Senin, 27 Juni 2011

Berhenti Merokok

Dulu saya adalah perokok kelas berat. Setiap hari paling tidak dua bungkus rokok kretek saya habiskan. Dan itu saya mulai ketika saya masih duduk di SMP klas 3! Seorang teman ’menjerumuskan’ saya dengan memasok saya rokok gratis dengan mencuri dari warung neneknya setiap hari dan ketika neneknya tahu saya sudah terjerat!

Bagaimana cara saya untuk bisa tetap merokok? Banyak jalan menuju Roma kata orang. Apalagi kalau cuma mau merokok. Artinya, seorang yang sudah kecanduan merokok tidak akan keberatan diminta jalan kaki ke Roma asal dibekali rokok. hehehe…! Kalau sudah ketagihan dan benar-benar tidak punya rokok saya dan teman saya tidak segan-segan ’ngutis’ alias memunguti puntung rokok orang lain yang masih panjang untuk kami teruskan. ”Lanjutkan!” mungkin kira-kira demikian motto kami. ’Lebih panjang lebih baik’ dan ’demi wong cilik’ seperti kami.

Karena ‘karir’ merokok saya sudah cukup panjang maka saya sudah pernah menghisap hampir semua merk dan jenis rokok. Bahkan jenis yang dari Aceh juga pernah saya coba. Saya pernah lama setia pada rokok Bentoel Biru. Tapi saya juga menyukai rokok Jarum 76. Meski demikian saya paling lama ’berkomitmen’ pada merk Gudang Garam. Salah satunya adalah rokok GG yang dalam kaleng.

Karena kalengnya cukup bagus maka saya simpan di kamar dan tak lama kemudian kamar saya sudah jadi gudang tumpukan kaleng rokok GG. Mungkin kalau ada petinggi perusahaan rokok GG datang ke kamar saya mereka akan terinspirasi untuk memberi saya penghargaan sebagai ’The Best GG Smoker of the Year’ saking kagumnya melihat tumpukan kaleng rokok GG di kamar saya tersebut.

Setiap teman yang masuk pertama kali di kamar saya akan terbelalak melihat begitu banyaknya (dan mungkin begitu rapihnya) tumpukan kaleng rokok GG tersebut.
“Beli di mana kaleng sebanyak ini?” kata seorang teman.
“Kaleng ini hanya bonus.” jawab saya. “Saya beli rokoknya.”
“Jadi kamu sudah menghabiskan rokok di semua kaleng ini?” tanyanya tak percaya.
“Hard to believe, memang. Tapi ini baru sebagian. Saya tidak suka mengumpulkan bungkus rokok yang terbuat dari kertas. Lagipula saya mungkin perlu kamar tiga kali lebih besar kalau saya mengumpulkan setiap bungkus dari rokok yang saya hisap.”

Apakah saya tidak tahu bahayanya merokok? Don’t be silly. Setiap perokok tahu tentang bahayanya merokok bagi kesehatan mereka. Masalahnya adalah saya belum mendapat ‘hidayah’ untuk berhenti merokok. Lho berhenti merokok saja kok perlu hidayah? Iyalah! Kita sebetulnya selalu membutuhkan ‘hidayah’ agar berhenti melakukan hal-hal yang buruk, tercela, membahayakan diri sendiri, macam merokok misalnya. Jangankan saya, sedangkan para dokter saja banyak yang merokok. Para dokter yang merokok itu ibarat ulama yang suka asbun. Dia tahu bahwa itu sesuatu yang harus ia hindari tapi ia tidak bisa berhenti karena kecanduan.

Apa bahayanya merokok? Kalu ingin benar-benar tahu sila cari saja di Google. Insya Allah kita akan menemukan begitu banyak bahaya merokok, baik bagi si perokok maupun orang-orang yang tinggal di dekatnya. Tapi untuk saya bahaya pertama datang dari ayah saya. Beliau tidak segan-segan menempeleng saya jika beliau mencium bau rokok dari mulut saya. Beliau adalah orang tua yang waras dan orang tua yang waras tentu akan melarang anaknya untuk merokok. Jadi saya harus hati-hati benar dengan bau nikotin yang menempel di tubuh saya jika saya masuk rumah selepas menikmati asap rokok kretek.

Untungnya di depan rumah saya ada tumbuh pohon jeruk nipis dan aroma daunnya cukup kuat untuk melawan bau nikotin yang menempel di tubuh dan pakaian saya. Saya ambil beberapa lembar, remas-remas dan oleskan pada bagian tubuh khususnya di mulut dan muka. Cara ini cukup efektif sehingga suatu hari saya lupa melakukan ritual itu karena ayah saya memanggil saya dengan tiba-tiba.

Baru saja saya mendekat tiba-tiba ayah saya menempeleng pipi saya. “Plak!” Telinga saya berdenging. Saya langsung bengong dalam beberapa detik, :”Ada apa ini?” dalam hati saya. Belum sempat saya bertanya ayah saya sudah menghardik,:”Kamu merokok lagi rupanya!” Saya langsung tersadar dan mengeluh dalam hati, “Oh, My God! Mengapa saya begitu ceroboh!” Saya menyesali kecerobohan tersebut. I should have been more cautious next time.

“Sampai kamu bisa punya penghasilan sendiri jangan harap kamu akan Bapak perkenankan merokok.” Begitu kata beliau pada saya yang masih terbengong-bengong

Mungkin maksud beliau baik, tapi larangan ini tidak cukup efektif untuk saya. Saya justru terobsesi dengannya. Saya tetap merokok, di belakang beliau tentunya. Dan ketika saya pertamakali mendapat beasiswa kuliah di PGSLPYD (nanti lain kali saya ceritakan tentang ini) saya langsung membeli dua bungkus rokok dan secara demonstratif saya merokok di hadapan ayah saya!

Ketika ayah saya hendak meradang dan menerjang saya buru-buru mengingatkan koimitmen beliau bahwa mulai saat itu saya sudah punya hak untuk merokok karena sudah mendapatkan penghasilan sendiri (meski dari beasiswa). Beliau tidak berdaya, tentu saja. Tak mungkin beliau akan menelan sendiri ludahnya.

Jadi berhati-hatilah kalau membuat batasan dengan anak Anda. Saya belajar dari kesalahan ayah saya dan saya melarang anak saya merokok tanpa embel-embel’kecuali kamu sudah punya uang sendiri’. Pokoknya ya tidak boleh merokok (kapan pun).

Like father like son, anak saya merokok sembunyi-sembunyi di luar rumah, juga ketika masih kelas 3 SMP! (Tobaaat… Gusti! Kok saya kena karmanya anak saya!)
Saya bisa membaui asap yang menempel di bajunya meski hanya sedikit. (ingat, saya seorang veteran). Tapi menempeleng anak saya kalau ketahuan merokok kayaknya nggak deh! Saya sudah ’bertobat’ dengan cara mendidik dengan kekerasan. Maksimum saya marah menghardik dengan bersuara keras dan mata melotot. Tapi sebaiknya Anda tidak menjumpai saya ketika marah. Kata istri saya bahkan tanaman di pot bisa mati kalau saya marahi. Konon di Amazon ada suku tertentu yang punya teknik untuk merobohkan sebuah pohon tanpa menebangnya. Pohon itu cukup diteriaki oleh beberapa orang berjam-jam, berhari-hari dan pohon itu akan mati dengan sendirinya.dengan akar membusuk (mati ngenes, kata orang Jawa). Jadi berhati-hatilah dengan teriakan dan hardikan Anda. Kita tidak pernah tahu akar mana yang kita bunuh dengannya.

Merokok adalah kesenangan saya (dulu). Rokok adalah teman yang setia (dulu). Semua momen adalah tepat untuk merokok jika Anda sudah jadi pecandu. Ketika Anda butuh inspirasi, rokok sungguh tepat untuk dijadikan penyulut (meski belum tentu juga Anda akan dapat inspirasi). Begitu Anda dapat inspirasi maka rokok yang Anda beri penghargaan atau Anda mengganjar diri Anda dengan rokok juga (makanya ada iklan rokok yang berbunyi ”Kenikmatan Sukses’). Kalau sudah merokok berbungkus-bungkus tapi belum dapat inspirasi juga maka biasanya kita menyalahkan yang lain, dan bukan rokoknya. Biasanya kita menyalahkan otak kita yang mampet.

Kalau Anda stress, rokok juga yang kita sulut. Bangun tidur, mata kita sudah mencari rokok. Mau lancar BAB? Merokok resepnya. Habis makan? Tak ada yang lebih nikmat ketimbang merokok. Ini kenikmatan sejati! Buka puasa perlu yang manis-manis? Tidak bagi perokok. Mereka perlu yang berasap! Cari teman? Rokok. Banyak kerjaan? Perbanyak jumlah rokok yang Anda hisap. Dimarahi bos? Merokok saja. Mendapat pujian dari Bos? Nikmati dengan sebatang rokok dong!

Ingin nampak macho? Datangi cewek yang Anda taksir. Cabut sebatang rokok dengan gaya tertentu dan selipkan di bibir dengan ekspresi tertentu (acuh tak acuh tapi khidmat). Letakkan rokok di posisi tepi bibir dan gulirkan dengan lidah ke tengah. Pastikan bahwa cewek yang Anda taksir memperhatikan Anda meski jangan sampai ia tahu bahwa Anda nampang sebenarnya. Nyalakan dengan korek api Zippo yang berbunyi ‘Cling!’ (dulu saya punya banyak koleksi korek Zippo ini). Dekatkan nyala api ke ujung batang api. Pandangan kita mesti penuh konsentrasi tertuju pada ujung rokok walau sebenarnya perhatian kita pada cewek yang kita taksir. Hisap dalam-dalam, tengadahkan kepala dan hembuskan perlahan. Fiuh…!Bukan main gayanya…! (paling tidak, begitulah perkiraan kita) Saya belum pernah melihat ada orang yang bisa bergaya begitu ‘macho’ dengan cara minum kopi, makan ‘French fries’, atau nenggak Cocacola!

Ada berapa banyak cewek yang berhasil saya gaet dengan gaya ‘macho’ ini? Saya lupa menghitungnya tapi yang penting saya merasa melambung tinggi dengan gaya saya tersebut. Untungnya ini tidak saya praktekkan pada istri saya dulu karena ternyata ia membenci perokok.

Apakah saya pernah berusaha untuk berhenti merokok sebelumnya? Banyak kali! Berbagai metode sudah saya lakukan. Kalau dada saya terasa sakit dan napas saya tersengal-sengal tiba-tiba saya mendapat ‘hidayah’ untuk berhenti merokok. Sayang ‘hidayah’ tersebut melemah ketika saya dalam keadaan sehat. Rokok kembali mengajak saya ‘melewatkan hari dan masa dengan penuh selera dan gaya’. (Lagipula banyak perokok berusia tua yang nampaknya bahkan lebih sehat ketimbang yang tidak merokok. Banyak juga orang yang meninggal karena kanker paru-paru padahal tidak pernah merokok. Pokoknya banyak alasan deh!). Saya selalu kalah oleh rokok. Saya benci dengan fakta ini tapi saya harus mengakuinya.

Jadi bagaimana saya bisa berhenti merokok secara total? Begini ceritanya.

Pada tahun 1990 saya merasa bosan dengan pekerjaan dan usaha yang saya rintis. Pekerjaan tersebut sudah terasa rutin, monoton dan tentu saja membosankan. Saya ingin perubahan pada hidup saya dan saya melamar ke Bontang International School jauh di pedalaman Kalimantan Timur. Saya butuh tantangan baru dan bekerja di lingkungan ekspatriat nampaknya menarik.

Pada awalnya perkerjaan saya cukup menyibukkan saya karena mesti menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Tapi lama-lama pekerjaan menjadi semakin ringan dan semakin ringan. It’s just a repetition of what we have been doing before lagipula jumlah siswa saya merosot hingga tinggal belasan anak saja. Jam mengajar saya hanya sekitar 2 jam sehari dan sisanya saya harus berusaha untuk mencari berbagai hal agar saya tidak mati bosan. Saya sangat benci ‘doing nothing’ dan percaya bahwa orang bisa mati karena menganggur.

Oleh sebab itu saya harus mencari tantangan dalam hidup saya sehari-hari selama di Bontang. Saya perlu mencari ‘lawan’ untuk saya kalahkan. Dan tiba-tiba saya melihat bahwa ini kesempatan baik bagi saya untuk mengalahkan kebiasaan merokok saya.

Jadi saya tetapkan tantangan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Situasi membantu saya karena saya memang sudah tidak merokok di depan siswa bule saya. Merokok di depan siswa adalah ’tercela’ dan saya harus masuk ke gudang atas sekolah untuk bisa menikmatinya. Saya banyak menganggur sehingga rokok tidak lagi menjadi ’a friend in need’ tapi saya juga tidak bisa berhenti karena sudah jadi pecandu. Saya tegaskan pada diri saya jika saya tidak bisa berhenti total sekarang maka saya tidak punya harapan. It’s now or never!

Untuk memperkuat tekad saya maka berhenti merokok tersebut maka program tersebut saya gabung dengan latihan jogging setiap sore sepulang kerja. Saya mengambil sebuah program jogging dari sebuah majalah yang lengkap petunjuknya hari perhari secara bertahap dan saya mengikutinya dengann tekun. Saya ingin menjadi ‘Satria’ yang baru!

Apakah saya berhasil berhenti merokok? Tentu saja. Saya akan mengutuki diri saya setiap saat jika saya kalah lagi dalam kondisi demikian. Saya punya jiwa pemenang dan berhenti merokok bukan tantangan terberat dalam hidup saya. Masih banyak hal yang ingin saya kalahkan dalam hidup ini dan masih banyak juga hal yang belum berhasil saya kalahkan. Hidup masih penuh dengan pertarungan-pertarungan dan itu yang membuat saya bergairah dalam hidup!

Salam

Satria Dharma

Bagaimana menjadi Guru Ideal ?!

Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan contoh atau keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.

Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami.

Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Tapi, dia pun harus bisa menerima kritikan dari peserta didiknya. Dari kritik itulah dia dapat belajar dari para peserta didiknya.

Guru ideal justru harus belajar dari peserta didiknya. Dari mereka guru dapat mengetahui kekurangan cara mengajarnya, dan melakukan umpan balik (feedback). Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini? Apakah guru ideal hanyalah guru yang sudah lulus sertifikasi guru? Benarkah demikian?

Dari hasil perenungan yang mendalam, dan juga hasil wawancara dengan teman-teman guru di mana penulis bertugas, didapatkan pendapat yang beragam dan mengerucut pada tiga pendapat tentang guru ideal.

Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah:

Pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Senyum, Salam, Sapa, Syukur, dan Sabar).

Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki sifat selalu berkata benar, penyampai yang baik, kredibel, dan cerdas. Guru yang memiliki keempat sifat itu adalah guru yang mampu memberikan keteladanan dalam hidupnya karena memiliki budi pekerti yang luhur. Selalu berkata benar, mengajarkan kebaikan, dapat dipercaya, dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Sifat tersebut di atas harus dimiliki oleh guru dalam mendidik anak didiknya karena memiliki motto iman, ilmu, dan amal. Memiliki iman yang kuat, menguasai ilmunya dengan baik, dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain.

Ketiga, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan perilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat.

Kelima kecerdasan itu adalah:

1. kecerdasan intelektual

2. kecerdasan moral

3. kecerdasan social

4. kecerdasan emosional

5. kecerdasan motorik

Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, mengapa?

Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses. Segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus plagiarisme (menjiplak karya tulis ilmiah milik orang lain) dan korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan.

Selain kecerdasan intelektual dan moral, kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan selalu memperdulikan orang lain yang membutuhkan pertolongannya. Dia pun harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak mudah marah, tersinggung, dan melecehkan orang lain. Dia harus memiliki sifat penyabar dan pemaaf.

Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kecerdasan motorik harus senantiasa dilatih agar guru dapat menjadi kreatif dan berprestasi. Dia memiliki ambisi dan cita-cita yang tinggi seperti menggapai bintang di langit. Tak salah bila pada akhirnya peserta didik mengatakan, “guruku mampu menggapai bintang di langit.”

Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila anda berprofesi sebagai seorang guru harus mampu berlomba-lomba untuk menjadi sosok guru yang ideal. Ideal di mata peserta didik, ideal di mata masyarakat, dan ideal di mata Sang Maha Pemberi. Bila semakin banyak guru ideal yang tersebar di sekolah-sekolah kita, maka sudah dapat dipastikan akan banyak pula sekolah-sekolah berkualitas yang mampu membentuk karakter siswa untuk memiliki budi pekerti yang luhur. Mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang diharapkan oleh para leluhur bangsa.

Semoga sosok guru ideal semakin banyak dalam dunia pendidikan kita.
Amin...

Salam
Wijaya Kusumah

Kita, Kisah Al, dan Ronggo Warsito

Oleh : Hendrawan Nasution*

KOMPAS.com - Belum lagi hilang gaung pendidikan karakter yang dicanangkan sebagai tema utama Hari Pendidikan Nasional oleh Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), dunia pendidikan kita sudah disodorkan fenomena buruk, yaitu berita-berita yang mengungkapkan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN).

Di Jakarta, ketidakjujuran penyelenggaraan UN terungkap dengan adanya pengaduan seorang bocah yang tidak tahan diintimidasi untuk secara sengaja melakukan perbuatan tercela ini. Mirisnya, kecurangan yang sama juga terungkap di Surabaya, tepatnya di SDN Gadel 2, Surabaya, Jawa Timur.

Di sekolah ini, siswa pintar yang bernama Alif (Al) lagi-lagi dipaksa untuk membagikan jawaban kepada teman-temannya. Perbuatan memalukan ini dilakukan secara sistematis dan telah melalui gradi resik contek-menyontek. Dan, hal terparah yang membuat kita "harus" mengelus dada adalah klimaksnya, yaitu pengusiran keluarga dan orang tua Al dari desa tempat mereka tinggal.

Inikah hasil dan harga sebuah kejujuran? Inikah yang dinamakan pendidikan karakter bangsa ini?

Kalau jawabannya, "ya", maka terawang Raden Ngabehi Rangga Warsita (baca: Ronggo Warsito) dalam Serat Kalatida, yang mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman edan (gila) adalah benar adanya. Mereka yang tidak ikut edan tidak akan kebagian. Artinya, mereka yang "lurus" harus disingkirkan atau segera menyingkir.

Berbagai pihak memberikan tanggapan kasus kecurangan massal tersebut. Beberapa mengatakan, bahwa di dunia akademis, contek-menyontek adalah perbuatan paling tercela yang tak termaafkan. Oleh karena itu, para pelaku perbuatan tersebut harus mendapat sanksi.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menerimanya sebagai suatu kenyataan yang ada di republik ini. Tak sedikit pula, ada yang mengendap-endap mencari kesempatan untuk bersiap membuat momentum ini sebagai proyek yang menghasilkan uang.

Pendidikan Karakter dan Berkarakter

Fenomena di atas hanyalah sebagian kecil dari puncak gunung es yang tampak jelas di permukaan. Kenyataannya, masalah yang dihadapi bangsa ini adalah jauh lebih besar.

Harus diakui, bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan Kementerian Agama (Kemenag) memang telah mengupayakan pendidikan karakter sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional. Sejak bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pendidikan karakter yang notabene adalah pendidikan berbangsa dan bernegara tidak pernah lepas dari kurikulum.

Di zaman orde lama (orla) pendidikan karakter ditularkan melalui indoktrinasi politik yang pada masa orde baru (orba) diubah menjadi Pancasila dan Pendidikan P-4 dan kemudian di era reformasi saat ini diubah lagi menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Semua itu merupakan bukti, bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama telah berusaha untuk memberikan pendidikan karakter.

Dalam kurikulum pendidikan karakter di tingkat SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi, PKn mengajarkan nilai-nilai akhlak sebagai manusia sosial. Siswa ditanamkan untuk tidak berbohong, menyontek, mengambil barang yang bukan hak miliknya dan lain sebagainya. Dalam hal etika berbangsa dan bernegara, kurikulum juga mengajarkan bagaimana keharusan siswa menghargai pendapat orang lain, patuh terhadap hukum, dan tidak melakukan penindasan terhadap kelompok minoritas. Tapi, di sisi lain juga harus diakui bahwa kurikulum ini tidak berkarakter.

Kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini semakin jauh panggang dari api. Ketika para founding father mengamanahkan ke-Tuhan-an, kekerasan terhadap pemeluk agama lain semakin sering terjadi, dan pembiaran penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan sudah menjadi hal umum. Pertikaian kelompok demi pertikaian kelompok menyimpan dendam yang semakin menjauhkan semangat persatuan nasional. Demikian pula dominasi mayoritas yang semakin menancapkan kukunya dan sejalan dengan suburnya korupsi di berbagai bidang yang merupakan diskursus semangat kerakyatan dan keadilan sosial.

Apa jadinya semua ini? Percuma menanyakan Kemdiknas dan Kemenag alasan para siswa menghalalkan contek-menyontek dan sogok-menyogok. Mereka sama bingungnya ketika dihadapi pada realita, bahwa tempat mereka bekerja menyandang gelar sebagai kementerian-kementerian paling korup di bumi pertiwi ini.

Berbagai kebohongan dan manipulasi terjadi di jajaran kementerian tersebut. Sebagai lembaga yang merumuskan kurikulum, mereka yang berada dalam lembaga ini seharusnya mengetahui serta memahami isi dari pendidikan karakter itu sendiri dan bersikap paling gigih dalam menerapkan nilai-nilai yang diajarkan. Perilaku-perilaku demikian itulah yang menyebabkan kegagalam kurikulum ini. Pendidikan karakter yang tidak berkarakter.

Pembentukan Karakter

Ada tiga lembaga paling bertanggung jawab terhadap gagal dan berhasilnya pendidikan karakter nasional, yaitu lembaga keluarga, pendidikan dan lingkungan (baca: masyarakat). Keluarga sebagai institusi sosial terkecil merupakan tempat awal nilai-nilai putih seorang manusia digoreskan.

Hampir 90 % dari masa golden age yang merupakan masa penting pertumbuhan seorang anak dihabiskan bersama keluarga. Saat ini, institusi keluarga mengambil peranan terbesar dalam peletakan dan pembangunan fondasi nilai-nilai luhur, sikap, kepribadian, watak dan karakter.

Semua nilai-nilai yang diperoleh anak-anak itu merupakan hasil dari komunikasi internal yang terjadi di institusi tersebut, baik verbal maupun non-verbal. Nasihat, larangan, kewajiban dan anjuran orang tua merupakan komunikasi verbal yang perlu dan sangat perlu dilakukan. Ketidakpedulian orang tua terhadap transfer nilai-nilai benar salah dan baik buruk akan menyebabkan seorang anak mempunyai hati yang tumpul terhadap eksistensi individu maupun sosial di luar dirinya.

Transfer nilai tidak cukup hanya melalui komunikasi verbal. Pola perilaku orang tua dan anggota keluarga inti juga menjadi faktor utama pembentukan karakter anak. Berawal dari hal-hal kecil, seperti membuang sampah di tempat yang benar, sikap saling menghormati sesama dan menghargai pendapat anggota keluarga lain merupakan pelajaran yang membekas di hati seorang anak dan kerap untuk ditiru. Sebaliknya, sikap inkonsisten, plin-plan, dan kemunafikan salah seorang atau anggota keluarga lainnya akan segera dapat terekam dengan mudah dan ditiru oleh seorang anak.

Lembaga kedua yang bertanggung jawab adalah lembaga pendidikan, sebagai lembaga formal baik sekolah maupun madrasah yang secara resmi melakukan transfer ilmu pengetahuan yang di dalamnya termasuk sistem nilai, etika dan moral. Dalam institusi inilah interaksi sosial seorang anak terjadi.

Tidak berbeda jauh dengan institusi keluarga, dalam institusi pendidikan ini seorang anak secara sistematis diajar berbagai ilmu pengetahuan, baik yang bersifat know what, know why dan know how.

Di lembaga pendidikan formal, peserta didik diajarkan bersikap jujur, saling menghormati/menghargai orang lain, termasuk hak-haknya, tidak serakah, empati sosial dan sebagainya. Kendati demikian, sekali lagi, transfer ilmu pengetahuan di atas masih sangat normatif sekali.

Memang, semua hal di atas tidak berarti apapun selain sebagai basic tools yang pemanfaatannya tergantung dari sistem nilai yang dimiliki user. Bila si user mempunyai sikap dan karakter yang baik, maka pemanfaatannya akan mengarah pada tujuan positif dan sebaliknya.

Tidak dapat kita bayangkan, betapa bingungnya seorang peserta didik ketika diharuskan untuk memberikan contekan pada teman-temannya oleh seorang yang seharusnya mengajarkan kejujuran dan proudness atas originalitas. Betapa confusing-nya peserta didik kala mengetahui adanya miss-management di tempat yang seharusnya dikelola oleh para pendidik profesional.

Profesional di sini tidak hanya berarti pendidik yang memiliki absen jari, sesuai aturan, tetapi juga mempunyai integritas. Lagi-lagi, sistem nilai, etika, moral dan ilmu pengetahuan lainnya yang diajarkan di lembaga pendidikan harus diujicobakan dengan realitas lingkungan tempat peserta didik berada.

Betapapun baik dan konsistennya pengetahuan tersebut diajarkan pada peserta didik, tidak akan merubah apapun tanpa suri tauladan dari lingkungan pendidikan itu sendiri. Tidak salah pepatah mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.

Lembaga terakhir yang bertanggung jawab terhadap berhasil atau gagalnya pendidikan karakter nasional yang berkarakter adalah lembaga lingkungan. Di dalam lingkungan inilah semua nilai, sikap, watak dan karakter serta ilmu pengetahuan yang dipelajari secara normatif di lembaga keluarga dan pendidikan saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi. Etika, moralitas dan karakter yang baik dari seorang anak akan tertutup oleh debu maksiat dan kemunafikan dalam tatanan masyarakat yang terjungkilbalik dan sebaliknya.

Apa yang dikatakan seorang anak ketika melihat polisi yang melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh invividu atau kelompok atas yang lainnya? Kemelut batin apa yang dirasakan seorang anak ketika ada individu dan sekelompok orang tega melakukan pembunuhan dengan mengatasnamakan agama? Keresahan apa yang dirasakan oleh seorang anak ketika melihat wakil-wakil rakyatnya ramai-ramai masuk penjara karena ketahuan mencuri uang rakyat?

Semua sikap inkonsistensi, plin-plan dan kemunafikan akan menyebabkan kontraproduktif pada pendidikan karakter nasional. Sayangnya, lembaga lingkungan ini merupakan cermin dari dua lembaga sebelumnya. Apabila lembaga keluarga dan lembaga pendidikan berhasil memproduksi anak-anak bangsa dan peserta didik yang baik dan berkarakter, maka lembaga lingkungan pun akan terdiri manusia-manusia yang mempunyai karakter. Dengan semakin banyaknya anak bangsa yang memiliki karakter positif, maka akan terbentuk bangsa yang berkarakter.

Kurikulum Pendidikan Karakter Terpadu

Apapun resikonya, tidak ada jalan lain bagi bangsa ini untuk segera melakukan perubahan karakter. Bangsa ini seharusnya tidak pernah berhenti berupaya untuk meletakkan nilai baik buruk maupun benar salah secara kuat. Namun, sekali lagi, perlu diingat bahwa pendidikan dan pembangunan karakter yang menghabiskan energi dan materi tidak akan pernah berhasil tanpa sinergi dari lembaga keluarga, pendidikan dan lingkungan.

Sudah saatnya, bagi pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan karakter untuk mengintegrasikannya dengan lembaga keluarga dan lingkungan. Tanpa sinergi dari ketiga lembaga itu, bangsa ini akan terus menuju kebangkrutan ekonomi dan pendangkalan moral. Seperti orang bijak mengatakan bahwa; "You lose your wealth, you lose nothing; You lose your health, you lose something; You lose your character, you lose everything".

(*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan di Jakarta)

Minggu, 19 Juni 2011

Akibat Jatah Umur

(sebuah cerita)

Di awal zaman, Tuhan menciptakan seekor sapi. Tuhan berkata kepada sang sapi: "Hari ini kuciptakan kau sebagai sapi, engkau harus pergi ke padang rumput. Kau harus bekerja di bawah terik matahari sepanjang hari. Kutetapkan umurmu sekitar 50 tahun".

Sang Sapi keberatan: "Kehidupanku akan sangat berat selama 50 tahun. Kiranya 20 tahun cukuplah buatku. Kukembalikan kepadaMu yang 30 tahun" ... Maka setujulah Tuhan.

Di hari kedua, Tuhan menciptakan monyet. "Hai monyet, hiburlah manusia. Aku berikan kau umur 20 tahun!"

Sang monyet menjawab "What? Menghibur mereka dan membuat mereka tertawa? 10 tahun cukuplah. Kukembalikan 10 tahun padaMu". ... Maka setujulah Tuhan.

Di hari ketiga, Tuhan menciptakan Anjing. "Apa yang harus kau lakukan adalah menjaga pintu rumah majikanmu. Setiap orang mendekat kau harus menggongongnya. Untuk itu kuberikan hidupmu selama 20 tahun".

Sang anjing menolak : "Menjaga pintu sepanjang hari selama 20 tahun? No way! Kukembalikan 10 tahun padamu". ... Maka setujulah Tuhan.

Di hari keempat, Tuhan menciptakan manusia. Firman Tuhan: "Tugasmu adalah makan, tidur dan bersenang-senang. Inilah Kehidupan. Kau akan menikmatinya. Akan kuberikan engkau umur sepanjang 25 tahun!"

Sang manusia keberatan, katanya: "Menikmati kehidupan cuma 25 tahun? Itu terlalu pendek Tuhan. Let's make a deal. Karena sapi mengembalikan 30 tahun usianya, lalu anjing mengembalikan 10 tahun dan monyet mengembalikan 10 tahun usianya padamu, berikanlah semuanya itu padaku. Semua itu akan menambah masa hidupku menjadi 75 tahun. Setuju?" ... Maka setujulah Tuhan.

AKIBATNYA ... ... ... ... ...

Pada 25 tahun pertama kehidupan sebagai manusia dijalankan, kita makan, tidur, dan bersenang-senang.

30 tahun berikutnya menjalankan kehidupan layaknya seekor sapi, kita harus bekerja keras sepanjang hari untuk menopang keluarga kita.

10 tahun kemudian kita menghibur dan membuat cucu kita tertawa dengan berperan sebagai monyet yang menghibur.

Dan 10 tahun berikutnya kita tinggal di rumah, duduk di depan pintu sembari menegur sapa orang yang lewat sambil "Uhuk, uhuk (batuk) ... Eh, Ntong, mo kemane lo?"

hohoho
Salam
Oppung Speedy

Pola Pikir yg Bikin Ruwet

Salah satu hal yang paling sulit dirubah yaitu merubah pola pikir

Saya banyak berkumpul dengan beberapa komunitas yang beragam pola pikirnya. Ada komunitas pekerja profesional, komunitas guru, komunitas pengusaha, komunitas blogger dan "komunitas" sekitar rumah.

Dari beberapa kali perbincangan santai dengan mereka, rata-rata mereka ingin sekali ber-bisnis menambah penghasilan bulanan apalagi di komunitas guru yang sering sekali mendapat upah yang sangat tidak sepadan dengan ilmu yang diberikan.

Dan lebih celakanya lagi, dari semua keinginan untuk berbisnis ternyata mereka semua mempunyai ketakutan yang sama yaitu
1. Takut tidak ada Modal
2. Takut gagal

Dua hal diatas biarpun dijelaskan dengan penuh semangat dan juga ditambah dengan dalil-dalil dari kitab suci yang sangat mendukung ternyata masih saja tetap tidak bisa menggerakkan hati untuk berubah.

Melihat situasi seperti itu sangat memprihatinkan sekali sebab kalau yang diandalkan hanyalah uang bulanan saja maka ditanggung tidak akan cukup untuk hidup sebulan karena pola pikir non bisnis sudah ter-bentuk bahwa semakin besar penghasilan maka akan semakin besar pula sikap konsumtif-nya.

Contoh, seorang guru yang mendapat upah 20rb/jam maka jika dia mengajar seminggu 2 jam maka satu bulan sama dengan 160.000 yang bisa dibawa pulang dan itu pun dengan catatan harus masuk terus biarpun badan sakit.

Lalu dengan uang sebesar itu apa yang bisa dilakukan agar bisa hidup sebulan..?? Para guru kalau ingin mendapat lebih maka mau tidak mau harus memperbanyak jam mengajar dan mencari obyekan di luar.

Dan biasanya kalau sudah mendapat lebih maka pengeluaran akan menjadi LEBIH BESAR JUGA.

Lalu kalau para guru sudah sibuk mencari duit maka kapan waktu untuk pengembangan diri-nya....??? Kasihan....

Di komunitas pengusaha juga sama saja. Namanya saja pengusaha ternyata masih banyak juga yang bermental "menunggu dan berharap".

Menunggu akan sebuah keajaiban dan berharap keajaiban akan bisa merubah nasib mereka.

Jika ada sebuah peluang bagus di depan mata biasanya type diatas selalu dalam posisi "menunggu dan berharap sebuah keajaiban" tanpa melakukan sebuah action dan selalu melontarkan argumen yang terdengar masuk akal.

Di profesi apapun, Jika sikap mental seperti diatas selalu dipupuk dan dipelihara maka jangan berharap akan mendapat sesuatu dari bisnis, karena sikap "menunggu dan berharap keajaiban" hanya ada di sisi lain dari seorang pengusaha.

Merubah mental berbisnis harus dimulai dari sekarang dengan cara BERKUMPUL DENGAN MEREKA YANG BENAR-BENAR PEBISNIS SEJATI dan MELAKUKANNYA DENGAN CARA BERBEDA.

Salam sukses dunia akherat
Rawi Wahyudiono

Alasan Tak Percaya Sekolah

1. Orang tua membayar guru untuk melakukan satu hal saja yaitu: menolong anak-anak belajar. Tetapi jika anak-anak tidak belajar, guru tidak mungkin mencoba cara-cara baru sampai ada satu cara yang berhasil membuat mereka semua paham. Guru akan terus melanjutkan pelajaran untuk mengejar target kurikulum dengan meninggalkan anak-anak yang tetap tidak paham. Kegagalan sebenarnya ada pada sistem: satu orang dewasa mengajar banyak anak, tetapi kesalahan dilimpahkan pada anak-anak. Anak-anak ditempeli cap bodoh, pemalas, diberi ranking terendah, bahkan belakangan ada cerita tentang guru yang berani memberi label ADHD kepada anak-anak didiknya.

2. Kalau anak-anak menjadi pintar, sekolah yang berbangga diri dan dipuja-puja. Kalau anak-anak nilainya buruk, yang salah anak itu sendiri bahkan orang tuanya dinilai tidak becus membimbing anak belajar atau menjatuhkan tuduhan tentang kondisi keluarga yang tidak harmonis. Anak yang menyulitkan sekolah akan ditendang keluar. Sekolah tidak akan pernah mau bertanggung jawab atau pun mengakui bahwa telah gagal mendidik anak.

3. Anak-anak yang paling membutuhkan bimbingan malah dihukum dengan nilai buruk, disetrap, ranking rendah, dan dihancurkan kepercayaan dirinya. Tidak manusiawi.

4. Sekolah boleh-boleh saja menjalankan hukuman keras, kekerasan fisik, atau pun tekanan mental kepada anak-anak didiknya atas pelanggaran minor, dan anak-anak tidak diberi kesempatan diadili secara proporsional. Orang tua lebih sering tidak diberi tahu sekolah soal insiden yang melibatkan anaknya.

5. Guru boleh-boleh saja menurunkan nilai rata-rata ujian anak ataupun memberikan nilai di bawah lima kepada anak-anak yang dianggapnya tidak menurut atau sering membolos. Bahkan guru tidak malu-malu mengancam murid-muridnya soal hal ini meskipun tindakan itu merupakan pemalsuan data prestasi akademik, dan berarti guru-guru ini berdusta. Guru seperti ini terutama guru untuk mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dan Agama yang menentukan kenaikan kelas atau kelulusan.

6. Atmosfer sekolah bersifat destruktif terhadap orientasi dan nilai-nilai agama Islam.

Jika sekolah menentukan seragam olahraga adalah celana pendek, tidak ada yang bisa menentang. Jam pelajaran agama Islam, guru agama menyuruh memakai kerudung. Tetapi saat pelajaran olahraga, siswi-siswi pakai celana pendek dan pameran paha. Absurd.

Pacaran tidak ada dan dihindari dalam ajaran Islam, namun kebanyakan siswa-siswi sekolah sudah mengenal cinta-cintaan dengan lawan jenis sejak usia sangat dini.

Belum lagi peredaran obat terlarang, pornografi, dan rokok di sekolah.

Siswi-siswi wajib berenang kalau tidak mau nilai olahraganya dikurangi, tidak perduli meskipun mereka pakai jilbab.

Falsafah sekolah adalah: peraturan sekolah harus diutamakan, peraturan Tuhan bisa diatur sesuai sikon, kehidupan beragama dipisahkan dari kehidupan sekular. Mungkin ini sebabnya di negara yang beragama ini banyak pejabat yang ibadahnya rajin, tetapi korupsi jalan terus.

7. Kecepatan pelajaran di kelas sering kali tidak sesuai dengan kecepatan individu setiap anak. Anak-anak berbakat yang jauh lebih maju dari teman-teman sekelasnya dipaksa mengerjakan tugas-tugas yang ditetapkan guru. Anak yang sudah bisa membaca harus tetap mengeja huruf. Anak yang sudah lancar menulis harus tetap menulis satu kalimat yang sama 100 kali meskipun dia ingin mengarang cerita. Kalau si anak menolak, dia dianggap membangkang guru. Sangat jarang anak-anak seperti ini boleh lompat kelas. Akibatnya mereka jenuh, tugas sekolah menjadi siksaan sekaligus penghinaan terhadap harga diri mereka.

Sementara anak-anak yang lambat seringkali ditinggal begitu saja. Seorang guru dengan blak-blakan mengatakan,”Dengan jumlah murid yang banyak, guru tidak pasang target semua murid harus bisa.” Horor.

8. Percobaan sains di laboratorium yang dilengkapi peralatan ekstensif hanyalah pengulangan rutin dari pengetahuan pakem yang sudah jamak diketahui. Hasil percobaan yang ‘salah’ tidak dihargai. Anak-anak sekolah dengan jas lab yang keren itu tidak akan pernah diizinkan melakukan percobaan sains yang benar-benar eksperimental. Sayangnya anak-anak itu sudah diperbodoh sedemikian rupa sehingga tidak terpikirkan atau tidak berani protes.

9. Para siswa sekolah swasta dengan perpustakaan super lengkap ternyata tidak mempunyai waktu untuk membaca buku-buku koleksi perpustakaan. Terlalu banyak tugas sekolah, terlalu banyak ujian, terlalu banyak buku teks yang harus dibaca, tidak sempat lagi untuk membaca buku-buku lain. Jadi buat apa perpustakaan dengan rak-rak buku menjulang itu? Cuma polesan pemanis agar orang tua murid bersedia membayar SPP lebih mahal.

10. Sekolah membuat anak-anak berpikir bahwa hanya ada satu cara melihat masalah, hanya ada satu jawaban terhadap pertanyaan, tidak boleh mempertanyakan atau pun menggugat segala hal yang ditetapkan oleh otoritas atau pakar atau kunci jawaban. Apa yang tertulis di kunci jawaban itulah yang benar, tidak peduli kenyataan bilang apa, tidak peduli akal dan nalar bilang apa.

11. Sekolah mempunyai standar tersendiri tentang apa yang dihargai dan apa yang tidak, dan anak-anak harus menurut. Juara Olimpiade Fisika, dihargai. Juara menulis, tidak terlalu. Anak-anak jadi sibuk berpikir apa yang menyenangkan guru-guru, bukan dahaganya sendiri akan ilmu pengetahuan. Singkatnya, sekolah hanya mau menumbuhkan minat, kreativitas, daya pikir, dan potensi anak-anak yang sesuai dengan visi sekolah. Berapa banyak anak-anak yang bakatnya dimandulkan oleh sekolah karena sekolah tidak bisa menghargai bakat mereka? Mereka dipaksa belajar hal-hal trivial, tidak bermakna dalam kehidupan keseharian mereka, hanya demi nilai rapor dan penghargaan guru.

12. Kurikulum sekolah adalah tetap, tidak boleh diubah-ubah, tidak boleh disesuaikan dengan minat masing-masing anak.

Kurikulum yang saklek ini menjelaskan kenapa kebanyakan guru marah-marah jika murid bertanya. Murid-murid tidak perlu bertanya karena guru sudah tahu arah kurikulum. Pertanyaan dari murid tidak disambut baik sebab mengganggu kelancaran jalannya pelajaran saja.

Sering kali kita mendengar cerita orang tua yang bangga karena anaknya kritis dan banyak bertanya. Pasti anak jenius, kata orang tuanya, tetapi setelah si anak dimasukkan sekolah, anak itu dianggap bodoh oleh gurunya karena ya itu… dia banyak bertanya. Pantas saja jenius macam Edison dan Einstein tidak bertahan di sekolah.

13. Sekolah bukan tanpa pengaruh buruk pada kejiwaan. Orang-orang yang lulus dari sekolah, baik ranking atau pun tidak, memiliki perasaan rendah diri, merasa bodoh tetapi berpura-pura pintar, merasa was-was yang tidak dapat dijelaskan, depresi tanpa sebab, tidak yakin pada kemampuan diri sendiri, rentan terhadap peer pressure (tekanan pergaulan), kecanduan pada belanja dan kepemilikan barang.

Pada masa-masa bertumbuh yang penting, anak-anak telah diekspos pada rasa takut yang sedemikian besar di sekolah. Takut hukuman guru, takut nilai jelek, takut kalau ranking jelek akan jadi orang tidak berguna, takut, takut… Selama masa itu anak-anak tidak boleh banyak berbicara, diajari bahwa yang penting adalah maunya sekolah, sedangkan yang penting dan nyata bagi mereka adalah hal-hal bodoh yang tidak begitu penting. Anak-anak dikungkung dalam tembok sekolah, hanya boleh bergaul dengan orang-orang seumur yang sama-sama bego, sama-sama tidak tahu bagaimana cara bersosialisasi yang baik, sama-sama tidak tahu dunia luar.

14. Sekolah memisahkan teori dari konteks, meramu ilmu secara sedemikian rupa sehingga menjadi amat sangat membosankan.

Sejarah menjadi hapalan kering tahun-tahun peperangan, matematika menjadi operasi angka-angka tidak bermakna, fisika menjadi hapalan rumus-rumus entah dari mana datangnya. Betapa banyak anak-anak yang jadi alergi matematika, fisika, sejarah, geografi gara-gara sekolah.

15. Sekolah menekankan pada hapalan, bukan pengertian utuh. Anak-anak yang mendapat nilai bagus di sekolah adalah anak-anak yang mahir menelan bulat-bulat hapalan, lalu mengeluarkannya tanpa ditelaah lagi saat ulangan. Tidak seperti disangka banyak orang, sekolah tidak berani kok mengajarkan logika kepada murid-muridnya.

Sekolah bukan tempat menjadi pintar melainkan tempat menjadi penurut. Kalau murid-murid sungguh-sungguh pintar, pasti susah diatur, banyak protes, guru-guru kalah ilmu, dan jangan-jangan murid-murid minta homeschooling semua.

16. Ada guru-guru sekolah yang paling takut apabila murid-murid lebih pintar dari mereka, dan mereka berupaya dengan segala cara untuk menunjukkan bahwa murid-murid lebih bodoh, baik dengan pe-er yang luar biasa sulit, mengeluarkan soal ujian yang tidak pernah diajarkan, maupun standar nilai yang tidak jelas dan sulit mencapai nilai tinggi. (Sebaliknya, orang tua yang menjalankan homeschooling bersyukur ketika anak-anak menjadi lebih pintar.)

Sumber :
http://homeschooling-indonesia.com

Senin, 06 Juni 2011

Kenaikan Pangkat

Suatu hari di negara antah berantah, muncul suatu kebijakan baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya di negara lain.

Kebijakan itu yakni, setiap orang yang berstatus wakil dinaikkan pangkatnya. Wakil presiden jadi presiden, wakil direktur menjadi direktur, wakil komandan menjadi komandan, wakil gubernur menjadi gubernur, wakil RT menjadi ketua RT dan seterusnya. Yang penting dalam program ini tidak ada penggusuran posisi. Perkara ada posisi ganda, itu bisa diatur dalam pembagian tugasnya.

Masalah pembengkakan anggaran, semua ditanggung oleh negara. Sesudah mantap dengan rencana itu, diajukanlah program ini ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mereka. Ternyata mereka menolak. Betul-betul menolak keras. Bahkan, ditolak mentah-mentah dengan sangat keras.

Alasannya, program ini menyengsarakan anggota DPR. Bayangkan, mereka akan berubah status dari wakil rakyat menjadi rakyat... hehe

Salam
Mohammad Ihsan

One-Minute Reading

Kadang kita sebagai orang tua atau guru kadang merasa diri kitalah yang paling benar dalam mendidik, hanya anak-anak yang tidak tahu berterima kasih. Padahal kitalah yang seharusnya mengevaluasi diri, dimana letak kesalahan kita mendidik !

Dr. Arun Gandhi, cucu mendiang Mahatma Gandhi bercerita, pada masa kecil ia pernah berbohong kepada ayahnya. Saat itu ia terlambat menjemput ayahnya dengan alasan mobilnya belum selesai diperbaiki, padahal sesungguhnya mobil telah selesai diperbaiki hanya saja ia terlalu asyik menonton bioskop shg lupa akan janjinya.

Tanpa sepengetahuannya, sang ayah sudah menelpon bengkel lebih dulu sehingga sang ayah tahu ia berbohong.

Lalu wajah ayah tertunduk sedih; sambil menatap Arun sang ayah berkata : "Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki; sambil merenungkan di mana letak kesalahan nya"

Dr. Arun berkata: Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut. Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun.

Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu, dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah, meski tanpa kekerasan, justeru memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah diri saya sepenuhnya.

Para orangtua, mari kita membiasakan diri untuk selalu bertanya, "Apa yang salah dari saya, mengapa anak saya bisa seperti itu ....??

Have a quality time with your family...
Meicky Shoreamanis Panggabean
I touch the future. I teach.

http://www.gurudanpenulis.com/

Redefinsi Membaca

Pengertian membaca bukanlah hanya terbatas dalam memahami karya tulis. Membaca juga terjadi ketika menikmati karya audio visual, kata aktor sekaligus sutradara senior, Slamet Rahardjo Djarot. "Membaca jangan diartikan sebatas pengertian karya tulis semisal buku. Membaca juga berarti memaknai dan mengikuti," kata Slamet Rahardjo kepada ANTARA News usai mengisi acara dialog bertajuk "Membaca Bangkitkan Karakter Bangsa" di Jakarta, Rabu.

Slamet, kelahiran tahun 1949, mengutarakan bahwa membaca bagaikan "seperti seorang bayi yang mengikuti gerakan orang tuanya ketika diasuh sejak kecil."

"Karya - karya audio visual saat ini juga berperan dalam mencerdaskan, jadi membaca itu artinya memaknai seluruh masalah - masalah dan luas maknanya," kata sutradara terbaik FFI 1985 lewat film "Kembang Kertas" itu.

Dia menyimpulkan bangsa Indonesia tidak gemar membaca, dan hal itu tercermin dari kericuhan yang terjadi di kongres PSSI.

"Itu cermin orang atau bangsa yang tak gemar membaca, Interupsi boleh, tapi yang sopan dong, jangan dengan kata makian," kata Slamet yang pemandu tetap salah satu acara bincang-bincang di TVRI.

Aktor Terbaik Piala Citra 1974 dalam "Ranjang Pengantin" dan "Badai Pasti Berlalu" (1977) itu mengemukakan dirinya membaca tontonan itu sebagai tantangan baru untuk bangsa. "Kini kita sudah sadar ada di titik nadir. Ini karena Pancasila sudah kita punggungi," katanya.

Membaca itu,
Bagian dari mencintai.

Memaknai itu,
Mencintai yang membumi.

Mengikuti atau tidak mengikuti,
Setelah membaca,

Tergantung pada,
Seberapa dalam ketika memaknai yang telah dibaca.

Salam
Diana Dwi

Busway Jakarta

Apa enaknya bekerja di Jakarta? Enaknya adalah kita bisa naik busway ke kantor! Hehehe… ! Bergelayutan dan terombang-ambing ke sana kemari ketika busway melaju dan mengerem adalah sebuah keasyikan tersediri. It’s Salsa on the bus. :-)

Tak ada kota lain yang memiliki transportasi busway selain Jakarta jadi jika kita bisa naik busway ke kantor maka itu tentulah sebuah ‘kemewahan’.

Busway saat ini merupakan transportasi umum beroda empat yang paling cepat di belantara lalulintas Jakarta yang luar biasa macetnya itu. Bahkan Ferrari keluaran terbaru tidak bisa menandingi kecepatan busway untuk mengantarkan penumpangnya kesana kemari ketika Jakarta sedang membangunkan penduduknya untuk mulai bekerja. Berbagai macam kendaraan pribadi yang mewah dan mampu dilecut dalam kecepatan tinggi akan tersipu-sipu melihat busway melaju di jalurnya yang istimewa tersebut. Tak ada yang bisa menandinginya, kecuali ojek tentunya. Ojek ini sejenis kendaraan umum berpenumpang satu yang mampu melaju di tempat-tempat yang tidak masuk akal. Tak ada tanda ‘Dilarang Masuk’ yang mampu menggentarkan hatinya. Ia bisa masuk ke mana saja yang ia maui dengan lincahnya.

Jika Jakarta sedang bangun dan penduduknya sedang bekerja maka lalulintas akan mengalami kram. Jika anda pernah mengalami macet di kota lain maka kemacetan di Jakarta adalah sebuah pamuncak, an exstacy. :-) Saya pernah mengalami kemacetan ketika membawa kendaraan dari Surabaya ke Madiun dan sebaliknya pada saat lebaran tiba. Pada saat itu rasanya hampir semua penduduk mau mudik pada saat yang bersamaan sehingga jalanan lumpuh seperti terkena totok jalan darahnya. Jarak Surabaya ke Madiun yang biasanya ditempuh dalam 3 atau 4 jam menjadi 7 atau 8 jam. Dan itu lumayan membuat Anda stress. Tapi tentu saja hanya pada saat mudik saja.

Di Jakarta Anda mengalami stess tersebut setiap hari baik itu pada saat berangkat ke kantor mau pun pulangnya (Ah! Rasanya di hampir semua waktu. Bahkan jam 9 malam pun lalu lintas masih krodit) Jadi bayangkan betapa frustrasinya kita jika belum mampu menyesuaikan diri dengan irama Jakarta. Dari Sudirman ke Kuningan yang kalau sedang lancar biasanya 10 – 15 menit bisa menjadi 1 atau 2 jam bergantung seberapa hebat kekacauan di jalan.

Bayangkan jika Anda sedang punya janji penting dan Anda sudah memperhitungkan waktu Anda dengan cermat untuk tiba di tempat pertemuan dan tiba-tiba jalanan mengunci tanpa kita ketahui apa sebabnya. Jangankan kita, bahkan motor patroli polisi pun tak bisa bergerak kalau jalanan sedang chaos. Sungguh tak ada gunanya punya mobil Ferrari, Jaguar, atau Lamborghini kalau berada di jalanan Jakarta. Cuma menang nampang doang tapi Anda akan dilewati dengan semena-mena oleh busway. Kecian deh lu…! Hanya busway yang punya jalan khusus di belantara lalulintas Jakarta dan itu sebabnya ia merupakan kendaran umum yang paling bisa diandalkan saat ini. (tapi saat ini jalur busway pun sudah dirampok oleh para pengendara yang telah berubah menjadi tiran).

Karena ia merupakan kendaraan umum yang paling bisa diandalkan maka tentu saja transportasi ini diserbu oleh para komuter. Pada jam-jam sibuk berangkat dan pulang kantor busway semua jurusan akan menjadi kaleng sarden dengan kecepatan tinggi karena sesaknya. Jika Anda beruntung maka Anda akan dihimpit oleh gadis-gadis muda berparfum wangi dari depan, belakang, kanan dan kiri. Saya tidak akan mengeluh jika ini yang terjadi (they do). :-) Tapi kadangkala pada saat apes yang kita terima adalah muka kita persis berhadapan dengan ketiak penumpang lain yang telah bekerja di udara terbuka seharian. Kalau sudah begini saya hanya bisa bergumam dalam hati,” Teganya….teganya….!”

Salam
Satria Dharma

Minggu, 05 Juni 2011

Toleransi Sunan Kudus

Akhir-akhir ini, ‘dakwah’ yang dibungkus melalui kekerasan berkedok ‘jihad’ kembali mencuat. Mulai dari tindak kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah, penyerangan tempat ibadah agama lain, sampai aksi teror bom.

Padahal Islam telah mengajarkan untuk bertoleransi dengan kepercayaan lain. Dakwah melalui pendekatan humanis seperti lewat kesenian, pendidikan, dan kebudayaan pastinya akan menghasilkan sikap toleransi yang tinggi.

Prinsip-prinsip toleransi seperti di atas dalam artian berdakwah dengan tetap menghormati keyakinan orang lain rupanya telah dipraktikkan oleh penyebar Islam di wilayah Kudus pada abad XV.

Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.

Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.

Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.

Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.

Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.

Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya.

Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.

Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.

Salam
Muhammad Itsbatun Najih

Pancasila di Zaman Edan

Membaca opini Kompas Cetak Rabu, 1 Juni 2011 di halaman 6 yang berjudul pancasila di zaman edan, membuat saya bersedih hati. Tulisan pak Daoed Joesoef, Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini begitu menarik hati saya untuk membuat sebuah tulisan baru. Sebuah tulisan dari sisi profesi saya sebagai salah seorang guru. Semoga segenap orang Indonesia punya pemahaman lebih baik mengenai Pancasila sebagai manual bangsa dan berpartisipasi aktif untuk memajukan negeri ini.

Pancasila yang kita kenal saat ini nampaknya sudah menjauh dalam kehidupan nyata kita. Para guru di sekolah harus berupaya kembali menanamkan nilai-nilai luhur itu dalam pembelajarannya. Pancasila yang selalu dibacakan di saat upacara bendera semoga menyatu dalam alam bawah sadar kita. Sehingga tindak tanduk kita sebagai warga negara yang baik akan selalu bersentuhan dengan pancasila sebagai dasar negara. Revitalisasi pancasila jelas sangat diperlukan agar bangsa ini kembali menjadi bangsa yang berbudaya dan beradab.

Terjadinya KKN, kekerasan, kemiskinan, penegakan hukum yang belum berkeadilan adalah bukti nyata bahwa pancasila belum menyatu dalam alam bawah sadar kita. Banyaknya koruptor yang lari ke luar negeri menunjukkan betapa lemahnya penegakkan hukum di negeri ini. Kasus Nazarudin menjadi bukti bahwa pancasila masih disandera oleh pejabat negara.

Sebagai seorang pendidik tentu saya tak tinggal diam. Kami para guru terus berusaha agar pancasila masuk ke relung hati siswa yang terdalam. Ketuhanan yang Maha Esa harus benar-benar terjadi dari keberagaman keagamaan di negeri ini. Orang yang ber-Tuhan seharusnya tak berani melakukan korupsi. Sebab korupsi itu sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun. Tapi kenapa banyak pejabat yang melakukannya?

Di sinilah pada akhirnya kita kekurangan keteladanan dari para pejabat negara. Peserta didik melihatnya di televisi-televisi mereka. Pada akhirnya ketuhanan yang maha esa dalam sila pertama hanya milik anak-anak sekolahan yang masih suci dari zaman edan. Semoga terus bertahan hingga mereka dewasa nanti. Kita harus menyiapkan generasi baru yang memiliki nilai-nilai luhur Pancasila.

Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam sila kedua pancasila justru banyak dilanggar oleh mereka yang katanya berkeTuhanan. Di situlah kita menjadi bersedih hati. Kita tak menjadi bangsa yang saling mengasishi antar sesama, tetapi justru menjadi bangsa yang saling bertengkar dan berkelahi dengan menggunakan kekerasan. Akibatnya, justru sangat merugikan. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Itulah yang terjadi pada kasus Ahmadiyah.

Persatuan Indonesia pun akhirnya menjadi tercerai berai. Bhinneka tunggal ika serasa terkoyak-koyak, dan kita seperti sapu lidi yang menjadi lidi. Kekuatan lidi tentu akan melemah dibandingkan sapu lidi. Seharusnya kita menjadi sapu lidi yang kuat agar mampu menghapus korupsi dari negeri ini. Persatuan Indonesia harus terjaga sepanjang masa, dan pancasila menjadi alat pemersatunya.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan seyogyanya membuat bangsa ini menjadi lebih arif dan bijaksana. Sebab segala persoalan di musyawarahkan secara baik. Bukan seperti sekarang ini, dimana musyawarah tak ada lagi karena para pejabatnya terlalu otoriter dan menganggap pendapatnyalah yang paling benar. Pendapat rakyat hanya menjadi catatan tidak penting dan kurang terbaca oleh para pemimpin kita.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum terjadi. Dimana yang miskin makin miskin dan si kaya makin kaya. Kemiskinan dan kebodohan terjadi di negeri ini. Pendidikan dan kesehatan belum merata terasakan. Terjadi kesenjangan sosial yang cukup tajam, dan berakibat rakyat tak lagi percaya bila pemimpinnya sanggup untuk berbuat adil.

Menarik sekali tulisan pak Daoed Joesoef di bagian terakhir artikelnya. Kalau presiden SBY benar-benar berniat mewariskan suatu warisan berharga, sekaranglah momentum mewujudkan itu. Kabinet dirubah menjadi kabinet pancasila yang berprogram kerja betul-betul pancasila.

Pancasila harus dimulai dari para pejabat negara dan bukan rakyat kecil yang menderita. Sebab kelima sila dalam pancasila akan lebih terasa nilai-nilainya bila itu telah dilakukan oleh para pejabat negara. Keteladanan harus dicontohkan di muka publik agar bangsa ini tak menjadi bangsa yang munafik. Wong cilik akan menjalankan pancasila dalam kesehariannya, tetapi wong licik akan menyandera pancasila dengan kekuasaannya.

Salam
Wijaya Kusumah

Hukuman Yang Edukatif

Para guru tentu pernah melakukan hukuman terhadap peserta didik yang pernah melakukan pelanggaran. Hal ini dilakukan agar peserta didik menyadari dan tak mengulang kesalahannya kembali. Namun, benarkah teknik ini mampu membuat mereka jera dan tak mengulangi lagi? Tak jarang media memberitakan guru yang terkena bumerang atas tindakan tersebut. Alih-alih memberi tindakan pembelajaran pada peserta didik, yang terjadi justru guru terjerat masalah hukum. Berikut prinsip-prinsip dalam memberikan hukuman:

1. Tak dilandasai emosi.

Hal ini bisa terjadi bila guru mendapati peserta didiknya tidak mematuhi instruksi, terlebih mereka melakukan perlawananan. Guru akan merasa disepelekan dan itu dapat memancing emosi. Beberapa permasalahan di kelas yang membuat guru emosi adalah: siswa berkata atau berlaku tak sopan, gaduh/ramai, mengantuk/menguap dengan keras saat pelajaran, membaca buku lain yang tak terkait pelajaran, tak mengerjakan tugas yang diberikan, atau sering membolos. Apapun pelanggaran siswa, jangan didasari emosi, balas dendam apalagi perasaan benci.

Apabila salah satu hal di atas terjadi, ada baiknya guru menyikapinya dengan kepala dingin. Guru harus menyadari peserta didik masih memiliki keterbatasan mengenai tata krama dan kesadaran mematuhi instruksi. Di sinilah peran dan tugas guru membuat peserta didik mengenal tata krama dan disiplin.

2. Menganalisis jenis kesalahan/pelanggaran siswa.

Guru hendaknya memiliki daya analisis tinggi. Artinya, bila ada peserta didik yang melanggar, guru hendaknya segera mencari akar penyebabnya. Bila kesalahan itu terjadi di saat pelajaran berlangsung, karena siswa mengantuk/menguap dengan keras, gaduh atau membaca buku selain pelajaran, asumsi yang muncul untuk menjelaskan permasalahan ini adalah strategi pembelajaran guru yang kurang menarik atau peserta didik merasa dirinya tak terlibat penuh pada mata diklat yang dipelajari.

Bila peserta didik berkata tidak sopan, hal pertama yang harus dilakukan guru adalah segera memberi tindakan berupa peringatan secara verbal. Lantas, guru mencari data mengenai peserta didik yang bersangkutan pada BK. Hal ini bisa dijadikan studi kasus bagi guru.

3. Hukuman yang tidak bernilai pendidikan.

Membuat peserta didik yang bermasalah menyadari kesalahannya memang bukan pekerjaan mudah. Bila peserta didik tak mengerjakan tugas, jangan langsung menyuruhnya push-up atau lari tanpa feed-back. Hukuman bisa dilakuan dengan menyuruh mereka mencari tugas tambahan di internet, koran, atau majalah yang berkaitan dengan pelajaran.

4. Hukuman tahap per tahap.

Sangat dimungkinkan bahwa hukuman verbal atau pengarahan secara khusus tak diindahkan peserta didik yang bandel. Dalam kasus seperti ini, prinsip nomor satu di atas harus menjadi prioritas. Hal yang mungkin dilakukan guru adalah memberi hukuman sesuai dengan beberapa tahapan. Pertama, guru melakukan peneguran secara tegas di hadapan peserta didik lainnya agar peserta didik yang bermasalah tak mengulangi lagi dan peserta didik lainnya menjauhkan diri dari perbuatan yang sama. Kedua, jika ia tidak mengindahkan, permasalahan seperti ini perlu penangananan pihak sekolah dan orangtua. Kebijakan ini adalah menghindarkan guru dari permasalahan. Sementara itu, guru dapat melaksanakan dan melanjutkan tugas mulianya.

Salam
Lubis Grafura

Penghuni Gelap

Rumah kami ketambahan penghuni saat ini. Entah sejak kapan ia tinggal di rumah kami tapi saya baru sadar beberapa hari yang lalu. Beberapa hari ini saya memang tidak pergi ke mana-mana seperti biasanya dan tinggal di rumah saja. Saya bergantian dengan istri saya yang harus ke Surabaya dan Jogya untuk urusan bisnisnya. Jadi istri saya sekarang yang melakukan bisnis dan saya yang menjadi penjaga anak-anak (I love it!). Dan ketika tinggal di rumah berhari-hari dengan tugas menjaga rumah dan anak-anak inilah yang membuat saya sadar bahwa ada penghuni baru di rumah kami yang cukup besar ini.

Berbeda dengan penghuni lain yang sesekali datang ke rumah kami dan menginap entah di kamar atas atau di kamar belakang yang memang kami persiapkan bagi tamu, penghuni baru ini tidak dikenal oleh anak-anak kami dan bahkan tidak pernah minta ijin kami untuk tinggal. Ia datang dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kami menamainya sebagai ‘penghuni gelap’.

Bagaimana kami tidak menamainya penghuni gelap jika ia tidak pernah minta ijin untuk tinggal, tidak pernah mengucapkan salam baik ketika ia datang atau pun keluar? Ia datang ketika hari menjelang sore dan menghilang sebelum kami bangun pada subuh hari! Tak satu pun di antara kami yang disapanya. Bahkan ia lewat begitu saja suatu kali ketika saya memergokinya keluar rumah. Saya hanya bisa terpana melihatnya lewat dengan cepat tanpa bisa sekedar mengucapkan “Hai…!” padanya. Meski demikian kami tahu bahwa ia selalu datang dan tinggal di rumah kami SETIAP HARI seolah rumahnya sendiri karena ia meninggalkan kotoran bekas makannya di lantai rumah kami yang secara rutin dibersihkan oleh pembantu kami yang datang setiap pagi untuk menyapu dan mengepel lantai. Berhari-hari ini saya juga melihat sisa-sisa makanannya berserakan di atas lantai kayu rumah kami.

Saya sebenarnya sudah melihat bekas sisa-sisa makanannya di lantai selama beberapa hari dan bertanya-tanya siapa yang makan begitu sembarangan dan meninggalkan sisa-sisanya begitu saja tanpa mau membersihkan? Anak-anak saya tentu tidak akan melakukan hal ini karena mereka telah mendapat pelajaran yang cukup intensif (dan ekstensif) dari ibunya soal meninggalkan sisa makanan dan peralatan makan di sembarang tempat. Istri saya tidak akan segan-segan meningkatkan oktaf suaranya sampai beberapa decibel jika ada anak kami yang dengan sembrono meninggalkan sisa makanan dan peralatan makan. Bahkan kepada sepupu-sepupun dan teman-teman mereka! A rule is a rule and my wife is the boss at home.

Jadi setelah melihat sisa makanan berserakan dilantai selama beberapa hari tanpa tahu siapa yang melakukannya saya kemudian merasa seperti menemukan sebuah misteri di rumah saya sendiri. Saya mencoba untuk menanyai anak-anak saya. Tidak mungkin mereka tidak tahu karena mereka tahu bahwa kecerobohan semacam ini tentu tidak akan ditolerir di ‘home sweet home’ ini. Tidak perduli siapa yang meninggalkan bekas makannya semua bisa kena semburan amarah istri saya (bahkan bapaknya anak-anak sekali pun). So don’t mess with her about it. Tapi mereka semua menggelengkan kepala. Jelas tak mungkin mereka akan berani melakukan kelalaian besar macam begini. Apakah mungkin itu perbuatan sepupu-sepupu mereka? Saya jadi bertanya-tanya selama beberapa hari itu.

Rumah kami memang terbuka bagi teman-teman dan sepupu-sepupu anak-anak kami. Mereka bisa datang begitu saja dengan atau tanpa ‘assalamu alaikum’ (mereka kadang hanya mengucapkan ‘Lekum’ dan kami jawab setimpal dengan ‘Kum Lam..!”). Mereka juga bisa menyantap apa saja baik yang terhidang di meja, di kulkas, atau rak persediaan makan kami. Kami bahkan selalu mengingatkan anak-anak tersebut untuk makan siang atau makan malam jika waktu makan telah tiba. Anak-anak selalu lupa makan jika sudah asyik bermain. Apalagi kalau bermain game di ‘warnet’ rumah kami. Kami memang menyediakan 3 unit PC di ruang belakang bagi anak-anak untuk internet dan seringkali para keponakan kami datang berombongan dan bermain mulai pagi sampai sore, utamanya kalau hari libur. Kalau sudah begitu maka mereka harus selalu diingatkan untuk makan atau sholat pada waktunya. Tapi saya senang jika barisan sholat kami menjadi penuh dan kami harus mengeluarkan sarung cadangan untuk mereka pada waktu sholat tiba.

Sebelum penghuni gelap ini sebetulnya kami juga sering kedatangan tamu tak dikenal yang datang hanya untuk sekedar numpang makan menikmati hidangan yang ada di atas meja makan kami. Tapi berbeda dengan penghuni gelap yang ‘sloppy’ tersebut, tamu ‘numpang makan’ ini sering datang berdua dan kabur begitu kami masuk ke ruang makan. Kami sudah tahu cukup lama dengan kelakuan tersebut dan kami tidak keberatan. Mereka tidak pengotor dan hanya mengambil makanan sisa. Oleh istri saya tamu tersebut malah sering ‘diundang’ dengan menyisakan beberapa butir nasi di atas meja makan kami. Dan nampaknya ‘tamu numpang makan’ kami tersebut tahu hal tersebut dan secara rutin datang untuk mengambil ‘jatah makan’ dari istri saya tersebut. Kami bahkan menganggap kedatangan mereka sebagai hiburan dan berupaya tidak mengganggu mereka selama mereka menikmati hidangan tersebut. Setelah puas makan barulah mereka kabur melalui kisi-kisi tembok atau atap rumah kami yang terbuka. Dua ekor burung gereja tersebut telah kami anggap sebagai bagian dari penghuni rumah kami. Kami kemudian menjadi akrab dengan mereka. Kami malah sering menanyakan mereka kalau lama tidak tampak. Sayang sekali bahwa mereka sekarang sudah tidak pernah lagi datang ke rumah kami karena rumah di sebelah kami sekarang sedang dibangun dan jalan keluar masuk mereka menjadi terganggu. We surely miss them!

Sekarang tentang penghuni gelap tersebut!

Setelah menanyai anak saya satu persatu saya baru sadar bahwa rumah kami memang kedatangan tamu ‘penghuni gelap’ karena hanya datang pada sore hari dan menghilang sebelum subuh. Tapi ia meninggalkan sisa-sisa bekas makannya di atas lantai ruang tamu kami setiap pagi! Saya pernah melihatnya sekali ketika ia sedang menikmati harinya di rumah kami. Dengan santainya ia bergelantung di plafon kami yang paling tinggi seolah tempat itu sebuah istana baru baginya. Ia benar-benar penghuni gelap karena warna kulitnya begitu hitam legam dan tanpa penerangan yang cukup kita tidak akan mudah mengenalinya. Saya cukup terpesona melihatnya. Dengan nyamannya ia bergelantung di tempat tertinggi di rumah kami dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun ia berkelebat cepat keluar melalui ruang terbuka rumah kami dengan sayapnya yang lebar dan hitam tersebut. Sekarang saya tahu siapa yang makan begitu ‘sloppy’ seperti itu. Setiap malam ia rupanya berburu buah-buahan di luar rumah dan membawanya ke ‘istana’ barunya di plafon tertinggi kami dan menikmatinya di sana. Tentu saja ia tidak akan perduli dengan biji-bijian dan kulit sisa buah yang ia makan tersebut dan ia tinggalkan berserakan di atas lantai kami. Saya heran karena ia tinggal di sana berhari-hari sendirian tanpa satu pun teman. Saya tak tahu apakah kelelawar adalah binatang solitaire atau binatang berkelompok tapi melihat seekor kelelawar tinggal sendirian di rumah kami adalah sebuah misteri yang menyenangkan. Seekor kelelawar tinggal di rumah saya dan itu membuat saya berpikir.

I feel connected. Tiba-tiba kepala saya penuh dengan berbagai pertanyaan. “Siapa dia…?! Mengapa ia tinggal di rumah kami dan tidak tinggal di tempat tinggal yang ‘normal’ baginya…?! Apakah ia sedang dikucilkan oleh kelompoknya dan harus menyingkir ke rumah manusia…?! Apakah ia cukup merasa nyaman di sana (nampaknya ‘ya’ karena ia telah tinggal di sana berhari-hari)..?! di mana ia mencari makan dan buah apa makanan favoritnya…?! Tidakkah engkau merasa kesepian bergantung sendirian di sana tanpa teman dan pasangan (atau engkau justru sedang sebal dengan teman dan pasanganmu yang selalu ribut untuk hal-hal remeh dan sedang mencari ketenangan di sini)…?! Kemana engkau pergi ketika tak berada di rumah kami (atau rumah ‘kita’)…?! How’s your life, Mr Mysterious Bat..?! Would you share your story with us here, perhaps one day …?!

Salam
Satria Dharma