Minggu, 10 Oktober 2010

Sejatinya Guru

Sejatinya guru harus dipandang oleh para pembuat kebijakan dari dua sisi yang berbeda dengan tugas yang melekat padanya. Pertama, guru sebagai profesi. Karenanya guru berhak mendapatkan remunerasi yang layak sebagaimana profesi lainnya. Ia berhak mendapatkan penghasilan yang layak sehingga bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagaimana profesional lainnya. Sehingga tidak ada lagi guru yang 'nyambi' ngurusi ini itu demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Segala upaya dan pikirannya akan tercurah demi kemajuan bangsa ini sesuai dengan profesinya. Kedua, guru sebagai hakikat. Sebagaimana layaknya dokter yang mengobati pasiennya tanpa harus memilih milih dan dalam keadaan apapun, ia harus siap menolong penderitaan sang pasien. Demikian juga menjadi lawyer/pengacara, sebagai hakikat, ia (seharusnya) siap mendampingi terdakwa agarhak-hak hukumnya bisa ditempatkan sesuai dengan porsinya. (bukan dengan adigium, maju tak gentar membela yang bayar). Begitu juga guru, ia (harus) selalu siap mendidik dan mengajar siapapun dan apapun kondisinya serta dimanapun tempatnya di negeri ini.

Namun sekali lagi, negara dengan management pemerintahan siapapun harus bisa memandang ini dari dua sisi. Kalau dua hal ini disatukan maka (dikhawatirkan) muncul paradigma seperti ini: "Sebagai guru itu haruslah 'ikhlas', jadi berapapun penghasilannya terima saja. Kan sudah ikhlas?" Padahal 'keikhlasan' muncul dalam diri tiap individu bukan karena paksaan atau permintaan siapapun. Keikhlasan muncul karena ia menjalani proses yang layak, sebagaimana ia dimanusiakan sebagai manusia yang punya hakikat tugas mendidik anak bangsa. Keikhlasan adalah hal yang sangat abstrak dan urusan tiap individu dengan ALLAH yang Maha Pencipta.

Persoalan yang muncul sekarang, ‘Beberapa guru sudah disertifikasi dan berhak menyandang predikat ‘guru profesional’ dengan kisaran penghasilan diatas 5 jutaan rata-rata (kalau di DKi sudah diatas 7,5 jutaan), namun mengapa itu tdk sejalan dengan peningkatan produktifitasnya?” Kalau itu terjadi, maka ia menjalani tugasnya hanya sebatas profesi dan tidak menjalaninya sebagai hakikat. Di beberapa daerah (melalui tayangan Kick Andy dan amatan saya) saya menemukan guru-guru yang menjalani ini sebagai hakikat, dan ia harus mencari nafkah di tempat lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Mereka tidak ‘membanggakan diri’ atau ‘merepotkan diri mereka’ dengan istilah profesi. Mereka menjalaninya semata mata karena merasa bahwa ia punya tanggung jawab besar dalam mendidik anak-anak bangsa ini. Bukankah itu inti dari hakikat, tdk bisa dipaksakan oleh orang lain, karena itu dorongan dari dalam dirinya sendiri.

Hakikat sebagai guru jauh lebih mulia dan jauh lebih mahal (bahkan tak bisa dibayar apapun) dibandingkan dengan seuntai kata bernama ‘profesi’ yang dilekatkan. Jadi, buat ‘para pembuat kebijakan dan pembayar gaji guru,’ bayar gaji mereka dengan kelayakan dan kepatutan karena profesi nya seperti layaknya dokter(kalau guru digaji masih dibawah UMR masih bisakah dikatakan layak dan patut?). Jangan lagi bicara soal hakikat yang kemudian dikaitkan dengan keikhlasan, dan konsekwensinya adalah guru (dipaksa) harus menerima sekecil apapun gaji yang diterimanya. Jelas, itu suatu pola pikir yang salah.

Bagi para guru tetaplah berdiri pada platform hakikat agar kita bisa menjalani amanah kemanusiaan ini tanpa terbebani. Malah itu akan membawa kita pada kemuliaan di sisi ALLAH SWT. Mereka yang menyimpang dari tugasnya dan bahkan ‘melacurkan’ tugasnya, adalah karena mereka tidak memahami hakikat yang melekat pada dirinya. Mereka yang berbuat menyimpang tersebut punya profesi sebagai guru, namun tak punya hakikat sama sekali sebagai guru.


Regards
Iin Hermiyanto

Sajak Parodi Indonesia # 5: Doa

Doa
kepada pengutuk teguh

Tuhanku
Dalam tersenyum
Aku terus mengagumi diriku

Biar susah sungguh
Kehidupan rakyat sepenuh keluh
cayaku kilau suci
kristal gemerlap di Istana sini
Tuhanku

aku gemilang indah
citra

Tuhanku

aku pemimpin asing di negeri sendiri

Tuhanku
ke Istanaku mereka mengutuk
aku tidak akan bisa bertahan

Yudhistira ANM Massardi
Oktober 2010

Dengan segala hormat dan maaf kepada Chairil Anwar dan keluarganya.

Sajak Parodi Indonesia # 7: Krawang-Bekasi

Krawang-Bekasi

Kamu yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang masih mau mendengar deru kamu,
terbayang kamu maju dan bertahap mati?

Kami bicara padamu sekarang ini
Jika kamu hasih hidup rasa hampa dan kemiskinan begitu menghujam
Kamu sudah bagus mati muda saja. Biarkan tulangmu diliputi debu.
Tenang, tenanglah kamu.

Kamu sudah coba apa yang kamu bisa
Tapi kerja belum selesai, kamu belum bisa memperhitungkan arti 4-5 juta dollar

Kamu kini cuma tulang-tulang berserakan
Itu sajalah kepunyaanmu
Kamilah kini yang tentukan nilai pangkat dan jabatan

Jiwa kamu memang melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
kamu tidak mati sia-sia
Tapi, kamu kini tahu, kamu tidak lagi bisa berkata
Kamilah sekarang yang berkuasa

Kami bicara padamu dalam gelimang harta dan keserakahan
Tidak ada rasa hampa dan penyesalan yang berdetak dalam dada

Memang, memang begitulah kami
Mau teruskan, teruskan masa jabatan kami
Menjaga Bank Dunia
menjaga Bunga Deposito
menjaga Harta dan Kekuasaan

Kamu sekarang cuma mayat
Biarkan kami yang nikmati kekayaan dan ketamakan
Berkuburlah terus di liang gelap,
Awas, jangan sampai bergentayangan!

Tenang, tenanglah kamu di situ
Toh, cuma tinggal tulang-tulang diliputi debu
Jangan coba-coba ganggu kami
Kami sangat sibuk, harus bolak-balik terbang antara Jakarta-Washington D.C

Yudhistira ANM Massardi
Oktober 2010

Dengan segala hormat dan maaf kepada Chairil Anwar dan keluarganya.

Minggu, 03 Oktober 2010

IDI : Pendidikan Seks

Pendidikan sex sudah saatnya menjadi bagian kurikulum pendidikan formal bagi remaja, untuk meminimalkan pengaruh budaya seks bebas dan mencegah penyebaran virus HIV.

"Pendidikan sex atau pendidikan organ reproduksi sangat penting karena dapat menjadi perisai bagi remaja di tengah maraknya informasi yang salah tentang seks dan organ tersebut dari berbagai media," kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota Bandar Lampung, sekaligus aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Wilayah Lampung, Dr Boy Zaghul Zaini, di Bandar Lampung, Senin.

Dia menjelaskan, usia remaja yang penuh gejolak dan selalu ingin tahu menimbulkan ketidaksiapan penerimaan mereka terhadap segala masukan tentang organ reproduksi, sedangkan peran orang tua agak terkesampingkan dalam memberikan informasi yang benar dalam hal tersebut.

"Budaya timur masih menganggap membicarakan hal tersebut tabu dibicarakan antara orang tua dan anak," kata dia.

Pola pembelanjaran yang dilakukan, kata Boy, dapat dilakukan dengan cara bimbingan dan tutorial dua arah, serta harus dilakukan oleh orang yang paham tentang organ reproduksi sekaligus psikologis remaja.

Upaya pertama yang dilakukan adalah menambah jumlah pembimbing yang paham tentang hal tersebut di sekolah-sekolah, melalui pelatihan terpadu oleh tenaga ahli.

"Jumlah petugas penyuluh kita juga masih sangat sedikit, jadi memang perlu penambahan dengan memanfaatkan tenaga lokal di masing-masing sekolah," kata dia.

Menurut Boy, menjadikan pendidikan seks dan organ reproduksi pada remaja sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dapat menjadi langkah ampuh dalam menekan perilaku sex bebas di kalangan remaja.

Saat ini, baru satu LSM yang konsern melakukan kegiatan tersebut di sekolah-sekolah, yaitu PKBI Lampung.

Pendidikan organ reproduksi saat ini giat dilakukan PKBI Lampung di 21 SMU dan tujuh pondok pesantren di daerah itu.

Program itu dilakukan setiap satu pekan dengan durasi pertemuan selama satu jam, berisikan ceramah dan tutorial mengenai organ reproduksi oleh aktivis PKBI, maupun guru setempat yang telah dilatih sebelumnya.

Sejumlah remaja di Bandarlampung juga mengharapkan kampanye pendidikan organ reproduksi di sekolah lebih ditingkatkan untuk menghindarkan remaja dari pergaulan bebas dan penyakit kelamin.

Pelajar SMK 3 Bandarlampung, Talita (18), menyatakan program pendidikan organ reproduksi di sekolah banyak memberi pengetahuan kepada remaja tentang kesehatan organ tersebut.

"Mendapatkan pengetahuan tentang organ reproduksi melalui pendidikan jauh lebih baik daripada melalui film dan media," kata dia.

Hal yang sama juga dikatakan remaja lainnya yang bersekolah di SMA swasta di Bandarlampung, Rentika (16), bahwa pendidikan organ reproduksi seharusnya lebih gencar lagi dilakukan di sekolah-sekolah.

"Sayang apabila hanya dilakukan di perkotaan, seharusnya lebih menyebar ke seluruh pelosok, karena pendidikan seperti ini dibutuhkan oleh seluruh remaja," kata dia. (ANT-046/K004)

COPYRIGHT © 2010
IDI (ANTARA/ist)Bandarlampung (ANTARA) News)

Ateis Paling Mengerti Tentang Agama

Hah...Orang Ateis di AS Punya Pengetahuan Agama Tertinggi? (
Republika)

Sab, 02 Okt 2010 20:35 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, DALLAS

Entah benar atau tidak, para penganut ateis memiliki pengetahuan religi yang tinggi dibandingkan golongan lain. Mereka memang tak mempercayai Tuhan, tapi mereka tahu sesuatu tentang Tuhan.

Dalam survei yang dilakukan oleh Forum Agama dan Kehidupan Masyarakat Pew disebutkan, ateis memiliki angka pengetahuan agama tertinggi. Rata-rata orang Amerika menjawab secara benar 16 dari 32 pertanyaan tentang ilmu agama. Mereka memiliki nilai rata-rata 20,9. Selanjutnya penganut Yahudi menempati posisi kedua dengan nilai rata-rata 20,5.

Sementara itu, penganut agama Protestan hanya menjawab 16 pertanyaan dengan benar. Kemudian diikuti oleh penganut agama Katolik yang rata-rata nilainya adalah 14,7. Sementara survei sebelumnya oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa Amerika termasuk negara maju yang paling religius di dunia. Survei ini menunjukkan bahwa sejumlah besar orang Amerika tidak mengenai betul prinsip, praktik, sejarah, dan
tokoh terkemuka dalam tradisi keimanan.

Hasil surve lain menunjukkan, empat dari 10 orang Katolik tidak tahu bila gereja mereka mengajarkan, bahwa roti dan anggur yang digunakan dalam komuni benar-benar menjadi tubuh dan darah Kristus. Setengah responden dari Protestan tidak mengidentifikasi Martin Luther sebagai orang yang memicu reformasi Protestan.

Hilangnya Petani dan Pembatik

SETAHUN setelah diakui sebagai warisan budaya hidup oleh UNESCO, wajar bila dunia bertanya: Apa kabar batik Indonesia?

Politisi dan menteri mungkin akan menjawab begini: Bagus! Semua orang sekarang menyukai batik. Desain, kualitas produk, dan pemasarannya luar biasa. Batik telah diterima secara luas, di dalam dan luar negeri. Budaya memakai batik telah tumbuh subur. Di atas permukaan, apa yang disampaikan itu benar adanya. Cirebon dan Pulau Madura yang dulu pasar batiknya terbatas, kini telah berubah menjadi pasar batik yang ramai. Kreativitas dan desain juga berkembang pesat. Berbagai sekolah juga telah menggelar kegiatan promosi membatik, demi mencatatkan rekornya di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Namun, menyelamlah Anda sedikit lebih dalam, maka terasa sebuah bahaya besar tengah mengguncang, yaitu berkurangnya jumlah pembatik. Setiap kali saya berbicara dengan para pengusaha batik, hal ini selalu mencuat. Mereka kesulitan mencari pembatik. Ada yang butuh 100 pembatik dapatnya cuma 25 orang. Tingkat kesulitan mendapatkan tenaga pembatik ini sudah mulai menyamai masalah di sektor pertanian, yaitu sulitnya mencari buruh-buruh tani. Atau di sektor bangunan, yaitu berkurangnya minat orang menjadi tukang batu dan tukang kayu. Bisa dibayangkan apa jadinya Indonesia 10 tahun dari sekarang. Tak ada lagi orang yang mau menjadi petani, dan tak ada yang bisa membatik. Lagu Rayuan Pulau Kelapa pun akan menjadi tinggal kenangan.

Mau dan Bisa

Perkara hilangnya dua jenis keterampilan ini tentu bukanlah masalah sederhana. Mereka menghilang karena dua hal, rendahnya insentif yang diterima dalam menekuni profesi dan hilangnya keterampilan yang melekat di tangan para pekerja. Keterampilan ini biasa diperolah melalui jalur tacit (belajar langsung di lapangan). Keduanya adalah domain yang berada di tangan pemerintah dan pengusaha. Anehnya isu ini tidak muncul juga dalam debat program para calon ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) baru-baru ini.

Mungkin perhatian mereka lebih banyak ditujukan pada bisnis-bisnis skala besar yang relatif lebih mudah mendapatkan fee seperti infrastruktur dan tambang. Bagi para pengusaha batik, mendapatkan tenaga pembatik yang dirasa semakin sulit tentu akan menaikkan nilai tawar mereka. Dengan gairah pasar yang tinggi, pengusaha rela membayar upah yang lebih besar. Jumlah upah memang berlainan dari kota batik yang satu dengan ke kota batik lain. Di Lasem, misalnya, upah seorang pekerja batik cuma dihargai Rp. 7.500,00 per hari ditambah uang makan.

Di Cirebon, di butik-butik batik, upah buruh batik tulis bisa mencapai Rp. 50.000,00 per hari. Itu saja telah dikeluhkan pengusaha karena mahalnya biaya-biaya lain, termasuk perizinan dan minimnya bantuan pemerintah. Kalaupun ada bantuan, biasanya masalah yang timbul sama saja: pemberi bantuan tidak peduli dengan kebutuhan para pengusaha batik, sehingga apa yang diberikan dengan apa yang dibutuhkan totally different. Saya jadi teringat dengan papan-papan pengumuman yang banyak ditemui di desa-desa pertanian di Jepang. Sewaktu saya tanya kepada para petani di sana, mereka memberi tahu itulah plang pengumuman bantuan pemerintah yang diberikan secara riil kepada petani.

Misalnya tahun ini mereka mendapatkan terpal-terpal plastik, traktor, atau gudang penyimpanan; tahun depannya benih serta pembinaan; dan seterusnya. ”Tanpa bantuan riil, tak ada lagi orang Jepang yang mau menjadi petani,” ujar petani yang saya temui di Jepang. Itu pun belum cukup, harga produk-produk pertanian di Jepang, apakah itu beras, buah-buahan, dan sayur-sayuran, begitu tinggi. Mereka mendapatkan kebijakan tarif impor yang tinggi, demi membela nasib petani. Berbeda sekali dengan di sini yang rakyatnya ingin membeli produk pertanian murah, tetapi mudah marah pada realitas impor bahanbahan pangan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Impor dibuka lebar-lebar, harga komoditas pertanian dibiarkan rendah, bantuan pada para petani tak sebanding dengan yang diberikan kepada para pengguna mobil. Kalau ini terus dibiarkan, jangan kita berpikir masih ada orang yang mau menjadi petani, kecuali mereka yang benar-benar memiliki panggilan jiwa di sana. Selain mau menjadi petani atau pembatik karena insentif, masalah kedua adalah apakah semua orang bisa? Tentu saja tidak.Untuk bisa diperlukan latihan, pendidikan, proses budaya, dan tentu saja kebiasaan.

Model Sekolah Keterampilan


Di masa-masa lalu sekolah-sekolah menengah sangat sarat dengan keterampilan. Anda mungkin masih ingat dengan mata pelajaran prakarya di sekolah dasar, bermain angklung, melukis, dan seterusnya. Waktu berjalan, entah siapa yang memulai, ternyata kita lebih senang menjadi pelahap teori dan rumus yang sulit daripada keterampilan yang praktis dan menghidupkan. Kesenian tradisional yang sarat keterampilan pun dikurangi, diganti dengan persiapan-persiapan yang lebih intensif untuk mengikuti ujian nasional (matematika, bahasa) dan persiapan masuk perguruan tinggi (di tambah biologi, fisika, kimia, dan seterusnya).

Di era Mendiknas Bambang Soedibyo pemerintah mulai memberi perhatian pada sekolah-sekolah kejuruan. Namun sekali lagi, sayangnya sekolah-sekolah kejuruan itu, selain ditujukan untuk kepentingan industri (khususnya di bidang teknik dan ekonomi), kurikulumnya difokuskan pada cara berpikir Kemendiknas yang cenderung bermodel ”brain-memorybased” (formula-based), bukan ”myelin-based”. Ambil saja contoh sekolah pertanian menengah atas (SPMA) yang dulu dikembangkan melalui jalur pengetahuan Kementerian Pertanian, sekarang masuk dalam Kemendiknas.Tentu saja pemindahan ini erat kaitannya dengan perhitungan (politik) anggaran yang porsinya berlimpah di Kemendiknas (20%).

Peralihan tentu saja berpengaruh pada model kurikulum dan pengertian kebutuhan masyarakat. Selanjutnya tentu perlu dipikirkan pula sekolah-sekolah kejuruan berbasiskan kebudayaan seperti kesenian dan keterampilan tradisional seperti membatik, membuat bordiran, memainkan alat-alat musik etnik dan membuatnya. Kita tentu tidak bisa mendiamkan batik menjadi kebutuhan yang kuat bagi pasar, sementara pasokannya terhambat karena punahnya keterampilan. Ini sama saja dengan memberi peluang untuk masuknya batikbatik buatan negeri tetangga di masa depan. Kalau ini dibiarkan, saya kira Menteri Kebudayaan dan Pariwisata harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada UNESCO yang telah mengakui batik sebagai warisan budaya hidup asli Indonesia.

Saya ingin menegaskan kata “budaya hidup” yang dimaksud dalam pengakuan itu, “budaya hidup” adalah intangibles yang tampak pada keseriusan kita melanjutkan tongkat estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya. Intangibles melekat di tangan manusia, tidak dapat diperolah dalam tempo sekejap, dan sekali hilang kita akan kehilangan selama-lamanya. Jadi, bukanlah kebiasaan memakai batik yang perlu dilestarikan, melainkan tradisi membatik dan memperbaruinya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi saya keterampilan ini harus dilembagakan dalam bingkai ”sekolah budaya”.

Sekolah budaya yang harus dibangun haruslah ”myelin-based”, bukan semata-mata formula-based atau ”brain memory-based”. Kombinasi keduanya, ditambah insentif yang menarik, akan menghasilkan kekuatan baru.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Mengapa tidak ada yang berpikir, ada petani yang kaya. Bagaimana belajar jadi petani yang kaya?
Bagaimana jadi pengusaha ikan terbaik?
Bagaimana jadi guru yang berpenghasilan besar?
Bagaimana jadi pengrajin yang kaya?
Bagaimana jadi peternak yang sukses?

Kalau hal-hal tersebut diterapkan, kita tidak kekurangan lapangan pekerjaan.

Salam
Herni

Dari jaman eyang Suharto, hal ini telah dimulai.
Kalau pengetahuan diseragamkan.
Ketrampilan tergantung pada nilai jual hasil produksi.

Anak petani jadi sarjana dan tidak bertani.
Anak nelayan jadi sarjana dan tidak menangkap hasil laut.
Anak pengrajin belajar kursus kumon, dll.....
Anak guru jadi...... yang penting gajinya lebih membuat keluarga sejahtera.
Pelajaran ketrampilan menjadi orangtua yang baik dan ibu rumah tangga mulai menjadi barang langka

Bagaimana mengubahnya?

Salam
Herni

Bangsa Pemarah

KEKERASAN, kebrutalan, dan kerusuhan adalah tanda paling nyata sebuah masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Yang dipamerkan justru emosi dan senjata. Yang diagungkan adalah kehendak menang sendiri bahkan dengan cara membunuh.

Hal sepele saja bisa menyulut kebrutalan yang berakibat fatal dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Itulah yang sedang kita saksikan hari-hari ini di seantero negeri. Kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur, merenggut tiga nyawa serta melukai puluhan lainnya. Ribuan perempuan dan anak-anak menjadi pengungsi dan mencari tempat berlindung di kantor polisi atau markas tentara serta tempat-tempat ibadah.

Tak hanya di Tarakan. Di Jakarta, dua kubu preman berseteru saling menyerang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tiga nyawa melayang sia-sia. Mereka seolah tak peduli imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang prihatin atas berbagai kerusuhan di Tanah Air.

Kini bangsa ini menjadi bangsa pemarah. Kita kehilangan kemampuan bertoleransi. Kohesitas di antara beragam etnik kian renggang dan malah bersalin dengan semangat saling membantai, saling membunuh.

Tragedi Tarakan yang berlangsung sejak Minggu (26/9) hingga kemarin adalah bukti kegagalan negara mengantisipasi. Padahal bukan baru sekali ini peristiwa bentrokan antaretnik muncul. Kita memiliki banyak pengalaman konflik antaretnik, tetapi kita tidak belajar dari pengalaman itu.

Ada kasus kerusuhan antaretnik di Sampit, Kalimantan Tengah, beberapa tahun silam yang banyak menelan korban jiwa. Juga ada kasus Poso (Sulawesi Tengah), Ambon, Abepura (Papua), dan sejumlah tempat lain. Semuanya menebarkan maut dan amis darah.

Semua itu menyebabkan masyarakat setempat hidup dalam trauma, saling curiga dan tidak percaya sesama anak bangsa. Dan sekarang hal yang memprihatinkan itu terjadi di Tarakan. Ada banyak faktor yang menyulut pecahnya konflik itu. Sebagian penyebabnya adalah rebutan penguasaan sumber daya ekonomi.

Para pendatang menguasai sumber daya ekonomi tertentu dan menyingkirkan sumber daya ekonomi masyarakat lokal. Hal itu menimbulkan iritasi sosial kemudian meledak menjadi kerusuhan.

Bentrokan mestinya dapat dicegah jika aparat negara sigap membaca fenomena dan tangkas melakukan antisipasi. Bentrokan antarkubu preman di Jakarta Selatan kemarin, misalnya, tanda-tandanya telah terjadi pekan lalu. Tetapi aparat lalai, alpa, atau tidak peduli. Setelah korban berjatuhan, barulah polisi datang.

Pemerintah tidak boleh mendiamkan dan hanya sibuk memoles citra. Aparat negara tidak boleh menyepelekan kemudian lalai mengantisipasi. Harus ada ketegasan. Kerusuhan tidak bisa diselesaikan dengan pidato.

Kita gemas melihat preman lebih berkuasa daripada aparat negara. Mereka leluasa menenteng samurai, parang, dan kelewang di jalan-jalan di tengah kota, mencari musuh, tanpa dilucuti polisi. Mereka bahkan memiliki senjata api dan melepaskan tembakan. Saling membunuh dan tidak bersikap toleran adalah budaya paling primitif dari sebuah peradaban. Ternyata bangsa ini belum juga beranjak dari situ.

Dikuip dari Editorial Media Indonesia

Sebagai tambahan:

Konflik, pertikaian dan bentrokan yang terjadi tak lepas dari contoh dan model prilaku para pejabat dalam cara menangani masalah internalnya, dan itu disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia. Berikutnya, faktor kondisi sosiologis masyarakat kita yang masih terpuruk kemiskinan dan banyaknya pengangguran menjadikan orang mudah terpancing emosi sehingga menimbulkan banyak friksi dan gesekan dan muaranya adalah bentrokan. Aparat hukum yang lamban dan tidak tegas menangani pelaku kekerasan juga bisa dilihat sebagai keberpihakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat cenderung meremehkan para aparat. Nampaknya kita harus mulai kembali mencari cara untuk menegakkan Bhinneka Tunggal Ika dan kejujuran pada diri masing-masing bahwa kita sebagai anak bangsa tidak ingin negara ini hancur karena ulah pihak-pihak yang mersa sok kuasa dan egois.

Sebagai Guru, ini bisa menjadi bahan pelajaran untuk memberikan pemahaman pada siswa tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa terjadi, dan menjadi bahan diskusi bagi siswa apa yang seharusnya diperbuat mereka dan mencegah agar hal ini tidak terus berulang.

Fastabiqul Khairat (berlomba-lombalah dalam kebajikan).
Regards,
Iin Hermiyanto

Autosuggestion, Tukang Semir

(sebuah cerita)

Seperti biasanya saat aku pulang kampung ke Ponorogo, aku sempatkan untuk main bersama keluarga menyusuri jalan jalan di kota wengker ini, banyak tempat makan yang dapat disinggahi oleh karyawan, mahasiswa dan pelajar untuk sejenak istirahat dan makan siang. Disana ada banyak tempat pilihan untuk ndorong (red; nongkrong. Terlihat disudut lain salah satu pedagang sedang melayani kakang dan senduk (red; panggilan daerah untuk pria dan perempuan khas ponorogo). Tidak lupa kami semua
bertiga segera meluncur ketempat Kang Bagong untuk makan siang. Kami segera memacu kendaraan untuk sekedar berebut tempat dengan pembeli lainnya. Memang sate Kang Bagong paling dicari dan terkenal sejak aku masih pertama kali datang dikota reog ini.

"Alhamdulliah", gumamku dalam hati. Kali aku aku dapat tempat duduk nyaman, maklum biasanya kami bertiga hanya sempat makan dimobil karena tidak kebagian tempat duduk. Segera saja aku pesan menu favoritku, sate plus kulit dan joroan. Seperti biasanya, disela sela waktu menunggu banyak pengamen silih berganti menjajahkan syair lagunya sambil mengharap imbalan recehan tanda penghargaan atas suaranya yang agak sumbang itu.

Terlintas pandanganku disela sela kaki para penikmat sate luar daerah yang sok profesional itu, sok jaim dengan atribut ke kota-kota-annya, terlihat sosok anak kecil belasan usia sekolah dasar sedang mengusap sepatu tamu berharap ada yang mau untuk disemir. ’Permisi pak, semir’ ucap dia. ’Hei ngapain kamu?’, ’mau nyolong!’ teriak salah satu tamu yang berperawakan necis itu. Si tukang semir itu berganti ke sepatu lain dan setiap kali selalu ditolak dengan kasarnya. Tetap aku pandangi tingkah laku anak itu, sudah tiga orang yang menolaknya, pikirku dalam hati. Iba rasanya hatiku melihat anak itu, tak terasa air mataku menetes lembut dipipiku, mengingatkanku dimasa kecilku yang hampir sama dengan dia, bekerja sendiri untuk dapat membayar SPP sekolah.

Kucoba untuk untuk memanggilnya untuk menyemir sepatuku. ’Dik, tolong semir sepatuku ya!’ walau tadi pagi sebenarnya aku telah menyemirnya dan sepatuku masih terlihat mengkilap. Gumamku, itung-itung untuk menolong dia. ’Ya pak’ jawab anak itu. ’Ah jangan panggil aku pak, panggil aja kang’. ’Ya kang!’. ’ngomong ngomong siapa namamu?’. ’Dani, kang’. Kuajak ngobrol terus sampai sampai aku seperti detektif aja, pikirku dalam hati. Tak terasa sudah 10 menit aku ngobrol sama dia hingga aku telah mengetahui latar belakang kehidupannya. Tak tega rasanya aku mendengarnya kalau dia hidup seorang diri dikota reog ini, merantau dari Wonogiri.

Dia telah lama ditinggal ayah dan ibunya sejak berumur 6 tahun. Dan kini ia harus
mencari sesuap nasi sendiri dengan menawarkan keahlianya dalam memoles sepatu. Sejenak aku teringat masa masa susah masa kecil yang sudah ditinggal kedua orang tuaku. Terhenyak lamunanku ketika mendengar, ’Sudah selesai, kang!’ ucap Dani dengan semangatnya. ’Berapa?’ tanyaku. ’Empat ribu rupiah’ jawabnya. Ku keluarkan uang lembaran dua puluh ribuan dari kantongku. ’Uang kecil aja kang, nggak ada kembaliannya’ akunya, ’tunggu kang, aku cari kembaliannya dulu’ impal dia. ’Ya’ balasku dengan rasa percaya yang tinggi. Kembali aku bergurau dengan membicarakan hal hal yang kecil hingga bangganya dia telah bisa menari jathilan disekolahnya.

Tanpa sadar aku telah menunggu setengah jam, dan teringat uang kembalianku belum kuterima dari si Dani itu. Pikiranku mulai bermacam macam hingga pikiran suudzonku mulai terlintas dibenakku, ’memang anak nggak mau diuntung!’ sudah ditolong malah membawa uangku. Kutinggalkan warung Kang Bagong dengan hati yang dongkol, dan kembali kerumah di Wonoketro, Jetis untuk istirahat. Ku perikasa inbox emailku, setelah kutinggalkan kerjaanku beberapa hari. Terlihat banyak surat yang masuk ke Inboxku tak terkecuali kuperiksa juga milist (termasuk milist IGI juga loh),
akun facebook dan twitterku......

Tanpa sadar sudah sebulan lebih aku tidak berkunjung ke warung sate Kang Bagong, maklum aku sudah kembali kerja di Surabaya. ”Di minggu ini saat pulang nanti, pasti aku mampir makan sate lagi”, ucapku dalam hati. Langsung saja terbesit pikiranku
untuk makan siang di warung sate Kang Bagong lagi. Seperti biasanya warung Kang Bagong tak pernah sepi dari pembeli. Kupilih kursi paling pojok yang masih kosong itu. Tidak lebih dari 10 menit menunggu, seporsi sate langsung berada dihadapanku. Sambil mengobrol kami menyantap sate. Disela sela sela kami mengobrol datang seorang anak menghampiriku dengan akrabnya. ’Kang, maaf ya Kang’. Kata dia. ’loh
loh ada apan ini’, rasanya kita belum pernah ketemu, ngapain kamu minta ma’af’, kataku tanpa dosa. ’Nama saya Dani, kang’, ucap dia. ’Dani...!, pikirku dalam hati. ’Em em siapa ya?’. Tanyaku. ’Saya kang, si tukang semir’. Jawab dia dengan terbatah batah. ’Oh ya...ya..saya ingat, kamu....ya.. .kamu!. ’Ini kang, kembaliannya!’ .

Selintas dipikiranku. Sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu anak itu, dan teringat kembali bahwa aku masih meninggalkan uang kembalianku sebesar enam belas ribu rupiah padanya. Masih tidak percaya aku menatap anak ini, ternyata masih ada orang yang jujur di negeri ini. Seoarang anak tukang semir yang jujur padahal disana
banyak orang yang licik dan korup dalam dunia kerjanya.

’Ya Allah, terimah kasih telah kau tunjukan pelajaran yang berharga yang kudapat
dari seorang anak tukang semir ini’. Jarang sekali aku menemui seorang yang jujur di negeri ini, negeri yang diributkan oleh perang kekuasaan yang didalamnya terdapat kompetensi saling sikut, saling tendang hanya untuk mendapatkan serupiah demi memenuhi isi perut.

Lama aku termenung hingga aku melupakan kehadiran anak itu.’ Ya ...ya....ambil aja uang kembaliannya'; Pintaku. Namun tak kusangka ia malah mengembalikan uang tersebut. Kini kumengerti mengapa ia tidak langsung mengembalikan uang kembalianku pada saat itu karena ia memang terlambat datang ke padaku karena lama mencari uang kembalian tersebut. Dan setiap hari ia mencariku hanya untuk mengembalikan uang itu.

Alhamdulillah Ya Allah, ternyata masih ada orang jujur di negeri ini. Kini setelah kupetik pelajaran yang berharga itu, aku sadar bahwa kejujuran memang diatas
segalanya. Kejujuran akan membawa keselamatan dan membawa rejeki yang barokah.

Pertanyaan yang selalu hadir dibenakku, apakah kejujuran itu hanya dimiliki oleh orang orang kecil dan terpinggirkan seperti halnya kejujuran yang dimiliki oleh seorang tukang semir, Dani.

Disisi lain para pejabat negara ini terkenal dengan lips service demi mengamankan
kursi jabatannya.

Best Regards
Friends of Yours