Minggu, 09 Januari 2011

Telaga warna (2)

(sebuah cerita)

Gadis cilik berwajah tirus. Dengan rambut keriting-ikalnya. Berpostur kurus. Tak jauh beda denganku sebenarnya.

Gadis kecil yang pintar. Selalu mendapat nilai bagus untuk tiap pelajaran. Tulisannya rapi. Semua hasil belajarnya mengagumkan. Yang pasti, dalam berhitung, jangan ditanyakan.

Semangat belajarnya sangat tinggi. Ayahnya tukang ojek yang baik hati. Dan ibunya bekerja di pabrik rokok yg kerja dari pagi hingga sore hari. Mungkin itu yang membuat Rahayu sangat mandiri.

Gadis kecil ini senang menungguiku di pinggir meja kerjaku. Bertanya banyak hal yang dia mau. Kepandaiannya tak membuatnya tinggi hati. Tetap baik pada semua temannya. Bahkan rela jadi asistenku. Dengan mengajari berhitung temannya yang belum bisa, jika melihatku sibuk dengan pekerjaanku.

Gadis kecil yang tak banyak bicara. Jika melihatku membaca, dia ikut membaca. Mengambil sebuah majalah dari tumpukan di sudut meja. Duduk di bangkunya. Dan tenggelam bersamaku dalam asyiknya membaca.

Tak banyak bicaranya kadang membuatku khawatir. Ketika suatu hari, ayahnya datang ke rumah. Dan memberitahu kalau uangnya Rahayu pernah hilang sewaktu dikelas.

Bingung. Karena di kelas itu tanggung-jawabku. Tak bisa menjawabnya. Karena aku memang tak tau. Hanya bisa minta maaf pada ayahnya. Karena tak bisa menjaga barang kepunyaan putrinya. Untunglah. Ayahnya Rahayu benar-benar orang baik. Tak marah. Malah beliaunya menitipkan pesan agar putrinya tak usah diberitau.

Tertegun. Malu. Betapa besar sayangnya orang itu pada putrinya. Dan akupun hanya bisa berjanji. Akan lebih memperhatikan kondisi di kelas, agar kejadian yang sama tak terulang kembali.

Gadis cilik yang baik hati. Tanpa kuminta, Rahayu sering meminta ijin untuk ngajari berhitung temannya yang belum bisa. Di papan tulis di depan kelas. Dan dengan riang, jika jawaban temannya benar, segera dia melaporkannya padaku.

"Bu Diana, Bayu sudah bisa Bu. Lihat!" Serunya >
Aku pun menengok dari tempatku untuk melihat hasil kerja Bayu di papan tulis. Benar. Aku pun ikut tersenyum.
"Ya. Teruskan" kataku lagi.

Mereka pun lebih semangat dalam berlatih. Meski harus berebut spidol. Berebut tempat di depan papan tulis. Semuanya berlatih dengan riang.

Rahayu yang pintar. Aleman dan penyayang. Tak segan mencium pipiku jika hendak pulang.

Rajin belajar dan tekun membaca. Giat berlatih dengan tak tergesa-gesa. Riang bermain dengan gembira.

Sampai jumpa.
Diana Dwi

Doa mencari Jodoh

BEBERAPA VERSI DO'A MENCARI JODOH

1.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, Jauhkanlah. (edisi normal)

2.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, Tolong dibantu yak ! (edisi sedikit maksa)

3.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, tolong dicek lagi ! Mungkin salah baca. !! (edisi ngotot)

4.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, TER LHA LHUUU... (edisi bang rhoma irama)

5.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, tolong isi pulsa mama yaaaa. (edisi penipu)

6.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, saya hanya bisa prihatin (edisi SBY)

7.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, temennya boleh juga tuh..!! (edisi nawar)

8.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, kenapa dia ada di GOLKAR ? (edisi oposisi)

9.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, SALAH GUE ? SALAH TEMEN2 GUE.. ? (edisi AADC)

10.Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, ya sudahlaaaaah..!. (edisi bondan feat2black)

11.Ya ALLAH... kalau sandal ini jodohku, lindungilah dia ! Jangan sampai dia tertukar ato hilang yaaa... (edisi Shalat Jumat)...

12. Ya ALLAH.... kalau dia jodohku, dekatkanlah. Kalau dia bukan jodohku, ya sertifikatnya ajalah...! (edisi seminar IGI)

Salam
Satria Dharma

Luarrr Biasaaa

Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.

”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?”, tanya si pemuda. “Oh… saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore nengokin anak saya yang ke-2”, jawab ibu itu. ”Wow, hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahunya, pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.”Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang ke-2 ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adiknya?” ”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita:”Anak saya yang ke-3 seorang dokter di Malang, yang ke-4 kerja di perkebunan di Lampung, yang ke-5 menjadi arsitek di Jakarta, yang ke-6 menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke-7 menjadi Dosen di Semarang.”

Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak ke-2 sampai ke-7. ”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?” Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak”. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”

Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu... kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedangkan dia cuma menjadi petani.“ Dengan tersenyum ibu itu menjawab, ”Ooo, tidak, tidak begitu nak…justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani”

# Pelajaran Hari Ini:
Semua orang di dunia ini penting. Buka mata, pikiran kita.

Salam
Frans Thamura

Telaga Warna

(sebuah cerita)

Alif, Bocah gendut, dg pipi tembem. Berambut cepak dan periang. Aku memanggilnya;
Cemplon. Awal masuk kelas 3, Cemplon adalah anak jagoan. Jagoan di kelas, juga jagoan di kampung (untuk teman sebaya-nya).

Bocah periang itu, tiap pagi harus bersaing dengan temannya untuk berebut tas yang kubawa setiap hari. Disaat aku datang ke sekolah dg sepeda motor, dan kerumunan anak-anak yang berlarian menyerbu ke arahku. Memaksa berebut membawakan tas yang menggantung di sepeda dan pundakku. Hingga kunci sepeda juga helm-nya. Dan Alif, si Cemplon, selalu berhasil membawa tas-ku. Dibawanya keliling kelas, sebelum ditaruh dimejaku.

Jika istirahat tiba, tak jarang Si Cemplon makan sebungkus makanan yang dibawanya dari rumah. Dari mejaku, ku lihat lahapnya bocah itu makan. Tak jarang, kugoda dg mengambil satu lauknya. Tak marah. Hanya tertawa. Membiarkan lauknya kumakan di depannya.

Jika sudah selesai, ganti ku kerjai dg meminta tolong padanya. Membelikan sosis goreng atau tempura versi anak-anak di kampung. Terengah-engah sambil berlari, Si Cemplon membawa sebungkus plastik berisi 4 tusuk. Kumakan satu, dan sisanya pasti diserbu oleh Si Cemplon n the gank.

Jika belajar di kelas, Si Cemplon bukan termasuk golongan brilian. Agak malas, dan cepat menyerah. Tapi, semangatnya, .....jangan diragukan.

Tulisannya besar-besar dan tidak rapi. Sering kumarahi. Jika tulisannya tak bisa kubaca, kusuruh menulis lagi. Tak pernah takut padaku meski kumarahi. Malah balik ngledek jika ku omeli.

"Bu Diana bawel, cerewet. Pegel aku, Bu" katanya jika kusuruh menulis ulang.
"Biarin. Emang Bu Diana cerewet. Ngapain? Iri ta?" Jawabku.
Jawabannya mesti bikin aku tergelak. Tak ada rasa takut sedikitpun, meski aku gurunya.
"Dasar Bu Diana jelek" ejeknya kesal.
Aku ketawa dan kubalas;
"Kok mau kamu punya guru jelek, hayo?"

Cemplon dan kawan-kawannya pun riuh tertawa semua. Sekelas. Heboh. Ramai.
"Iya gak pa-pa" jawabnya sambil ketawa.
"Bu Diana tak apa jelek, bawel, dan cerewet" ujarnya sambil meringis.
Tapi, tak lupa. Tugas dariku dikerjakannya juga.

Si Cemplon ini, tak begitu hebat dalam berhitung. Tapi, jika disuruh mengarang. Wuiih....jago. Karangan khas anak-anak membuatku kagum. Ceritanya tentang pengalaman puasa membuatku tertegun. Bahkan ketika menjelaskan cara-cara membuat makanan yg mereka kenal. Sungguh, membuatku heran. Anak laki-laki seumur itu. Menjelaskan tiap langkah membuat makanan dengan bahasa mereka yang sederhana. Luar biasa.

Ketika waktunya matematika tiba, pastilah Si Cemplon akan terlihat murung. Dia memang terlambat dalam berhitung. Sering nyerah dengan mengerjakan ngawur. Nilai jelek, pastilah diterimanya dengan ngomel.

"Cemplon, kalau kamu mengerjakannya ngawur, Bu Diana akan ngoreksinya ngawur juga lho ya?" Kataku suatu hari.
"Gak iso Bu. Sulit." Jawabnya lesu.
"Dicoba! Terus berlatih. Sini. Berlatih lagi di papan tulis." Kataku

Dengan terpaksa, Cemplon pun menurut. Maju ke depan kelas, dan mengambil sebuah spidol. Menulis soal yang ku berikan. Memperhatikan contoh yang ku kerjakan. Lama. Diam. Tangannya bergerak-gerak menghitung.
Sehari. Sekali. Besok lagi. Lagi. Dan lagi. Semangat.

Jika beberapa waktu yang lalu aku memaksanya. Sekarang tak lagi. Ganti dia yang menantangku.
"Bu Diana, kasih aku soal Bu" ujarnya setiap waktu istirahat.
Kuberi satu, dan dikerjakan dengan cepat.
"Benar Bu?" Ujarnya?
Aku ternyum. "Benar" jawabku.

Cemplon bersorak riang. Minta soal lagi. Hingga hari terakhir kami bertemu di kelas itu. Sama. Selalu minta soal untuk dikerjakan di papan tulis.

Semuanya sudah usai. Kenangan saat Cemplon n the gank menyembuyikan sepatuku. Membawa lari tasku. Makan kerupuk bersamaku. Hampir menangis ketika kumarahi jika mengganggu temannya. Tertawa gembira makan jajan pasar bersama. Dan riang bernyanyi, sambil berteriak kala berjalan-jalan bersama keliling kampung.

Alif yang lucu. Alif yang cemplon.

Tetap semangat belajar. Riang selalu dalam kegagalan. Terima kasih buat otak-otak bandeng buatan ibumu.

Alif si Cemplon. Jendral-ku sayang.

Sampai jumpa...
Diana Dwi

Humor Psiologi

Ini adalah benar-benar tes psikologi. Jika kamu dapat memberi jawaban yang tepat, maka kamu benar-benar seorang psikopat (orang gila; bahasa Inggrisnya bermain dengan kata antara "genuine psychological test" dan "genuine psychopath")

Ini adalah cerita seorang gadis. Pada saat ada di upacara pemakaman ibunya, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang belum dia kenal sebelumnya. Dia sungguh tertarik dengan lelaki ini. Lelaki ini adalah pria idaman yang selalu dia impikan. Dia langsung jatuh cinta dengannya.

Beberapa hari setelahnya, gadis ini membunuh kakak perempuan kandungnya.

PERTANYAAN: Apa motif pembunuhan ini?

"Gadis ini berharap bahwa lelaki idamannya akan muncul lagi di pemakaman kakak perempuannya."

Jika jawabanmu benar, maka kamu berpikir seperti seorang psikopat.

Tes ini dibuat oleh seorang psikolog Amerika yang terkenal. Tes diberikan untuk mengetahi apakah seseorang memiliki mentalitas sebagai seorang pembunuh. Banyak narapidana kasus pembunuhan disuruh menjawab tes ini, dan jawabannya benar.

Jika jawabanmu salah, ini sungguh baik. Jika ada salah satu teman yang betul dalam menjawab, kamu perlu menjauhi orang tersebut.

Hayo siapa yang jawabannya betul?
hehehe

Selasa, 04 Januari 2011

1 dari 1000 buku

Seandainya ada 1.000 buku yang harus saya pilih satu diantaranya, dan ditumpukan buku tersebut ada Shin Suikoden karya Eiji Yoshikawa, maka saya akan memilih buku Shin Suikoden karya Eiji Yoshikawa.

Mengapa?
Karena ceritanya tentang Suikoden–sebuah buku yang sudah lama saya cari. Selama ini kita hanya tau Suikoden dari komik, grafik novel, video games, drama; yang biasa kita kenal dengan 108 Pendekar dan Batas Air. Dan buku ini ditulis oleh penulis kawakan Eiji Yoshikawa. Untuk menjaga kualitas terjemahannya, buku ini diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang oleh Bpk. Jonjon Johana.

Seandainya ada 1.000 buku fantasi, dan saya harus memilih satu yang terbaik diantaranya, maka saya akan memilih serial The Earthsea Cycle karya Ursula K. LeGuin, yang baru terbit dua judul; A Wizard of Earthsea dan The Tombs of Atuan.

Mengapa?
Karena buku ini merupakan salah satu yang menginspirasi JK Rowling dalam membuat konsep sekolah di Harry Potter. Terlebih buku ini merupakan salah satu buku fantasi terbaik sepanjang masa. Kekuatan utama dari buku ini adalah narasi-nya yang begitu indah dan terkadang filisofis–sarat makna. Walaupun pertama kali terbit tahun 1968, buku ini tidak pernah terasa tua dan ketinggalan jaman.

Andaikan buku The Swordless Samurai ada diantara 1.000 buku pengembangan diri, leadership, novel inspiratif, maupun biografi, maka saya akan membaca buku The Swordless Samurai terlebih dahulu.

Mengapa?
Buku ini unik; sebuah buku self enrichment yang ditulis secara bahasa novelik dan model penceritaan autobiografi, sehingga kita seperti berada dalam kehidupan Toyotomi Hideyoshi (yang biasa kita tau melalui buku Taiko karya Eiji Yoshikawa). Buku ini mendapatkan pujian dari Kepala Toko Gramedia Matraman, Pakar Sejarah Jepang, Andy F. Noya, Arvan Pradiansyah, dll

Lalu 1 dari 1000 buku apa yang ada di benak Anda?
Mari budayakan membaca.

Kenshusei

(sebuah catatan)

MINGGU, 28 November 2010, temperatur di Osaka menunjuk angka 11 dalam hitungan Celcius tatkala matahari bersinar menembus langit biru kota dagang ini.

Hari itu ratusan anak-anak muda asal Indonesia berkumpul di Higashi Sumiyoshi City Hall. Usia mereka berkisar antara 25 sampai 35 tahun. Pukul 09.00, Konsul Republik Indonesia di Osaka, Ibnu Hadi, membuka pertemuan dengan singkat. Dia mengajak anak-anak muda itu menjadi wirausaha untuk membangun negeri. Siapakah anak-anak muda itu? Mereka itulah rombongan yang di Jepang dikenal dengan sebutan 'kenshusei' atau pekerja magang. Kulit mereka legam, tangan mereka keras.

Pertanda biasa bekerja di lapangan. Sepanjang satu hari itu tak seorang pun terlihat mengantuk. "Bekerja di sini dituntut berdisiplin," ujar seorang di antara mereka. Adalah Asa Perkasa, GM Garuda Indonesia Osaka yang mengajak saya dan tim instruktur Rhenald Kasali School for Entrepreneurs (RKSE) bertandang ke kota dagang ini. Setahun lalu dia membujuk saya membantu para kenshusei itu keluar dari tradisi bekerja agar mau menjadi wirausaha.

Garuda Indonesia sendiri berkepentingan dengan mereka karena merekalah pelanggan setia airlines nasional ini. Kalau mereka berbisnis di Indonesia yang ada hubungan dengan Jepang, sudah pasti Garuda pula yang dicari. Demikian pula BNI dan Bank Indonesia. BNI berkepentingan sehingga mendukung program ini karena mereka juga nasabah BNI untuk remittance ke Indonesia.

Beban Negara

Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air saya sempat berbincang-bincang dengan rombongan sekitar 27 orang kenshusei asal Jawa Barat yang kebetulan satu pesawat. Mereka ini baru saja menyelesaikan program selama tiga tahun di atas kapal. Kerjanya menangkap dan membersihkan ikan di perairan Jepang. Setiap hari mereka memancing dan menebar jala. "Berapa uang yang kalian bawa pulang?" tanya saya menyelidik. "Kalau rajin dan tak boros lumayan Pak,"jawab mereka.

Yang dimaksud lumayan itu adalah Rp400–500 juta, hasil keringat selama tiga tahun bekerja. Jelas lumayan buat lulusan SMU yang masih membujang. Bagi yang boros, paling-paling hanya membawa pulang pengalaman plus uang saku sekitar Rp50 juta. Lantas uangnya dipakai untuk apa? Di antara mereka juga ada sarjana. Dari berbagai ungkapan perasaan mereka di internet, saya membaca ternyata sebagian besar kenshusei memilih menjadi pekerja kembali di Tanah Air, atau bolak-balik ke kedutaan mengurus visa agar bisa kembali bekerja di Jepang.

Ada satu dua orang yang membuka bengkel atau toko handphone. Tetapi kisah yang disampaikan adalah kisah-kisah kegagalan. Usaha yang mereka bangun tidak berhasil, dan jadilah mereka pengangguran dengan seribu satu umpatan kegagalan. Anak-anak muda yang sudah dilatih dengan penuh disiplin ini kembali menjadi beban bagi negara. Padahal sebagian besar mereka mampu berbahasa Jepang dengan lebih baik.

Disiplin yang mereka miliki juga di atas rata-rata karena mereka bekerja dengan pemilik usaha yang juga petani, nelayan, atau UMKM Jepang. Kalau malas mereka langsung dipulangkan. Mereka ini berpotensi besar bukan sekadar menjadi entrepreneur biasa, melainkan technopreneur. Ya, technopreneur. Di Jepang mereka biasa melihat dan bekerja dengan orang-orang yang sangat pragmatis, simpel, problem solver, dan inovator. Begitu ada masalah, mereka segera pecahkan dan buatkan alatnya.

Alat-alat itu mereka patenkan dan dipasarkan secara luas. Saya masih ingat, malam itu Konsul Jenderal Ibnu Hadi memperkenalkan kami dengan seorang inventor yang membutuhkan mitra usaha di Indonesia. Kebetulan di RKSE banyak mendidik calon-calon wirausaha dan yayasan yang kami kelola tertarik menangani kegiatan yang berhubungan dengan tema lingkungan dan recycle. Hanya saja, bahasa Inggris mereka sulit kami tangkap. Sekarang bayangkan kalau para kenshusei itu bisa kita bentuk menjadi usahawan-usahawan baru. Saya kira mereka akan berhasil kalau mendapatkan bimbingan yang tepat.

Kenshuseipreneur

Rekan saya, Sunaryo Suhadi, seorang wirausaha senior, pemilik usaha di bidang energi dengan aset sebesar Rp12 triliun di Jawa Timur, sudah gatal ingin segera menangani anak-anak muda ini. Dia menawarkan "virus" kewirausahaan, yang kalau terjangkit biasanya membuat mereka yang mengikuti pelatihan ini tak bisa tidur. Sore harinya, anak-anak muda yang kami beri nama kenshuseipreneur ini mengaku jantungnya sudah berdegup keras dan ingin segera memulai.

Tetapi kami selalu mengingatkan pentingnya menaklukkan diri sendiri dan memulai usaha dari kecil. Bukan langsung menggelontorkan uang ratusan juta. Semua harus dimulai dengan kejelian dan waktu belajar yang cukup. Sebab, setiap permulaan itu pasti sulit dan butuh keuletan. Di RKSE, setiap alumnus dibimbing bukan hanya oleh para mentor, melainkan juga sesama alumnus yang sekarang bisnisnya mulai kelihatan. Ketika kewirausahaan telah menjadi topik yang hot, di luar sana tentu ada ribuan predator yang siap "menerkam" mereka dengan janji yang muluk-muluk.

Belum lagi janji-janji instan dan "cara cepat menjadi kaya" yang belakangan banyak sekali Anda temui di toko-toko buku, internet, dan tawaran sehari-hari via Facebook, SMS, dan sebagainya. Saya selalu mengingatkan berhati-hatilah terhadap penipu-penipu yang memberi janji sangat indah seperti itu. Sebab, bila seorang (penipu) yang berpengalaman bertemu dengan seorang yang punya uang selalu akan terjadi pertukaran: yang punya uang akan mendapatkan pengalaman (yaitu tertipu) dan yang punya pengalaman akan mendapatkan uang si tertipu.

Kenshusei masih sangat muda. Menurut pembina mereka, setiap tahun ada sekitar 4.000 orang yang magang bekerja di Jepang. Jumlah ini tentu masih sedikit, tetapi sangat berarti untuk membangun Indonesia. Di Pulau Bali, setiap tahun ada 40.000 orang turis asal Jepang yang berlibur dan sebagian memilih tinggal dan bekerja di sana. Mereka butuh penerjemah dan merasa nyaman bila dikelilingi orang-orang yang mampu berbicara dalam bahasa mereka.

Saat ini para pensiunan Jepang sedang berada dalam tekanan ekonomi biaya tinggi sehingga jutaan di antara mereka tengah mencari tempat untuk mengisi hari tua mereka di negeri lain yang biaya hidupnya lebih murah. Saya mendengar, Pemerintah Filipina, Vietnam, dan Taiwan telah memberi mereka lokasi beserta fasilitas-fasilitasnya, lengkap dengan visa yang berdurasi panjang untuk para manula berkantong tebal ini. Saya mendengar pula mereka sudah lama menanyakan Indonesia. Andaikan kenshusei ini bisa kita bentuk menjadi usahawan, dan mereka terpanggil untuk berubah, maka jalan pun terbuka lebar. Asalkan sabar dan pemerintah mendukungnya.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Pidato SBY English Gado-Gado

JAKARTA - Berpidato dengan bumbu bahasa Inggris yang berlebih, sudah menjadi kebiasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, pidato setelah membuka perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin bisa digolongkan yang paling meriah "English gado-gadonya".

Dalam tiga puluh menit pertama saja, atau sebelum dimulainya dialog dengan para investor, SBY menggunakan setidaknya 24 frasa berbahasa Inggris. Itu artinya, hampir tiap satu menit, SBY mencampuri pidatonya dengan bahasa Inggris.

Seperti biasa pula, SBY tak hanya menggunakan istilah bahasa Inggris sebagai "campuran" dalam kalimat. Bahasa Inggris justru digunakan presiden sebagai "penjelas" istilah Indonesia. Kalimat di awal-awal pidato ini misalnya. "Dalam melakukan evaluasi, kita harus merujuk pada parameter dan ukuran yang jelas. Correct measurement," kata SBY.

"Pemulihan ekonomi untuk menjaga kesejahteraan rakyat, atau dengan bahasa bebas saya katakan, minimizing the impact of the global economic crisis," ucap SBY yang ketika menjadi Menkopolkam pada 2003 pernah mendapat penghargaan sebagai pejabat negara berbahasa lisan Indonesia terbaik itu.

Karena terlalu banyak istilah dalam bahasa Inggris, para wartawan mulai gaduh mendengarkan "kegenitan" presidennya. Ada yang senyum-senyum, namun tak sedikit yang tertawa-tawa. Seorang orang anggota Paspampres akhirnya menegur wartawan. "Kurang keras tertawanya," kata seorang anggota Paspampres, yang menegur dengan tidak langsung. Selain dua orang Paspampres berpakaian batik, ada pula seorang tentara berpakaian Polisi Milter yang menjaga para jurnalis.

Meski sudah ditegur, para wartawan tetap sulit menahan tawa. Karena, belum lama menyimak, SBY kembali mengungkapkan kata-kata dalam bahasa Inggris, yang sebenarnya sudah cukup jelas istilah Indonesia-nya. "Insya Allah tahun 2010 ini kita bisa mencapai (pertumbuhan ekonomi) enam persen, close to six percent," kata Presiden.

Anggota Paspampres lantas memperbesar volume radio komunikasinya. Dia memperdengarkan kemarahan komandannya atas kegaduhan di tempat duduk wartawan. "Itu suruh diam!. Kedengaran dari sini," hardik sang komandan dari seberang. Saat pembukaan BEI, para wartawan tulis sebenarnya berada di lantai 1, yang sebenarnya cukup jauh dari tempat SBY berpidato di lantai dasar.

Setelah ditegur kembali, suasana di ruangan peliputan kembali hening. SBY lantas menjelaskan faktor-faktor yang bisa menggagalkan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah krisis ekonomi dunia yang bisa datang kapan pun. Dia mengatakan, sebelum krisis datang tahun 2008, tidak ada yang mengira akan terjadi krisis. "Semua proyeksi, semua estimate, di semua negara bagus, global economy will grow."

"Tidak ada yang meramalkan (akan terjadi krisis), semuanya everything is nice!.".
Para wartawan kembali tak bisa menahan tawa. Si anggota Paspampres pun hanya geleng-geleng kepala.

Salam
Satrio Arismunandar

Minggu, 02 Januari 2011

Ibu ialah Guru Besar meski Buta Huruf

Ibu, kalau aku ditanya siapa pahlawanku

Namamu, Ibu, ’kan kusebut nomor satu

Karena aku tahu engkau adalah ibuku

Dan aku adalah anakmu.

Penyair Zawawi Imron-

Puisi di atas ditulis Zawawi Imron pada 1960-an dan entah sudah berapa ratus kali dibacanya. Setiap membacanya, ia melakukannya dengan takzim dan tak jarang menangis.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang berkaliber internasional, adalah contoh lain penyanjung sosok ibu. Karya-karyanya banyak diwarnai kisah-kisah yang melukiskan penghormatan yang tinggi kepada figur ibu. Termasuk, ibunya sendiri. Kekaguman tersebut dibungkusnya dalam cerita fiksi. ”Saya belajar kemandirian dan kejujuran dari ibu saya,” kata Pramoedya suatu ketika.

Bahkan, kata Pram, setelah ibunya meninggal ketika Pram masih sangat muda, dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar ia bertemu almarhum ibunya di bawah sebuah pohon mangga. Ketika Pram ingin mengambil buah mangga yang menggelantung di pohon, sang ibu menahannya.

Jangan pernah mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya. Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu harus memperolehnya dengan keringatmu sendiri. Kamu harus bekerja,” kata Pram menirukan pesan ibunya sebelum bayangan sang ibu lenyap.

Tak sedikit pula pemimpin besar bangsa yang memuja ibu. Kaisar Prancis Napoleoon Bonaparte, misalnya. Ia sering mengungkapkan pujian-pujiannya kepada sang ibu. Demikian pula Soekarno, proklamator RI. Sang ibunda pula yang memberikan pangestu (restu) dan menjuluki Soekarno kecil sebagai putra fajar.

***

Agil H. Ali
Insan pers nasional pasti tidak asing dengan nama tersebut. Dia dikenal sebagai wartawan senior yang ulung, lihai dalam berorasi sekaligus tulisannya sangat bagus. Pengakuan tersebut dilontarkan oleh para tokoh seperti Prof Sam Abede Pareno, wartawan senior Zaenal Arifin Emka dan Djoko Pitono, serta sastrawan yang juga guru besar (gubes) IKIP Surabaya (kini Unesa) Prof Budi Darma.

Agil dikenal sebagai laki-laki yang pintar menulis sekaligus orator ulung. Sedemikian besarnya daya tarik Agil ketika berbicara dan memengaruhi media massa, dua jenderal terkemuka pada masanya, Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali Moertopo, merasa perlu mengundang Agil untuk bertemu.

Para duta besar negara-negara kaya bergantian mengundang Agil untuk melakukan kunjungan jurnalistik ke negeri mereka. Agil pernah menjabat sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam dua kali periode, pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan anggota MPR.

”Ia memang pandai sekali berpidato. Pidato-pidatonya selalu menarik. Jarang saya menemui orang yang pintar bicara seperti Pak Agil,” kata Prof Budi Darma PhD.

Menurut gubes Unesa Prof Sadtono, orang-orang yang pintar berpidato dan menulis seperti Soekarno dan John F. Kennedy jelas adalah orang yang punya bakat besar dalam bahasa. ”Bakat itu adalah anugerah Tuhan kepada seseorang yang tak bisa dipelajari semua orang,” ujar Sadtono.

Agil adalah pendiri tabloid Mingguan Mahasiswa (1970-an) dan Mingguan Memorandum hingga menjadi koran harian (Memorandum, salah satu koran kriminalitas terbesar di Surabaya). Korannya telah menumbuhkan entah berapa ratus wartawan yang kini tersebar di berbagai media massa, termasuk radio dan televisi.

Kendati dikenal sebagai tokoh publik, Agil tak pernah lupa melontarkan kekagumannya kepada sang ibunda. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu memuji peran ibunya.

Agil pernah mengatakab bahwa ibundanya, Raden Ayu Syarifa Nur, sebenarnya perempuan yang buta huruf. Meski demikian, Agil mengaku belajar bahasa dan sastra dari ibunya. Kok bisa? ”Mengapa tidak, justru inilah yang luar biasa,” tegas Agil.

Dia mengatakan, kendati buta huruf, ibunya sering ”membaca” berbagai buku. Caranya, meminta anak perempuannya, kakak kandung Agil, untuk membacakannya. Buku sastra terkenal seperti novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wick, dilahapnya.

Suatu ketika, Syarifa, ibunda Agil, bahkan ”menyelamatkan” Agil. Kisahnya, pada paro kedua 1960-an, Agil mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat. Dia mengutarakannya kepada orang tuanya. Agil mengatakan dengan tegas ingin kuliah di Negeri Paman Sam agar nanti bisa berkeliling dunia.

Tak disangka, sang ibu melarang. Dia cemas anaknya nanti terpengaruh budaya ”bebas” di sana. ”Tidak, kamu tidak perlu sekolah di Amerika. Sekolah di tanah air saja. Kalau sekadar berkeliling dunia, kamu nanti pasti bisa,” ucap Agil menirukan perkataan ibundanya.

Kata-kata ibunya kemudian terbukti di kemudian hari. Setelah menjadi wartawan dan memimpin surat kabar, Agil sering bepergian ke luar negeri. Sejak 1970-an, undangan jurnalistik sering diterimanya dari Amrika Serikat, Jerman, Jepang, dan lain-lain. Ia pun sering diundang untuk menghadiri pertemuan pers internasional.

”Hingga kini saya tidak paham benar kekuatan apa yang dimiliki ibu saya. Kata-katanya yang bernada ramalan itu ternyata terbukti. Mungkin karena ibu saya benar-benar dicintai Allah lantaran sering mengagungkan kebesarannya setiap saat,” tutur Agil.

Dia masih ingat saat pulang dari lawatan pertamanya ke Amerika pada awal 1976. Ketika itu dia mengikuti prgram student leader selama hampir dua bulan. Laporannya di Mingguan Mahasiswa, yang diakuinya sebagai salah satu ulisan terbaiknya, di antaranya berjudul Langit di Atas Arizona Juga Langitku.

”Bagaimanapun, tulisan-tulisan saya itu adalah hasil ajaran ibu. Ibu saya adalah guru besar saya meski buta huruf,” tegasnya.

Istri Agil, Dr Mangestuti, mengatakan bahwa kecintaan Agil terhadap sang ibu memang luar biasa. Agil dikatakannya selalu membanggakan jerih payah sang ibu dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Ibu dikatakan sebagai wanita yang pandai, berani, pemurah, dan sangat menghargai tamu. ”Sifat ibu itu melekat erat dalam diri Agil. Ia selalu menjamu tamu yang datang ke rumahnya dengan sangat istimewa,” kata Mangestuti.

Salam
Eko Prasetyo

2011, Saatnya Action

Korupsi. Ya negeri ini memang banyak sekali korupsi. Ibaratnya dulu di zaman orde baru, korupsi masih dilakukan di bawah meja, sekarang ini, ketika reformasi bergerak, mejanya justru dikorupsi. Apa saja dikorupsi. Membangun jalan, aspalnya dikorupsi. Membangun sekolah, genting dan batu batanya dikorupsi. Semennya dikurangi. Pemenang tender juga ditentukan, setoran ke pejabat jalan terus. Korupsi punya motto sendiri; semua senang, semua kebagian.

Tahun 2010 telah kita tinggalkan. Semoga kita juga meninggalkan semua perilaku jelek kita. Terutama korupsi. Kita mulai tahun ini bekerja secara jujur, menolak semua upeti, gratifikasi, dan segala sesuatu yang berbau suap. Kita mulai di tahun baru ini, kita bekerja secara ikhlas. Menjalankan pekerjaan dengan senang, melayani masyarakat dengan senyuman. Kita harus mengubahnya dari diri kita sendiri, mulai hal yang kecil yang bisa kita kerjakan dan mulai sekarang. Kita, ya kita, kita semua perlu mengubah diri kita sendiri, bukan orang lain, bukan karena dipuji atasan. Kita, ya kita, bukan orang lain. Kita semua, diri kita sendiri, harus melakukannya. Sekarang…!!!

Tahun 2011, saatnya kita action. Saatnya kita bekerja. Saatnya kita mulai meninggalkan wacana-wacana yang tidak perlu. Saatnya kita do something untuk negeri ini. Melakukan sesuatu, mengerjakan sesuatu, memberikan sesuatu yang kita bisa dan yang kita punya.

Negeri ini sudah sakit-sakitan. Begitu banyak yang dikorupsi dari negeri ini. Begitu banyak yang dieksploitasi dari dalam buminya, dikeduk harta karunnya, ditebangi hutannya, diambil pasirnya, dan dizalimi rakyatnya.

Tahun ini kita bertekad untuk menjadi pemimpin yang berbudi luhur yang bercita-cita menyejahterakan rakyatnya. Tahun ini kita bertekad untuk menjadi rakyat yang mandiri dan sejahtera yang bisa berusaha, bekerja keras, dan tidak menjadi rakyat yang konsumtif tetapi rakyat yang produktif. Kita pasti bisa. Kita pppastiii bisaaa...!!!

Salam
Habe Arifin

Dari Emperan Taman

Kawan,
Dari emperan ini kukabarkan

Cerita usang dari balik koran
Dongeng lama dari balik jeruji
Kisah kuno dari legenda para sufi

Kawan,
Tangis lapar masih akan terdengar
Keluhan tak adil terus bergema
Vonis sesuka hati tak akan berhenti

Kawan,
Perhatikan!
Yang tajam ke bawah
Dan tumpul ke atas

Menyebar seperti hujan
Terserap tak ada bekas

Salam
Diana Dwi