakek sudah
merasa cukup mengulur waktu, beliau akhirnya menjawab.

“Koruptor itu, sesungguhnya, tidak memiliki arti apapun di muka bumi ini.” suara Kakek terdengar sangat berat seolah-olah sepatah kalimat tersebut adalah kalimat pusaka yang akan mengakibatkan kiamat bila diucapkan oleh mulut yang salah. Tetapi, di sisi yang lain kita dapat menangkap bahwa jawabannya ada benarnya dan sangat bijaksana. Dapat ditebak bahwa Kakek adalah seseorang yang merugi karena kelakuan koruptor. Dapat ditebak bahwa Kakek adalah seseorang yang membenci, atau mungkin ingin ikut membasmi koruptor. Dapat ditebak bahwa Kakek sedang menekankan pada cucunya untuk tidak menjadi koruptor.

“Kalau gitu, kenapa di televisi ada banyak sekali koruptor..” tanya Cucu sambil menggaruk kepala keheranan. Cucu masih belum menangkap maksud dari jawaban Kakek.

Kakek diam lagi. Beliau menyundut tembakaunya, mengembuskan asapnya dengan sangat tenang.

“Kek?”

Beliau masih terdiam. Barulah setelah Ibu kembali ke dalam rumah, ia berbicara dengan sangat pelan, nyaris berbisik, bahwa pembicaraan ini harus dihentikan karena kepala negara saat itu bukanlah orang yang menerima kritik. Salah bicara, bisa-bisa dijebloskan dalam penjara. “Cucuku, kita masih harus ekstra hati-hati dalam membicarakan hal seperti ini. Orang-orang di atas, yang memiliki jabatan, tidak semuanya jujur dan tidak selalu menepati sumpahnya untuk mengabdi pada negara. Bisa kau mengerti maksudku?” tentunya dalam bahasa daerahnya.

“Iya, iya, Kek.” cucunya hanya mengangguk mengiyakan. Dia tidak tahu sama sekali bahwa petuah dari kakeknya adalah “dalil”-nya menghadapi hidup di negaranya, menyikapi orang yang bekerja disana, dan hidup di lingkungan yang sama tanpa tercemari sifat busuknya.

“Jadi, nasionalisme itu apa, Kek?” tanya Cucu sekali lagi.

“Nasionalisme itu... rasa cinta kamu terhadap Ibu Pertiwi.”

“Ibu Pertiwi itu siapa, Kek?”

“Ibu Pertiwi adalah dia yang engkau tapak dan yang engkau tengok. Ibu Pertiwi adalah segalanya disini. Ibu Pertiwi adalah Nusantara, dan Nusantara adalah Ibu Pertiwi itu sendiri,” tidak terasa setelah memberi penjelasan seperti itu, air mata Kakek membasahi pipi keriputnya. Akan tetapi Cucu masih belum menyadarinya.

“Lalu apa yang dimaksud dengan rasa cinta dengan Ibu Pertiwi itu, Kek?”

Kakek tertawa dengan suaranya yang serak, tawa Kakek terdengar seperti suara burung kakaktua parau yang sedang tersedak biji pepaya.

“Cucuku.. suatu saat nanti, kalau kamu sudah besar seperti Bapakmu, kamu akan mengerti sendiri apa arti dari nasionalisme. Kamu akan menyadari arti dari nasionalisme setelah rasa itu benar-benar hilang.”

“Hmm.., berarti nasionalisme adalah rasa yang berharga sekali, ya Kek?”

Kakek terdiam, dia terlihat sedang merenungi apa yang diucapkan oleh cucunya. Cucunya benar, rasa nasionalisme adalah rasa yang berharga sekali hingga orang baru merasakannya 'ada' ketika rasa nasionalisme sudah benar-benar hilang. Nasionalisme yang ada sekarang, di waktu itu, adalah rasa membela diri atau bangsa yang dicap sebagai nasionalisme.

“Ya, kamu benar.” jawab Kakek dengan singkat. Mendengar nada bicara beliau yang seperti itu, merasakan dinginnya udara malam waktu itu, mereka memilih untuk menyudahi pembicaraan.

Sekarang, di waktu ini. Apakah itu nasionalisme?

Nasionalisme, kalau kita sesuaikan lagi adalah semangat membela negara. Semangat persatuan demi terwujudnya suatu tujuan yang diharapkan bersama. Dimulai dari hal-hal yang fenomenal dari supporter Indonesia di Suzuki AFF Cup kemarin sampai urusan-urusan kenegaraan yang mengatasnamakan Nasionalisme. Lalu apa yang dimaksud dengan Nasionalisme? Apa maksud dari Kakek, nasionalisme adalah rasa yang baru
terasa adanya ketika sudah dilupakan di masyarakat saking berharganya?

Sudut pandang Kakek dapat ditebak begini: nasionalisme bangsa kita adalah rasa cinta Ibu Pertiwi yang menomorsatukan cara masyarakat bersosialisasi dan berbudaya menurut daerahnya masing-masing di Nusantara. Karena dunia sudah semakin maju, perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi sudah semakin canggih, tradisi sosial dan budaya kedaerahan yang sesuai dengan hakikat Ibu Pertiwi ini dilupakan.
Lama kelamaan, ketika masyarakat menyadari bahwa perilaku modern ini tidak cocok, mereka akan membela budaya daerahnya masing-masing. Tapi bukan sebagai rasa nasionalisme sebagai jati diri. Jati diri bangsa Indonesia terkikis jaman, itulah kenyataan.

Salam
bun-yanummarshus

Puasa Ternyata Ubah Struktur Otak

Otak merekam kegiatan yang dilakukan secara simultan. Begitu juga dengan aktivitas puasa. Selama satu bulan, tubuh diajak menjalani rutinitas sahur, menahan diri dari makan, minum, dan seks, kemudian berbuka di petang hari serta menjalankan ibadah Ramadan lainnya.

Berpuasa menjadi bagian dari perintah agama. Sementara itu agama dan spiritualitas merupakan bentuk perilaku manusia yang dikontrol otak. Ketua Centre for Neuroscience, Health, and Spirituality (C-NET) Doktor Taufiq Pasiak mengatakan bahwa puasa menjadi latihan mental yang berkaitan dengan sifat otak, yakni neuroplastisitas. "Sel-sel otak dapat mengalami regenerasi dan membentuk hubungan struktural yang baru, salah satunya karena latihan mental yang terus-menerus," kata Taufik kepada Tempo.

Bahasa awamnya, kata dia, apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sel saraf itu minimal 21 hari. Menurut Taufik, puasa adalah latihan mental yang menggunakan perantara latihan menahan kebutuhan fisik (makan, minum, seks).

Selain membentuk struktur otak baru, Taufik menjelaskan bahwa puasa merelaksasi sistem saraf, terutama otak. Tetapi ada perbedaan mendasar antara relaksasi sistem pencernaan dan sistem saraf. Selama puasa, sistem pencernaan benar-benar beristirahat selama sekitar 14 jam, sementara di dalam otak orang yang berpuasa justru terjadi pengelolaan informasi yang banyak.

Contohnya, kata dia, otak dapat mengingat dengan baik di saat tenang dan rileks. Ketika tidur, biasanya orang bermimpi. Kenapa? Karena di waktu ini otak hanya menerima dan mengelola informasi yang berasal dari dalam dirinya. Di dalam Al-Quran, menurut Taufik, ada istilah an-Nafs al-Muthmainah (jiwa yang tenang) karena memang dalam suasana tenang orang dapat berpikir dengan baik dan memiliki kepekaan hati yang tajam. »Ketenangan membuat kita tidak reaktif menghadapi permasalahan,” katanya.

Luqman al-Hakim pernah menasihati anaknya, "Wahai anakku, apabila perut dipenuhi makanan, maka gelaplah pikiran, bisulah lidah dari menuturkan hikmah (kebijaksanaan), dan malaslah segala anggota badan untuk beribadah."

Otak terdiri atas triliunan sel yang terhubung satu dengan lainnya. Di dalamnya bisa disimpan 1 miliar bit memori atau ingatan. Ini sama dengan informasi dari 500 set ensiklopedia lengkap.

Di dalam otak, ada sel yang disebut sebagai neuroglial cells. Fungsinya sebagai pembersih otak. Saat berpuasa, sel-sel neuron yang mati atau sakit akan 'dimakan' oleh sel-sel neuroglial ini. Fisikawan Albert Einstein dikenal sebagai orang yang suka berpuasa. Ketika mendonasikan tubuhnya, para ilmuwan menemukan sel-sel neuroglial di dalam otak Einstein 73 persen lebih banyak ketimbang orang kebanyakan.

Sebuah penelitian yang dilakukan John Rately, seorang psikiater dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Dengan alat functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), Rately memantau kondisi otak mereka yang berpuasa dan yang tidak. Hasilnya, orang yang shaum memiliki aktivitas motor korteks yang meningkat secara konsisten dan signifikan.

Taufik mengatakan bahwa puasa adalah salah satu bentuk tazkiyatun nafs (menumbuhkan nafsu) dan tarbiyatun iradah (mendidik kehendak). Karena itu, sejak niat puasa, perilaku selama berpuasa dan ritual-ritualnya berada dalam konteks memperbaiki nafsu, menumbuhkan, kemudian mengelola kemauan-kemauan manusia.

Salam
Rini Kustiani

Dahsyatnya Pahala Memberi Makan Berbuka Puasa

Bulan Ramadhan benar-benar kesempatan terbaik untuk beramal. Bulan Ramadhan adalah kesempatan menuai pahala melimpah. Banyak amalan yang bisa dilakukan ketika itu agar menuai ganjaran yang luar biasa. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.

Inilah janji pahala yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”

Al Munawi rahimahullah menjelaskan bahwa memberi makan buka puasa di sini boleh jadi dengan makan malam, atau dengan kurma. Jika tidak bisa dengan itu, maka bisa pula dengan seteguk air.

Sungguh luar biasa pahala yang diiming-imingi.

Di antara keutamaan lainnya bagi orang yang memberi makan berbuka adalah keutamaan yang diraih dari do’a orang yang menyantap makanan berbuka. Jika orang yang menyantap makanan mendoakan si pemberi makanan, maka sungguh itu adalah do’a yang terkabulkan. Karena memang do’a orang yang berbuka puasa adalah do’a yang mustajab.

Apalagi jika orang yang menyantap makanan tadi mendo’akan sebagaimana do’a yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam praktekkan, maka sungguh rizki yang kita keluarkan akan semakin barokah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan, “Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku.

Tak lupa pula, ketika kita memberi makan berbuka, hendaklah memilih orang yang terbaik atau orang yang sholih. Carilah orang-orang yang sholih yang bisa mendo’akan kita ketika mereka berbuka. Karena ingatlah harta terbaik adalah di sisi orang yang sholih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada ‘Amru bin Al ‘Ash, "Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah harta di tangan hamba yang Shalih."

Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga. Dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya." Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, "Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur."

Seorang yang semangat dalam kebaikan pun berujar, “Seandainya saya memiliki kelebihan rizki, di samping puasa, saya pun akan memberi makan berbuka. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Sungguh pahala melimpah seperti ini tidak akan saya sia-siakan. Mudah-mudahan Allah pun memudahkan hal ini.”

Lalu bagaimanakah dengan Anda?

Kamis, 04 Agustus 2011

Ketika Kita tak bisa

Ketika kita tak bisa menegakkan yang benar, maka kebenaran kita persalahkan.

Ketika kita tak bisa memberangus yang salah, maka kesalahan kita benarkan.

Ketika kita tak bisa menghukum kemaksiatan, maka kemaksiatan kita jadikan kewajaran.

Ketika kita tak bisa berkata jujur, maka kejujuran kita katakan pelacur.

Ketika kita tak bisa mencegah korupsi, maka korupsi kita sebut budaya.

Ketika kita tak becus menjadi penguasa, maka kekuasaan kita anggap najis dan pemecah persatuan.

Ketika kita tak mampu jadi politisi, maka politik kita cap sebagai kotor dan memalukan.

Ketika kita tak mampu membunuh perjudian, maka bandar judi kita jadikan donatur kegiatan sosial.

Ketika kita tak kuasa menutup prostitusi, maka prostitusi kita permanenkan agar bisa kenakan pajaknya.

Ketika kita tak bisa mengentaskan kemiskinan, maka kita katakan angka kemiskinan turun.

Ketika kita tak bisa menolong pengangguran, maka kita sebut pengangguran sebagai pemalas dan tidak kreatif.

Ketika kita tak bisa berswasembada beras, maka impor beras kita sebut demi menstabilkan pangan.

Ketika kita tak mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, kita malah ajarkan buku-buku seri kebohongan SBY.

Ketika kita tak cakap bicara
Ketika kita tak kuasa berbuat
Ketika kita tak bisa bertindak
Ketika kita tak bisa membuat aturan
Ketika kita hanya bisa diam
Ketika kita cuma menjadi penonton
Ketika kita tak bisa melakukan apa apa


Lawan...!!!

Kita rebut keadilan kita sendiri
Kita robohkan tembok kekuasaan karena kedaulatan adalah milik kita
Kita gantung boneka boneka kebodohan dan kita kubur dalam dalam

Sekali kita tak bisa, selamanya kita terjajah.

Salam
Habe Arifin

Wawancara atas nama Agama

Banyak pelaku kekerasan memekikkan jihad dan takbir sebelum memulai aksinya. Para pelaku kekerasan ini beranggapan mereka tengah berjihad membela agama Islam. Padahal sesungguhnya tindakan itu justru merusak kewibawaan dan meruntuhkan Islam. Tidak ada satu pun dalil yang membenarkan melakukan kekerasan atau pembunuhan karena perbedaan keyakinan.

"Orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam," kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi.

Banyak faktor yang menyebabkan makin seringnya pecah kekerasan atas nama agama. Faktor itu yakni pengaruh masuknya faham radikalisme dari Timur Tengah. Selain itu juga kelambanan penanganan pemerintah melalui alat keamanan negara dalam mencegah tindak kekerasan.

Salah satu terpenting adalah bentrokan antar faham keagamaan dan keyakinan ini justru ditimbulkan akibat dakwah atau ajakan yang tidak dilakukan secara bijaksana. Selain sering memaksakan agar orang masuk sesuai keyakinan diri sendiri, juga dipicu sikap kesombongan keimanan yang ditunjukan umat beragama itu sendiri. "Kesombongan atas keimanan ini paling berbahaya," kata Masdar.

Berikut wawancara detikcom dengan Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas'udi di
kantornya di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat:

Bagaimana tanggapan anda soal penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten?

Pertama-tama yang ingin saya tegaskan, negara itu wajib melindungi rasa aman dari
seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan maupun suku dan
sebagainya. Itu pertama yang harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar lagi.
Dan untuk itu, negara sudah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan, ada aparat
kepolisian dengan perangkatnya termasuk untuk penindakan sampai intelijennya. Kalau
polisi tidak sanggup, bisa menggunakan aparat lainya seperti militer.

Kalau perlu Nahdlatul Ulama (NU) siap membantu dan amankan segenap warga. Jangan
sampai ada kezaliman di antara warga dan sesama warga. Pertumpahan darah itu mutlak
harus dihidarkan. Satu nyawa hilang itu sudah terlalu banyak. Kalau nyawa sampai
hilang bukan karena nyawa, tapi itu sama saja menghilangkan seluruh umat manusia,
ini adalah sesuai Alquran.

Jadi membiarkan seorang warga negara terbunuh tanpa alasan pembunuhan, maka
sebenarnya sama saja membiarkan seluruh warga negara ini terbunuh. Bahkan di dalam
Alquran bukan hanya seluruh warga negara, tapi seluruh umat manusia, bila ada nyawa
seorang dibiarkan melayang tanpa alasan yang setimpal.

Berkaitan dengan soal keimanan, negara kita kan bukan negara agama, bukan negara
agama tertentu. Tetapi negara yang melindungi keyakinan segenap warganya, maka
negara tidak boleh mendiskriminasi perlindungan kepada warga negara atas pertimbangan keyakinan tertentu, itu tidak boleh. Dan, NU berada di belakang misi
negara itu.

Apakah konflik terjadi karena perbedaan keyakinan di antara warga itu sendiri?

Itu yang sebenarnya tidak boleh. Perbedaan keyakinan memang tidak mungkin dihindari,
karena agama memang teksnya terlalu mendalam dan luas. Oleh karena itu tafsir
terhadap teks agama itu suatu keniscayaan. Tidak ada suatu ajaran agama yang hanya
ada satu tafsir dan semua tafsir sebenarnya itu dilindungi. Bahwa ada yang mengaku
dirinya benar dan yang lain itu salah, itu biasa. Tetapi kalau semua mengaku benar dan semua mengaku yang lain salah, maka sesungguhnya tidak ada yang mutlak benar.

Perbedaan keyakinan tidak bisa menjadi alasan untuk memaksa keyakinan saya terhadap
orang lain. Karena yang memberikan petunjuk ke jalan benar itu hanya Allah.
Innaka laa tahdi man ahbabta walakinnallaaha yahdi man yasya, sesungguhnya kamu tidak bisa memastikan hidayah kepada orang lain, hanya Allah lah yang dapat memasukan hidayah kepada hamba-Nya yang dikehendaki (surat Al Qoshosh ayat 56).

Di dunia ini kan bukan surga dan juga bukan neraka. Jadi di sini itu ada yang baik
dan ada yang buruk, ada yang kafir, ada yang mukmin, ada yang tersesat dan ada yang
mendapatkan hidayah, inilah dunia. Jangan berpikir dunia ini adalah surga, dan semuanya harus mukmin. Dan jangan berpikir bahwa dunia ini adalah neraka, semuanya harus kafir, tidak seperti itu.

Soal surga-neraka, tersesat dan mendapatkan hidayah hanya Allah yang tahu. Bahkan
dalam Islam, kalau ada orang mengkafirkan orang lain, maka boleh jadi sesungguhnya
dia kafir. Jadi jangan gampang mengkafirkan orang. Anda boleh saja meyakini seyakin-yakinnya apa yang anggap anda imani benar, tapi jangan pada saat yang sama mengaku sayalah satu-satunya paling benar, orang lain salah atau menuding keyakinan orang lain itu salah.

Jadi bagaimana sebaiknya menghadapi jemaat Ahmadiyah?

Saya ambil contoh di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat asuhan almarhum KH
Ilyas Ruhyat (mantan Rais Am PBNU), di sekitar itu sudah berpuluh-puluh tahun ada
sebuah masjid Ahmadiyah. Pas bertetanggaan dengan pesantren, dan dari dahulu
tidak pernah ada santri yang menggruduk atau mengejek anggota jemaat Ahmadiyah.
Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, itulah yang terjadi di
lingkungan NU sebenarnya.

Bahwa anda memiliki keyakinan seperti itu dan anda bertekad menjalankannya, itu hak
anda. Memang kita memang mempunyai kewajiban moral untuk melakukan dialog, memberi tahu atau dakwah. Tetapi melakukan dakwah mengajak orang mendekatkan dengan keyakinan kita harus dengan bil hikmah atau bijaksana. Tidak ada kata paksaan dalam dakwah itu. Apabila kita sudah berdakwah atau kita sedikit bermujadalah (perdebatan). Kok masih tidak mau menerima apa keyakinan kita, ya sudah, kewajiban kita sudah gugur. Tidak ada keimanan yang bisa dipaksakan. Mungkin orang bisa dipaksa tubuhnya, tapi hatinya tidak bisa dipaksa.

Dakwah yang paling efektif itu dakwah melalui perilaku, bukan dengan kata-kata, apalagi dengan kekerasan. Kalau orang Islam memperlakukan orang lain dengan kekerasan dan kekejaman, itu sebetulnya dia sedang melecehkan secara telak agamanya sendiri. Karena orang akan bertanya, loh agamanya mulia, tapi kenapa perilaku dan akhlaknya buruk dan kejam? Jadi orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam.

Kawasan Cikeusik, Pandeglang, Banten walau dikenal masyarakatnya keras tapi belum pernah terjadi bentrokan antar keyakinan agama. Apakah ini ada rekayasa untuk memicu kekerasan itu sendiri?

Memang belakangan ini, sekitar sepuluh tahun belakangan terakhir ini pengaruh dari
kelompok-kelompok radikal yang dibiayai dengan uang yang banyak dari Timur Tengah
menjalar ke mana-mana. Meskipun kita ketahui dalam dunia Islam, perbedaan mazhab dan perbedaan tafsir itu sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman para sahabat itu sudah ada orang menafsiri sebuah ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda. Jadi sesungguhnya itu sudah alami dan memang tafsir itu bisa berbeda-beda.

Tapi tafsir yang berbeda dan diikuti dengan pemaksaan, penistaan sampai pembunuhan
baru belakangan ini lebih marak. Jadi dahulu pernah ada pada zaman klasik itu. Misalnya konflik antara lain dengan kaum Khawarij dan Syiah sampai pertumpahan darah dan lainnya. Kemudian orang berpikir bila lama-lama seperti ini bisa habis, maka wisdom atau kearifan yang muncul, bahwa tidak ada di dunia manapun yang memiliki satu tafsir, tapi banyak dan berbeda-beda.

Untuk mensikapi adanya tafsir-tafsir yang berbeda ini, ya sudah kita sama-sama
menghormatinya. Bahwa kami juga minta dihormati untuk mengikuti tafsir kami, sebagaimana anda juga kami menghormati untuk mengikuti tafsir anda. Itulah yang
paling fair (adil), toh kita sama-sama tidak tahu siapa yang sesungguhnya secara
hakiki di jalan yang benar. Kita hanya berdoa saja kepada Allah SWT untuk dibimbing
di jalan yang benar. Kita tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah sepenuhnya berada
di jalan yang benar, itu tidak boleh karena itu namanya takabur.

Kita salat setiap hari lima waktu ada 17 rakaat, kita setiap rakaat selalu baca Al Fatihah dengan doa ihdinash shiroothol mustaqiim, tunjukilah kami ke jalan yang benar. Itu artinya apa? Orang Islam setiap menjalankan ibadahnya sekalipun tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah ada di jalan yang benar. Justru kita harus terus memohon kepada Allah untuk dibimbingnya. Justru kita harus rendah hati dan jauh untuk mengklaim saya sudah ada di jalan yang benar, apalagi sambil menuding orang lain kau sesat dengan diikuti tindakan kekerasan. Ini nauzubillah minzaliq, itu jauh dari kebenaran.

Apakah bisa dikatakan semakin banyaknya tindak kekerasan mengatasnamakan agama karena pengaruh radikalisme Timur Tengah?

Memang tindakan manusia tidak pernah bisa disederhanakan pada satu faktor saja,
selalu ada multi faktor. Taruhlah faktor faham radikalisme itu memiliki peranan,
meskipun tidak seratus persen. Tapi juga ada faktor-faktor lainnya, misalnya
faktor adanya provokator dan yang tidak kalah penting faktor kelambanan aparat
pemerintah dalam bertindak preventif. Ini sangat penting sekali.

Oleh karena itu, ini harus menjadi catatan yang sangat kuat bagi kita bahwa semua
faktor-faktor yang bersifat pemahaman tidak bisa berdiri sendiri. Kalau ada orang
yang berbeda faham, kemudian tumbuh menjadi saling curiga sampai saling membenci.
Tapi kalau aparat keamanan pemerintah bertindak tegas, tentunya tidak akan meledak
menjadi kenyataan. Itu yang kita sesalkan, kenapa aparat keamanan tidak bertindak
tepat waktu.

Sebenarnya beliau-beliau itu sudah tahu ada riak-riak seperti di Banten atau Temanggung, itu sudah diketahui dua hari sebelumnya gelagat-gelagat itu. Persoalannya kenapa tidak dilakukan pencegahan? Sebenarnya itu hak aparat keamanan untuk mencegahnya, apalagi sudah ada tanda-tanda datangnya rombongan dari Solo, Semarang, Pekalongan ke Temanggung untuk melakukan tindakan kekerasan atas protes putusan pengadilan. Kenapa ini tidak dicegat di tengah jalan? Sebelum sampai ke tempat kejadian. Membiarkan mereka sampai ke tempat kejadian dan berkumpul ribuan orang itu pasti akan sulit sekali. Tapi kan bisa dicegah sebelumnya, kan jarak Pekalongan-Temanggung, Solo-Temanggung tidak dekat. Sepanjang puluhan dan ratusan kilometer kan bisa dilakukan pencegahan. Ini yang kami sesalkan kenapa aparat tidak bertindak semestinya sesuai tanggung jawabnya melindungi masyarakat agar tidak bertumpah darah.

Kelambanan atau kelalaian aparat keamanan dan pemerintah ini bisa diartikan juga sebagai upaya memperkeruh konflik antar kelompok masyarakat beragama ini?

Kelambanan itu bisa dituduh sebagai by omission atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi karena pembiaran dan tidak mengambil tanggung jawab. Sekali lagi kami katakan, aparat keamanan harus ambil tanggung jawab melindungi masyarakat, apalagi yang menyangkut perbedaan keyakinan ini. NU sendiri akan mensupport aparat keamanan kalau soal ini.

Jadi bagaimana seharusnya menghadapi jemaat Ahmadiyah ini?

Kewajiban kita kepada orang yang berbeda keyakinan, kalau kita merasa terpanggil, ya
dakwah atau mengajak dengan bijak. Kalau memang diperlukan semacam diskusi, dialog
atau berdebat, adu argumentasi dengan cara santun daripada orang yang kita hadapi.
Kalau sudah cara-cara itu kita lakukan dan mereka tidak mau berubah, ya sudah, kita
sudah selesai kewajibannya.

Tidak ada sedikitpun ruang bagi kita untuk memaksa mereka agar meyakini apa yang
kita yakini. Kalau kita memaksakan begitu, lagi-lagi kita telah mengklaim saya sudah
berada di jalan yang sepenuhnya benar dan anda di jalan kesesatan. Kita harus terus
memohon petunjuk kepada Allah SWT. Artinya kita harus lebih redah hati dan jauhkan
mengklaim diri kita sudah berada di jalan yang benar. Kita berdoa semoga kita bisa
dibimbing ke jalan yang benar, bukan kita yakin betul kita sudah berada di jalan yang benar.

Betulkah ada dalil yang membenarkan untuk memerangi kelompok semacam Jemaat Ahmadiyah atau aliran sesat lainnya?

Tidak ada, tidak ada dalil yang mengatakan orang bisa dibunuh karena perbedaan
keyakinan. Memang dalam Alquran ada izin untuk memerangi orang lain dengan alasan
agama, kalau memang kita diperangi. Kalau kita tidak pernah diperangi mereka, ya
kita tidak boleh memerangi mereka.

Justru kalau kita hadapi dengan kelembutan, tentu hasilnya akan lebih baik. Ini sama
ketika Rasulullah SAW akan dibunuh, tapi pedang musuhnya terjatuh. Nabi membiarkannya dan mengampuninya. Itu begitu kuatnya akhlak dan kelembutan hati yang bisa mengubah orang. Cara efektif mengubah keyakinan itu dengan akhlak yang baik, kesalehan amal, bukan dengan pedang.

Begitu juga di NU, kita akan menghadapi kelompok-kelompok ini dengan cara-cara
santun dan dakwah yang bijak. Kalau ada yang melawan dengan kekerasan, kami serahkan kepada negara yang memiliki hak dan tanggung jawab. Negara punya hak monopoli untuk menindak pelaku kekerasan demi melindungi masyarakat lainnya. Tidak boleh masyarakat menggunakan alat kekerasan.

Bagaimana solusinya agar tidak terjadi pemaksaan dan penyerangan kepada kelompok agama yang beda keyakinan?

Jangan kita pernah memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Biarkan itu
diserahkan kepada Allah yang akan memberikan hidayah. Memang dalam beberapa kasus
belakangan ini, banyak yang menunjukan keimanan dengan cara penuh kesombongan.
Padahal kesombongan ini lebih buruk dari kesesatan atau kejahatan itu sendiri serta lebih buruk dari dosa besar lainnya. Kesombongan atas keimanan kita itu lebih
berbahaya dari yang lainnya.


Sumber : http://www.detiknews.com

Kisah Nabi dan Pengemis Yahudi

Orang yang biasa datang itu adalah Nabi Muhammad SAW yang selalu dihujat si pengemis Yahudi.

Suatu hari Sahabat Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya yang juga Istri Nabi Aisyah RHA. Saat itu Nabi Muhammad SAW sudah tiada. Kepada Aisyah, Abubakar bertanya apakah kebiasaan yang biasa dilakukan Nabi, yang belum pernah dikerjakannya.

Kepada ayahnya itu, Aisyah mengatakan semua sunnah Nabi sudah dilakukan, namun ada satu yang belum pernah dilakukan Abubakar. Kebiasaan Nabi yang luput dilakukan Abubakar itu adalah; setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke pasar kota Madinah dan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi di sana.

Abubakar yang penasaran, keesokan harinya berniat melakukan kebiasaan Nabi itu. Dia pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis Yahudi yang diceritakan Aisyah. Dia menemukan pengemis Yahudi itu disudut pasar. Ternyata pengemis Yahudi itu adalah seorang pengemis buta yang selalu berteriak menghina dan menghujat Rasulullah.

Tiap hari pengemis itu berteriak lantang kepada orang-orang : "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Hujatan itu selalu diteriakkan pengemis itu sepanjang hari.

Melihat itu, Abubakar heran mengapa Nabi memberi makan orang yang menghinanya setiap hari. Namun Abubakar tetap mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan. Dia ingin menirukan perbuatan baik yang dilakukan Nabi sebagaimana yang diceritakan Aisyah.

Saat Abubakar mulai menyuapi, tiba-tiba pengemis itu marah sambil berteriak. Dia menanyakan siapa yang menyuapinya. Abubakar mengatakan dia adalah orang yang biasa menyuapi setiap hari. Namun pengemis buta itu tidak percaya. Meski Abubakar meyakinkan dirinya yang membawakan makanan setiap hari tetap saja pengemis itu tidak percaya.

Pengemis Yahudi itu mengatakan yang biasa membawakan makanan dan menyuapinya jauh lebih lembut dan sabar dalam menyuapi. Pengemis itu berkata jika yang biasa menyuapinya datang, tidak susah tangan pengemis itu memegang, dan tidak susah pula mulutnya mengunyah.

"Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut," ujarnya. Orang yang biasa datang itu juga sangat sabar membantu makan sampai selesai dan kenyang.

Mendengar hal itu Abubakar pun menangis. Dia terharu dengan kebaikan Nabi yang meski dihujat tetap memberikan makanan dengan sangat baik kepada pengemis yang menghujatnya. Lalu Abubakar mengatakan pada pengemis itu bahwa dirinya memang bukan orang yang biasa datang.

Dia mengatakan bahwa dirinya hanya salah satu dari sahabat orang yang biasa datang, dia datang menggantikan karena orang yang biasa datang itu telah meninggal.

Kemudian Abubakar memberitahu pengemis itu bahwa orang yang biasa datang itu adalah Nabi Muhammad yang selalu dihujat pengemis itu. Pengemis Yahudi itu pun kaget dan menangis. Dia mengaku malu dan tidak menyangka orang yang selalu dihujatnya adalah Rasulullah, orang yang setiap hari memberinya makan dan menyuapinya dengan lembut dan sabar.

Pengemis itu pun tersentuh dengan kemuliaan Nabi dan mengaku menyesal atas perbuatannya selama ini. Di hadapan Abubakar dia pun menyatakan masuk Islam dan bersyahadat bahwa; tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Salam
Joko Wahyono

Isilah Karung Hidup Anda

(sebuah cerita inspirasi)

Seorang Raja memanggil 3 orang menterinya. "Wahai menteriku, saya beri Anda masing-masing satu buah karung. Kuberi engkau waktu 3 hari. Silakan isi karung ini dengan kurma. 3 hari lagi, menghadaplah kepadaku dan bawa karung yang sudah diisi', ucap Sang Raja. "Baik Baginda, kami akan melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya".

Maka mulailah masing-masing sang menteri mengerjakan tugas dari raja. Menteri A, dengan senang hati mengerjakan tugasnya dan berjanji akan mengisi karungnya dengan kurma terbaik yang ada di negerinya. Menteri B, dengan sedikit kesal berucap "ada-ada saja sang raja ini, masak menteri diberi tugas seperti ini. Tak apalah, saya akan isi dengan kurma apa adanya dan dicampur dengan daun serta tangkai kurma. Menteri C, lebih kesal lagi. "Ah, raja tidak mungkin periksa isi karung saya, dia pasti sangat sibuk. Saya isi saja dengan tanah liat. Saya akan tipu sang raja ha ha... "

Sampai akhirnya 3 hari terlewati, dan di waktu yang ditentukan, ketiga menteri pun menghadap.

"Wahai Sang Raja, inilah persembahan kami, kurma terbaik yang sudah saya isikan di karung saya. Semoga bisa menyenangkan hati baginda", kata para menteri. Namun apa jawaban Raja. Mohon maaf, saya sangat sibuk, tidak ada waktu untuk memeriksa karung Anda. Tapi, dengarkan keputusan penting saya. Mulai hari ini kalian semua saya pecat. Tidak hanya kupecat, juga saya penjarakan, dan selama di penjara, karung di kurma itulah yang jadi bekal kalian".

Masing-masing menteri pun memberi respon yang berbeda.

Menteri A : Alhamdulillah, saya sudah isi karung saya dengan kurma terbaik.

Menteri B : saya menyesal, mengapa tidak semua saya isi dengan kurma yang baik.

Menteri C : mati saya.... kenapa saya isi tanah liat. saya menipu raja, malah saya yang jadi rugi.

Cerita di atas, ibarat perjalanan hidup kita di dunia ini. Masing-masing kita diberi karung oleh Allah untuk diisi bekal amal shaleh sebagai 'makanan' kita kelak di akhirat. Dan tiap kita akan 'dipecat' dari hidup ini, dalam arti mati, meninggal dunia. Apapun yang kita isikan di 'karung' kita, sebenarnya bukan untuk keperluan Allah, tapi untuk keperluan kita sendiri. Maka siapa yang mengisi karungnya dengan isi yang terbaik, maka dia sendiri yang akan menikmatinya.

Allah berfirman :

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (Al Mulk : 2)

Mati dan hidup adalah ujian. Siapa yang lulus? yang paling baik amalnya.

Bagi kita yang bekerja, apakah jadi guru, pedagang, pemimpin, karyawan dan lain sebagainya mari berbuat yang terbaik. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kita sendiri.

Bagi kita yang jadi penuntut ilmu, mari belajar dengan baik. Cari ilmu sebanyak-banyaknya.

Akhirnya bagi kita yang masih hidup, mari isi hidup ini dengan amalan yang terbaik, dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas.

Bulan Ramadan merupakan kesempatan yang langka dan istimewa. Mari isi karung kita sebanyak-banyaknya dengan kurma terbaik.

Wallahu a'lam
Salam
Syamril

Selasa, 02 Agustus 2011

Solusi Problem Ahmadiyah

Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu], tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345.

Mantan Presiden RI pertama itu bukan pertama dan bukan pula satu-satunya yang berpendapat demikian. Jauh sebelumnya, filsuf dan pujangga terkenal Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: "No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam" (Islam and Ahmadism, cetakan Da'wah Academy Islamabad, 1990 hlm. 8).

Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik ˜belah bambu" kolonialis Inggris - yang waktu itu masih bercokol di India - dan wayang imperialis Russia "yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah
˜kepasrahan pada penguasa" (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13).

Jika pemerintah Russia mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bagi Iqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau "Qadianisme" demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet.(hlm. 2).

Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi telah meneliti secara intensif dan objektif riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad, bagaimana MGA berubah dari seorang santri sederhana menjadi pembela agama (1880) lalu mengklaim dirinya Imam Mahdi alias Masih Ma'ud (1891) dan akhirnya mengaku jadi nabi (1901).

Kesimpulannya, gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan-rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155).

Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa pemuda asal Sumatera yang pernah dididik di Qadian, India selama beberapa tahun. Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah Sinar Islam (sic!), Studi Islam dan Fathi Islam.

Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, Ahmadiyah dalam Persoalan, cetakan Singapura, 1982).

Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatera Timur tahun 1935 serta oleh Lajnah Radd as-Syubuhat Madrasah Indonesia Islamiyah Mekah yang dipimpin oleh Syekh Janan Muhammad Tayyib asal Minangkabau, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (not Muslim) di mata hukum dan undang-undang negara.

Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah pun menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang Islam yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam Fatwa Resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. Kemudian Dirjen Bimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah.

Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya.

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga Ahmadiyah. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap dipercayai sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini kitab Tadzkirah sebagai kumpulan wahyu kepada MGA.

Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih mengelirukan.

Pertama, dalih bahwa orang Ahmadiyah itu sama dengan orang Islam karena syahadat mereka sama. Padahal, yang esensial bukanlah kesamaan, akan tetapi perbedaan. Orang Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Sebagaimana disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem: The core of Ahmadi[yah] thought is its prophetology (Lihat Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, terbitan University of California Press Berkeley 1989, hlm. 131 dan 181).

Dengan begitu, Ahmadiyah tidak sama dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama atau Persatuan Islam yang tokoh-tokohnya sejak KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, dan A. Hassan tidak satupun pernah mengaku dirinya nabi.

Kedua, dalih bahwa sebagai warga negara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh konstitusi, dan melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945.

Di sini terselip kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam "menikmati" kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk kepada batasan undang-undang demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Artinya, penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) ataupun tindakan merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya walau atas nama HAM sekalipun tidak bisa dibenarkan. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukanlah hak dan kebebasannya mendirikan rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah yang sedia ada).

Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan penodaan, penghinaan dan perusakan terhadap agama Islam, dimana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah SAW.

Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P.Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika (1973), hlm. 134-5: Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and dissension in the Muslim World.

Oleh karena itu, solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari "rumah Islam". Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya ajaran Mormon di Utah, Amerika.

Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Saran ini lebih tepat disampaikan kepada Pemerintah Amerika dan Israel agar menunjukkan kasih-sayang dan menghentikan kekerasan (violence) terhadap kaum Muslim di Iraq dan Palestina.

Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati), sabda Rasulullah saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan bertindak atas mereka. Muhammad utusan Allah dan orang-orang beriman bersamanya bersikap tegas terhadap orang kafir tetapi berkasih-sayang kepada sesama, firman Allah dalam al-Qur'an (48:29).

Perkara Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama. Islam menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk "bukan merusak agama apapun", sesuai dengan firman Allah: "Tidak ada paksaan dalam urusan agama" (Al-Baqarah : 256) serta "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku". (Al-Kafirun : 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama.

Oleh karena itu, Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Tulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 13:109).

Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya serta melukai Umat Islam.

Jika statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru "selain Hindu, Buddha, Islam, Katholik dan Protestan" ataukah sebaliknya.

Salam
Dr. Syamsuddin Arif

Fakta Seputar Ahmadiyah

Berbagai aliran sesat sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya. Berbagai kebohongan, pengaburan, dan tipu daya juga seringkali dimunculkan dalam kasus seputar Ahmadiyah. Pada tanggal 3 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah Indonesia berkirim surat berupa "Ringkasan Penjelasan tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia" kepada
Azyumardi Azra di kantor Sekretariat Wakil Presiden.

Tulisan ringkas berikut ini merupakan jawaban-jawaban ringkas dan jitu untuk meluruskan beberapa penjelasan kaum Ahmadiyah, seperti dalam surat mereka ke Azyumardi Azra di kantor Wapres tersebut. Berikut ini beberapa penjelasan Ahmadiyah dan jawaban kita. Ahmadiyah mengatakan:

1. "Syahadat kami adalah syahadat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah."
Jawab :
Kita perlu berhati-hati dan mencermati pengakuan semacam itu. Sejak berdirinya, Jemaat Ahmadiyah sudah mengaburkan makna syahadat, meskipun lafalnya sama dengan syahadat orang Islam. Kaum Ahmadiyah mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah juga Muhammad dan Rasul Allah. Simaklah buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Ponto,
(terbitan Jamaah Ahmadiyah cab. Bandung, tahun 1993). Di situ tertulis penjelasan terhadap ayat al-Quran berikut ini:
ãÍãÏ ÑÓæá Çááå æÇáÐíä ãÚå ÃÔÏÇÁ Úáì
ÇáßÝÇÑ ÑÍãÇÁ Èíäåã ...

Dalam buku ini, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan "Muhammad" dalam ayat tersebut, yakni: "Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul…(hal. 5).

Jadi, inilah perbedaan keimanan yang sangat mendasar antara Ahmadiyah dengan orang Muslim. Sebab, bagi umat Islam, kata Muhammad dalam syahadat, adalah Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekkah, bukan yang lahir di India. Lebih jauh lagi, dikatakan dalam buku ini:

"Dan 20 tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga." (Hal. 16-17). "Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad Musthafa SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad." (Hal. 25)

Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah "Sinar Islam" edisi 1 Nopember 1985 (Nubuwwah 1364 HS), rubrik "Tadzkirah", disebutkan:

"Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua Nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya'qub Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa, dan Aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad
dan Ahmad sebagai refleksi. (Haqiqatul Wahyi, h. 72)." (Hal. 11-12)

Sekali lagi, yang menjadi masalah adalah bahwa bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad juga mengaku sebagai Muhammad saw, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam buku Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Yayasan Wisma Damai, Bogor, cetakan keenam,1993, disebutkan: "….. di dalam syariat Muhammad s.a.w akulah Masih Mau'ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku ….." (Hal. 14)


2. Ahmadiyah mengatakan; "Kitab Suci kami hanyalah Al Qur'anul Karim." Ahmadiyah juga mengatakan, bahwa "Tadzkirah" bukanlah kitab suci mereka, tetapi merupakan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935 (27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908).
Jawab :

Penjelasan Ahmadiyah ini juga tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kitab Tadzkirah yang asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: "TADZKIRAH YA'NI WAHYU MUQODDAS", artinya TADZKIRAH adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah "wahyu yang disucikan". Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat jelas, mereka
memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah. Tentu saja, umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad saw, ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dalam buku Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ.

Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan:
"Hadhrat Masih Mau'ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah Ta'ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai kepada beliau dan
menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun berusaha memperoleh ni'mat serupa itu." (hal. 63-64).

3. "Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan."
Jawab :
Pengakuan kaum Ahmadiyah ini pun nyata-nyata tidak sesuai dengan fakta yang ada pada buku-buku dan terbitan mereka. Dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah Khalifatul Masih IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad Pada Peringatan Seabad Jemaat Ahmadiyah Tahun 1989 terbitan Panita Jalsah Salanah 2001, 2002 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan:
"Saya bersaksi kepada Tuhan Yang MahaKuasa dan Yang Selamanya Hadir bahwa seruan Ahmadiyah tidak lain melainkan kebenaran. Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya yang sejati. Keselamatan umat manusia bergantung pada penerimaan agama damai ini." (Hal. 6)

"Bilakhir, perkenankanlah saya dengan tulus ikhlas mengetuk hati anda sekalian sekali lagi agar sudi menerima seruan Juru Selamat di akhir zaman ini." (Hal. 10)

Bahkan, Ahmadiyah punya istilah sendiri untuk menamai para pengikut ajarannya, dengan tujuan membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya:

Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad - Imam Mahdi dan Masih Mau'ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cetakan kedua, 1995, disebutkan:
"Pada tahun 1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as. menerbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau as., untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya." (Hal. 47)

Kaum Ahmadiyah juga menyebut, jemaat mereka adalah laksana perahu Nabi Nuh yang menyelamatkan. Yang tidak ikut perahu itu akan tenggelam.

Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah "Sinar Islam" edisi 1 Juli 1986 (Wafa 1365 HS), pada salah satu tulisan dengan judul Ahmadiyah Bagaikan Bahtera Nuh Untuk Menyelamatkan Yang Berlayar Dengannya, oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, dinyatakan:

"Aku ingin menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainnya yang telah dibuat di bawah mata Allah dan dengan pengarahanNya. Kalian adalah bahtera itu, yakni Jemaat Ahmadiyah. Masih Mau'ud a.s. diberi petunjuk oleh Allah melalui wahyu yang diterimanya bahwa beliau hendaklah mempersiapkan sebuah Bahtera. Bahtera itu adalah Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat jaminan Allah bahwa barang siapa bergabung dengannya akan dipelihara dari segala kehancuran dan kebinasaan".

"Ini adalah suatu pelajaran lain yang hendaknya diperhatikan oleh anggota-anggota Jemaat. Sungguh terdapat jaminan keamanan bagi mereka yang menaiki Bahtera Nuh, baik bagi para anggota keluarga Masih Mau'ud a.s. maupun bagi orang-orang yang, meskipun tidak mempunyai hubungan jasmani dengannya, menaiki Bahtera itu dengan jalan mengikuti ajaran beliau".

"Semoga Allah memberi kemampuan kepada kita untuk melindungi Bahtera ini dengan sebaik-baiknya, dengan ketakwaan dan ketabahan yang sempurna, dan dengan kebenaran yang sempurna – Bahtera yang telah dibina demi keselamatan seluruh dunia. Amin!". (Hal. 12, 13, 16, 30)

Kesimpulan:

Kita jangan mudah tertipu dengan penjelasan-penjelasan yang tampak indah, padahal, dunia Islam sejak dulu sudah tahu, apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Ahmadiyah. Intinya, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Isa al-Mau'ud, dan Imam Mahdi. Mereka juga tidak mau bermakmum kepada orang Islam dalam shalat, karena orang Islam tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.

Jadi, antara Islam dan Ahmadiyah memang ada perbedaan dalam masalah keimanan. Oleh sebab itulah, berbagai fatwa lembaga-lembaga Islam internasional sudah lama menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Kita berharap para pejabat dan cendekiawan kita tidak mudah begitu saja menerima penjelasan Ahmadiyah, tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Sebab, tanggung jawab mereka bukan saja di
dunia, tetapi juga di akhirat. Kita hanya mengingatkan mereka, tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Allah SWT.

Salam,
Roosdiana

Sebuah Kritik dari Si Cerdik yang Licik

Entahlah, saya selalu terpukau melihat Para Pencari Tuhan. Wabil khusus tokoh Pak RW yang diperankan Idrus "Wedus" Madani. Ia gabungan antara cerdik dan licik, politis dan diplomatis, culun-lucu dan culas. Ia selalu berhasil menunjukkan karakternya itu.

"Kritiknya" penting. PPT pagi ini misalnya. Ia berhasil menjungkalkan Bang Jack dan ustad Fery, pengurus dan ulama masjid. Tujuan utamanya tak lain: cari duit. Tapi dia mampu membuat alasan yang cerdik tapi licik melalui 3 dosa dan kegagalan Bang Jack yang tak bisa dibantah. Khususnya poin ketiga: bahwa ulama tidak bisa mendidik umatnya untuk lebih aktif di masjid dan memakmurkannya.

Menurut saya penulis skenario ini luar biasa. Ia mampu membalik opini publik tentang merosotnya moralitas masyarakat dengan sangat bernas. Bukankah kemorostan moralitas masyarakat juga bisa diartikan sebagai kegagalan ulama melaksanakan dakwahnya? Logika ini linier bila pengangguran dan kemiskinan merajalela merupakan indikator kegagalan pemerintah/presiden melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya.

Indrus "Wedus" Madani pada episode sebelumnya menancapkan kalimat yang cukup menggelitik. "Semakin tinggi kedekatan seseorang pada Allah maka potensi bisnisnya juga semakin besar."

Ulama-ulama sekarang ini mungkin memasuki "golongan " seperti yang diucapkan Idrus "Wedus" Madani itu. Mungkin, karena bisa jadi ketaatannya pada Allah semata-mata untuk meningkatkan daya jualnya kepada publik. Maka beramai-ramai para ustad membuat "kreativitas" agar lebih "laku" di pasaran. Di Bekasi, misalnya, dua ustad sampai berkelahi dan salah satunya tewas memperebutkan "kapling" jamaah.
Di PPT pagi ini, kita juga disuguhi kritik penting yang sehari-hari tidak pernah kita sadari, yaitu sesuatu menjadi penting ketika kita merasa kehilangan. Kalimat ini diucapkan Ustad Fery.

Ketika menjadi pengurus Mushola, Ustad Fery bahkan sering berdakwah "ngamen" ke mana-mana, tak pernah menjadi imam dan pengajian di musholanya sendiri. Bang Jack juga tidak menyadari bahwa mushola yang didiaminya merupakan kontrakan gratis yang selama ini tak pernah disadari. Begitu keduanya "dipecat" oleh Pak RW, "Si Wedus" Idrus Madani, barulah mushola baik sebagai tempat ibadah dan sebagai "kontrakan gatis," menjadi urgent.

Yang jauh lebih "dalam" dari kritik ini adalah kehilangan sesuatu menjadikan sesuatu itu menjadi sangat berharga. Banyak Al Quran di rumah, di mushola, di masjid-masjid, tapi acap kita abaikan. Menyentuh pun tidak. Sunnah Rasulullah pun acap ditinggalkan atau dianggap biasa saja. Bahkan menjadi Islam seolah sebuah kewajaran dan bukan hadiah paling istimewa setiap kita. Seperti kewajaran kita mengirup oksigen atau menikmati matahari yang hangat. Semuanya dianggap biasa saja dan bahkan tak berharga. Kita nyaris tak pernah merasakannya sebagai rezeki yang luar biasa.

Ketika kita kehilangan Islam, kehilangan Iman, kehilangan oksigen, kehilangan matahari, barulah kita sadar sesadar-sadarnya bahwa semua itu penting dan sangat-sangat berharga, lebih berharga dari bumi dan seisinya.

Salut untuk PPT. Salut untuk penulis skenarionya. Salam dari saya. Salut juga untuk Dedy Mizwar. Wabil khusus Idrus "Wedus" Madani. PPT, Sederhana tapi brilian.

Salam
Habe Arifin

Senin, 01 Agustus 2011

Dakwah Tak Perlu Adu Keras

Mantan wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengimbau umat Islam mengindari berbagai perbedaan yang tidak substantif dalam agama. Imbauan itu diutarakan JK menanggapi sikap beberapa kelompok yang gemar mencari perbedaan dalam Islam, seperti penentuan awal Ramadhan.

Kalau kita terus mencari perbedaan tidak akan pernah ketemu. Ramadhan harus disambut dengan hati terbuka, kata JK di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Sabtu (30/7).

Perbedaan metode penghitungan awal bulan Ramadhan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), menurut JK, tidak usah diperdebatkan. Kedua ormas Islam tersebut mempunya dasar kuat dan hasilnya bisa dipertanggung jawabkan. Jika Muhammadiyah menggunakan metode hisab (penghitungan astronomi), maka NU memilih metode rukyat dengan melihat bulan dengan kasat mata.

Umat Islam di Indonesia, ujar JK hendaknya menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan perpecahan. Bulan Ramadhan, kata dia, harusnya diisi dengan berbagai ibadah produktif yang bisa menguatkan rasa persatuan umat.

Karena itu, pihaknya meminta sekelompok umat Islam yang suka tadarus malam diiringi pengeras suara agar tidak melakukannya di bulan Ramadhan. Meski tujuannya baik dengan mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran, namun hal itu dinilai JK mengganggu orang lain.

Pasalnya pada malam hari waktunya masyarakat istirahat banyak yang terganggu dengan pengeras suara. Hal-hal sepele ini yang harus diketahui umat, karena ajaran Islam itu simple dan tidak merugikan orang lain, kata JK.

Berkumandangnya bunyi azan yang membahana melalui menara masjid juga mendapat sorotan JK. Sebagai penanda waktu salat, suara azan dinilainya jangan terlalu keras. Apalagi jumlah tempat ibadah di penjuru Tanah Air jumlahnya sangat banyak dan berdekatan dengan rumah penduduk.

Disebutkan JK, hanya terjadi di Indonesia azan dikumandangkan secara keras hingga memekakkan telinga. Sehingga tidak sedikit yang menilai saat Maghrib tiba terjadi adu kompetisi azan antar-masjid. Dakwah harus dilakukan dengan indah, bukan adu keras suara.

Apalagi Muslim di Indonesia dikenal moderat dan tidak suka saling menyerang satu sama lain. Hal itu karena toleransi umat Islam di Indonesia lebih bagus dibanding umat Islam di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika.

Kondisi itu, kata JK, terjadi karena faktor sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Pola dakwah ulama di Indonesia, terang JK, menjauhi metode kekerasan dan Islam disampaikan lewat kebudayaan masyarakat setempat.

Dampaknya terlihat sekarang, umat Islam Indonesia sangat menjunjung tinggi perbedaan di tengah keragaman budaya dan agama masyarakat.

Salam
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari

Adab Berdoa dan Mengaji

Bagaimanakah adab dalam berdoa atau mengaji?
Dalam surat Al A’raf ayat 55 Allah SWT berfirman : Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah hati dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang melampaui batas”

Jangankan berzikir dan berdo’a, dalam melakukan takbir pun Nabi Muhammad SAW melarang kita bersuara keras. Hal itu dapat dilihat dalam hadist yang diriwayatkan Muttafaq Alaih (Bukhori & Muslim) : “Kami berangkat bersama Rasulullah SAW, maka tatkala kami telah dekat ke Madinah, maka bertakbirlah Nabi dan bertakbirlah manusia, serta mereka mengeraskan suara mereka. Maka berkata Rasulullah SAW : Hai manusia sesungguhnya zat yang kamu seru itu tidak tuli dan tidak jauh, sesungguhnya Tuhan yang kamu seru itu ada diantara kamu dan di antara leher kendaraan kamu”(Doa oleh Dr. Miftah Faridl, halaman 26 – 27).

Pada dasarnya masjid di masa Rasulullah SAW adalah tempat kaum muslimin untuk bermunajat kepada Allah dengan cara melaksanakan/ mendirikan sholat yang khusyuk Masjid adalah juga untuk berdiskusi dalam membahas suatu masalah (pemerintahan dan sosial). Hal ini biasanya dilakukan jauh diluar waktu sholat, dengan alasan agar tidak mengganggu orang yang datang terlambat untuk melaksanakan sholat (baca Surah/sirah Nabawi, kehidupan Rasulullah & para sahabat).

Dalam berdiskusi pun para sahabat dilarang untuk berdebat (baik di dalam Masjid atau di luar Masjid), sedangkan untuk membaca Alqur’an disunahkan diperbanyak membacanya di rumah, agar rumah tidak sepi seperti kuburan sabda Rasulullah SAW.(hadist Bukhori, Muslim).

Membaca al-Qur'an di dalam masjid dengan suara keras apalagi menggunakan speaker yang suaranya sampai menjangkau 100 meter lebih, tentu dapat mengganggu orang yang sedang shalat ataupun yang baru bermaksud akan menunaikan sholat di masjid itu. (ingat….!!, tidak semua orang dapat menerima hal semacam itu…..), jadi kalau sudah ada orang yang berniat mendatangi masjid untuk bermunajat kepada Allah SWT, tapi kemudian dia membatalkannya karena alasan kerasnya suara yang ada dari dalam masjid, maka Allah dapat murka kepada yang menimbulkan suara itu atau juga kepada yang tahu itu mengganggu tapi tidak menyadarkanya.

Bukan cuma itu, secara logika saja, kalau di rumah warga yang dekat dengan masjid ada anak bayi yang sedang istirahat (tidur) atau ada warga yang perlu istirahat karena kelelahan sehabis bekerja, apakah suara keras itu tidak mengganggunya….?!

Mengenai suara keras di dalam Masjid, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang perbuatan itu melalui sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahuanhu dia berkata, Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beri'tikaf di dalam masjid, beliau mendengar para shahabat membaca al-Qur'an dengan suara keras, maka beliau bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian mengganggu yang lain, dan janganlah sebagian mengeraskan suara di atas yang lain dalam membaca al-Qur'an, atau beliau bersabda, "di dalam shalat." (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) berkata, "Tidak boleh bagi siapa pun mengeraskan suara ketika membaca baik di dalam shalat maupun di luar shalat, terutama ketika di dalam masjid karena hal itu dapat mengganggu orang lain." Dan ketika ditanya tentang mengeraskan bacaan al-Qur'an di dalam masjid, beliau menjawab, "Segala perbuatan yang bisa mengganggu orang yang berada di dalam masjid atau yang mengarah pada perbuatan itu maka hal itu terlarang, wallahu a'lam”( al-Fatawa 23/61)

Adapun membaca dengan bersuara namun tidak terlalu keras dan tidak mengganggu orang lain maka hal itu dibolehkan sebagaimana banyak tersebut di dalam hadits. Terutama jika yang bersangkutan merasa aman dari perbuatan riya'. (at-Tibyan, an-Nawawi hal 71).

Nabi sangat memperhatikan kepentingan ummatnya

Ada Hadist yang secara jelas menyatakan bahwa si Fulan yang teramat miskin terbebas dari hukum syariah yang mengharuskan dia untuk mejalankan hukuman karena melanggar ketentuan tidak bersetubuh pada waktu siang hari bersama isterinya. Bukannya dihukum malah si miskin ini memperoleh kurma sebagai hadiah dari Rasul!

Kita tahu ada Hadist yang membenarkan salah seorang ummatnya yang meninggalkan sholat berjamah hanya karena Imamnya membaca ayat yang terlalu panjang. Nabi lalu menegur Imamnya mengingat jamaahnya terdiri dari orang orang dengan berbagai kepentingan, masalah yang yang berbeda. Ada yang kuat, ada yang lemah. Ada yang sibuk ada yang tidak dsb. Juga ada Hadist yang menjelaskan kepada sahabat yang ingin mendirikan jamaah ditempat lain agar ia harus memilih ayat yang pendek saja.

Itu dalam masjid yang jelas-jelas semuanya ingin menunaikan sholat lho...! Imam harus memperhatikan kepentingan jamaahnya. Bagaimana mungkin kita lantas mentolerir orang yang membuat Tablig Akbar dengan mengganggu kepentingan orang lain...?! Itu jelas sekali dilarang oleh Rasulullah!

Wallahu’alam.
Salam
Satria Dharma

biar kita ingat...

Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang becak ...?"

Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan ...," gumamku.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan ... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.

"mmm ..., Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu.

"Ya dik, saya muslim ..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh

"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan.
Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa ..." deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.

Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.

"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini."

Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya,

"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa," jelas bapak tukang becak itu.

"Maksud bapak?" mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.

"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya ..."

"Jadi ...," belum sempat kuteruskan kalimatku,

"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan ..."

"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.

Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar ...

Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?

"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."

"hmm, simpan saja buat sahur bapak besok ya ..."

Salam
Zaenal Arief

Puasa Memicu Inflasi

Inflasi itu musuh ekonomi, penyebabnya konon adalah kenaikan harga. Harga barang naik karena banyak yang mencari atau dibeli dalam jumlah yang melebihi biasanya. Jika inflasi terus menerus, nilai tukar uang merosot "gopek kagak cukup buat beli kerupuk nyang harganye udah seceng" kata teman betawiku.

Menjelang dan saat puasa umat Islam yang sebulan penuh, harga barang makanan merayap naik, inflasi naik dan pemerintah siaga. Menteri Perdagangan siap menjamin kesiapan pasokan. Jika stok beras, terigu, telur, ayam dan sayur mayur serta minyak goreng dan bbm tak aman, negeri bisa geger. Segala daya upaya dilakukan mengamankan stok itu.

Semua "gegeran" penyebabnya adalah bulan ramadhan. Benarkan ramadhan niscaya memicu kenaikan harga dan inflasi ? Atau ramadan memang harus berakibat seperti itu ? Karena ramadhan, warga muslim belanja makanan lebih banyak ?

Logika bodoh saya berkata, karena puasa makan hanya 2 kali dari yang biasanya 3 kali, semestinya belanja berkurang sepertiga. Tetapi karena puasa bukan ngirit, maka belanja justru melebihi 3 kali makan.

Puasa mestinya secara fisik mengurangi makan kita sepertiganya, sehingga ketika sang badan usai ramadhan justru tak semakin langsing, puasanya mesti dipertanyakan.
Kan meningkatnya imtaq tidak ada hubungan dengan gemuk langsingnya umat ? Memang iya, tetapi buatku ukuran termudah sukses puasa adalah kelangsingan, urusan makin takwa saya tak berani berkomentar.

Jadi, rasanya kok ada yang salah dalam praktek puasa umat Islam, karena ritual agung itu justru mengakibatkan inflasi. Atau justru memang harus begitu ? Atau sebetulnya gak ada hubungannya ? Atau Puasa mendorong ekonomi tumbuh ?
Mohon pencerahan guru ekonomi.
ho ho ho

Salam
Ahmad Rizali