Minggu, 05 Desember 2010

Kisah Orang Bodoh

Ketika awal masuk kuliah di kampus tahun 1999, kami para mahasiswa baru harus mengikuti tes TOEFL, hasilnya banyak teman dari kota besar terutama dari jakarta dan Bandung ber-skor 500 ke atas, sedangkan saya yang tinggal di desa walau SMA di kota sidoarjo hanya 300 :) Bodohnya saya juga tidak merasa perlu untuk khawatir tuh.. :) Saya masih merasakan euforia kebanggaan sebagai anak desa yang miskin yang diterima di itb yang merupakan pertama kalinya di kalangan keluarga besar. Pun di masa kuliah banyak teman saya yang ikutan kursus bahasa inggris dan kegiatan semacam Student English Forum, saya malah tenggelam dengan kegiatan lain yang tidak
terlalu produktif dan malah bergumam dalam hati, "ngapain sih ikutan kayak gituan..."

Ketika teman-teman begitu bersemangat kuliah dan begitu ambisius untuk mendapatkan IP bagus, saya malah jarang kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktu utk wirausaha dan kegiatan luar sambil berkata, "kuliah tidak penting..." Kebetulan saat itu usaha saya dan teman-teman lagi bagus, sebagai mahasiswa yang biasa dibuat dag dig dug dengan budget bulanan tiba-tiba punya sepeda motor, megang laptop, pake hp dan bepergian ke jakarta dan daerah lain secara intens karena proyek. Saya merasakan euforia mahasiswa kaya baru. Tapi saya tidak punya rencana bagaimana jika gagal, padahal saya bukan dari keluarga mampu yang bisa membantu kalo saya jatuh.

Ketika usaha saya mulai menurun setelah lulus kuliah tahun 2006, saya mulai sadar betapa bodohnya saya ketika mengobrol dengan teman saya yang ketika itu bekerja di IBM, intinya dia bercerita bahwa sejak awal kuliah dia sudah merencanakan akan bekerja di perusahaan seperti Boston Consulting dan akhirnya terwujud di IBM. Dia sudah mempersiapkan kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk bekerja di perusahaan seperti itu.

Sesuatu yang sedikit saya sesali kenapa tidak saya lakukan sejak dulu. Saya mulai terintimidasi melihat perkembangan teman-teman seangkatan yang sudah mulai mapan secara karir dan penghasilan. Sejak itulah saya mulai banyak mendengar dan menganalisa diri.

Berikut pelajaran yang saya dapatkan :

1. Saya harus memperluas wawasan yang tepat

Saya lahir di desa dari keluarga berpendidikan rendah dimana tidak ada budaya intelektual, saya juga jadi harapan keluarga untuk meningkatkan taraf hidup. Mestinya saya lebih cerdas untuk bisa berkembang secara pribadi dan lebih memberikan perhatian ke perubahan budaya keluarga agar adik-adik saya bisa meningkat juga taraf hidupnya.

Sejak itu saya lebih sering bertemu dengan orang-orang yang saya anggap berhasil dan minta nasihat ke mereka tentang hidup dan masa depan. Saya memang tidak punya ayah, saudara atau kakak yang bisa mengarahkan tapi saya bisa mencari figur-figur itu ke orang lain yang tepat dan itu saya dapatkan dari Pak Budi Rahardjo yang eks direktur Mandiri Sekuritas, Pak Johand Dimalouw yang mantan VP Chevron, Pak Boyke yang owner RPE, Mas Bakhtiar Rakhman yang produser Laskar Pelangi, dan alumni yang lain.

Saya juga mendapat banyak input dari membuat program ALUMNI BERPRESTASI untuk alumni SMAN 1 Sidoarjo dengan mewawancarai 15 profil alumni inspiratif. Mereka orang-orang hebat yang bisa sukses dengan menjadi dirinya sendiri.

2. Saya harus punya rencana hidup

Tidak semua input yang saya terima bisa saya aplikasikan, saya sesuaikan dengan kondisi saya dan saya harus punya back up plan kalo gagal dengan impian saya.

3. Saya harus terus belajar

Saya kutip quote ini dari FB Usman Efendi, teman smp dan sma saya, "jika kita selalu merasa paling benar maka kita semakin salah, jika kita merasa paling pintar maka kita semakin bodoh saja, jika kita merasa paling kuat, itu artinya kita semakin lemah..."

Ada masukan lagi?
Semoga teman-teman bisa belajar dari kebodohan saya ini :)

Salam
Rulan Kis

Contoh Pejabat Anti Korupsi

(sebuah humor)

Setelah proyek multimilyar dollar selesai, sang Dirjen kedatangan tamu bule wakil dari HQ kantor pemenang tender. Udah 7 tahun di Jakarta jadi bisa cakap bahasa Indonesia .

Bule: "Pak, ada hadiah dari kami untuk bapak. Saya parkir dibawah mercy S320."

Dirjen : "Anda mau menyuap saya? Ini apa-apaan?. Tender sudah kelar kok. Jangan gitu ya, bahaya tau haree genee ngasih-ngasih hadiah."

Bule: "Tolonglah pak diterima. Kalau tidak, saya dianggap gagal membina relasi oleh kantor pusat."

Dirjen: "Ah, jangan gitu dong. Saya tidak bisa menerima mobil tersebut !!"

Bule (mikir ): "Gini aja, pak. Bagaimana kalau bapak beli saja mobilnya..."

Dirjen: "Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu!!"

Bule menelpon kantor pusat.

Bule: "Saya ada solusi, Pak. Bapak beli mobilnya dgn harga Rp. 10.000,- saja."

Dirjen: "Bener ya? OK, saya mau. Jadi ini bukan suap/sogok, pakai kwitansi ya.."

Bule: "Tentu, Pak.."

Bule menyiapkan dan menyerahkan kwitansi. Dirjen membayar dengan uang 50 ribuan. mereka pun bersalaman.

Bule (sambil membuka dompet ): "Oh, maaf Pak. ini kembaliannya Rp.40.000,-."

Dirjen: "Gak usah pakai kembalian segala. Tolong kirim 4 mobil lagi kerumah saya ya..."

hahaha

Militansi

Mata saya tak berkedip memperhatikan sosok Fadli Sadama, tersangka tokoh teroris yg diektradisi Malaysia ke Indonesia. Tenang, usia muda, raut wajah bukan dari golongan kere dan terlihat cerdas. Sosok itu mirip dengan Imam Samudra, yang tak kalah ganteng dengan Alex Komang atau Slamet Rahardjo, bahkan tatapan matanya membuat orang bergidig. Keduanya punya militansi yang luar biasa.

Seorang aktivis LSM yg belum lama wafat, kagum dengan militansi mereka. "Jika kaum penyebar kebenaran memiliki militansi seperti itu, alangkah hebatnya...". Militansi itu punya landasan nyali, keberanian bersikap dan istiqomah. Tidak sedikit manusia Indonesia yg sangat bersih moralnya dan cerdas, namun tak bernyali, tak punya militansi. Sebaliknya, penguasa legislatif dan eksekutif lebih punya nyali dan militan.

Si bersih dan cerdas tak bernyali masuk ke pusat kekuasaan karena ditakut-takuti. "Masuklah politik, jika anda sudah kaya, jika tidak kalian akan mencuri..." Tesis ini diamini oleh semua orang. Padahal, kayakah Wachid Hasyim, M. Natsir dan Kasimo ketika tampil di panggung politik kita ? Tidak. Mereka bersahaja, bahkan Tan Malaka tak punya rumah seumur hidupnya.

Militansilah yg menjadikan Kuba, Korut, Iran dan negeri negeri yg diboikot sekutu AS itu tetap bertahan dan tentu militansilah yg memerdekakan Vietnam dari Prancis dan USA, Indonesia dari Belanda. Negeri dengan warga yang militan adalah negeri pembuat sejarah. Manusia militan seperti Zulkarnaen Agung, Muhammad SAW, Hitler, Soekarno hingga mak Eroh si penggali selokan, merekalah tokoh yang dicatat oleh sejarah, terlepas misi yang diembannya.

Mungkin itulah yang disitir sayyidina Ali bin Abi Thalib ra ketika mengatakan "kebaikan yang tidak well organised akan dilibas oleh kebejatan yang well organised" dalam well organised ada anasir militansi.

Salam
Ahmad Rizali

Pendekatan Hati Memompa Prestasi

Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan sangat familier, namun kita tak pernah tahu seberapa familier ungkapan itu terealisasi dalam kehidupan. Sebuah tuntutan yang mesti dijiwai dan diaplikasikan. Sekian hari sudah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah. Peran semua pihak mulai berjalan. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bersinergi, karena lewat anak-anaklah kejayaan negeri akan tercipta.

Mendidik anak memerlukan seni tersendiri. Oleh karena itu, orangtua, guru, dan masyarakat harus mengetahui seni mendidik, agar dapat memahami dunia mereka. Banyak kiat mendidik anak yang harus dikuasai para pendidik. Kegagalan pendidikan anak justru banyak diakibatkan oleh kelemahan pendidik dalam menguasai seni pendidikan. Ada sebagian orangtua maupun guru mendidik anak dengan kekerasan. Sebaliknya, ada yang mendidik terlalu lunak. Sedikit sekali pendidik yang menyeimbangkan dua tipe tersebut.

Kekerasan yang digunakan dapat menimbulkan tekanan psikologis anak. Mereka akan diliputi rasa takut, tidak percaya diri, takut menghadapi kegagalan, dan ragu-ragu mengambil keputusan. Gejala itu muncul akibat pelampiasan emosi terhadap apa yang pernah mereka alami. Di sisi lain, cara mendidik yang terlalu lunak dan memberikan kebebasan tanpa batas akan menimbulkan keburukan dalam pembentukan pribadi anak. Anak susah mandiri, suka mencari jalan singkat demi tercapainya keinginan.

Pandangan moderat berada di antara dua cara pendidikan tersebut. Terkadang cara keras dipakai sebagai salah satu usaha pendekatan, tetapi bukan satu-satunya pilihan. Kekerasan seperti sebuah hukuman terhadap kesalahan yang dilakukan anak hanyalah sebagai solusi terakhir setelah tak ada pilihan lain.

Anak yang berprestasi dalam dunia pendidikan bisa menjadi kebanggaan semua orang. Kebanggaan itu juga akan dirasakan para pendidiknya. Namun, bagi anak yang gagal, merasa semua orang menyalahkan kegagalannya. Padahal, kegagalan itu tidak semata-mata kesalahan si anak. Kegagalan atau kekurangan yang ada pada anak bisa juga disebabkan si pendidik yang kurang bisa menyelami mereka.

Melihat dari salah satu sisi pendidikan mereka di sekolah, sebagian besar waktu anak-anak ada di sekolah. Akankah ilmu itu mereka dapat hanya untuk mengejar intelektualitas, sedang moral terabaikan. Hal itu bisa saja terjadi jika pendidik lalai menjaga calon generasi negeri. Sering terjadi pendidik hanya menyampaikan penjelasan secara lisan maupun tertulis tetapi jarang disertai dengan pendekatan hati. Setiap anak didik itu berbeda, maka pendidik harus bisa memosisikan mereka.

Tatapan mata penuh kasih sayang bisa menambah kekuatan emosional dan rasa percaya diri. Meluangkan waktu khusus bersama anak juga penting, apalagi bagi anak yang sedikit mengalami keterlambatan intelektualitas. Dengan cara tersebut anak merasa terdorong untuk bisa lebih baik lagi. Sebagai pendidik, hendaknya bisa menyatukan hati dengan anak didiknya. Ramah dan berteman, hal itu akan membuat anak merasa makin dekat, sehingga nilai moral dan intelektualitas yang diharapkan ada pada anak didik niscaya akan terwujud.

Salam
Adetya Dewi Wardani

Guru dan Dosen

Guru ataupun dosen adalah jabatan fungsional yang sebenarnya memiliki lingkup kerja yang hampir sama, keduanya dipisahkan pada level jenjang pendidikan yang diampu. Guru dan dosen adalah salah satu tulang punggung masa depan bangsa dan negara. Suatu bangsa akan maju bila guru dan dosennya bekerja secara benar pada posisinya.

Alih-alih pemerintah ingin memberikan reward kepada guru dan dosen dengan cara memberikan tunjangan sertifikasi (baca: tunjangan bagi yg sudah mendapat sertifikat), apa daya pelayanan dan mutu pendidikan tak kunjung tercapai.

Awalnya tunjangan sertifikasi sebagai senjata ampuh untuk memuliakan guru dan dosen oleh pemerintah, tetapi kemudian senjata itu bagai makan tuan. Entah itu sudah menjadi watak dan karakter, sebagian guru kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan sertifikasi karena nilai nominal yang akan didapat sangat menggiurkan.

Tengoklah kejadian proses sertifikasi guru di Riau, ternyata para guru memalsukan karya-karya ilmiah sebagai sarat mendapatkan sertifikasi. Kalau guru saja sudah berani memalsukan karya ilmiyah, lalu apa jadi dengan muridnya, bak pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau demikian adanya apakah salah cita-cita pemerintah memuliakan guru dengan sertifikasi ternyata yang terjadi adalah penuruan moral para guru? Program sertifikasi ternyata banyak disalahartikan sebagai program kenaikan gaji berlipat-lipat. Perbedaan yang mencolok di lapangan antara guru ataupun dosen yang sudah sertifikasi dengan yang belum, hanyalah gaji saja sementara etos dan prestasi tak terlalu signifikan. Apakah pemerintah sudah melakukan evaluasi seberapa besar efek sertifikasi dengan kenaikan mutu kualitas para guru dan dosen?

Sebenarnya maksud pemerintah memuliakan guru dan dosen dengan tunjangan sudah benar, tetapi implementasinya yang sangat rentan dengan manipulasi. Pemberian tunjangan lebih kepada guru dan dosen sebenarnya tidak perlu melalui proses yang sangat rentan manipulasi yang akhirnya menurunkan martabat guru dan dosen itu sendiri?

Untuk dosen, sebenarnya dengan jenjang pendidikannya dan berapa publikasi ilmiah yang telah didesiminasikan tingkat international sudah bisa menunjukkan kualitas seorang dosen. Di negara lain seorang dosen yang sudah mencapai jenjang strata tiga (S3) pastilah dia akan langsung mendapat gaji yang standar untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus mengikuti persaratan lain dan tentunya akan meningkat sesuai prestasi yang dicapai. Hal ini tentunya juga agar memotivasi para dosen yang sudah S3 untuk dapat mengabdi ke institusinya.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk banyak, yang tentunya juga sudah banyak penduduknya yang mencapai jenjang S3. Tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang S3 di luar negeri ogah-ogahan pulang membangun negarinya. Hal ini dikarenakan nasib mereka tidak akan segera cerah bila mereka tetap tinggal di luar Indonesia. Tentunya ini adalah masalah besar, mereka yang sudah S3 masih memandang feodalisme pangkat di Indonesia yang sangat kental walau di institusi pendidikan sekalipun. Sehingga mereka kalau pulang harus mengabdi dulu dengan gaji yang relatif rendah bahkan untuk mendapat tunjangan yang memadahi seperti tunjangan sertifikasi mereka harus rela menunggu urut kacang (baca: urut senioritas).

Kalau orang-orang yang S3 saja enggan untuk pulang kampung, jangan heran kalau mereka yang cuma alumni sekolah menengah beramai-ramai keluar Indonesia untuk antri menjadi TKI di luar negeri. Lalu kapan orang-orang cemerlang penduduk negeri ini mendapat peluang untuk membangun negerinya?

Salam
Moh. Khairudin

Yang Kaya Makin Tak Peka

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada sebuah tayangan acara di televisi. Dalam acara itu, ada seorang anak yang dekil dan lusuh meminta tolong soal hal sepele untuk membangkitkan rasa iba orang lain. Jika kita menyimak acara tersebut, bisa jadi kita terkejut oleh kenyataan bahwa biasanya orang yang mau peduli dan membantu justru bukan orang yang kelihatan mampu. Orang yang dalam pandangan umum diharapkan bisa memberi lebih.

Ternyata memang itulah yang terjadi. Ketika masyarakat umum berpikir bahwa orang yang punya kelebihan bisa membantu lebih banyak, yang terjadi justru sebaliknya.

Sebuah penelitian multipel di Amerika Serikat membuktikan bahwa orang-orang dengan status sosial-ekonomi tinggi (atau orang yang merasa diri mereka berkecukupan) lebih buruk dalam berempati dan menilai emosi orang lain dibandingkan dengan mereka yang punya status sosial-ekonomi lebih rendah.

Alasannya adalah bisa jadi orang dengan pendapatan atau pendidikan rendah merasa harus lebih responsif terhadap orang lain, kata penulis hasil penelitian itu, dalam penelitian post-doktoral psikologi di University of California, San Francisco.

Dalam penelitian Michael W. Kraus sebelumnya, ia menemukan bahwa orang yang lebih makmur cenderung lebih kasar daripada orang yang lebih miskin saat berbicara dengan orang yang tak dikenal. Mereka juga menemukan bahwa orang yang lebih miskin justru lebih pemurah dengan harta mereka dibandingkan dengan orang yang kaya raya. Kraus menduga empati orang yang lebih miskin bisa jadi menjadi akar dari sikap murah hati mereka. "Mereka sangat waspada akan kebutuhan orang lain, dan mereka langsung merespons apa yang mereka lihat," kata Kraus.

Para peneliti melakukan tiga penelitian untuk melihat kesenjangan empati antara orang kaya dan miskin. Pada awalnya, mereka memfokuskan diri pada aspek pendidikan dari status sosial-ekonomi. Peneliti melibatkan 200 pekerja universitas, mulai staf administrasi, pengajar, hingga manajer.

Lalu mereka mengumpulkan data dari tingkat pendidikan relawan, dan bertanya kepada mereka untuk mengidentifikasi ekspresi wajah dari sejumlah foto. Inilah tugas yang sebesar apa pun pendidikan kita tak menjamin kita untuk lulus. Sebab, justru mereka yang hanya lulusan sekolah menengah atas yang mendapat nilai rata-rata 7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lulusan perguruan tinggi.

Jumlah angka mentah ini dikonversi ke skala yang rata-rata partisipan di penelitian itu, 100,89. Ketika angka itu dipecah berdasarkan kategori pendidikan, semua partisipan tersebut yang lulusan sekolah menengah atas mendapatkan nilai rata-rata 106, sedangkan partisipan yang lulus perguruan tinggi mendapat nilai rata-rata hanya 99.

Lalu si peneliti juga melibatkan 106 mahasiswa yang berhubungan satu dengan lainnya dalam kerangka wawancara kerja palsu. Mereka ditanyai bagaimana perasaan mereka dan bagaimana kira-kira perasaan rekan mereka selama wawancara berlangsung. Ternyata mereka yang sebelumnya tercatat menempati tingkat sosial-ekonomi tertinggi justru parah dalam menduga-duga perasaan rekan mereka.

"Hasil penelitian ini tidak melibatkan latar belakang gender dan etnik," kata Kraus. "Kita bisa dengan jelas melihat individu-individu yang berasal dari kelas yang lebih rendah justru menunjukkan akurasi empati yang jauh lebih besar dalam penelitian ini."

Tapi bagaimana jika orang yang lebih makmur itu menjadi demikian karena mereka sangat berfokus pada diri sendiri? Bagaimana jika ternyata kemakmuran tidak mempengaruhi empati, tapi justru empati yang mempengaruhi kemakmuran? Untuk mengetahui hal ini, para peneliti kemudian meneliti lagi 81 mahasiswa yang berbeda. Kali ini mereka diminta membayangkan orang-orang yang luar biasa kaya raya, orang-orang seperti Bill Gates.

Lalu para siswa itu diminta membayangkan diri mereka sebagai orang yang makmur dan menempatkan diri di tangga sosial-ekonomi. Sambil membayangkan figur seperti Bill Gates memicu mahasiswa untuk menempatkan diri mereka lebih rendah dalam tangga ekonomi dibanding seharusnya mereka berada. Sementara itu, mahasiswa lain yang diminta untuk membayangkan orang lain yang tidak makmur justru membuat mereka menempatkan diri sendiri lebih tinggi pada tangga status sosial-ekonomi.

Akhirnya, 81 mahasiswa tersebut melihat 36 foto close-up di bagian mata dan diminta menilai emosi yang digambarkan dalam gambar tersebut. Ternyata, mereka yang telah dimanipulasi hingga merasa diri mereka berada di kelas bawah 6 persen lebih akurat dalam menilai emosi dalam foto dibanding mereka yang dimanipulasi merasa diri lebih makmur.

Ini, kata Kraus, adalah temuan yang penting. "Jika memanipulasi, Anda bisa bicara tentang kepemimpinan kelas dalam empati," tutur Kraus, yang bersama koleganya dalam penelitian ini menerbitkan hasil penelitian itu dalam jurnal Psychological Science edisi Oktober 2010.

"Penelitian ini sangat menarik," kata Vladas Griskevicius, psikolog dari University of Minnesota yang tak terlibat dalam penelitian tersebut. "Sebagian besar peneliti semula berpikir bahwa semakin tinggi latar belakang status sosial-ekonomi seseorang, semakin baik mereka membaca emosi orang lain," kata Griskevicius. "Tapi penelitian ini menemukan hal sebaliknya. Bahwa orang dengan latar belakang status sosial-ekonomi lebih rendah justru lebih peka terhadap apa yang orang lain pikir dan rasakan."

Salam
Ahmad Rizali

Rabu, 01 Desember 2010

Renungan untuk Ibu

Untuk para sahabat yang masih memiliki ibu, berbahagialah
masih ada kesempatanmu
Aku dari golongan kurang beruntung
tak punya orangtua lagi, bahkan mertua,
bahkan ibu angkat,
semua sudah pergi.

Memang sudah kulakukan hal-hal seperti tertulis di bawah ini
tetapi rasanya belum maksimal
belum terbayar
tak kan pernah terbayar.

Silakan menikmati renungan di bawah ini
and do something now to show that you love your mom.

Aku punya pasangan hidup...
(Tentu engkau juga...)

Saat senang aku cari pasanganku
Saat sedih aku cari ibuku

Saat sukses aku ceritakan pada pasanganku
Saat gagal aku ceritakan pada ibu

Saat bahagia aku peluk erat pasanganku
Saat sedih aku peluk erat ibuku

Saat liburan aku bawa pasanganku
Saat aku sibuk kuantar anak ke rumah ibu

Saat valentine selalu beri hadiah pada pasangan. Saat hari ibu aku cuma ucapkan "Selamat Hari Ibu"

Selalu aku ingat pasanganku
Selalu ibu yang ingat aku

Setiap saat aku telpon pasanganku
Kalau inget aku telpon ibu

Selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku
Entah kapan aku belikan hadiah untuk ibu

Renungkan ucapan Ibu:
"Kalau kau sudah habis belajar nanti, dan berkerja...,
bisakah kau kirim uang untuk ibu? Ibu tidak minta banyak... lima puluh ribu sebulan pun cukuplah".

Sudahkah kau lakukan itu? Atau justru menyesal karena ibu keburu pergi?

Berapa banyak yang sanggup menyuapi ibu....
Berapa banyak yang sanggup melap muntah ibu...
Berapa banyak yang sanggup mengganti lampin ibu...
Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibu....
Berapa banyak yang sanggup membuang ulat dan bersihkan luka kudis ibu...
Berapa banyak yang sanggup berhenti kerja untuk menjaga ibu...
Dan... berapa banyak yang sembahyangi JENAZAH ibu...

Hormatilah dan sayangilah Ibumu...
Salam
Mohammad Ihsan

Gila VS Goblok

(sebuah anekdok)

Seorang sopir bis anter jemput orang gila menghentikan kendaraannya karena ban-nya kempes. Waktu sedang menukar ban, si supir nggak sengaja nendang 4 baut ke selokan dan hilang.

Dengan paniknya si supir ngomong : Gilaaa.....gimana gue musti masang ini ban kalo nggak ada bautnya....

Salah satu pasien nyaut dari dalem Bis : Bang...copotin aja tuh satu baut dari masing2 tiga roda yang ada.....ntar kalo ada toko baut, tinggal beli deh tuh 4 baut....

Si Supir langsung nyaut : Bener juga lo...tapi kok lo bisa masuk ke rumah sakit Gila sihhh.....

Si Pasien langsung nyaut : jiaaaaah,....gw ini GILA tauuk, bukannya GOBLOG kaya elo...:x

hehehe

Pendidikan Karakter... Mungkinkah?!.

Di konferensi guru Indonesia yang diselenggarakan oleh FKIP UKSW dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional, mengangkat tema Pendidikan Karakter Berwawasan Kebangsaan. Intinya core karakter yang ada pada masyarakat Indonesia sudah digagas oleh pendiri bangsa sesepuh bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Menurut Prof. Dr. John Titaley sebelum 17 agustus 1945 tidak ada Indonesia, yang ada masyarakat dibedakan berdasarkan etnisnya atau masih menggunakan identitas primordial. Untuk memecahkan masalah ini maka Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila dalam piagam Jakarta yang sempat mengalami sedikit perubahan sehingga dapat diterima oleh seluruh etnik yang ada di Indonesia.

Pada awal berdirinya Indonesia sudah dapat menerima keberadaan warga negaranya dengan beragam agama mereka masing-masing (inklusif) dan dalam hubungan kebersamaan mereka sebagai warga negara sangat terbuka untuk mengalami transformasi akibat perjumpaan itu (transformative).

Pendidikan nasional yang mewajibkan pelajaran agama menurut agama anak masing-masing berarti tidak mendidik anak Indonesia menjadi orang Indonesia, pendidikan yang demikian membuat anak Indonesia terasing dari religiositas Indonesia dan sesama bangsanya.

Pelajaran agama di sekolah akan mengkotak-kotakan murid sesuai agama yang dianutnya. Akan lebih baik jika pelajaran agama konvensional yang ada sekarang ditiadakan diganti dengan nilai-nilai luhur yang ada, karena pada kenyataannya murid-murid kita, ketika terjun di masyarakat akan bertemu banyak sekali perbedaan agama. Paling penting adalah bagaimana kita mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, bukan sekedar menghafal dan memahami saja, yang ini menurut saya, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam agama juga banyak membahas masalah toleransi, menerima dan menghargai perbedaan, kasih sayang dan masih banyak lagi.

Menurut Titaley, sebelum tahun 1965, pelajaran agama tidak ada, yang ada adalah pelajaran budi pekerti. Mendengar kuliah singkat pak Titaley yang rektor UKSW ini ada pelajaran menarik yang saya peroleh, yang selama ini tidak pernah terlintas di pikiran saya. Memang pada kenyataannya murid-murid itu akan berada di lingkungan yang heterogen sehingga nilai-nilai yang harus ditanamkan adalah bagaimana menghargai perbedaan dan toleransi. Di sekolah pelajaran yang ada lebih pada, menghafal ayat suci, hadits dan seringnya jauh dari pengamalan dari ayat suci dan hadits tersebut. Lalu pelajaran agama seharusnya diajarkan di mana? Bisa dalam lingkungan keluarga, bisa di masyarakat dengan mengikuti kajian-kajian yang banyak diselenggarakan di daerah-daerah, karena keluarga mestinya jadi lingkungan yang dominan dalam perkembangan seorang anak.

Eddy Hartono dari Character First, berpendapat bahwa 80% mendidik karakter yang efektif adalah melalui keteladanan, 50% melihat dan 10% mengajar. So hehe... mendengar yang satu ini saya berpikir apa yang sudah saya perbuat untuk murid-murid saya, keteladanan? Jauuuhh, berusaha untuk yang terbaik buat murid, harus kali ya.

Pernyataan ini diamini juga oleh dua pembicara di hari kedua yaitu Dr. Adi Koesoemo dan Dr. Bambang Suteng. Pendidikan karakter yang paling efektif adalah KETELADANAN, menurut pak Bambang aturan sekolah hanya diperuntukkan buat anak atau murid namun tidak didukung oleh guru seperti misalnya kalau anak tidak boleh terlambat masuk kelas, maka gurunya juga seharusnya tidak boleh terlambat masuk kelas, kalau anak tidak boleh merokok, maka gurupun seharusnya tidak boleh merokok, jika anak tidak boleh membolos, gurupun seharusnya tidak boleh membolos "hingga hal ekstrim seperti video dan gambar porno pun walau tidak diketahui oleh muridnya sepertinya sangat tidak pantas jika guru memiliki karakter penggemar video dan gambar porno.

Hal-hal semacam ini "membuat pembedaan karena kau murid dan aku guru maka kita berbeda dalam melaksanakan aturan" akan menumbuhkan sikap munafik dan pembohong pada anak-anak kita. Jadi jangan melulu menyalahkan perilaku anak yang menyimpang sebelum kita instropeksi diri apa yang telah kita lakukan kepada mereka.

Karakter berbeda dengan sikap, sifat dan temperamen, sifat dan temperamen memang tidak bisa di bentuk, karena memang sudah dari sononya seperti yang kita tahu ada sanguine, melankolis, dll sedangkan karakter bisa dibentuk. Pada prinsipnya manusia memiliki kapasitas yang sama untuk membangun karakternya.

Ada 47 karakter yang bisa dibentuk diantaranya keberanian, kejujuran, keadilan, tanggungjawab, kepedulian, kepercayaan, empati, pengendalian, berbagi, kerjasama, persahabatan, toleransi, pengampunan, memberi, hikmat, imajinasi, sikap apa adanya, belas kasih, kesamaan, integritas, kreativitas, ketegasan, kehormatan, kebaikan, keikhlasan, loyalitas, humor dan masih banyak lagi yang bisa dilihat di characterfirst.org atau www.pendidikankarakter.org

Menurut Sunardi dalam makalahnya Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan diungkapkan, pendidikan karakter bukanlah pendidikan yang penuh indoktrinasi melainkan penuh dengan keteladanan dan kebebasan untuk memilih nilai-nilai yang baik.

Menurut Eddy Hartono, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun tidak dapat terhindar dari konsekuensi dari setiap pilihannya.

Menurut saya dari konsekuensi atas kebebasan memilih tersebut kita dapat belajar, bagaimana rasa takut, bagaimana kecewa, bagaimana sakit hati, bagaimana marah, bagaimana gagal, bagaimana berhasil pembelajaran yang didapat pada akhirnya akan membuat kita dapat memanage hati dan perasaan kita untuk mendapatkan nilai yang baik dan berharga dari setiap peristiwa yang terjadi.

Oleh karena itu saya berpikir pendidikan karakter semestinya memiliki porsi yang jauh lebih besar daripada pelajaran akademik atau kognitif lainnya - menurut Charlotte Mason pendidikan karakter tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri namun dapat diangkat dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan pada anak-anak. Belakangan mulai dikembangkan matematika akhlak, pembelajaran fisika yang menyenangkan, pembelajaran akuntansi yang menyenangkan dan masih banyak lagi.

Kalau saya mungkin lebih ekstrim, tujuan pembelajaran anak-anak mestinya diubah bukan angka raport, lulus UN dan rangking 1 lagi "namun menjadi anak cerdas yang berakhlak mulia, menjadi anak cerdas yang sehat jasmani dan rohani" bukan anak cerdas tapi mencontek, bukan anak cerdas tapi curang, bukan anak cerdas yang tidak bisa bersosialisasi, bukan anak cerdas yang sombong, bukan anak cerdas yang gemar berbohong, bukan anak cerdas tapi egois.

Masalah mencontek, curang dan plagiat yang banyak dilakukan murid-murid, mahasiswa bahkan dosen-dosen kita merupakan akibat dari pembiasaan guru kita dahulu, jika menjawab pertanyaan soal ulangan harus pas persis dengan apa yang ada di buku "sejak kecil kita tidak dibiasakan untuk berpendapat dan menganalisa permasalahan yang ada di sekitar kita" karakter tidak jujur yang banyak terjadi sekarang adalah implikasi dari kebiasaan mencontek yang dibangun sejak kita kecil dulu.

Saya menyangsikan pendidikan karakter dapat diterapkan disekolah-sekolah kita. Menurut Doni Koesoemo pada tahun 80an saat pendidikan karakter mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Amerika semua elemen masyarakat antusias menyambutnya, namun ketika ternyata banyak kendala yang terjadi antusiasme ini menjadi banal atau masuk dalam titik jenuh, masyarakat mulai tidak peduli lagi.

Namun walau menyangsikan tetap selalu ada sepercik harapan. Pendidikan karakter bisa efektif diterapkan jika, karakter kita guru dan orang tua yang ada di sekitar anak semestinya diperbaiki dulu. Menurut Charlotte Mason orang tua atau guru jika ingin mendidik anak harus menolkan dulu atau  menetralkan dulu kebiasaan buruk dan trauma masa kecilnya.

Saya ingat ada sebuah sekolah di Surabaya yang mengalokasikan budget besar untuk membentuk karakter guru-gurunya. Guru-guru tersebut diberi semacam training selama 3 bulan, diasramakan, sebelum mendidik anak-anak di kelas.

Pemerintah juga menyediakan budget besar untuk training sebelum seorang pegawai negeri diangkat. Namun training-training yang dibuat oleh pemerintah kebanyakan hanya formalitas semata. Tidak ada nilai khusus yang saya peroleh ketika saya menjalani training itu. Beda dengan training dan seminar yang saya ikuti dengan biaya sendiri. Peace pak pemerintah...It's true...:)

Klise semuanya mesti diawali dari diri sendiri, semua manusia berproses untuk menjadi lebih baik, berkarakter baik, rubah diri terlebih dahulu sebelum merubah karakter anak-anak didik kita.

KNOWING THE GOOD, LOVING THE GOOD, DOING AND ACTING THE GOOD
SEMANGAATT!!..AZA AZA FIGHTING!!...(^.^)/..

Sumber:

Prof. Dr. John A Titaley "Pendidikan untuk Nation and Character Building"
Dr. Eddy Hartono "Chadacter First!"
Dr. Doni Koesoema "Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah"
Dr. Bambang S Sulasmono "Implikasi Pendidikan Karakter bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan"
Sunardi, S.Pd, M.Pd. "Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan"
Rahayu Dwi Astuti "Desain Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament dalam Pembelajaran Hukum Kirchof"
Helti Lygia Mampouw "Membentuk Karakter Siswa melalui Pembelajaran Matematika Aktif
Susiyanto "Quo Vadis Pendidikan Berkarakter di Indonesia"

Salam
Ameliasari

10 Penyakit Guru wajib diobati

WASPADAI 10 penyakit yang sering menyerang Penyakit memang sering menyerang semua orang tidak terkecuali. Tetapi tahukah anda, penyakit di bawah ini hanya menyerang pada guru saja,tidak pada semua orang pada umumnya. Nah loo, koq bisa gitu ya..??

Penyakit-penyakit itu antara lain :

1. KUSTA : Kurang Strategi

2. TBC : Tidak Banyak Cara

3. KUDIS : Kurang Disiplin

4. KERAM : Kurang Terampil

5. LESU : Lemah Sumber

6. WTS (agak memalukan ini) : Wawasan Tidak Luas

7. MUAL : Mutu Amat Lemah

8. TIFUS : Tidak Funya Selera mengajar

9. ASAM URAT : Asal susun materi, urutan tidak akurat

10. ASMA : Asal masuk kelas

Demikian penyakit-penyakit yang harus kita berantas. Bagaimana dengan Anda? Apakah mengidap salah satu penyakit di atas??

Segera atasi dengan terus meng up-grade diri melalui diklat sukses dan Maju Terus Pendidikan Indonesiaku...

Salam,
Permata Hati Education Center Learning