Selasa, 10 Agustus 2010

Mewujudkan Mimpi Dari Kursi Roda

(sebuah renungan cerita)

+ "Saya butuh Anda di sana, Anda bisa melakukannya?
- "Saya pikir bisa, Pak."
+ "Oke, see you there!"

Percakapan itu terus di ingat oleh Handry Satriago. Inilah tantangan besar yang mesti diatasi untuk mencapai mim pinya: bepergian ke luar negeri. Paspor yang dibuatnya semasa masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Labschool Rawamangun pada 1986 akhirnya terisi stempel Imigrasi untuk pertama kalinya sebelas tahun kemudian. Singapura menjadi negeri pertama yang harus didatangi Handry sebagai Manajer Pengembangan Bisnis General Electric (GE) Indonesia.

"Kepercayaan Stu yang membuat saya yakin bisa," ujar Handry tentang permintaan Stuart Dean, Presiden GE ASEAN. Keterbatasannya langsung diatasinya saat naik burung besi menuju negeri di utara Pulau Sumatera itu. Sejak itu, meski duduk di atas kursi roda, dia sudah mengunjungi berbagai negara, termasuk Amerika Serikat markas GE, hingga diangkat sebagai Presiden General Electric Indonesia. "Semua ditunjukkan Yang Di Atas," katanya tanpa kesan merendah.

Tiga belas tahun di perusahaan raksasa Amerika itu, Handry menjadi seorang motivator dan pebisnis ulung. Hampir semua yang dipegangnya menjadi bisnis yang ditakuti oleh pesaingnya. Misalnya, di bisnis lighting (pencaha yaan), dia menghasilkan US$ 6 juta dalam dua tahun kepemimpinannya. Sebelumnya di GE tak ada yang melirik bidang itu, karena dianggap tak prospektif karena dikuasai Philips.

Putra tunggal pasangan Djahar Indra dan Yurnalis Indra itu menyanggupi tantangan membuat lighting menjadi bisnis sendiri, terpisah dari consumer goods. Hasilnya, antara lain, tata cahaya di Bandar Udara Ngurah Rai dan siraman cahaya ke Candi Prambanan.

Dia merintis ide bisnis menjual paket cahaya dengan kontrak jangka panjang dengan sejumlah pabrik besar dan kecil kimia, cat, dan tekstil. "Anda santai saja, tata cahaya efisien kami yang urus," ujarnya.

Ketika menerima tantangan dari Stuart, nilai tukar rupiah terhadap dolar terjun bebas dari Rp 2.500 menjadi Rp 15 ribu. "Ketika sign kontrak, masih Rp 2.500. Saat barang datang tiga kontainer, jadi Rp 15 ribu." Kontan, para pelanggannya di Glodok menolak barang itu. Tak menyerah, Handry membujuk mereka membuat kontrak jangka panjang, menjual barang tersebut dengan separuh nilai tukar.

Dengan cara itu, dia memotivasi tim yang terdiri atas orang-orang muda bahwa solusi bisa diperoleh di tengah kesulitan. "Mereka juga antusias karena diberi kepercayaan," ujarnya. Inilah praktek kepercayaan pemimpin dengan pengikutnya yang menjadi resep andalannya. Selanjutnya, cerita sukses berlanjut ketika dia diminta memimpin bisnis di bidang energi. Dari 25 gigawatt listrik yang terpasang di Indonesia, 500 megawatt adalah karyanya. "Bangga juga, ha-ha-ha...," Handry melepas tawa.

Sambil merangkul Basri Adhi, Handry menapaki satu per satu tangga kampus Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Karibnya itu, dan kawan kuliah lain, setia membopong Handry yang kedua kakinya dipasangi besi penopang supaya bisa berjalan tegak dengan kruk. Tujuan mereka: Laboratorium Gambar Teknik di lantai empat.

"Ya, berat, he-he-he...," kata Basri. Satu teman lagi mengangkut kursi rodanya. Mereka teman sekelas Handry, selalu senang dengan Agogo pang gilannya kala kuliah yang memberikan energi positif untuk terus berjuang dan ceria dalam hidupnya. Begitu terus sejak 1989, sampai 1993 Handry menyelesaikan kuliahnya. Skripsinya diganjar predikat sangat memuaskan.

Di SMA Labschool Rawamangun, Riri Riza, sutradara film Laskar Pelangi, ingat pertama kali karibnya itu masuk sekolah lagi setelah absen lebih dari sebulan. Dengan penyangga kaki, Handry terlihat santai dan berlaku seperti orang normal. "Sama sekali enggak berubah, enggak minder, enggak kelihatan sedih, dan masih nongkrong bareng kami," kata Riri. Saat itu, di usia 17 tahun, Handry didiagnosis kena kanker getah bening di sumsum tulang belakangnya dan mesti dioperasi.

Teman-teman satu kelompok bermain memperlakukan Handry seperti orang normal, dengan pembicaraan yang tak pernah membuat Handry tersinggung dengan keadaannya. Ketika nonton teater bareng, mereka menggotong Handry untuk masuk gedung teater.

Riri sejak awal sudah yakin, keterbatasan berjalan tak akan menghala ngi pria berdarah Minang itu beraktivitas. "Sejak awal dia itu masuk jalur cepat, selalu selesai kelas lebih awal." Di Labschool dia termasuk "siswa yang dibayar". "Karena prestasinya bagus banget." Maklum, saat itu sekolah tersebut menjadi percontohan siswa berbakat dan buat yang mampu secara ekonomi.

Kesederhanaan ekonomi Handry, yang ayahnya cuma pegawai logistik Total Indonesia, tak tampak dalam pergaulan. Wawasan Handry terbilang luas. Dia mampu bicara tentang musik rock dan metal yang sedang booming, sambil bicara klasik dan pop. "Waktu itu, baru dia yang paham Simon & Garfunkel, he-he-he...."

Dia menilai cuma sedikit orang yang seimbang hasrat main dan hobi bela jarnya seperti Handry. Perbincang an dengannya terentang dari rencana madol alias bolos sekolah sampai membuat proyek ilmiah. Bicara dengan Handry, kata Riri, "Penuh warna kehidupannya."

Solidaritas dan perlakuan sama dengan orang normal membuat Handry nyaman. "Teman-teman membuat saya percaya diri,"katanya. Kondisi itu menumbuhkan semangatnya melawan keterbatasan.

Di lingkungan rumahnya, Handry bertetangga dengan pentolan pers Indonesia, Atmakusumah Sastraatmadja, Goenawan Mohamad, dan budayawan Umar Kayam. "Saya beruntung tetangga saya orang-orang hebat." Sejak di sekolah menengah pertama, di kompleks Griya Wartawan, Kebon Nanas, Jakarta Timur, wawasan seni dan sosial politiknya ditempa karya-karya seni klasik dan pop, serta sastra kritis, dari Shakespeare sampai Pramoedya Ananta Toer. Buku dan diskusi didapatnya di rumah Atma dan Umar Kayam.

Di sana dia juga mengenal teater dan musik klasik. "Anak-anak kami sudah menganggapnya kakak, dan ini sudah seperti rumahnya sendiri," ujar Atma. Handry suka sekali gulai kambing masakan Sri Rumiati, istri Atmakusumah.

Penggemar Meryl Streep itu selalu dibopong ketiga putra Atma ke lantai dua Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Di gedung teater itu, mereka nonton drama, misalnya Teater Koma.

Lantaran pengaruh pers yang kental, Handry sempat tergiur menjadi wartawan. "Ikut karnaval, saya pakai rompi, bawa kamera, kayak wartawan, deh," kata pengagum Syahrir itu.

Selepas kuliah, dia direkrut sebuah perusahaan teknologi mengurus majalahnya. Tiga tahun menabung hasil kerjanya, dia sekolah lagi di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia Business School, dan lulus cum laude dengan dua gelar master. Sambil kuliah, dia membuka usaha desain grafis dengan kawan-kawan dan saudaranya.

Predikat itu membuatnya dibujuk pencari bakat dari General Electric untuk masuk ke perusahaan tersebut. "Saya tolak. Ngapain? Saya punya bisnis sendiri, kok." Maklum, bisnisnya sedang maju pesat. Sang pencari bakat tak menyerah, sambil menerangkan segala macam fasilitas yang bisa didapatkannya. Segala fasilitas dan perjalanan keluar negeri membuatnya kepincut. Posisi pertamanya Manajer Pengembangan Bisnis GE Indonesia. Dia mematok target menjadi Jack Welch, CEO GE.

Tiga belas tahun kemudian, dalam perjalanan ke Vietnam untuk urusan bisnis energi pembangkit listrik, dia ditawari posisi Presiden GE Indonesia. Jadilah pria kelahiran Riau, 13 Juni 1969, itu pemimpin termuda di perusahaan raksasa Amerika tersebut. Seka ligus lu lusan sekolah dalam negeri pertama yang menjadi bos GE Indonesia.

Menjadikan Abraham Lincoln sebagai inspirator, Handry dikenal pantang menyerah. Pada 1994, meski menjalani kemoterapi karena kankernya ternyata menjalar ke pinggang dia tetap tegar. "Saya selama ini dikasih jalan sama Dia."

Juga saat Maret 2010 diketahui tulang belakangnya ada kelainan, fisiknya merasa sehat. Bedanya, kali ini suami Dinar Sambodja itu selama tiga pekan, selalu khawatir secara psiko logis karena ada saja yang tak lancar, dokter tak ada, atau pembaca hasil la boratorium absen.

Mengubur keinginan menjadi ilmuwan dari Stanford University, Handry tetap tertarik pada bidang akademik. Dua pekan lalu dia meraih gelar doktor di bidang manajemen dengan disertasi tentang efek kepercayaan orang sekitar terhadap peningkatan kualitas pemimpin. Dia meruntuhkan keangkeran ruang sidang doktoral yang biasanya tanpa canda. "Semarak, dia memang biasa bergurau," kata Riri, yang hadir dalam sidang doktornya di Universitas Indonesia.

(bersambung)

Minggu, 08 Agustus 2010

Froggy

(sebuah inspirasi)

Kalau tak ada perubahan, akhir 2011, masyarakat Indonesia dapat menyaksikan
sebuah floatingcastle yang berdiri megah di salah satu sudut Kota BSD, Tangerang.
Kastil itu menakjubkan, indah seperti yang sering kita lihat di negeri impian.
Sebuah impian yang terus mengikuti seorang anak hingga dia tumbuh menjadi
dewasa, membantu orang tuanya dalam bisnis, sampai dia menjadi pengusaha dan
melakukan pembaruan. Fernando Iskandar, 29 tahun, menamakan kastil indah itu
sebagai Froggy. Di situ dia menanamkan impiannya yang berawal dari cerita-cerita
yang dibaca dari buku-buku bergambar bacaan anak-anak.

Sebuah gambar kastil yang dia sukai digunting, ditempel di lemari pakaian, di
pintu kamar, dan dibawanya hingga ke kamar mandi. Namun lebih dari sekadar
impian, dia pun bertindak. Seluruh uang tabungannya dari usaha-usaha yang dia
rintis sebelumnya, dia tanam di Froggy. Dia mendekati Kak Seto dan menemui saya.
Dia mencari tanah yang cocok dan menemukan arsitek kelas satu yang bisa
menerjemahkan isi kepalanya.

Menelusuri Bakat

Adalah Jimmy Iskandar, orang tua yang hari itu penuh bahagia. Senin, 2 Agustus
2010, dia baru saja mengerti apa yang dilakukan putranya. Sejak era 1970-an
Jimmy dikenal sebagai orang yang sangat ulet membangun usaha fotografi. Berkat
ketekunannya itu dia berhasil memperkenalkan foto di atas kanvas yang amat
diminati tokoh-tokoh masyarakat. Setiap kali saya mendatangi studionya,saya
selalu menemukan foto-foto keluarga terkenal yang memilih difoto oleh Jimmy dan
fotografer-fotografer andalannya di Tarzan Foto Studio.

Bahkan Tarzan Foto pula yang dipercaya Istana Negara untuk memotret kepala-kepala negara yang berkunjung ke Indonesia. Mereka harus memotret secara sempurna dalam batasan waktu yang sangat terbatas. Tentu saja Fernando dibesarkan dalam lingkungan fotografi yang sangat kental. Bedanya dia kini hidup di dunia digital yang serba cepat dan kaya bakat. Saat krisis menimpa Indonesia, dia pun tersadarkan, dia mencari mentor ke sana kemari sampai dia bertemu dengan pengusaha perempuan yang progresif, Dewi Motik.

Dia pun nyantrik (berguru), mengikuti Ibu Dewi Motik ke mana-mana, melihat bagaimana keputusan bisnis diambil. Dia menemukan sebuah dunia baru. “Di rumah saya yang lama, saya begitu besar sehingga dunia saya tampak kecil. Di luar, saya melihat dunia itu begitu besar sehingga diri saya tampak begitu kecil,”ujarnya. Bak katak yang hidup keenakan di dalam tempurungnya dia pun keluar dari zona nyaman itu. Dia meronta.

Dia pun berkenalan dengan dimensi-dimensi yang lebih luas. Dari Kak Seto, dia
belajar hal baru lagi, yaitu soal talenta anak-anak Indonesia yang terkurung dalam ambisi orang lain. Dia pun menemukan fakta-fakta yang mengejutkan dari teman-teman di sekitarnya. Banyak orang tersesat di rimba belantara antara bakat, sekolah, dan pekerjaan. Bakatnya A, sekolahnya C, dan kerjanya E. Semuanya tidak saling berhubungan. Maka sia-sialah sekolah.

Tak pernahkah Anda melihat seorang anak berbakat melukis bersusah payah kuliah
menjadi akuntan, dan saat bekerja dia lebih senang menjadi orang kreatif di biro
iklan, namun istrinya mendesak agar menekuni profesinya sebagai akuntan. Tak
banyak orang yang menyadari bahwa untuk berhasil seseorang harus memilih apa
yang terbaik dari hidupnya. Bukankah lebih baik menjadi pelukis yang luar biasa
daripada menjadi dokter atau akuntan yang biasa-biasa saja? Apakah kita menyadari hal ini?

Di era materialisme seperti saat ini orang lebih berani mengikuti arus daripada
keluar dengan kekuatan dirinya. Semua ingin cepat-cepat menghasilkan ketimbang
melakukan investasi pada bakatnya. Di sisi lain, kita menemukan orang-orang sukses
abad ini ternyata terdiri atas orang-orang yang berani menantang arus besar itu,
hidup sebagai outlier yang keluar dari kotaknya. Kak Seto menyambung.

”Apa jadinya bila seorang Albert Einstein yang senang matematika, sedari kecil
dipaksa orang tuanya mengikuti American Idol? Atau apa jadinya kalau Picasso
yang suka melukis dianggap bodoh karena tak senang matematika? Demikian juga
dengan Michael Angelo yang senang membuat patung namun dipaksa orang tuanya
menjadi dokter?” Dari kajian-kajian yang ada mengenai talenta, sekarang jelaslah
bahwa pendidikan yang menyamaratakan dapat mematikan telenta.

Seperti rumput yang dipangkas sama tingginya, anak-anak yang dilahirkan dengan
talenta yang berbeda berteriak. Mereka hidup tertekan, tidak bisa berbicara lain
selain ikut maunya orang-orang dewasa. Mereka hidup dalam pasungan dan terkungkung dalam kesulitan. Dapat dibayangkan hari tua anak-anak yang dibesarkan dalam kurungan bakat yang demikian adalah hari tua yang kering, melakukan apa yang tidak diinginkan. Hari-hari tidak bahagia, tanpa senyum, penuh keluhan.

Edutography

Lantas apa hubungannya antara kastil Froggy dengan bakat tadi? Inilah yang disambung Froggy dalam konsep ”edutography”, yang memadukan kombinasi education,
entertainment, dan photography. Berbeda dengan Tarzan Photo yang memotret foto
kenangan, Froggy justru memotret masa depan. Froggy menggali bakat anak-anak
dengan pendekatan multidimensi sampai ditemukan apa yang sesungguhnya menjadi
lentera jiwa mereka.

Pekerjaan ini menjadi tanggung jawab Kak Seto. Lebih dari itu, bakat-bakat itu
perlu digerakkan, saya sendiri termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam
memandang bakat. Maklum saja generasi saya adalah generasi yang terkurung, sulit
meletupkan energi-energi yang terpancar dari bakat yang merupakan pemberian
Tuhan. Bagi orang segenerasi saya, bakat hanyalah sekadar potensi belaka.

Jadi apalah artinya mengenal bakat kita kalau potensi itu gagal “menemukan pintunya?” Tetapi bagi anak-anak saya, sejalan dengan kemajuan dalam temuan-temuan baru dan teknologi digital, saya pun mendukung eksplorasi yang tiada henti terhadap talenta-talenta hebat yang terpendam di hati paling dalam anak-anak Indonesia. Lebih dari sekadar mengeksplorasi, anak-anak itu harus ditumbuhkan myelin-nya agar mereka tidak diam di tempat, melainkan terus bergerak mencari dan menemukan pintunya.

Mereka harus menyentuh, bahkan mendobrak pintu-pintu itu. Temuan-temuan terbaru
di dunia digital, dibantu para pendidik terdepan,mestinya bisa membantu anak-anak itu mengembangkan mimpi-mimpinya. Pada Froggy saya menaruh harapan agar anak-anak kita mampu menemukan potensi dan menggapai pintu masa depan dengan bahagia.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Kehormatan Guru

Orang awam menyebut guru sebagai kepanjangan digugu dan ditiru. Otomatis, ucapan dan nasihatnya digugu. Sedangkan sikap, perilaku, dan tindakannya akan ditiru. Dengan demikian, guru diharapkan menjadi teladan bagi para muridnya.

Karena itu, tak mudah menjadi guru. Bahkan, menurut saya, guru adalah salah satu sosok yang perfeksionis. Maksudnya, tugas dan tanggung jawab seorang guru sangat besar. Kemajuan suatu bangsa pun bisa ditentukan oleh peran vital seorang guru dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.

Dengan tuntutan yang sedemikian berat itu, sudah pasti seseorang harus bijak dan serius jika hendak menempuh jalan hidup sebagai guru. Menjadi guru tidak boleh asal-asalan. Lebih dari itu, jangan menjadikan profesi guru sebagai sebuah pelarian.

Faktanya, sejak sertifikasi diterapkan pemerintah, banyak hal kebablasan. Banyak orang tertarik terjun ke dunia guru. Ini mungkin positif, mengingat Indonesia memang membutuhkan banyak guru andal. Masalahnya, tak sedikit yang menjadikan profesi mulia itu sebagai pelarian.

Besarnya gaji guru PNS plus tunjangan pendidik (TPP) cukup menggiurkan. Namun, hal itu belum diimbangi kesadaran akan kompetensi dan kemampuan. Salah satu kebablasan yang nyata adalah banyaknya guru yang membuat karya tulis jiplakan demi lupus sertifikasi. Bahkan, di Riau, pangkat sekitar 1.700 guru golongan 3B diturunkan menjadi 3A karena kasus itu (JPNN, 31/1/2010).

Pemerintah sebenarnya bukan tanpa tindakan tegas. Buktinya, guru disyaratkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya. Salah satunya, mengadakan pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kompetensi tenaga pendidik.

Di luar itu, pemerintah gencar mengampanyekan pendidikan karakter. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kasus yang bisa mencoreng dunia pendidikan. Misalnya, kekerasan di lingkungan sekolah, pelecehan seksual, kasus tindakan mesum, dan lain-lain yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat.

Senyampang dengan tema tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah pesan bagus yang diambil dari sebuah tulisan Abdullah Munir, penulis buku best seller Spiritual Teaching. Yakni, seorang kuli bangunan boleh saja membeli bakso dan menyantapnya di trotoar. Namun, seorang guru tidak boleh melakukan hal demikian. Sebab, dia harus menjaga muruah (kehormatan/ nama baik) sebagai guru.

Saya terkesan dengan pesan itu. Tidak hanya pada substansinya, tapi juga contoh yang diberikan. Guru tidak hanya harus amanah. Lebih dari itu, guru pun semestinya dapat menjaga kehormatan dan nama baik profesi mulia yang diembannya tersebut.

Memang, tidak ada yang melarang guru untuk makan bakso di trotoar atau sekadar merokok di luar sekolah. Kendati demikian, muruah sebagai guru mesti dikedepankan. Pasalnya, segala ucapan dan tindakannya bakal dicontoh oleh anak didiknya. Bisa dibayakan bila murid melihat sang guru merokok. Tentu si murid bisa saja mencari pembenar apabila dia ikut-ikutan merokok seperti gurunya.

Jelas sudah, menjadi guru benar-benar tidak mudah, tidak boleh main-main. Salah satu hal yang bisa dirasakan membatasi adalah menjaga muruah (nama baik) sebagai guru. Sebagaimana pepatah ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tindak tanduk guru bukan tidak mungkin bakal dicontoh oleh sang murid. Maka, menjaga kehormatan guru adalah keharusan, tanpa pamrih apa pun.

Di belakang murid hebat, selalu ada guru hebat...dan terhormat...

Salam
Eko Prasetyo

Senin, 02 Agustus 2010

Open Your Mind

SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek, tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. “Berapa lama rata-rata rumah tangga menggunakan handuk mandi?” Tentu saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasar-dasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan, atau bahkan diri sendiri agar berhasil dalam hidup.

Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, “Prof,” ujarnya. “Jawaban ini salah.” Saya mengernyitkan dahi. Maklum, belum pernah saya mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. “Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,”lanjutnya.

“Jadi berapa tahun?” tanya saya. “Ya dua tahun. Ini jawaban saya benar,”katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang “lemah”. Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah. Maka, di kepala saya, berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plin-plan. “Jadilah guru yang teguh.” Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. “Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya. Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40,” ujar saya pada mahasiswa tadi. “Betul,”katanya lagi. “Di buku memang tertulis begitu. Saya tahu.” “Ah, Anda tidak baca saja…,” ujar saya lagi. “Bukan, tetapi ini tidak masuk akal.” Dia mencoba menjelaskan. Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kok didebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu.

Dua tahun sudah rusak. “Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang murah. Kalau cepat rusak tak apa-apa, setelah itu beli lagi,”katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. “Nope,” jawab saya menolak permohonannya agar saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya. Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. “Rhenald,”ujarnya. “I talk to this guy, and I like his idea.” Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas.“Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn’t give the right answer,” ujar saya.

“Saya mengerti,” jawab profesor itu,“Tapi perhatikan ini. Saya suka cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat dan dia benar. ”Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan sebagainya. Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang “master” dan bukan menciptakan pengikut. Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir, terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.

Keluar dari Buku


Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintar-pintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai. Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak murid-muridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru. Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru. “Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?” Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali. Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. “Apakah ada gambar yang bagus?” “Siapa yang berhak mengatakannya?” “Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya.” Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. “Look, kalian baru saja keluar dari cara berpikir buku teks,” ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia, memerdekakannya dari segala tekanan, dari perilaku-perilaku buruk, dari pikiran-pikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharingkan kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi, tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

"Cari Bakat"

(sebuah cerita)

Aku harus temukan bakatku! Ini tekadku sekarang. Sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat dan ditunda lagi. Cukup sudah 20 tahun aku hidup tanpa tahu apa bakatku.

Tekadku ini bermula ketika aku menonton pertandingan karate Sarah, teman kampusku. Aku berdecak kagum melihat kepiawaiannya saat tanding. Dulu aku tak menduga gadis manis yang imut-imut itu adalah atlet karate. Saat tahu, aku benar-benar berdecak kagum. Bukan hanya karena ia seorang karateka profesional, tapi juga karena ternyata ia sudah menekuni bidang ini bahkan sejak ia belum bisa membaca. Umur 5 tahun! Kaget aku mendengarnya. Katanya, ayahnya juga seorang karateka dan sejak umur 5 tahun itulah ayahnya mengajarinya karate. ”Setelah dijalanin, ternyata karate emang enak dan gue ngerasa banget emang bakat gue disitu” ujarnya saat itu.

Oo... aku hanya bisa ber-o panjang. ”Dan kalau kita tekunin bidang yang emang bakat kita, pasti kita berhasil deh!” tambahnya lagi. Begitu ya. Jadi, kalau udah bakat
jalaninnya bakal gampang dan gampang berhasil juga. Padahal dari dulu aku lebih suka memperhatikan orang lain daripada diriku, apa kesukaan mereka, keahliannya, dan macam-macam lainnya. Tapi ucapan Sarah menggetarkanku.

Aku pegang ucapan Sarah itu dan bertekad akan mencari apa bakatku sebenarnya. Dari dulu, aku tak pernah fokus terhadap satu bidang. Saat TK, ada lomba mewarnai aku ikut, ada lomba melukis juga ikut, lomba baca puisi, peragaan busana sampai lomba sholat berjamaah aku ikuti. Saat SD juga sama. Tapi, prestasi yang aku capai dalam bidang-bidang tersebut juga biasa saja. Paling-paling juara harapan atau paling hebat juara III, tidak pernah menembus juara I. ”Yah...anak saya memang nggak bakat lukis bu...” itu ucapan ibu kepada Tante Mia, ibunya Mayang temanku, yang aku ingat saat mengantarku ikut lomba lukis dulu waktu aku kelas 3 SD di Taman Mini.

Saat itu aku tidak menang sedangkan Mayang berhasil menggondol sebuah piala emas
besar bertuliskan ”Juara I”. Saat itu aku hanya cengar-cengir saja. Wajar saja Mayang menang. Sejak TK, ia memang sudah sering menang perlombaan serupa. Waktu aku ke rumahnya, piala nya banyak sekali dan memang mayoritas dari hasil lomba melukis. Orangtua Mayang juga sangat mendukung anaknya dengan membelikan peralatan lukis yang bagus-bagus dan memasukannya ke sanggar lukis ternama.

Jadi aku tidak menang karena aku tidak berbakat. Jadi aku santai saja. Mungkin memang bakatku tidak disitu. Pasti di tempat lain. Itu pikirku saat itu. Dan sampai sekarang, 10 tahun sejak peristiwa perlombaan itu, aku masih belum menemukan dimana bakatku. Kata orang bakat itu musti dicari. Kalau tak dicari, takkan ditemukan. Maka, perjalananku mencari bakat dimulai.

Aku pernah mencoba menyanyi. Iseng-iseng ikut lomba karaoke saat 17 Agustusan di daerah rumahku. Sebelum tampil, nyaliku sedikit ciut karena peserta lain benar-benar memiliki suara yang aduhai. Saat giliranku tiba, aku makin deg-degan. Lagu dimulai. Aku mulai menyanyi perlahan. Aku merasa suaraku seperti suara kodok. Namun, aku tetap memaksakan diri tersenyum dan menyanyi karena di bawah panggung sana keluargaku memberiku semangat sambil bertepuk tangan. Sampai tiba pada bagian reff lagu, nada pada bagian itu cukup tinggi. Saat latihan pun, aku kadang kesulitan mencapai nada tersebut. Apalagi sekarang dalam suasana grogi dan dilihat banyak orang. Dan....hiiik. Akhirnya aku tak berhasil mencapai nada tinggi tersebut. Suaraku seperti orang yang tercekik dan seketika itu pula para penonton riuh menertawakanku. Cukup sudah menyanyi! Tak ada bakat disana!

Setelah peristiwa yang menjatuhkan harga diriku tersebut, aku benar-benar yakin bakatku bukan pada seni. Mungkin olahraga. Ya! Olahraga! Akhirnya mendaftarlah aku di tempat latihan karate Sarah. Dengan harapan mungkin disinilah bakatku. Walaupun aku pemula dan Sarah sudah jauh tingkatannya diatasku tapi aku tak peduli. Aku latihan tiga kali seminggu. Senin, Rabu, dan Jum’at. Awalnya aku bersemangat karena ini pertama kalinya aku ikut latihan bela diri seperti ini. Namun, lama-lama aku kelelahan sendiri. Latihan tiga kali seminggu dan sampai malam membuat kondisi fisikku drop. Belum lagi setiap pulang latihan badanku pasti pegal dan ngilu-ngilu. Duh! Bukannya bakat yang ditemukan, malah habis uang untuk beli balsem!

Setelah itu aku mau mencari bakat yang tidak membuat fisikku sakit. Aku mau mencoba menulis. Ini karena Mia, teman sekampusku, yang sering sekali menulis. Ia sering menulis apa saja. Cerpen, puisi, ataupun artikel yang kemudian dipajang di mading kampus atau dikirimkannya ke majalah-majalah. Menulis tidak akan membuat badanku ngilu-ngilu seperti latihan karate. Maka aku mau mencobanya.

”Mi, nulis susah gak sih?” tanyaku suatu ketika pada Mia.
”Nggak kok. Coba aja dulu. Nulis puisi kek atau apa gitu”
”Lo awalnya kenapa tertarik nulis?” tanyaku lagi.
”Iseng aja sih awalnya.

Eh, ternyata keterusan. Lagipula gue orangnya gak bakat ngomong. Gak bisa gue ngomong di depan orang banyak gitu. Jadi, gue lebih baik nulis. Mungkin bakat gue gak di ngomong, tapi di nulis” jelasnya. Oh...bakat lagi. Makin mantap aku menulis. Mungkin disinilah bakatku ditemukan.

Enam bulan kemudian aku berhenti menulis. Bukan...bukan karena badanku jadi pegal-pegal atau karena ditertawakan orang. Tapi aku kesal. Habis, ketika sedang semangat-semangatnya menulis aku bisa menulis sampai tiga buah puisi setiap harinya. Setiap minggu bisa menghasilkan satu artikel dan cerpen. Namun, setiap yang aku kirim ke majalah tidak pernah dimuat. Mading-mading kampus pun tak mau menerima. Kurang ilmiah katanya. Huh...padalah sudah semangat dan susah payah begini. Kalau bakat nggak mungkin ditolak, pikirku instan. Jadi, tinggalkan menulis.

Bakatku pasti ada di suatu tempat dan telah memanggil-manggilku meminta untuk ditemukan sejak 20 tahun yang lalu. Tapi entah mengapa aku tidak pernah mendengar panggilan itu. Sayup-sayup nya pun tak pernah. Mungkin bakatku bersembunyi mengharap aku mencari dan menemukannya. Tapi karena sekian lama tak kucari-cari jangan-jangan ia bosan memanggilku. Hingga sampai sekarang ia sampai lupa keluar dari persembunyiannya. Duh...apa memang begitu ya?

Pikiranku itu membuatku malas untuk mencari tahu lagi bakatku. Sudahlah, lupakan bakat. Jalani saja semuanya tanpa bakat. Toh, 20 tahun ini aku masih bisa hidup tanpa bakat. Sekarang, aku kembali lagi kepada kesukaanku yang dulu, memperhatikan orang-orang yang sudah atau sedang berusaha mencari bakat mereka. Aku makin senang memperhatikan Sarah yang makin cinta dengan karatenya, makin sering membaca tulisan-tulisan Mia, dan memperhatikan sikap-sikap serta kesukaan teman-temanku yang lain.
Kebiasaanku mengamati orang ternyata membuatku cukup mendalami karakteristik seseorang. Makin lama, makin mudah bagiku untuk menganalisa mereka. Hal ini tanpa disadari membuatku tahu bakat-bakat terpendam mereka. Menyedihkan memang mengetahui bakat orang lain namun tak bisa menemukan bakat diri sendiri. Tapi biarlah, daripada capek memikirkan bakat sendiri lebih baik mengamati orang lain.

”Kalau aku lihat, bakatmu memang bukan di bidang menyanyi Ras” aku berujar sewaktu aku sedang bersama Laras, teman sejurusanku, di kantin. Saat itu Laras sedang mempertanyakan mengapa hobi menyanyinya tak kunjung membuatnya berhasil. Setiap lomba yang diikutinya tak pernah menang. ”Padahal aku suka sekali menyanyi lho” ujarnya waktu itu. ”Yang aku lihat, kamu lebih berbakat di akting, bermain teater sepertinya cocok untukmu” tambahku.
”Masa sih? Lo tau darimana?” tanyanya heran.
”Gue inget waktu kita SMA dulu lo pernah main drama kan, akting lo bagus.
Trus juga gue liat suara lo bisa membantu lo”
”Iya sih. Kadang gue juga ngerasa gitu. Tapi gue gak pede aja. Gak yakin gue bisa. Kalo nyanyi kan emang udah dari dulu gue hobi. Walau kaga menang-menang”

Dan setelah percakapan kami itu, beberapa hari kemudian ia mendaftarkan diri pada sebuah klub teater fakultas. Beberapa bulan kemudian, aku dengar dia mengalami kemampuan pesat. Ia anak baru namun sering mendapat peran utama setiap tampil. Ternyata hobi menyanyinya membantunya dalam teknik berbicara dalam teater. Suaranya lantang dan pengucapannya jelas.

”Ternyata suara gue emang bukan buat nyanyi kali yah. Lebih oke kalo gue pake buat teater” ujarnya beberapa bulan kemudian. Setelah masalah Laras, aku makin suka menganalisa kemampuan seseorang.

”Gak papa kamu gak jago statistik, kamu tuh oke banget di marketing” saranku pada Siska suatu waktu saat dia curhat tentang nilai statistiknya yang selalu bisa ditunjukkan hanya dengan jari di satu tangan.
”Gue liat lo gak suka hitungan. Lo lebih suka berhubungan dengan manusia daripada angka. Cara lo berbicara bisa mempengaruhi orang lain” tambahku.

Siska manggut-manggut mungkin sambil berpikir ’iya juga yah”. Setelah Siska, aku bertemu dengan Randy yang kulihat sangat berbakat bermain alat-alat musik. Jiwa musiknya kental sekali terlihat. Namun, bakatnya sering ia lupakan seiring kesibukan tugas kuliah. Padahal ia sungguh pemain musik yang sangat berbakat. Aku juga sempat berbincang dengan Galih, yang kuliahnya sering berantakan dan terlupakan, bahwa ia sebenarnya luar biasa berbakat dalam sepakbola.

Setelah teman-teman kuliahku, aku juga sering menganalisa bakat-bakat dari murid-muridku di bimbel yang aku ajar. Awalnya hanya beberapa orang yang suka curhat padaku, tapi lama kelamaan menyebar dan hampir semuanya sering minta pendapatku ketika memilih jurusan untuk kuliah nanti.

”Kamu suka sekali membuat cerpen dan puisi, ditambah kecintaan kamu pada budaya Prancis, aku pikir kamu cocok di sastra, sastra Prancis mungkin” saranku pada seorang muridku.

”Kamu kan sering dimintai curhat dengan teman-temanmu, saran-saran kamu pun mereka anggap adalah saran yang terbaik. Psikologi aku rasa cocok” saranku pada murid kedua.

”Wah...kamu suka sekali baca koran kan? Kalau dengar kamu bicara, kepedulian kamu akan masa depan perekonomian Indonesia sangat besar. Ditambah nilai ekonomi kamu yang bisa dibilang sempurna dan kamu suka sekali berasumsi. Hmm...ilmu ekonomi” saranku pada murid yang lainnya.

Dan begitulah. Akhirnya aku lebih sering menggali apa bakat-bakat terpendam orang lain dan berusaha meyakinkan mereka bahwa mereka mampu di bidang itu. Sampai suatu saat seorang temanku bertanya, ”Kalo lo sendiri bakatnya apa?”. Aku hanya senyum-senyum mesem.

6 tahun kemudian.
-----------------

Pekerjaanku cukup menyenangkan. Ditambah dalam pekerjaan ini aku bisa bertemu banyak orang dan menganalisa mereka. Aku bekerja di bagian talent agent sebuah stasiun televisi swasta. Setelah sebelumnya aku bekerja di bagian HRD, dimana aku bisa menganalisa kemampuan dan minat dari seseorang, sekarang aku dipindah di bagian talent agent.

Setelah sekian lama aku mencari bakatku dengan melukis, menyanyi, menulis, bahkan sampai karate akhirnya aku menemukan bakatku yang sudah bersembunyi sekian lama tersebut. Ternyata bakatku tidak perlu dicari seperti orang yang mencari jarum dalam jerami. Karena sebenarnya jerami-jerami itulah bakatku. Ia sudah ada sejak lama hanya aku tidak menyadarinya. Akhirnya aku tau bakatku: pencari bakat!

Sumber :
www.women.multiply.com

The life that I have

by: Leo Marks

The life that I have
Is all that I have
And the life that I have
Is yours

The love that I have
Of the life that I have
Is yours and yours and yours

A sleep I shall have
A rest I shall have
Yet death will be but a pause

For the peace of my years
In the long green grass
Will be yours and yours
And yours