Rabu, 17 November 2010

Orang-Orang Idealis Biasa

Barusan saya ngobrol dengan seorang teman kos yang juga seorang alumni ITB lulusan 77, pernah di PT Dirgantara Indonesia selama 19 tahun. Gaji dia di PT DI pernah senilai $15.000 tapi sekarang sebuah mobil pun tidak punya. Dulu dia punya banyak anak buah tapi sekarang untuk tinggal pun harus menyewa di Jakarta. Sebelumnya saya sempat beberapa kali mengobrol dengan dia, dari beberapa ceritanya saya bisa menyimpulkan kalau orang ini lebih memilih jalur yang relatif lurus dari orang-orang sekualitasnya.

Beberapa tahun yang lalu saya sempat aktif menjadi tim sukses di pemilihan ketua alumni ITB, saya bertemu dengan beberapa alumni ITB yang karena idealismenya tidak punya apa-apa, bahkan ada yang saya rasa agak sakit jiwa. Salah satunya adalah mantan pegawai negeri yang merasa muak dengan sistem yang ada lalu memilih mengundurkan diri dan yang satu lagi saya tidak paham apa yang dia kerjakan sebelumnya.

Beberapa tahun yang lalu saya juga sempat memiliki teman kos pegawai pajak lulusan STAN tahun 90-an tapi masih juga menyewa di tahun 2005 atau sekitar 15 tahun masa kerja, orang yang sangat rajin datang ke masjid dan tidak banyak omong, keluarganya masih di Surabaya, tapi nasibnya mulai membaik setelah perbaikan gaji di depkeu, dan berkat bantuan kakaknya yang bekerja di perusahaan asing, si pegawai pajak ini akhirnya memiliki rumah di Cibubur.

Beberapa tahun yang lalu saya juga bertemu dengan seorang alumni ITB yang masih mau berjuang walau telah lulus kerja dari perusahaan asing yang mapan, mau berjuang membantu salah seorang tokoh yang terkenal idealis di sebuah pergerakan. Dia memiliki sebuah usaha dan juga mengajar sebagai dosen.

Mungkin kisah mereka tidak seheroik orang-orang yang ada di KICK ANDY, mereka orang-orang idealis biasa saja akan tetapi orang-orang seperti ini cukup banyak kita jumpai di masyarakat, kemampuan dan semangat mereka mungkin tidaklah sedahsyat para perintis besar di KICK ANDY, ada yang berhasil dalam arti punya kehidupan yang layak ada juga yang harus cerai dengan istri dan tidak punya apa-apa. Kisah ini selalu berulang-ulang, ada banyak mahasiswa idealis yang tetap bisa idealis ketika bekerja tapi tidak sedikit yang hanyut dalam sistem yang korup ala indonesia. Padahal menurut saya orang-orang idealis ini adalah aset berharga bangsa, kalau seandainya mereka bisa tetap idealis hingga akhir hayat, betapa beruntungnya negara kita karena semakin memperbanyak kelas menengah yang mandiri.

Kalau saya amati dari cerita keberhasilan dan kegagalan orang-orang idealis ini ada beberapa pelajaran agar orang-orang idealis bisa tetap idealis :

1. Pilih tempat kerja yang tepat

Perusahaan asing terutama barat punya budaya yang bagus untuk memelihara idealisme. Tapi sekarang juga ada perusahaan swasta lokal yang punya budaya serupa walau masih sedikit. Bagi yang suka mengembangkan orang, pilihan menjadi guru atau dosen juga bukan pilihan buruk karena gaji guru dan dosen sekarang mulai menarik. Teman saya yang bekerja sebaga pekerja sosial di NGO asing juga punya gaji yang cukup untuk membayar pendidikan S2-nya di UI yang terkenal mahal.

2. Gaya hidup yang terkendali

Banyak kasus ketika seorang idealis bekerja di tempat yang tepat tapi tetap lupa dengan idealismenya karena penyakit OKB (Orang Kaya Baru), tiba-tiba punya aktivitas konsumsi berlebihan ketika banyak uang. Saya lihat orang-orang tetap mempertahankan idealismenya cukup pintar mengatur keuangannya untuk masa depannya.

3. Pasangan hidup yang tepat

Ada kalanya seseorang sudah punya tempat dan gaya hidup yang kondusif tapi masih gagal mempertahankan idelismenya karena faktor pasangan hidup yang tidak tepat, ada banyak kasus orang menjadi lupa daratan karena anjuran pasangan. Banyak yang jatuh karirnya karena kebiasaan belanja pasangan yang berlebihan.

Ada masukan ?

Salam
Rulan Kis

Negara Tak Boleh Kalah Lawan Gayus

Aliksah seorang narapidana bernama Anton Medan. Di sel tahanan yang dingin di LP Cipinang, ia mengaku sempat mempunyai anak. Ia melakukan hubungan suami isteri secara diam-diam dengan menyewa ruangan para petugas. Maka, bisnis seks saat itu bukan barang gelap lagi. Setiap nafsu terlayani walau sesaat di ruang-ruang para petugas sipir penjara atau malah ruangan kepala Lapas.

Sejak itu, kisah bisnis seks di penjara terus terjadi. Tidak hanya sang isteri yang menjenguk dan dijadikan pelampiasan nafsu, WTS pun sering kali disewa di sana. Para napi narkoba yang berkewarganegaraan asing biasanya menggunakannya. Seorang napi yang dikenal public juga dikabarkan berkencan dengan koleganya di kamar khusus di atas sofa yang dingin. Setiap ada uang, semua kebutuhan di penjara bisa terjamin.

Dan begitulah ketika Gayus Tambunan memakai uangnya untuk urusan rehat. Dia tak hanya bisa pulang ke rumah dan mengencani isterinya, tetapi dia juga bisa plesiran. Penghuni Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat yang ada di sini tak hanya Gayus. Besan Presiden SBY Aulia Pohan juga pernah menginap di sini. Juga Susno Duadji, mantan Kabareskrim, sampai sekarang juga ditahan di sini. Susno juga diduga bisa keluar masuk dengan enteng. Bagaimana Aulia Pohan?

Jika yang lain bisa, kemungkinan besar, Aulia Pohan juga bisa keluar masuk sesukanya. Asal ada uang, Rutan Mako Brimob bisa dibeli dan dipesan kapan saja dan oleh siapa saja. Tak percaya, lihatlah kasus terpidana teroris Bom Bali Ali Imron juga bisa keluar masuk sesukanya. Ia bahkan pernah kongkow-kongkow di Starbuck Café Thamrin Jakarta bersama pejabat Densus 88. Ali Imron yang tubuhnya makin tambun dan tampak sumringah itu tidak pernah mengigil di teralis penjara. Apa saja bisa dilakukannya. Termasuk jalan-jalan dan kongkow-kongkow seperti di Starbuck itu. Maka rumah tahanan dan penjara seperti bukan lagi sarang penyamun bagi kalangan berduit.

Kini, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengusulkan dibuat ruang khusus seks di setiap penjara di Indonesia. Usulan ini dilandasi alasan kemanusiaan. Sebab, napi juga manusia yang harus diperhatikan masalah yang sangat manusiawi yakni kebutuhan seksnya.

Sekilas usulan ini baik. Tetapi sejatinya tidak tepat. Usulan ini sering dimunculkan dengan beragam argument kemanusiaan. Justru di sinilah pentingnya penjara. Setiap orang di lapas merupakana orang-orang yang dikekang kebebasannya, dirampas kebebasannya. Mereka dalam rangka menjalani hukuman atas perbuatan bejat yang dilakukannya. Aparat keamanan dan Negara diberi kewenangan untuk merampas kebebasan orang-orang jahat itu dan Negara memasukkanya ke penjara. Di dalam penjara mereka betul-betul dikekang kebebasannya, tidak boleh melakukan kegiatan di luar aturan. Di situlah sejatinya aturan itu ditegakkan.

Dengan dirampas kebebasannya, kita berharap para napi akan sadar, jera dan tidak lagi melakukan perbuatan kejinya. Dengan dikekang kebebasannya dan hak-haknya, para napi diharapkan bisa menjadi orang baik-baik ketika kembali ke masyarakat. Ironisnya, semua kewenangan untuk merampas kebebasan dan mengekas kebebasan itu justru diperjualbelikan oleh petugas dan pejabat rumah tahanan dan Lapas.

Tidak boleh ada ruangan khusus sesks di dalam penjara. Aturan ini ditegakkan agar napi menjadi jera dan tak melakukan perbuatan jahatnya. Juga tidak boleh petugas menjualbelikan aturan ini demi uang dan harta lainnya. Di sinilah kita diuji apakah kita bisa menegakkan aturan, kuat dan tegas melawan mafia kejahatan yang juga masuk ke dalam rutan dan penjara. Kita harus kuat. Kita harus tegas terhadap setiap kejahatan dan setiap pelaku pelanggaran hukum. Kita tidak boleh kalah dengan mereka. Negara juga tidak boleh menjadi impoten terhadap para mafioso kejahatan ini.

Best Regards,
Mahmuddin

Minggu, 07 November 2010

Arti hidup bagi Anda?

Pernahkah Anda merasa sangat jenuh, bosan dan sebagainya sehingga malas bekerja, belajar, beraktivitas?

Pernahkah Anda begitu 'merindukan' hari libur dan 'membenci' hari Senin?

Pernahkah Anda (bagi yang sudah bekerja), frustasi karena tidak juga naik gaji, pangkat atau jabatan?

Pernahkah Anda mendapat tugas tambahan dan membuat Anda merasa terbebani?

Jika jawaban Anda SERING, maka Anda perlu merenungi arti hidup ini.

Saya dua pekan terakhir mengalami hal tersebut dan menemukan jawabannya dari slide Pak Rama Royani yang diringkas sebagai berikut :

Manusia memaknai hidupnya ada 3 kelompok yaitu hidup sebagai pekerjaan, karir dan panggilan. Tiap kelompok tersebut dibagi atas 4 kategori yaitu : motivasi, bekerja sebagai, harapan, mencari. Mari kita lihat satu persatu.

1. Hidup sebagai PEKERJAAN maka :
- MOTIVASI : gaji, bayaran
- BEKERJA SEBAGAI : kebutuhan hidup
- HARAPAN : NAIK GAJI
- MENCARI : Liburan Akhir Pekan

2. Hidup sebagai KARIR
- MOTIVASI : uang dan kemajuan
- BEKERJA SEBAGAI : perlombaan
- HARAPAN : kekuasaan dan kebanggaan
- MENCARI : promosi

3. Hidup sebagai PANGGILAN
- MOTIVASI : amanat, perintah Allah
- BEKERJA SEBAGAI : khalifah, utusan Allah
- HARAPAN : dunia yang lebih baik
- MENCARI : lebih banyak tugas

Jika Anda memandang hidup hanya sebagai PEKERJAAN, maka akan sulit melakukan aktivitas dengan ENJOY (enak), EASY (enteng), EXCELLENT (edun) dan EARN (untung). Beraktivitas dengan penuh kebosanan, tanpa semangat, menunggu akhir pekan agar bisa liburan. Hidup menjadi kurang bermakna, hanya berputar dari satu aktivitas ke aktivitas lain yang rutin dan membosankan.

Jika Anda memandang hidup sebagai KARIR, maka Anda bisa melakukan aktivitas dengan ENJOY (enak), EASY (enteng), EXCELLENT (edun) dan EARN (untung). Hanya masalahnya, jika tidak mendapatkan kekuasaan dan kebanggaan seperti jabatan, popularitas, maka Anda bisa juga frustasi dan stress. Merasa kurang dihargai.

Yang sangat baik adalah memandang hidup sebagai PANGGILAN. Kita diciptakan Allah sebagai khalifah, utusan-Nya untuk membuat dunia lebih baik. Segala yang kita lakukan bermakna dan kita maknai sebagai ibadah dan pengabdian kepadaNya. Sehingga mendapat tugas tambahan, bukan sebagai beban tapi kesempatan untuk beramal lebih baik dan lebih banyak. kesempatan untuk berbagi dan memberi manfaat untuk manusia dan lingkungan.

semoga bermanfaat...
Mohammad Ihsan

Lagu Anak yang Tidak Mendidik?

Masih ingat syair ini?

Aku seorang kapiten. Mempunyai pedang panjang.
Kalau berjalan prok..prok..prok... Aku seorang kapiten…

Lagu ini jelas tidak nalar. Berjalan prok prok adalah akibat dari menggunakan sepatu yang terbuat dari logam atau bahan yang keras sehingga menimbulkan bunyi prok prok. Padahal yang disebutkan adalah pedang panjang. Seharusnya kalau mau sinkron, syair lagu tersebut digubah menjadi:

Aku seorang kapiten. Mempunyai pedang panjang.
Kalau berjalan dul gundal gandul, dul gundal gandul.


Lagu berikutnya:

Naik naik ke puncak gunung. Tinggi tinggi sekali.
Kiri kanan kulihat saja. Banyak pohon cemara…


Lagu ini mengajarkan seorang anak menjadi pasif dan tidak memiliki inisiatif. Lah, sudah naik gunung koq cuma tolah-toleh kiri-kanan seperti orang bego? Yach mbok kreatif dikit. Buat puisi yang menggambarkan keindahan gunung kek, melukis kek, membuat foto kek atau aktivitas lain yang menggambarkan kreativitas.

Lagu berikutnya:

Di pucuk pohon cempaka. Burung kutilang berbunyi. Bersiul siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu. Mengangguk-angguk sambil berseru. Trilili lili lili lil…

Lagu ini jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seekor burung bersiul-siul sepanjang hari. Pasti burung tersebut juga perlu mencari makan dan minum, selain hanya bersiul-siul sepanjang hari. Lagipula kalau sudah malam tidak mungkin burung kutilang masih bersiul-siul.

Lagu berikutnya:

Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarungi luas samudera…

Lagu ini jelas tidak mengajak anak-anak untuk mengenal nenek moyangnya secara baik. Kenapa? Based on sejarah, etnis atau suku di Indonesia yang terkenal dengan jiwa pelaut adalah etnis Makassar, tepatnya yang berasal dari Bulukumba cmiiw. Hal ini masih terbukti sampai sekarang. Mereka terkenal dengan perahu Pinisi. Padahal etnis di Indonesia ada begitu banyak. Sebut saja etnis Jawa, Bali, Padang, Ambon, Papua, dan lain-lain. Dengan menyebut nenek moyangku orang pelaut, secara tidak langsung, terjadi pembunuhan karakter seorang anak akan etnis yang mengalir dalam darahnya. Secara tidak langsung pula, seorang anak yang berasal dari suku jawa dipaksa memiliki nenek moyang yang bukan dari asal usulnya.

Lagu berikutnya. Mungkin pembaca ada yang pernah ikut pramuka dan masih ingat dengan syair:

Di sini senang, di sana senang di mana-mana hatiku senang. Di rumah senang, di sekolah senang. Di mana mana hatiku senang. Lalalaalala…

Ini lagu yang tidak proporsional dan mengajarkan anak menjadi tidak balance dalam hidup. Kenapa? Namanya hidup itu ada turun, ada naik. Ada senang, ada susah. Tidak tepat bila setiap saat selalu senang. Dengan lagu ini anak menjadi tidak siap bila menghadapi kesusahan karena terpatri dengan syair di mana-mana hatiku senang.

Lagu berikutnya:

Burung kakak tua. Hinggap di jendela. Nenek sudah tua. Giginya tinggal dua…

Lagu ini mengajarkan anak menjadi tidak sopan terhadap orang tua. Masa, seorang nenek dipadankan dengan burung kakak tua? Lagu inipun mengajarkan anak-anak untuk mengolok-olok orang yang sudah tua.

Lagu berikutnya:

Bangun tidur ku terus mandi. Tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku…

Lagu ini mengajarkan anak untuk tidak terprogram dan mengerjakan sesuatu secara acak dan asal. Seharusnya bangun tidur membersihkan atau mengatur tempat tidur dulu, baru mandi dan menggosok gigi. Lah, ini sehabis mandi langsung menolong ibu. Seharusnya habis mandi yach handukan dulu dan mengenakan baju, kemudian menolong ibu. Masa menolong ibu dalam keadaan badan basah dan bugil? Bukannya malah membuat rumah jadi basah dan becek karena badan belum kering?

Mungkin pembaca masih ada yang ingat dengan Debby Rhoma Irama? Syair lagunya sebagai berikut:

Idih papa genit. Suka ciumin mama. Debby jadi iri. Mau dicium juga….

Lagu ini syairnya tidak baik karena mengajarkan anak untuk suka mengintip aktivitas orang dewasa sehingga menjadi "matang" sebelum waktunya. Selain itu syair yang menyebutkan mau dicium juga mengajarkan wanita kecil menjadi kegatelan. So, jangan heran kalau sekarang banyak kasus video porno. Soalnya, sedari kecil sudah terbiasa untuk mengintip aktivitas orang dewasa, Cuma saja, dulu sarana untuk merekam adegan porno belum banyak dan mudah didapat.

Adakah KoKiers yang ingat dengan lagu Norma Yunita? KoKiers yang lahir tahun 1980-an mungkin kurang familiar dengan lagu ini.

Kakek yang sakti. Tolonglah kami. Tolong pinjam golok saktimu. Untuk kami menjolok bulan…

Anak kecil, kok, sudah mulai dibiasakan dengan klenik dan menyukai kekerasan. Bayangkan saja, kecil-kecil sudah dikenalkan dengan golok. Goloknya sakti pula. Anak-anak juga diajari untuk tidak logis. Memangnya bulain itu sama dengan buah mangga atau jambu yang bisa dijolok? Hehehehe….

Bulan itu letaknya sangat jauh, bermil-mil dari bumi. Bagaimana mungkin menjolok bulan seperti menjolok buah mangga? Bisa pegel-pegel lehernya. Lagi pula, kalau mau menjolok biasanya menggunakan bambu atau galah, bukan golok. Golok untuk menebas atau memotong. Sangat tidak nalar, ya?

Lagu anak-anak jadul berikut dinyanyikan oleh Joan Tanamal. Syairnya seperti ini:

Mama lihatlah kodok melompat. Joan takut Ma, lihat matanya….

Bukankah anak-anak sebaiknya diajarkan untuk menjadi pemberani? Nah, lagu ini malah mengajari anak menjadi penakut. Duh…..Padahal seharusnya usia anak anak adalah masa keemasan untuk mengajarkan banyak hal dan menamamkan jiwa explorer. Dengan kodok aja takut. Bagaimana mungkin mereka memelajari hewan lain yang jauh lebih besar dan berbahaya seperti buaya, ular, dan lainnya?

Adi Bing Slamet dan Chicha Koeswoyo sangat terkenal pada tahun 1970-an. Salah satunya yang bersyair seperti berikut:

Chicha bertanya: "Adi kau mau kemana?''
Adi menjawab: "Mau pergi tamasya."
Chicha bertanya lagi: "Adi boleh aku ikut?"
Adi menjawab: "Tentu asal menurut."

Anak kecil kok mau tahu urusan orang lain dan tidak menghargai privasi orang lain. Lagian, orang mau pergi kemana, kenapa juga mesti ditanya-tanya kalau tidak ada kepentingannya.

Lagu berikutnya, masih agak baru sekitar tahun 1990-an. Tentu banyak KoKiers masih ingat Joshua dengan lagu Diobok-obok.

Diobok-obok airnya diobok obok.
Ada ikannya kecil-kecil pada mabok


Lagu ini mengajarkan anak-anak untuk merusak dan tidak mencintai hewan peliharaan. Ikan yang kecil, lucu dan manis koq airnya malah diobok-obok. Yach, matilah si ikan.

hahaha
KoKiers

Jadi Ibu di Usia 10? Bukan Hal Aneh

Barat kerap menyerang masalah nikah muda dalam Islam, padahal mereka sangat permisif dengan seks bebas di kalangan bocah remaja

Masyarakat Barat sering mempermasalahkan pernikahan usia muda di negara-negara Muslim. Kaum feminis, aktivis perempuan dan HAM Barat kerap menyerang isu itu untuk menyudutkan Islam sebagai agama yang tidak beradab. Padahal di negara Barat hubungan seks diusia muda bahkan marak dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum. Salah satu contoh kasus terbaru adalah anak perempuan di Spanyol berusia 10 tahun yang sudah melahirkan bayinya.

Sebagaimana dilansir BBC (3/11), seorang anak berusia 10 tahun membuat pusing pemerintah Spanyol setelah dia pekan lalu melahirkan.

Anak kecil itu adalah seorang gadis gipsi dari Romania dan belum lama tiba di Spanyol ketika melahirkan. Dia melahirkan di sebuah rumah sakit di Jerez, Spanyol selatan, kata menteri urusan sosial Andalusia Micaela Navarro.

Ibu dan bayinya--yang diberi nama Nicoletta--dikabarkan dalam kondisi sehat. Ayah sang bayi diperkirakan berusia 13 tahun dan masih berada di Romania.

Sebelumnya pada tahun 2009 di Inggris ada Alfie Patten, bocah laki-laki 13 tahun yang menghamili pacarnya yang berusia 15 tahun.

Sebagai respon dari kasus itu National Health Service (NHS) kota Sheffield bahkan menyebarkan brosur dengn judul "pleasure" kepada anak-anak sekolah yang menganjurkan untuk melakukan seks. "An orgasm a day keeps the doctor away", demikian tulisnya.

Tidak hanya itu, slogan tersebut ditambah dengan anjuran yang berbunyi, "Para pakar pemerhati kesehatan menganjurkan untuk mengkonsumsi 5 porsi buah dan sayuran sehari, dan 30 menit gerak badan tiga kali seminggu. Bagaimana dengan hubungan seks atau masturbasi dua kali seminggu?". Baca berita sebelumnya Walah, Remaja Inggris Dianjurkan Seks Bebas!

Rupanya melahirkan diusia sangat belia bukan hal yang aneh bagi keluarga asal Romania itu. Nenek si bayi, Olimpia, tenang-tenang saja. "Itu usia kami menikah di Romania," kata si nenek seperti dikutip koran Diario de Jerez. Olimpia sendiri menikah pada usia 10 tahun.

Di Spanyol, hubungan seksual secara hukum tidak dipersoalkan bagi warga usia 13 tahun. Statistik dari tahun 2008 menunjukkan bahwa 177 anak usia di bawah 15 tahun melahirkan, dan sekitar 500 lain melakukan aborsi.

Maka adalah hal yang aneh jika para feminis, aktivis perempuan dan HAM Barat sibuk mengecam pernikahan muda di negara-negara Islam. Padahal budaya mereka sendiri sangat permisif dengan hubungan seks di usia muda, bahkan hubungan itu dilakukan di luar pernikahan alias zina. Sudah jelas kebudayaan mana yang sebenarnya tidak beradab.

Sumber : www.hidayatullah.com

Rabu, 03 November 2010

Guru dan Pesan Cinta Zulaikha

”Ojo nggege mongso.” Pesan yang berisi nasihat itu diberikan wartawan senior Tempo sekaligus sastrawan Goenawan Mohammad kepada Widi Yarmanto dari Gatra.

Saya mendapati ”keabadian” pesan tersebut dalam tulisan Widi yang bertajuk Cinta di majalah Gatra No 40 Tahun VII, edisi 25 Agustus 2001. Widi adalah pemimpin redaksi Gatra yang saat itu digawangi Yudhistira A.N.M. Massardi sebagai pemimpin umumnya.

Bagi saya, tulisan Widi sama berkualitasnya dengan Goenawan. Maklum, Widi lama berada di ”kawah candradimuka” Tempo di bawah pimpinan Goenawan sebelum berlabuh ke Gatra.

Banyak persamaan rubrik Esai di Gatra dengan Catatan Pinggir di Tempo. Yakni, sama-sama berada di halaman terakhir. Ini juga yang penting: sama-sama enak dibaca, sama-sama informatif dan edukatif, serta sama-sama ditulis jurnalis kawakan yang hebat. Bagi saya, itulah kekuatan dua majalah tersebut.

Dalam tulisan bertitel Cinta, Widi berkisah tentang pengalamannya merayakan 40 tahun Goenawan sebagai penulis sekaligus ultah ke-60 Goenawan pada 2001. Acara yang dihelat di Jakarta itu berisi ceramah, diskusi, dan peluncuran buku.

Widi mengaku tak bisa melupakan kebersamaannya selama hampir 20 tahun bersama Goenawan di Tempo. ”Ia (Goenawan Mohammad, Red) membimbing kami dengan nada canda, serius, dan sering jengkel. Kadang ia diam, menutup mulut. Marah karena kami tak disiplin pada deadline, atau menggarap majalah setengah hati. Tidak profesional. Ia bisa menempatkan diri sebagai kakak, teman, atau bos dengan segala kesederhanaannya,” tulis Widi (rubrik Esai, Gatra, 25 Agustus 2001).

Yang jelas saya tangkap adalah kalimat nasihat Goenawan ”Ojo nggege mongso.” Artinya, Jangan mengharapkan sesuatu yang belum waktunya.

Bagi Widi, warning itu mungkin benar, mungkin pula kurang tepat. Sebab, cinta tidak bisa dimatematiskan. Sebagaimana ditulis Imam Al-Ghazali yang menyitir Asy-Syibli, cinta adalah ketercengangan dalam kelezatan dan kebingungan dalam pengagungan.

***

Paradigma pendidik sangat terkait dengan cinta. Dalam hal ini, cinta adalah perhatian sepenuh hati kepada sebagai bentuk profesionalisme dalam menjalankan tugas. Jamak diketahui, sejak adanya sertifikasi, tak sedikit orang yang menjadi guru demi alasan tunjangan setelah lulus/lolos sertifikasi. Ya, ada yang bilang bahwa kesejahteraan guru kini semakin terjamin. Beda dengan dulu, saat profesi itu kerap dikebiri, sebagaimana diabadikan oleh Iwan Fals dalam lagunya, Oemar Bakri (1981).

Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itu dulu, sekarang era korps Oemar Bakri agaknya bisa tersenyum dengan adanya program sertifikasi oleh pemerintah. Terlepas dari pro-kontra soal sertifikasi, toh tak sedikit yang mengakui bahwa kesejahteraan guru kini lebih meningkat, lebih baik.

Ada sisi positif, tentu ada sisi negatifnya. Dari sudut ironi, adanya sertifikasi justru menjadi bumerang bagi ”pengebirian” baru terhadap profesi mulia itu. Indikasinya, demi lolos sertifikasi, ada guru yang rela membeli sertifikat seminar, memalsukan syarat protofolio lain, dan melakukan praktik tak terpuji seperti copy paste karya tulis ilmiah. Sebuah pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah dan seluruh elemen yang peduli pendidikan.

Belum tuntas masalah itu, kini profesi tenaga pendidik (guru) mulai banyak dilirik. Hal tersebut terlihat dari besarnya animo calon mahasiswa untuk masuk ke universitas negeri bekas IKIP. Tak sedikit yang beralasan bahwa menjadi guru itu sekarang jauh lebih enak ketimbang dulu. Benarkah?

Saya teringat ketika kali pertama dinasihati oleh salah seorang redaktur senior. Saat itu, saya sedang menjalani ”pendidikan kilat”. Beliau berpesan kepada saya bahwa jangan mendasarkan sesuatu hanya demi materi. ”Landaskan tugasmu sebagai panggilan jiwa.”

Kalimat itu saya camkan hingga saat ini. Yakni, bekerja –bagaimanapun besarnya risiko dan tantangannya– tetap saya nikmati seolah berekreasi. Nothing to lose. Mencintai tugas dan pekerjaan serta menjalankannya sepenuh hati.

Di sisi lain, keluhan terhadap profesi guru hingga kini belum tereduksi secara maksimal. Masih ada kasus kekerasan yang melibatkan guru. Yang paling gres, kasus pemalsuan karya tulis ilmiah (KTI) sebagai salah satu syarat dalam sertifikasi (data dari Suara Merdeka, Jawa Pos, Kompas, Riau Pos, Detiknews, dan lain-lain).

Meminjam istilah ojo nggege mongso, tentunya kita semua agaknya perlu bersabar dan bersungguh-sungguh untuk menjalankan ”cinta”. Yakni, komitmen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Pantang putus asa.

Sebagaimana ditulis Widi, kita mungkin perlu menyimak getaran cinta kisah Zulaikha-Yusuf. Widi menguraikan, ”Bersabarlah seperti Zulaikha,” yang tak bosan-bosan mencintai Yusuf. Zulaikha si perayu digambarkan bergaun merah –ditafsirkan sebagai gaun pengantin atau pertanda cinta yang menggebu-gebu– namun menemukan realitas: cintanya tak berbalas. Ia terus-menerus meratap dan merindukan Yusuf hingga matanya buta. Zulaikha memang dimabuk cinta.

Namun, ada satu aspek percintaan yang menarik, yang membuat semua makhluk harus belajar darinya. Yaitu, ia menaati sopan santun.

Zulaikha yang penuh cinta menjadi personifikasi jiwa manusia, nafsu, yang disucikan melalui perjuangan batin terus-menerus dan penderitaan yang tak habis-habisnya, sebagai ”jiwa yang damai”. Setelah periode kerinduan dan keputusasaan, kesetiaan Zulaikha yang tak tergoyahkan memperoleh imbalan. Yusuf-Zulaikha dipersatukan dalam perkawinan.

Memang, cinta tak layak dimatematiskan. Cinta bukan melulu nafsu. Lebih dari itu, saya memandangnya sebagai sebuah komitmen tinggi.

Manakala saya akan melamar pekerjaan sebagai guru, saya mesti merajuk kembali dengan nasihat ”ojo nggege mongso” atau ”landaskan sesuatu sebagai panggilan jiwa.” Dengan begitu, saat ditanya soal motivasi, saya tegas menjawab: ”Saya menjadi guru karena profesi itu adalah panggilan jiwa saya.”

Salam
Eko Prasetyo

Dua Penyakit Belum

(sebuah cerita refleksi)

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu saya sudah meninggalkan rumah untuk menuju ke kantor tepat pukul 06.10. Penumpang pertama yang harus saya antar adalah anak bontot di Lapangan Tembak, Gelora. Perjalanan lanjut ke Blok M, dimana istri saya melanjutkan perjalanannya dengan Metro Mini 610 menuju Cipete. Untuk kemudian saya sendirian meneruskan rute Tendean-Tol Dalam Kota-Cempaka Putih -Pulomas. Biasanya saya telah sampai di halaman sekolah untuk menyambut siswa yang datang pada pukul 07.10.

Dalam tulisan ini bukan rute perjalanan itu yang ingin saya sampaikan. Tetapi sebuah peristiwa tidak penting yang nantinya, semoga, kita dapat mengambil pelajaran darinya. Pelajaran untuk menjadi pribadi yang selalu mengedepankan baik sangka atau positive thinking, yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai penyakit belum berpikir positif.

Dan pribadi yang berpikir panjang atau minimal berpikiran satu langkah ke depan, one step a head, dan bukan orang yang berpikir pendek. Yaitu berpikir hanya hingga apa yang ada di depan kita. Dalam istilah saya adalah penyakit belum berpikir panjang.

Dua pelajaran itulah yang mudah-mudahan dapat kita tarik hikmah dari cerita saya ini.

Dua Penyakit Belum

Cerita berawal saat perjalanan saya sampai putaran Semanggi di Jalan Sudirman. Seorang Ibu mengendarai mobil sedan yang berada di belakang saya persis. Mungkin karena buru-buru dan bermaksud mendahuli tetapi karena situasi jalan yang tidak memungkinkan, selalu membunyikan klaksonnya. Isyarat agar saya melaju lebih cepat. Sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan mengingat ada kendaraan di depan saya. Dugaan saya bahwa pengendara sedan di belakang saya ini tidak melihat apa yang saya lihat.

Perjalanan sampai di perempatan Jalan Sisingamangaraja, persisnya di pojok Universitas Al Azhar. ke arah Blok M, rupanya pengendara sendan tersebut masih berada di belakang saya. Dan membunyikan klasosnya begitu lampu lalu lintas menyala hijau. Semenara laju kendaraan saya dan juga bus transjakarta masih terhambat oleh deretan kendaraan dari arah Jalan Hangtuah. Klakson itu baru berhenti setelah kendaraan saya dapat melaju.

Namun rupanya, pengendara senadan yang saya taksir minimal lulusan SMA itu membunyikan kembali klaksonnya ketika laju kendaraan saya terhambat kembali saat berada di jalur kiri di perempatan Sisingamangaraja-Panglima Polim menuju jalan Melawai Blok M.

Dengan peristiwa itulah saya berasumsi bahwa pengendara sedan dibelakang saya ini setidaknya mengidap dua (2) jenis penyakit perilaku belum. Yaitu penyakit belum berpikir positif dam belum berpikir panjang.

1. Belum Berpikir Positif

Karena pengendara itu selalu dihantui pikiran dan prasangka buruk. Dia menyangka bahwa kalau laju kendaraan saya pelan atau tidak jalan padahal lampu lalu lintas telah menyala hijau, karena saya adalah tipe pengendara lelet dan lemot. Sehingga dengan sengaja bermaksud menghambat pengendara sedan tersebut.

Dalam tiga rentetan klakson yang dibunyikan pada ruas jalan yang tidak terlalu panjang itu, dugaan saya sangat kuat bahwa, pengendara itu terjangkit penyakit perilaku belum memiliki atau mungkin belum belajar menjadi manusia yang berpikir positif. Misalnya; kok kendaraan di depan lajunya pelan, tapi saya tidak bisa melihat mengapa? Oh mungkin ada gerobak yang menghalanginya atau oh mungkin ada pesepeda. Atau pemikiran positif lain yang bukan curiga (?).

2. Belum Berpikir Panjang


Karena yang tampak hanya kendaraan yang persis di depannya, yang kebetulan kendaraannya lebih tinggi sedang kendaraan yang dikendarainya pendek dan tidak memungkinkan bagi dirinya untuk dapat melihat kendaraan yang ada di depannya lagi, maka sampai disitulah otaknya sampai pada sebuah kesimpulan. Berpikir hingga apa yang ada di depannya. Lebih dari itu ia tidak atau mungkin belum sanggup. Ia terjangkiti penyakit kedua, yaitu belum berpikir panjang.

Dalam beberapa kasus, model berpikir ini akan menjadi bumerang bagi pengendara itu untuk keselamatan dalam berkendara. Saya menduga terjadinya kecelakaan beruntun antara lain karena pengendara hanya konsentrasi kepada kendaraan yang ada persis di depannya. Hanya sebatas itu.

Itulah cerita saya dalam tulisan ini. Semoga kita semua dapat terhindar dari dua jenis penyakit perilaku buruk tersebut. Tidak hanya ketika kita berada di jalan raya saja. Mudah-mudahan juga saat kita berada dimana saja dan kapan saja. InsyaAllah.
Amiin.

Salam
Agus Listiyono

Misteri angka 26

Tahun 2010 - saat ini

Tapi lihatlah beberapa kejadian yang ada dengan Negara Indonesia...

Tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004,

Gempa Jogja 26 Mei 2006,

Tasik gempa 26 Juni 2010,

Tsunami Mentawai 26 Oktober 2010,

Merapi Meletus 26 Oktober 2010.

Ada apa dengan 26...?‎

Ternyata dalam Al-Qur'an, Juz 26 surat Asy-Syu'ara yg di dalamnya terdapat pengertian tentang azab Allah SWT... Subhanallah...

Ternyata kita sedang di ingatkan Allah SWT...

Tinjauan Sisi Agama :
Peringatan Alloh kepada kaumNya bisa wabah, musibah dan bencana ..........
Mari kita instropeksi dan refleksi diri secara pribadi dan organisasi ........

TInjauan Sisi Geografis :

Alam tidak pernah tidur ...........
Alam selalu bergerak .............
Dan Gunung Meletus, musim tak menentu, gempa adalah kejadian alam biasa .....
Kenapa banyak korban ........... ?
Pesan simbah : "Setiti, atiati, .......eling lan waspodo"
Sebuah pesan klasik yg mengandung filsafat bahasa pemrograman tingkat tinggi (bahasa mesin = asembly)

Mari kita benahi dirikita sendiri, organisasi dan lingkungan kita berada untuk selalu memelihara dan mensiasati alam ..... demi keselamatan dan terjaga dari alam yang sedang murka ....

Salam
Jabat Erat
UIAO

Ombak Tsunami

Tsunami membelah Bumi Sikerei di keheningan malam nan mencekam. Kehadirannya yang tak diundang itu telah memupuskan harapan penghuni pesisir pantai Dusun Pasa Puat, Kecamatan Pagai Utara. Saat semuanya hancur, sebuah masjid menatap pantai berdiri kokoh.

Pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB, langit Sikakap tampak mendung. Di luar rumah tanah tampak lanyah. Pepohonan dan rerumputan masih basah setelah diguyur hujan deras sepanjang malam.

Sebentar lagi, sepertinya hujan deras bakal turun. Ya, membasuh duka Bumi Sikerei.
Di luar rumah, bau mayat menyengat. Aroma tak sedap menebar ditiup angin. Memang, hingga Jumat (29/10), mayat masih bergelimpangan di pinggir jalan. Pikiran saya langsung terbayang ratusan warga Pagai Selatan yang bertahan di perbukitan, dalam kondisi hujan badai. Selain menahan lapar, dinginnya malam, mereka harus melawan penyakit yang kini menyerang. Ternyata benar. Hujan deras mengguyur Sikakap. Tak hanya hujan, tapi juga badai. Di posko utama, para jurnalis dan relawan telah berkumpul-kumpul. Seperti biasa, setiap pagi kami siap-siap menyisir desa terpencil yang belum terjamah bantuan.

Pagi itu, tim relawan dan jurnalis hendak menuju Dusun Pasa Puat di Pagai Utara.
Dusun itu, semua rumah hancur. Mujur, tidak ada korban jiwa. Perjalanan menggunakan kapal kayu atau long boat. Kapal itu mampu memuat 12 orang dan sedikit logistik untuk pengungsi. Berapa menit berlayar, gelombang dua meter menghadang. Pelayaran pun dihentikan. Setelah menunggu sekitar satu jam, boat yang dinakhodai Dayat itu dilanjutkan selama dua jam pelayaran. Sepanjang perjalanan, boat nyaris karam karena dipenuhi air. Kami sampai di tujuan sekitar pukul 17.00 WIB.

Dari pantai, Dusun Pasa Puat sunyi senyap. Sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda seperti sebuah kampung. Permukiman penduduk rata dengan tanah. Tak satu pun rumah warga yang berdiri. Semua tiarap. Hanya ada satu bangunan berdiri kokoh menghadap pantai. Ya, sebuah masjid. Garin masjid itu juga selamat. Zulfikar namanya.

Hari beranjak senja. Hujan belum juga reda. Zulfkar tampak bersiap menunaikan Shalat Maghrib. Dalam obrolannya, pria berusia 40 tahun itu mengaku telah tingal di dusun itu sejak kecil. Sama dengan usia masjid itu yang berdiri sekitar tahun 1960 silam.

"Ini masjid tertua di dusun kami. Bentuk masjid itu sudah tidak asli lagi, karena terus diperbaiki," ujar Zulfikar. Zulfikar menceritakan, masjid ini sama sekali tidak tersentuh tsunami pada malam itu. Padahal, lokasinya tidak jauh dari pantai. Sedangkan rumah-rumah warga di sekitar masjid, rata dengan tanah. Masjid inilah yang menjadi tempat perlindungan masyarakat saat gelombang besar datang.

Seperti mukjizat, air laut hanya sampai di teras masjid. Di luar masjid, Zulfikar melihat dengan mata kepala sendiri gelombang tsunami mencapai delapan meter. "Kami dalam masjid ada sekitar 50 orang, sedangkan warga yang lain telah menyelamatkan diri ke perbukitan yang berjarak satu kilometer dari masjid. Melihat masjid tidak kena sama sekali, kami merasa heran. Setelah itu kami sadar ini adalah kehendak Tuhan," jelas pria berjenggot itu.

Zulfikar dan 50 warga lainnya tidak henti-henti mengucap kebesaran Allah. Di luar masjid, tsunami terus menerjang sebanyak tiga gelombang. Tiada yang menduga, tsunami menghindar dari masjid. "Sepertinya, di masjid air terbelah, sehingga lantai masjid pun tidak basah sama sekali," kenangnya.

Salam
Esteranc Labeh