Selasa, 19 Januari 2010

AMATI HAL BESAR, teliti perkara kecil

(sebuah refleksi)

Sahabatku yang baik…
Semoga goresan kata-kata terangkai salam sejahtera dan kebahagiaan bagi kita. Tidak terasa, waktu begitu cepat bergerak. Januari telah melewati pertengahannya. Doa saya bagi kita semua. Agar sejarah yang telah kita isi, dipenuhi dengan Cinta dan Kasih Sayang Allah.

Dua hari yang lalu, saya mendapat ilmu yang sungguh bermanfaat bagi kehidupan saya. Kesempatan ini, izinkan saya sharingkan nasehat-nasehat bijak yang saya dapatkan dari Guru Spiritual saya...

*Amatilah pada hal-hal besar dan Telitilah dalam perkara kecil*.
Begitulah pesan bijak beliau.
Kemudian beliau melanjutkan : Perhatikan kembali olehmu.

Sejarah mencatat, Napoleon bonaparte. Kalah dalam perang karena musuhnya lebih lama (5 menit) perang darinya.

Kegagalan dan keberhasilan. Kemenangan dan kekalahan disebabkan hal kecil.

Dalam islam. Menyembelih hewan tanpa menyebutkan Asma Allah. Hewan tersebut haram dimakan, karena sama dengan bangkai.

Hanya karena keluar gas dari dubur, wudhu yang menyucikan telah terbatalkan.

Dikarenakan sms disusun dalam 2 kalimat. Perselisihan bahkan berujung cerai dalam rumah tangga.

Bukan banyak pasukan, bukan pula hebatnya peralatan perang menghancurkan dunia. Namun karena keputusan kepala negara, terucap dari mulutnya satu kata ”perang”.

Besarnya dampak bom bunuh diri, bukan dalam menyusun atau merangkai Bom terbuat dari C4 itu. Tapi sangat tergantung satu tombol ”On”...

Dulu saat engkau masih mengerjakan soal matematika yang diberikan oleh gurumu. Kesalahan terkadang bukan karena kamu salah cara. Tapi karena kekeliruan kecil meletakkan koma (,).

Angka nol itu mungkin tidak bernilai. Tapi didalam selembar cek, angka nol sangat mempengaruhi uang tunai yang kau cairkan.

Napoleon hill menuliskan dalam bukunya. Para penerbit banyak mendapatkan untung, hanya karena menggantikan judul dari sampul buku.

Pesawat ulang-alik Columbia milik NASA. Jatuh hanya karena buih kecil melayang diudara.

Pesawat komersial di Jerman jatuh, karena tertabrak burung, yang sunguh kecil dibandingkan rangkaian pesawat.

Orang bijak, menganalogikan kenikmatan dunia, bagaikan tetesan air yang jatuh dari jari mu, setelah engkau mencelupkan kedalam laut.

Karena sepuntung rokok, menghanguskan perumahan satu RT.

Nyamuk yang begitu kecil Allah ciptakan. Telah membuka lapangan kerja bagi ribuan manusia.

Seorang wanita penzina.
Ditempatkan disyurga karena memberi minum anjing yang kehausan.

Dalam penjualan, anggukan kecil menghasilkan deal besar.

Oleh karena itu, Perhatikan hal besar. Dan TELITILAH dalam perkara KECIL.

Salam
RAHMADSYAH
Practitioner NLP I
081511448147
I Motivator & Mind-Therapist

Belajar Menulis kepada Malcolm Gladwell

Saya ”dibesarkan” oleh Mizan—dalam konteks dunia menulis—lewat sebuah kegiatan berpikir tingkat tinggi yang serius dan berat. Di awal-awal pembentukannya, Mizan sangat getol dalam memproduksi buku ”kumpulan tulisan” karya cendekiawan Muslim Indonesia. Selama hampir lima belas tahunan saya digodok oleh Mizan di kawah candradimuka bernama ”Seri Kumpulan Tulisan Cendekiawan Muslim Indonesia”. Dari serial ini lahir buku-buku hebat yang secara sangat fasih berhasil merumuskan pikiran-pikiran khas para cendekiawan Muslim Indonesia lewat judul-judul buku kumpulan tulisan mereka. Ada Nurcholish Madjid dengan Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan; ada Jalaluddin Rakhmat dengan Islam Alternatif; ada Alwi Shihab dengan Islam Inklusif; ada K.H. Ali Yafie dengan Fiqih Sosial; dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sungguh sangat mengasyikkan dapat menemukan ”benang merah” sebuah pemikiran seorang tokoh dan kemudian dapat menyematkannya di dalam judul sebuah buku karya mereka. Dalam bentuk sebuah buku, ”kumpulan tulisan” (baca: pikiran yang tersebar) itu kemudian punya ”konteks”. Dan konteks yang sangat bermakna adalah ketika kemudian sang penulis sendiri memberikan semacam argumentasi yang diwadahi dalam ”Kata Pengantar” dan diletakkan di halaman paling awal sebelum para pembacanya menikmati mozaik pemikirannya. ”Kata Pengantar” yang dibuat oleh Cak Nur, Kang Jalal, dan tokoh-tokoh lain dalam buku kumpulan tulisannya itulah yang memberi ”warna” baru atau yang ”menghidupkan” buku kumpulan tulisan tersebut.

Ketika saya membaca ”Kata Pengantar” Malcolm Gladwell dalam buku terbarunya, What the Dog Saw—yang juga merupakan buku kumpulan tulisan—saya pun dapat merasakan kembali apa yang pernah saya rasakan ketika membaca ”Kata Pengantar” Cak Nur, Kang Jalal, dan tokoh-tokoh lain. Gladwell ingin saya sebut sebagai seorang ”master” yang memang piawai menyajikan sesuatu yang merangsang pikiran saya dalam bentuk tertulis. Saya sangat setuju dengan pujian yang diberikan oleh New York Times Book Review ketika menyatakan Gladwell sebagai ”penulis nonfiksi yang nyaris tak tertandingi”. Dan kemampuan Gladwell berkisah menemukan bentuk terbaiknya dalam What the Dog Saw—kumpulan tulisan yang lahir sebelum dia menciptakan karya-karya unik yang mencetak best-seller internasional: Tipping Point, Blink, dan Outliers.

Ketika saya membaca What the Dog Saw, saya langsung membaca ”Kata Pengantar” yang dibuat Gladwell. Saya mengalami ekstase. Saya terlibat. Dan saya pun berpikir keras. Apa saja yang ada di kepala Gladwell? Kenapa dia menulis ini dan bukan itu? Bagaimana Gladwell mendapatkan ide dan mengeksplorasinya?

“Ketika sedang tumbuh, saya tak pernah ingin jadi penulis,” kata Gladwell. “Saya ingin jadi pengacara, lalu pada tahun terakhir kuliah, saya memutuskan ingin masuk dunia periklanan.” Gladwell pada awalnya, ternyata, tak tahu jika dia menyimpan potensi-hebat—saya tak ingin menyebutnya sebagai “bakat”—menulis. (Siapa yang tahu bahwa dirinya menyimpan sesuatu yang dahsyat?) Lantas, mengapa dia akhirnya menerjuni dunia menulis? Sebelumnya, dia melamar lebih dahulu ke delapan belas biro iklan dan ditolak. Dia pun pernah melamar untuk dapat memperoleh beasiswa agar bia pergi ke tempat eksotis selama setahun dan ditolak lagi. “Akhirnya, saya menulis; setelah cukup lama, baru saya sadar bahwa menulis bisa dijadikan pekerjaan. Pekerjaan itu serius dan berat. Menulis itu asyik,” tulis Gladwell.

Apa yang dapat kita petik dari pengalaman Gladwell sebagai seoranmg penulis? “Bagus tidaknya tulisan bukan dinilai dari kekuatan kemampuannya meyakinkan… Sukses tidaknya sebuah tulisan dinilai dari kekuatan kemampuannya untuk membuat Anda terlibat, berpikir, memberi kilasan mengenai isi kepala orang lain….” Dan saya—usai mebaca beberapa tulisan Gladwell dalam What the Dog Saw—sepakat dengannya bahwa menulis itu asyik.

Salam
Hernowo

Ujian Nasional

(sebuah refleksi cerita)

Pelaksanaan Ujian Nasional atau UN bagi sebuah sekolah swasta nasional, dengan bagaimanapun bentuk dan afiliasinya tetap dipandang penting. Paling tidak bagi sekolah saya, dimana saya sendiri mendapatkan amanah dari Yayasan sebagai pengelolanya. Namun demikian, kami sebagai komunitas dari sekolah ini bersepakat dalam melihat hasil belajar siswa, bahwa UN bukanlah satu-satu hasil pendidikan. Ini adalah pengejawantahan dari prinsip pendidikan yang menjadi anutan kita bahwa terdapat tiga (3) ranah hasil belajar yang antara lain adalah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Dan dari sinilah kami bangun bersama kesepakatan untuk menjadikan proses pencapaian UN berbasis kepada moto yang dikembangkan oleh para pendiri, yaitu: Ya Allah bimbing kami menjadi orang yang jujur dan terhormat.

Dua kata, Jujur dan Terhormat, menjadi dasar kami mengejar mimpi. Dengannya, kami mencoba merumuskan strategi pencapaian UN yang baik namun tetap menegakkan holistisitas dari seluruh pembelajaran. Oleh karenanya konsep ini harus mengalir deras pada seluruh komponen UN yang ada di sekolah kami. Dan konsep ini melahirkan semangat untuk bersama-sama bekerja dengan cerdas, keras dan penuh komitmen.

Ikhtiar itu kami lakukan hingga sampai pada pintu gerbang pelaksanaan UN. Dimana saya yang mendapatkan amanah ini harus benar-benar yakin akan proses yang Jujur dan Terhormat. Di depan, kita sudah kibarkan semangat bekerja yang keras, cerdas dan penuh komitmen. Maka diakhir kalinya saya memastikan bahwa semua dilandasi kesadaran untuk bekerja secara jujur dan terhormat.

Pagi setelah subuh, saya sudah sampai di ruang Kepala Sekolah. Bertemu guru dan Kepala Sekolah yang pulang mengambil soal UN. Menemani mereka bekerja. Menyambut dan berbasa-basi dengan para tamu yang akan menjadi pengawas UN. Melepas kepergian guru yang bertugas mengantar naskah jawaban UN di siang harinya.

Kepastian untuk bekerja secara jujur dan terhormat tersebut harus saya lakukan sebagai jaminan bahwa sekolah kami adalah sekolah yang tidak menjadikan komitmen dan mimpi sekedar menjadi slogan. Ini sebagai bukti pula bahwa tim sukses UN berhenti dan berakhir masa dinasnya persis saat pintu gerbang UN dimulai.

Salam
Agus Listiyono

Rabu, 13 Januari 2010

Sekolah Binatang

(sebuah cerita)

Di tengah-tengah hutan belantara Sumatera berdirilah sebuah sekolah untuk para binatang dengan status “disamakan dengan manusia”, sekolah ini dikepalai oleh seorang manusia. Karena sekolah tersebut berstatus “disamakan”, maka tentu saja kurikulumnya juga harus mengikuti kurikulum yang sudah standar dan telah ditetapkan untuk manusia.

Kurikulum tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 8 pada masing-masing mata pelajaran.Adapun kelima mata pelajaran pokok tersebut adalah; Terbang, Berenang, Memanjat, Berlari dan Menyelam.

Mengingat bahwa sekolah ini berstatus “Disamakan dengan manusia”, maka para binatang berharap kelak mereka dapat hidup lebih baik dari binatang lainya, sehingga berbondong-bondongl ah berbagai jenis binatang mendaftarkan diri untuk bersekolah disana; mulai dari; Elang, Tupai, Bebek, Rusa dan Katak.

Proses belajar mengajarpun akhirnya dimulai, terlihat bahwa beberapa jenis binatang sangat unggul dalam mata pelajaran tertentu; Elang sangat unggul dalam pelajaran terbang; dia memiliki kemampuan yang berada diatas binatang-binatang lainnya dalam hal melayang di udara, menukik, meliuk-liuk, menyambar hingga bertengger didahan sebuah pohon yang tertinggi.

Tupai sangat unggul dalam pelajaran memanjat; dia sangat pandai, lincah dan cekatan sekali dalam memanjat pohon, berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Hingga mencapai puncak tertinggi pohon yang ada di hutan itu.

Sementara bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran berenang, dengan gayanya yang khas ia berhasil menyebrangi dan mengitari kolam yang ada didalam hutan tersebut.

Rusa adalah murid yang luar biasa dalam pelajaran berlari; kecepatan larinya tak tertandingi oleh binatang lain yang bersekolah di sana. Larinya tidak hanya cepat melainkan sangat indah untuk dilihat.

Lain lagi dengan Katak, ia sangat unggul dalam pelajaran menyelam; dengan gaya berenangnya yang khas, katak dengan cepatnya masuk kedalam air dan kembali muncul diseberang kolam.

Begitulah pada mulanya mereka adalah murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa dimata pelajaran tertentu. Namun ternyata kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih angka minimal 8 di semua mata pelajaran untuk bisa lulus dan mengantongi ijazah.

Inilah awal dari semua kekacauan.itu; Para binatang satu demi satu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai dan bahkan tidak disukainya. Burung elang mulai belajar cara memanjat, berlari, namun sayang sekali untuk pelajaran berenang dan menyelam meskipun telah berkali-kali dicobanya tetap saja ia gagal; dan bahkan suatu hari burung elang pernah pingsan kehabisan nafas saat pelajaran menyelam. Tupaipun demikian; ia berkali-kali jatuh dari dahan yang tinggi saat ia mencoba terbang. Alhasil bukannya bisa terbang tapi tubuhnya malah penuh dengan luka dan memar disana-sini. Lain lagi dengan bebek, ia masih bisa mengikuti pelajaran berlari meskipun sering ditertawakan karena lucunya, dan sedikit bisa terbang; tapi ia kelihatan hampir putus asa pada saat mengikuti pelajaran memanjat, berkali-kali dicobanya dan berkali-kali juga dia terjatuh, luka memar disana sini dan bulu-bulunya mulai rontok satu demi satu. Demikian juga dengan binatang lainya; meskipun semua telah berusaha dengan susah payah untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak dikuasainya, dari pagi hingga malam, namun tidak juga menampakkan hasil yang lebih baik.

Yang lebih menyedihkan adalah karena mereka terfokus untuk dapat berhasil di mata pelajaran yang tidak dikuasainya; perlahan-lahan Elang mulai kehilangan kemampuan terbangnya; tupai sudah mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak dapat lagi berenang dengan baik, sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek-robek karena terlalu banyak berlatih memanjat. Katak juga tidak kuat lagi menyelam karena sering jatuh pada saat mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainnya. Dan yang paling malang adalah Rusa, ia sudah tidak lagi dapat berlari kencang, karena paru-parunya sering kemasukan air saat mengikuti pelajaran menyelam.

Akhirnya tak satupun murid berhasil lulus dari sekolah itu; dan yang sangat menyedihkan adalah merekapun mulai kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup dilingkungan dimana mereka dulu tinggal, ya... kemampuan alami mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum sekolah tersebut. Sehingga satu demi satu binatang-binatang itu mulai mati kelaparan karena tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan unggul yang dimilikinya.

Tidakkah kita menyadari bahwa sistem persekolahan manusia yang ada saat inipun tidak jauh berbeda dengan sistem persekolahan binatang dalam kisah ini. Kurikulum sekolah telah memaksa anak-anak kita untuk menguasai semua mata pelajaran dan melupakan kemampuan unggul mereka masing-masing. Kurikulum dan sistem persekolahan telah memangkas kemampuan alami anak-anak kita untuk bisa berhasil dalam kehidupan menjadi anak yang hanya bisa menjawab soal-soal ujian.

Akankah nasib anak-anak kita kelak juga mirip dengan nasib para binatang yang ada disekolah tersebut?

Bila kita kaji lebih jauh produk dari sistem pendidikan kita saat ini bahkan jauh lebih menyeramkan dari apa yang digambarkan oleh fabel tersebut; bayangkan betapa para lulusan dari sekolah saat ini lebih banyak hanya menjadi pencari kerja dari pada pencipta lapangan kerja, betapa banyak para lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang digelutinya selama bertahun-tahun, sebuah pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Betapa para lulusan sekolah tidak tahu akan dunia kerja yang akan dimasukinya, jangankan kemapuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan, betapa hampir setiap siswa lanjutan atas dan perguruan tinggi jika ditanya apa kemampuan unggul mereka, hampir sebagian besar tidak mampu menjawab atau menjelaskannya.

Begitupun setelah mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, berapa banyak dari mereka yang tidak memberikan unjuk kerja yang terbaik serta berapa banyak dari mereka yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaanya.

Belum lagi kita bicara tentang carut marut dunia pendidikan yang kerapkali dihiasi tidak hanya oleh tawuran pelajar melainkan juga tawuran mahasiswa. Luar biasa “Maha Siswa” julukan yang semestinya dapat dibanggakan dan begitu agung karena Mahasiswa adalah bukan siswa biasa melainkan siswa yang “Maha”. Namun nyatanya ya Tawuran juga. Masihkah kita bisa berharap dari para pelajar kita yang seperti ini. Dan seperti apa potret negeri kita kedepannya dengan melihat potret generasi penerusanya saat ini?

Apa yang menjadi biang keladi dari kehancuran sistem pendidikan di negeri ini...?

1. Sistem yang tidak menghargai proses

Belajar adalah proses dari tidak bisa menjadi bisa. Hasil akhir adalah buah dari kerja setiap proses yang dilalui. Sayangnya proses ini sama sekali tidak dihargai; siswa tidak pernah dinilai seberapa keras dia berusaha melalui proses. Melainkan hanya semata-mata ditentukan oleh ujian akhir. Keseharian siswa dalam belajar tidak ada nilainya, jadi wajar saja apa bila suatu ketika ada siswa yang berkata bahwa yang penting ujian akhir bisa, gak perlu masuk setiap hari.

2. Sistem yang hanya mengajari anak untuk menghafal bukan belajar dalam arti sesunguhnya

Apa beda belajar dengan menghafal; Produk dari sebuah pembelajaran kemampuan atau keahlian yang dikuasai terus menerus. Contoh yang paling sederhana adalah pada saat anak belajar sepeda. Mulai dari tidak bisa menjadi bisa, dan setelah bisa ia akan bisa terus sepanjang masa. Sementara produk dari menghafal adalah ingatan jangka pendek yang dalam waktu singkat akan cepat dilupakan. Perbedaan lain bahwa belajar membutuhkan waktu lebih panjang sementara menghafal bisa dilakukan hanya dalam 1 malam saja. Padahal pada hakekatnya Manusia dianugrahi susunan otak yang paling tinggi derajadnya dibanding mahluk manapun didunia. Fungsi tertinggi dari otak manusia tersebut disebut sebagai cara berpikir tingkat tinggi atau HOT; yang direpresentasikan melalui kemampuan kreatif atau bebas mencipta serta berpikir analisis-logis; sementara fungsi menghafal hanyalah fungsi pelengkap. Keberhasilan seorang anak kelak bukan ditentukan oleh kemampuan hafalannya melainkan oleh
kemampuan kreatif dan berpikir kritis analisis.

3. Sistem sekolah yang berfokus pada nilai

Nilai yang biasanya diwakili oleh angka-angka biasanya dianggap sebagai penentu hidup dan matinya seorang siswa. Begitu sakral dan gentingnya arti sebuah nilai pelajaran sehingga semua pihak mulai guru, orang tua dan anak akan merasa resah dan stress jika melihat siswanya mendapat nilai rendah atau pada umumnya dibawah angka 6 (enam).

Setiap orang dikondisikan untuk berlomba-lomba mencapai nilai yang tinggi dengan cara apapun tak perduli apakah si siswa terlihat setangah sekarat untuk mencapainya. Nyatanya toh dalam kehidupan nyata, nilai pelajaran yang begitu dianggung-anggungkan oleh sekolah tersebut tidak berperan banyak dalam menentukan sukses hidup seseorang. Dan lucunya sebagian besar kita dapati anak yang dulu saat masih bersekolah memiliki nilai pas-pasan atau bahkan hancur, justru lebih banyak meraih sukses dikehidupan nyata.

Mari kita ingat-ingat kembali saat kita masih bersekolah dulu; betapa bangganya seseorang yang mendapat nilai tinggi dan betapa hinanya anak yang medapat nilai rendah; dan bahkan untuk mempertegas kehinaan ini, biasanya guru menggunakan tinta dengan warna yang lebih menyala dan mencolok mata. Sementara jika kita kaji lagi; apakah sesungguhnya representasi dari sebuah nilai yang diagung-agungkan disekolah itu...?

Nilai sesungguhnya hanyalah representasi dari kemampuan siswa dalam “menghapal” pelajaran dan terkadang ada juga “subjektifitas” guru yang memberi nilai tersebut terhadap siswanya.

Meskipun kerapkali guru menyangkalnya, cobalah anda ingat-ingat; berapa lama anda belajar untuk mendapatkan nilai tersebut; apakah 3 bulan...? 1 bulan..? atau cukup hanya semalam saja..? Kemudian coba ingat-ingat kembali, jika dulu saat bersekolah, ada diantara anda yang pernah bermasalah dengan salah seorang guru; apakah ini akan mempengaruhi nilai yang akan anda peroleh..?

Jadi mungkin sangat wajar; meskipun kita banyak memiliki orang “pintar” dengan nilai yang sangat tinggi; negeri ini masih tetap saja tertinggal jauh dari negara-negara maju. Karena pintarnya hanya pintar menghafal dan menjawab soal-soal ujian.

4. Sistem pendidikan yang Seragam-sama untuk setiap anak yang berbeda-beda

Siapapun sadar bahwa bila kita memiliki lebih dari 1 atau 2 orang anak; maka bisa dipastikan setiap anak akan berbeda-beda dalam berbagai hal. Andalah yang paling tahu perbedaan-perbedaan ya. Namun sayangnya anak yang berbeda tersebut bila masuk kedalam sekolah akan diperlakukan secara sama, diproses secara sama dan diuji secara sama.

Menurut hasil penelitian Ilmu Otak/Neoro Science jelas-jelas ditemukan bahwa satiap anak memiliki kelebihan dan sekaligus kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda. Mulai dari Instingtif otak kiri dan kanan, Gaya Belajar dan Kecerdasan Beragam. Sementara sistem pendidikan seolah-oleh menutup mata terhadap perbedaan yang jelas dan nyata tersebut yakni dengan mengyelenggaraan sistem pendidikan yang sama dan seragam. Oleh karena dalam setiap akhir pembelajaran akan selalu ada anak-anak yang tidak bisa/berhasil menyesuaikan dengan sistem pendidikan yang seragam tersebut.

5. Sekolah adalah Institusi Pendidikan yang tidak pernah mendidik

Sekilas judul ini tampaknya membingungkan; tapi sesungguhnya inilah yang terjadi pada lembaga pendidikan kita.

Apa beda mendidik dengan mengajar...?

Ya.. tepat!, mendidik adalah proses membangun moral/prilaku atau karakter anak sementara mengajar adalah mengajari anak dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa.

Produk dari pengajaran adalah terbangunnya cara berpikir kritis dan kreatif yang berhubungan dengan intelektual sementara produk dari pendidikan adalah terbangunnya prilaku/akhlak yang baik.

Ya..! memang betul dalam kurikulum ada mata pelajaran Agama, Moral Pancasila, Civic dan sebagainya namun dalam aplikasinya disekolah guru hanya memberikan sebatas hafalan saja; bukan aplikasi dilapangan. Demikian juga ujiannya dibuat berbasiskan hafalan; seperti hafalan butir-butir Pancasila, dsb. Tidak berdasarkan aplikasi siswa dilapangan seperti praktek di panti-panti jompo; terjun menjadi tenaga sosial, dengan sistem penilaian yang berbasiskan aplikasi dan penilaian masyarakat (user base evaluation).

Bayangkan pernah ada suatu ketika sebuah sekolah SD yang gedungnya bersebelahan dengan rumah penduduk, dan saat itu mereka sedang belajar tentang pendidikan moral, sementara persis di sebelah sekolah tersebut sedang ada yang meninggal dunia, namun anehnya tak ada satupun dari sekelah tersebut yang datang mengirim utusan untuk berbela sungkawa di rumah tersebut. Alih-alih sekolahnya malah ribut sehingga ketua RW setempat sempat menegur pihak sekolah atas kejadian tersebut.

Mungkin wajar saja jika anak-anak kita tidak pernah memiliki nilai moral yang tertanam kuat di dalam dirinya; melainkan hanya nilai moral yang melintas semalam saja dikepalanya dalam rangka untuk dapat menjawab soal-soal ujian besok paginya.

Artikel ini di ambil dari Tulisan Dr. Thomas Amstrong, pemerhati dan praktisi Pendidikan Berbasis Multiple Intelligence dari AS, yang dibuat sekitar tahun 1990an.dan telah disesuaikan dengan konteks Indonesia saat ini.

Mari kita renungkan bersama dengan hati dan nurani kita yang terdalam dan mari kita ambil hikmahnya.

Sumber: Buku Ayah Edy, Judul: "I love you Ayah, Bunda"
Penerbit: Hikmah, Mizan Group

Minggu, 10 Januari 2010

Bambu dan Guru

(sebuah cerita)

SEORANG petani menanam serumpun bambu di kebun belakang rumahnya. Tahun demi tahun bambu itu terus beranak-pinak, bertambah tinggi, besar, dan kuat.

Suatu hari petani itu berdiri di depan bambu yang tertinggi dan berkata, “Wahai Sobat, aku membutuhkan engkau sekarang.”

Kata bambu itu, “Tuan, pakailah aku seperti yang Tuan inginkan. Aku siap.”

“Bagus, tetapi agar aku bisa memakaimu, engkau harus dibelah menjadi dua.”

Bambu itu kaget. “Membelah aku, membelah dua? Mengapa? Aku adalah bambu yang paling baik di sini, paling tinggi dan paling besar. Jangan lakukan itu Tuan, kumohon. Pakailah aku seperti yang Tuan kehendaki, tapi jangan membelah diriku.”

“Begini, jika kau tidak dibelah, aku tidak bisa memakaimu.”

Seantero kebun terdiam. Angin pun menahan nafasnya. Bambu yang anggun itu perlahan-lahan menundukan kepalanya dan berkata lirih, “Tuan, jika itu adalah satu-satunya jalan untuk menggunakan aku, maka lakukanlah.”

“Tapi itu baru sebagian,” kata petani itu. “Aku juga akan memotong semua cabangmu dan memangkas semua daunmu.”

“Ya Tuhan, semoga itu tidak terjadi,” kata bambu itu. “Hal itu akan merusak keindahanku. Tuan, kalau bisa janganlah pangkas cabang-cabangku dan daun-daunku.”

“Begini, jika cabang dan daunmu tidak dipangkas, aku tidak bisa memakaimu.”

Matahari pun menyembunyikan wajahnya. Seekor kupu-kupu terbang dengan gelisah di sekitar bambu itu. Bambu yang merasa sangat terpukul itu kemudian menyerah dan pasrah, “Tuan, potonglah cabang-cabangku.”

“Bambuku tersayang, aku masih harus mengambil hati, jantung, dan bagian dalammu. Jika tidak, maka aku tidak bisa memakaimu.” Kepala bambu itu semakin dalam tertunduk, lalu berkata, “Tuan, ambil dan bersihkanlah aku sesuka Tuan.”

Maka petani itu pun memotong sang bambu, memangkas cabang-cabang dan seluruh daunnya, membelahnya menjadi dua, dan mengosongkan semua bagian dalamnya. Lalu ia menggotong bambu itu melalui sebidang tanah kering menuju ke sebuah sumber air. Petani itu menghubungkan tanah itu dengan sumber air tersebut dengan menggunakan bambu tadi dan air pun segera mengalir membasahi tanah kering itu, menggemburkannya, dan membuatnya menjadi subur.

Demikianlah bambu itu menjadi saluran berkah yang melimpah tiada putus bagi banyak orang, termasuk bagi rumpun bambu lainnya.

****

Bambu dan Guru

Etos 1: Keguruan adalah Rahmat

Aku Mengajar dengan Ikhlas Penuh Kebersyukuran, dapat disarikan dengan kisah alegoris di atas. Sang bambu berhasil menghayati hidupnya dengan paradigma rahmat. Sesudah bambu itu mengerti kehendak Sang Pemilik Kebun, ia tidak lagi mengeluh dan tidak lagi menolak apa pun yang harus ia jalani. Ia pasrah, berserah, dan menerima semuanya dengan ikhlas. Ia percaya, dirinya pasti berguna di tangan Sang Pemilik. Ia akan menjadi bambu berkah, pembuluh anugerah, saluran karunia yang tiada putus. Keyakinan inilah yang membuat ia berdaya: ia bersedia ditempa serta dibentuk menjadi perkakas kebaikan, menjadi saluran berkah dengan ikhlas dan tulus.

Demikian pula seorang guru yang percaya bahwa hidup keguruannya adalah rahmat akan berperilaku seperti bambu di atas: mengabdikan dirinya—penuh ketulusan dan keikhlasan—menjadi saluran pengetahuan, pembuluh ilmu, teladan moral, dan pembina ketrampilan. Dengan demikian guru sungguh-sungguh menjadi insan rahmatan bagi masyarakat, menjadi figur berkah bagi sekolah, khususnya bagi semua siswanya.

Guru sendiri bukanlah sumber berkah itu, tetapi ia adalah pembuluh yang menyalurkan anugerah ilmu dan pengetahuan. Sama seperti bambu, guru yang rahmatan harus dipotong dulu egonya, dibuang keakuannya, dipangkas kecongkakannya, dan dibersihkan hatinya agar bisa efektif menyalurkan ilmu pengetahuan, ajaran kebajikan, serta hikmat ilahi.

Salam
Jansen H. Sinamo

Harapan tiada yang sia-sia

"Harapan adalah harta yang setiap orang bisa memilikinya. Jika harapan pun tak punya alangkah sedihnya manusia."

Sukses baik yang sangat kecil, kecil sekali, kecil, sedang, besar, besar sekali, sangat besar itu sama saja dengan terwujudnya harapan sesuai dengan spektrum besaran (magnitude), orang yang senantiasa berpikir positif dan ikhlas melihat semua yang dialaminya sebagai sukses, hanya saja dia tidak memasalahkan besaran sukses, karena sukses (pada setiap tingkatan) itu sudah given.

Sementara orang lain yang - maaf - belum sampai maqam, hanya membedakan dua hal: sukses dan gagal. lebih jauh, orang yang tidak memasalahkan sukses/gagal, melihat kerja sebagai sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan, karena dianggap citeris paribus, alias konstanta, sudah jadi kewajibannya. Seperti kalau orang Islam, sholat lima waktu itu tidak usah didebatkan, ditawar-tawar. tidak ada ruang untuk itu semua. jalani saja dengan khusuk dan ikhlas.

Nah, jika demikian bukankah orang lantas menjadi pasif? Pasrah pada nasib, tidak usah berusaha, apalagi mikir apa yang dikerjakan, dan bagaimana hasilnya? Bukan begitu. Jika kembali kepada status saya di atas, berawal dari harapan yang mestinya semua orang dengan mudah memilikinya (menyatakannya, mengikrarkan baik secara lisan, tertulis maupun dalam hati hanya untuk dirinya sendiri) jika sudah memilikinya, maka harapan akan embeded menjadi tacit, melekat dalam diri dan kesadarannya, sebagai harta kesadaran jiwa. Persoalannya, ada banyak orang yang berharap-pun tidak berani, nah kalau membangun harta yang paling mudahpun tidak sanggup melakukannya, alangkah menyedihkannya manusia tersebut.

Tetapi benarkah menyedihkan? Bisa ya, bisa pula tidak. mungkin saja yang nglakoni (menjalankannya) tidak merasa sedih, karena - barangkali - baginya harapan itu tidak perlu diikrarkan oleh manusia, orang seperti ini sudah haqul yakin, bahwa yang mengecat langit dan memberi warna cabai, sudah menetapkan sukses (hasil, terwujudnya harapan) baginya, lha apalah manusia kok mau menentukan garis hidupnya sendiri? Meja-kursi tidak dapat menentukan bentuk dan warnanya sendiri. Si pembuat yang menentukan.

Wal hasil, tidak usah diikrarkan harapan, asal semua yang dikerjakan dilakukan dengan tekun, ikhlas demi yang mengecat langit dan mewarnai bawang, buncis dan sayuran, harapan atau bahkan terwujdunya harapan sudah tertulis baginya.

Salam dan Sukses Untuk Anda, dari:
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

Threshold

“Seorang lelaki bangun kesiangan di suatu hari, sehingga dia dilumuri perasaan ketakutan terlambat sampai pekerjaannya. Dia bergesa-gesa, sampai lupa memakan yang telah disediakan sang istri. Karena lupa sarapan tentu saja dia kurang bertenaga dan membuat fikirannya tidak karuan. Di kantor beruntung dia tidak terlambat, namun karena ketergesa-gesaannya dia baru ingat kalau dia lupa membawa arsip penting. Hal ini membuat rapat di siang hari berantakan. Sore harinya dia harus berjibaku dengan macet. KEtika sampai di rumah, sang anak yang sudah biasa menyambutnya dengan pelukan. Sudah biasa bagi sang anak yang memeluk pria tersebut sambil memukul mukul sang ayah sebagai tanda bahagia dan minta perhatian. Namun kali ini tiba-tiba sang anak malah dibentak habis-habisan oleh sang ayah hanya karena perbuatan yang biasa dia lakukan tersebut.”

Sahabat , Pernahkah anda mengalami marah meledak Karena hal yang sepele? Kalau itu terjadi pada diri anda, bisa jadi anda sedang stress pada saat itu. Setelah belajar NLP serta membaca tulisan beberapa guru besar NLP mulai dari Mr. Bandler, mas Ronny, Pak Hing, akhirnya saya mengetahui bahwa kondisi memuncak seperti ini dinamakan Threshold.

Threshold adalah kondisi dimana seseorang marah besar,menuncak karena akumulasi emosi yang dikumpulkan sebelumnya. Sebagai ilustrasinya begini, di pagi hari Sahabat mulia, mempelajari tentang threshold ternyata sangat unik pola kemarahan/stress kita karena threshold ini. Threshold dalam arti biasanya adalah ambang batas maksimal. Maksudnya, kita memiliki ambang batas maksimal dari emosi kita. Kalau kita amati dari kasus diatas, kemarahan yang dialami oleh sang pria bukanlah karena sang anak yang memukul sang ayah, karena secara sadar kita memahami hal tersebut sebagai kebiasaan yang sering dilakukan. Namun kenapa sang pria yang menjadi ayah dari anak tersebut bisa marah meledak tak karuan? Hal ini disebabkan adanya kumpulan emosi negative yang disimpan oleh sang pria dari pagi hari hingga malam hari. Ketika emosi yang terkumpul ini telah mencapai ambang batas tertentu, maka gangguan sedikit, kasus kecil bisa menjadi besar karenanya.

Baru-baru ini, kita mendengar salah seorang Anggota Dewan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dalam forum terbuka. Secara sadar beliau tahu kata tersebut bukanlah kata yang pantas untuk diucapkan,namun itu terlontarkan begitu saja karena dia mengalami emosi yang berlebihan sehingga mencapai titik threshold nya. Bisa jadi dari rumah beliau sudah punya banyak masalah, belum lagi masalah internal dirinya dengan partainya, atau dengan kasus dia dengan yang lainnya, Sehingga kasus sederhana seperti pimpinan sidang memimpin sidang lambat saja menjadi masalah besar bagi dirinya.

Kita pun tanda sadar mungkin sering pula terkena gejala bahkan mengalami threshold. Tidak jarang bagi kita yang membawa kendaraan, sering emosi ketika kendaraan disalip di sore hari. Kalau kita renungkan, yang membuat kita emosi sebenarnya bukanlah karena disalipnya. Karena kalau kita berfikir jernih bisa jadi dia yang menyalip kita lantara dia sedang butuh cepat, ataupun karena yang lainnya. Namun karena kepenatan emosi dan lelah setelah kerja kita yang terkumpul dari pagi hari, membuat emosi tersebut terkumpul. Tak jarang ketika mobil kesenggol sama motor sedikit saja, walaupun tidak lecet marah yang terucap dari diri kita menjadi luar biasa besarnya.

Para sahabat pembaca tulisan sederhana saya, dari beberapa client yang saya terapi karena stress selama ini. Sering kali penyebab utamanya adalah emosi yang mereka pendam dalam hati. Tak jaarang karena emosi yang dipendamnya membuat mereka gampang stress dan marah.

Karena ketika kita mengetahui dalam kasus threshold diatas bahwa emosi kita ada batasnya, maka saya ingin mengumpamakan kadar maksimal emosi kita seperti gelas. Client saya yang stress diibaratkan telah mengisi gelas emosinya dengan kestressan yang mereka miliki. Tak jarang stress itu nyaris menyentuh bagian atas gelas. Sehingga sedikit tekanan yang mereka alami membuat mereka tegang luar biasa dan mengalami threshold. Tak jarang pula yang suka teriak-teriak sendiri dan nyaris gila.

Lalu apa yang harus kita lakukan setelah mengetahui threshold ini?

Setiap masalah ada solusinya, setiap kasus ada jalan keluarnya, setiap badai pasti berlalu.

Sebagai seorang hypnotherapist, saya tidak bisa memberikan jalan keluar / solusi dari setiap masalah client saya. Karena merekalah yang lebih tahu kasus mereka serta solusinya. Namun sebagai hipnoterapist adalah menjaga agar gelas emosi mereka tidak sampai luber keluar menjadi threshold yang kebablasan. Masalah tetap ada, kasus belumlah selesai. Namun emosi tersebut yang mengancam melubernya gelas threshold sehingga tumpah bisa diminimalisir supaya tidak terjadi ledakan amarah yang memuncak dan tak terkendali.

Ketika kita telah mulai pening dengan masalah yang membelenggu diri maka seperti perumpamaan diatas, itu tandanya gelas threshold emosi kita sudah mulai terisi. Jangan pernah biarkan gelas itu penuh dan meledak, karena kita punya solusinya di dalam diri kita. Salah satu solusi ini bernama relaksasi. Dan hypnotherapy adalah salah satu ilmu yang membahas bagaimana bisa efektif dalam relaksasi. Jika anda masih takut dengan kata hypnotherapy yang sering dihubungkan dengan mistiknya kata hipnotis, maka hypnotherapy sangat berbeda dengan hipnotis panggung yang memaksa seseorang untuk tidur, karena didalam hypnotherapy seseorang tidur dan rileks atas keinginan orang tersebut dan bukan karena dipaksa.

Cara mudah untuk melakukan rileksasi sendiri dengan teknik hypnotherapy adalah dengan cara menutup mata dan menghitung mundur dari 30 sampai 1. Dan katakan kepada diri kita setiap hitungan mundur membuat diri kita semakin santai dan rileks. Betapa mudahnya relaksasi ini terutama bagi anda yang pernah mengikuti training hypnotist maupun yoga ataupun yang sejenisnya. Mungkin anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin relaksasi bisa menghilangkan stress dengan mudahnya…

Seperti yang sudah jelaskan diatas bahwa sanya hypnotherapy bukanlah solusi yang menyelesaikan masalah seseorang. Namun hypnotherapy bertujuan agar seseorang yang sedang stress dan memiliki banyak masalah mau mengeluarkan “emosi” dari gelas threshold mereka. Sehingga dengan relaksasi hypnotherapy ini, seseorang ketika dia terbangun dia menjadi lebih segar dalam memandang masalah. Sehingga emosi dari ke-stress-an yang mereka derita perlahan demi perlahan mulai lega. Emosinya berkurang dan mereda. Inilah tugas dari relaksasi, meminimalisir dan mengurangi emosi yang terakumulasi supaya tidak menjadi threshold dan meledak luar biasa.

Oleh karena itu saya selalu menganjurkan client saya yang mudah stress untuk melakukan relaksasi ketika mereka istirahat siang. Tidak perlu lama, cukup 5 – 10 menit saja ternyata sangat membantu mereka meredakan emosi yang terkumpul sejak pagi hari. Beberapa ahli hypnotherapist ada yang menyatakan tentang kedahsyatan relaksasi hypnosis/hypnotherapy, bahwa tidur dalam keadaan hypnosis selama 10 menit sama efektifnya dengan tidur selama dua jam.

Selain hypnotherapy bagi para muslim, sebenarnya telah memiliki cara untuk meredakan emosi. Begitu hebatnya Allah, sang pencipta alam raya ini memerintahkan setiap muslim untuk beribadah pada pagi hari, siang hari, petang, setelah matahari tenggelam dan ketika malam telah datang. Semua rangkaian ibadah yang telah diatur-Nya sebenarnya solusi juga untuk meredakan emosi agar tidak terjadi threshold. Ketika ibadah dilakukan dengan benar, maka kondisi kepala kita yang mulai panas di siang hari mulai tersejukkan dengan ibadah. Dan itu adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan emosi sehingga seharusnya bagi seorang muslim threshold itu jarang sekali terjadi karena mereka telah memiliki obat untuk meredakan emosi mereka sendiri.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat untuk kita semua...
Salam berbagi senantiasa
A. Setiawan, C.Ht
Trainer, Motivator & Hypnotherapist Instructor

Selasa, 05 Januari 2010

Apa Koruptor itu masuk kategori Kafir?

Ia menyaksikan sendiri terbentuknya kelas menengah muslim pada 1970-an. Anak-anak keluarga muslim yang telah menjadi pengusaha dan profesional sukses ini merupakan konsumen penerbitan buku Islam, bisnis yang baru digelutinya. Agama memainkan peran sosial yang sentral, dan Mizan, penerbit yang lantas didirikannya bersama kawan-kawannya saat itu, menawarkan aneka pemikiran yang berkembang: dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin hingga para pemikir Iran yang ikut mengilhami Revolusi Islam 1979.

Ada kombinasi seorang entrepreneur dan ilmuwan pada sosok yang satu ini. Haidar Bagir, 52 tahun, memang memiliki ketajaman seorang akademisi manakala memandang aneka fenomena sosial mutakhir. Melihat maraknya korupsi di tengah suasana religius yang bungah, ia mendeteksi kesalahan mendasar dalam pendidikan agama di negeri ini.

Penekanan pada akhlak-moral inilah yang kemudian membuat ia yakin bahwa kebaikan itu universal, ada di mana-mana. Dan, ”Kalaupun kami percaya pluralisme, kami tidak percaya semua keyakinan agama sama. Tapi kami percaya semua orang baik dari agama mana pun diselamatkan bersama orang-orang muslim,” katanya.

Haidar Bagir meraih gelar doktor filsafat Islam pada 2005 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia dengan disertasinya tentang perbandingan pemikiran Mulla Sadra dan Heidegger. Ia menamatkan sarjananya di Jurusan Teknik Industri ITB, dan meraih gelar master dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, pada 1992.

Dua pekan lalu The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) menerbitkan buku berjudul The 500 Most Influential Muslims in The World: First Edition (2009). Ke-500 muslim terpilih dalam buku yang diterbitkan lembaga Prince Al-Waleed bin Talal Center for Christian-Muslim Understanding itu kemudian dibagi menjadi 13 kategori. Haidar Bagir, yang saat ini menjadi Presiden Direktur Kelompok Mizan, masuk kategori di bidang media. Berikut petikan wawancara Sita Planasari Aquadini dari Tempo dengan ayah empat anak ini.

Beberapa tahun belakangan, negeri dengan mayoritas penduduk muslim ini masuk kategori paling korup di dunia. Mengapa bisa ironis begini?

Saya pernah menulis artikel di Kompas, yang mendapat respons luar biasa. Di situ saya mengatakan, pendidikan agama Indonesia gagal. Acara di Masjid Istiqlal didatangi ribuan orang. Acara agama di televisi bertebaran. Jumlah muslimin yang menunaikan ibadah haji setiap tahun semakin besar. Tapi kita masih termasuk negara paling korup di dunia. Kita harus mengakui bahwa ada yang salah dalam pendidikan agama kita.

Saya katakan ada beberapa hal. Pertama, keislaman kita lebih pada urusan legal formalistik ketimbang pada pemikiran dan akhlak. Agama bagi saya akhlak. Puncak keberagamaan seseorang bukan dinilai dari ibadah atau dari akidah, tapi akhlak. Saya tidak mengatakan bahwa akidah tidak penting. Enggak mungkin orang beragama tanpa akidah. Tapi tes apakah akidah seseorang kuat atau tidak itu dilihat dari akhlak. Kalau orang keras dalam ber-Islam tapi masih menenggang korupsi, pasti akidahnya enggak bener.

Dasarnya apa?

Rasulullah mengatakan: Pencuri (”Saya ganti dengan koruptor,” kata Haidar) tidak mungkin korup dalam keadaan beriman. Jadi koruptor dalam ajaran Islam itu sudah pasti kafir. Maling, kok. Kalau dia percaya kepada Tuhan, masak dia maling. Kalau dia percaya pada hisab, enggak mungkin dia maling. Kalau mencuri karena terpaksa, itu lain soal. Mencuri itu hukumnya mulai haram sampai jihad. Ibnu Hazm mengatakan, kalau orang miskin mencuri karena haknya tak dipenuhi orang kaya, jika ia mati karena tertangkap kemudian dipukuli, matinya syahid. Sama seperti orang yang perang di jalan Allah. Jadi, seperti Mbok Minah, tak dihukum sebagai pencuri. Tapi, kalau ia bukan orang miskin dan tak kepepet mencuri, ya ia kafir.

Sayangnya, ini tak muncul dalam pengajaran Islam. Yang diajarkan dalam pendidikan Islam, kita harus keras pada orang nonmuslim, eksklusivisme. Makanya ada orang Islam yang ibadahnya baik, rajin salat jemaah ke masjid, dan sering naik haji, tapi tetap korupsi. Jika benar Indonesia termasuk paling korup, sementara hampir 90 persen penduduk Islam, apa kita enggak bilang yang korup itu muslim? Itu artinya pendidikan agama kita gagal. Kita tidak mengajarkan esensi ajaran Islam. Esensi ajaran Islam adalah akhlak. Rasulullah mengatakan: Saya ini diutus ke bumi hanya untuk mencapai akhlak yang mulia. Tidak ada tujuan lain. Kita gagal meletakkan akhlak sebagai puncak keberagamaan.

Pascareformasi, umat Islam Indonesia mendapat peluang berkembang sangat luas. Tapi mengapa yang muncul simbolisasi semacam peraturan daerah tentang syariah atau qanun jinayah?

Karena, sebelum reformasi, di era Soeharto, dia ditindas. Yang eksklusif muncul karena ditindas. Kemudian, ini juga karena cacat demokrasi. Saya yakin demokrasi adalah alternatif yang terbaik. Tapi demokrasi juga punya cacat. Bagi pendukung demokrasi, dia evil, tapi kita tak punya alternatif yang lebih baik dari itu. Demokrasi tak selalu menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Saya yakin, bila dilakukan referendum di Aceh, masyarakat Aceh tak akan setuju qanun jinayah. Sayangnya, demokrasi menimbulkan elite, apalagi di kalangan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Kalau kita bicara tentang politik, kita harus bicara tentang kapasitas politik. Terkadang yang muncul bukan orang-orang terbaik dari masyarakatnya. Mereka ini sering memaksakan pemikiran mereka. Orang-orang ini, menurut saya, tersesat pikirannya. Tapi kita juga tak boleh melakukan hal tidak demokratis untuk melawan itu.

Contohnya?

Kejadian di Aljazair. Ketika partai FIS menang, mereka dihabisi oleh penguasa yang didukung Amerika. Alasannya, FIS fundamentalis. Bagaimana mungkin, FIS menang lewat pemilu, ditelikung dengan cara tak demokratis. Contoh lain Hamas. Mereka menang pemilu, tapi sumber dananya dikeringkan. Saya tak percaya itu. Saya tak percaya pada peraturan daerah tentang syariah dan qanun jinayah khususnya, yakni merajam pezina. Tapi itu tak perlu diatasi dengan cara-cara tak demokratis.

Bisa kasih contoh kasus di dalam negeri, dan apa hikmahnya?

Demokrasi punya cacat, dan ini hasil dari cacat demokrasi itu. Namun ini harus dilawan secara demokratis pula. Karena, bila kita menelikung demokrasi, demokrasi enggak akan berkembang. Kata kuncinya dengan pendidikan. Kita bisa meminimalkan cacat demokrasi. Saya nyontreng SBY, tapi saya kemudian kecewa padanya. Ternyata dia seperti terkena sindrome Raja Mataram, nggak bisa punya musuh. Memilih menteri kok terkesan banyak didasarkan pada keinginan menyenangkan berbagai kelompok dan balas jasa ketimbang keahlian.

Santai dong kalau ada kritik. SBY dapat pelajaran bagus dari Bibit-Chandra dan Century. Dia diingatkan Tuhan supaya tidak seperti Raja Mataram. Tapi saya juga tidak setuju pada orang-orang yang ingin menurunkan SBY. Wong, dia dipilih oleh 60 persen rakyat Indonesia. Kita boleh tak setuju pada keputusan-keputusan tak demokratis, tapi jangan menelikung demokrasi untuk memperbaiki itu. Jadi, mesti sabar, tunggu lima tahun lagi.

Demokrasi tak sempurna, ada muslim yang menganggap syariah sebagai alternatif terbaik….

Saya sering bingung jika orang menyeru kembali ke syariah. Syariah yang bagaimana? Kalau seluruh umat muslim dunia punya pandangan sama tentang syariah, saya sebagai orang muslim yang beriman tentu tak keberatan. Tapi pemahaman orang tentang syariah kan lain-lain. Mazhab yang sama saja, Syafii di Indonesia, memiliki pandangan berbeda tentang politik. Cara pandang tentang peran wanita dalam masyarakat berbeda. Jadi, ketika bicara kembali pada syariah, apa yang dimaksud? Hukum rajam? Enggak semua orang Islam setuju hukum rajam. Pada kenyataannya, setiap individu muslim punya pandangan sendiri tentang syariah, mau enggak mau kembali lagi pada demokrasi. Saya setuju kembali ke syariah, itu pun dengan demokrasi. Kalau negeri ini mau didasarkan pada syariah, harus dilakukan secara demokratis, lewat public hearing. Dan kemudian ketika syariah hendak diterapkan, kita tidak bisa menghindari demokrasi lagi.

Anda pernah tinggal di Amerika. Bagaimana rakyat Amerika memandang Islam kini?

Pada dasarnya masyarakat Amerika itu baik. Bahkan dalam banyak hal lebih islami daripada masyarakat dunia Islam pada umumnya. Kepedulian mereka terhadap orang susah itu luar biasa. Istri saya ketika melahirkan di sana dan harus membayar biaya rumah sakit, saya bilang mahasiswa dengan beasiswa pendapatan sekian, dengan cepat datang tagihan yang dinolkan. Ketika mau musim dingin, saya dipanggil, punya cukup gas untuk mesin pemanas enggak?

Memang harus dipisahkan orang Amerika dan pemerintah Amerika. Orang bertanya: kalau masyarakatnya baik, kenapa pemerintahnya begitu? Masyarakat Amerika itu tak cukup tahu tentang Islam. Dalam hal yang tidak terkait dengan negerinya, mereka itu kuper. Jangan bayangkan mereka selalu menonton CNN, membaca Washington Post atau New York Times. Stasiun televisi yang paling populer di sana Fox. Koran yang dibaca koran lokal. Setelah 11 September, mereka kenal Islam tapi negatif, Islam teroris. Pemahaman mereka terhadap Islam sangat dangkal. Jadi tugas kita memberikan dakwah kepada orang-orang Amerika itu.

Bagaimana cara berdakwah kepada mereka?

Seperti Yahudi yang mampu menguasai media dunia, kita juga harus begitu. Orang Islam harus bekerja keras, karena masalahnya di situ. Kita gagal menguasai media dan gagal masuk pusat pemerintahan serta menjalin lobi, ya selama itu kita gagal berdakwah. Tapi itu tak boleh membuat kita menyerah. Kita bisa bikin film bagus yang menggambarkan Islam dengan benar. Film Laskar Pelangi menjadi film pembuka dalam Celebrating Indonesia yang diselenggarakan Rupert Murdoch. Laskar Pelangi kan bercerita tentang Islam yang berbeda dari biasanya. Kita juga harus menerbitkan pemikiran Islam yang bagus dalam bahasa Inggris agar dibaca mereka. Buku-buku tasawuf kini sangat populer di sana. Itu bisa jadi sarana dakwah luar biasa. Kita harus memiliki peran dalam percaturan media komunikasi dan dakwah di Amerika.

Sekarang tentang muslim di Eropa. Mengapa mereka berbeda dengan muslim Amerika?

Ada persoalan ketidakpahaman dari masyarakat Eropa. Ada persoalan manipulasi oleh penguasa. Misalnya masalah menara masjid di Swiss, itu kan benar-benar memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Orang yang tak tahu kan akan merasa terancam. Manusia itu memusuhi apa pun yang tak diketahui. Mereka tak tahu banyak tentang Islam sehingga mereka khawatir. Kalau melihat poster yang dibagikan kepada masyarakat Swiss kan perempuan dengan burka. Menara menjadi simbol ketertutupan dan keterbelakangan. Pokoknya bertentangan dengan semua nilai masyarakat Eropa. Jadi ketidaktahuan yang menimbulkan perasaan tidak aman, digabung dengan manipulasi yang dilakukan orang culas di pusat pemerintahan, menyebabkan hal ini.

Bukankah Islam agama kedua di rata-rata negara Eropa?

Memang ada perbedaan antara umat Islam di Amerika dan Eropa. Di Amerika, umat Islam merupakan kelas menengah dan intelektual. Tapi di Eropa mayoritas umat Islam merupakan kelas pekerja. Sehingga muncul perasaan orang Eropa yang menganggap umat Islam di sana tak membuat negeri mereka menjadi lebih kaya. Makanya, harus dakwah. Kita harus menunjukkan bahwa Islam sesuai dengan nilai-nilai Barat. Bahkan, sejak lahirnya, Islam adalah agama modern.

Apa arti penghargaan ini buat Anda?

Mungkin membuat saya harus lebih bertanggung jawab, harus lebih bermanfaat bagi masyarakat. Menurut saya, nama Quraish Shihab seharusnya ada dalam daftar penerima penghargaan itu (orang Indonesia yang masuk antara lain Gus Dur, Hasyim Muzadi, dan Din Syamsuddin). Masukan saya: sebaiknya panel juri diperluas, sehingga dapat meredam bias dan meminimalkan pengaruh sponsor.

Salam
Redaksi Majalah TEMPO
Edisi 21 Desember 2009

Bullying and Me

(sebuah cerita)

Saya yakin di antara teman-teman guru pasti sudah mengenal kata sakti ini, "bullying". Jadi saya tidak perlu menjelaskan lagi apa artinya, apalagi, apa-apa saja tindakan2 yang bisa dikategorikan sebagai "bullying". Bukan apa-apa, kalau teman-teman mendengar tentang apa-apa saja yang bisa dikategorikan sebagai "bullying" versi KPAI, mungkin anda pasti merasa bahwa anda adalah pendosa besar. Guru, adalah yang profesi yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap segala jenis tindakan yang berpotensi "bullying". Wah...wah... wah...mengerikan ya?

Namun saya tidak akan menakut-nakuti teman2 dengan berbagai beban tentang "bullying", saya justru ingin berbagi pengalaman saya selama beberapa bulan ini saya menghadapi dan mengatasi "bullying" di kelas saya. Semoga bermanfaat.. .

Ceritanya begini, tahun ini, pertama kalinya bagi sekolah saya menyelenggarakan kelas internasional. Agak ketinggalan dibanding sekolah-sekolah elit (bukan ekonomi sulit,ya) di Jakarta yang mungkin sudah menjalankan program ini lebih lama dari kami. Namanya saja kelas internasional, tentulah murid2 yang datang dan mendaftar hanyalah mereka yang orang tuanya tidak punya masalah dengan finansial. Namun, seperti biasa, uang tidak menyelesaikan masalah.

Kelas saya yang isinya Cuma 16 orang itu sering menimbulkan kehebohan, dimulai dengan anak2 yang tidak bisa belajar kalau tidak mendengarkan musik, friksi antara mereka dengan guru2 senior, belum lagi kasus bullying seorang anak konglomerat pemilik beberapa hotel di Indonesia hingga menyebabkan salah seorang guru ahli yang kami datangkan dari sebuah universitas negeri jempolan asal Bandung pun menyerah dan memilih resign dari kelas kami.

Lalu, apa yang saya lakukan? Berikut beberapa hal yang saya lakukan. Tidak sepenuhnya semua ide murni dari saya, kebanyakan adalah berdasarkan pengalaman, instinc, ide dadakan secara situasional, dan copy paste dari film2 yang saya tonton.

1. Forum Diskusi dan Belief

Sejak pertama kelas diadakan, kelas saya sudah terkenal. Terkenal karena mereka adalah murid2 spesial dari segi finansial, spesial karena lumayan cerdas (walaupun mereka tidak lolos tes masuk online). Namun yang paling terkenal adalah karena kespesialan mereka dalam hal tukang ribut, bullying sesama teman, bahkan mampu membullying guru. Puncaknya, adalah ketika pertengahan September lalu, seorang guru ahli dari universitas negeri terkenal di Bandung, mengundurkan diri. Pasalnya adalah salah satu murid yang memang sejak awal menjadi pemicu segala kerusuhan, mem-bully-nya dengan sebutan "Well, you're just a teacher, and you can buy this world. You're nothing."

Hari itu juga, saya mengadakan forum darurat, memanggil semua pihak yang terkait, guru2, murid2 saya, bahkan pekarya yang tugasnya membersihkan ruangan kelas kami pun saya minta untuk ikut dalam forum itu.

Di forum itu, bukan guru2 yang bisa menumpahkan kekesalannya, manun saya memberi kesempatan menyampaikan harapan terhadap perbaikan kelas. Intinya, baik saya, guru2 dan murid2 sama2 setuju mengadakan perbaikan. Kami sama2 membuat komitmen yang kami sebut sebagai "Belief". Isinya antara lain; baik guru maupun siswa tidak akan menyalakan hp selama pelajaran berlangsung, baik guru maupun siswa saling berjanji untuk tidak terlambat, barangsiapa yang terlambat, maka hukumannya adalah diberi tepuk tangan oleh seluruh kelas dan disambut dengan meriah, dll. Ada beberapa hal yang masuk ke dalam "belief" kami, di antara berjanji untuk saling mengingatkan.

2. "I" game

Ide ini saya dapat dari seorang fasilitator anti bullying di sebuah workshop. Ketika di kelas, tujuan mula2 saya sebetulnya untuk pelajaran bahasa Inggris dengan topik "Like / Dislike". Anak2 harus menyebutkan hal2 yang disukai dan tidak disukai dari pasangannya seperti ini "I like the way you speak English." Dst...
Namun, siapa menyangka kalau permainan ini jadi ajang curhat bagi anak2 yang merasa di-bully oleh murid saya yang spesial itu.

Begini permainannya. Saya bagi kelas menjadi dua kelompok. Kemudian masing2 kelompok berdiri salaing berhadapan dan berseberangan. Saya mainkan musik, mereka harus mencari pasangannya. Kemudian saya matikan dan masing2 pasangan bergantian menyebutkan "I Like dan I dislike". Saat itulah kehebohan terjadi, karena setiap kali murid spesial saya itu kedapatan pasangan, pasangannya itu lebih sering marah dan mengatakan "dislike" ketimbang "like". Alhasil, kami mengakhirinya dengan ajang curhat.

3. "Line" game

Saya menjadi semangat lantaran "I" game tadi. Sehingga saya mencoba mencari cara agar murid saya tukang bolos itu bisa menjadi murid yang lebih baik. Saya kemudian teringat dengan "Line game" yang ada di film "Freedom Writers". Erin Gruwell, sang guru inspirasional itu memainkan Line Game ini untuk menggali informasi tentang diri masing2 siswanya secara mendalam. Begitu juga dengan saya.

Apa yang saya lakukan ternyata membuahkan hasil, sang murid spesial perlahan2 mulai mengurangi aktivitas "bully", terutama kepada guru, walaupun intensitas bully kepada sesama teman sekelasnya masih dilakukannya.

4. Refleksi

Ketika saya mengajar di SD dulu, saya memiliki seorang partner hebat, Pak Kholid, namanya. Beliau ini selalu punya ide2 canggih yang kadang membuat murid2 tertawa, sedih, bahkan jera, namun semua tetap menyenangkan. Dulu, setiap kali anak2 pulang dari melakukan kegiatan outdoor, maka Pak Kholid selalu meminta murid2 yang kelelahan itu untuk tidur di lantai sambil ia minta memejamkan mata dan mendengar ceritanya. Kemudian ia akan bercerita tentang apa2 saja yang ia lihat, ia lakukan di luar tadi. Setelah itu, sambil meminta anak2 untuk terus memejamkan mata, anak2 diminta untuk bermimpi tentang tempat2 apa saja yang mereka ingin datangi lagi dan memberikan alasan mengapa mereka begitu suka tempat itu.

Jadi, suatu ketika di bulan Oktober, saya terinspirasi dengan ide itu. Maka saya minta anak2 melakukan hal persis seperti yang dilakukan Kholid. Bedanya, ketika itu saya meminta anak2 untuk merefleksi, apa2 saja yang ingin sudah mereka lakukan dan mereka capai. Yang lucunya, hampir semua murid saya mengatakan ingin terus berteman dengan si bullyer itu, memberi maaf. Sehingga, sang bullyer ketika itu keok...

5. Peer Coaching, Peer Learning, Peer Assistance

Sebelum saya mengadakan pendekatan secara pribadi kepada sang bullyer, saya terlebih dahulu meminta teman2nya untuk kompak membantu saya memperbaiki situasi yang dihadapinya. Misalnya saja, saya minta beberapa teman kelasnya untuk ngobrol dengannya, menjadi `mata' saya. Kemudian ada situasi dimana saya harus mendatangi rumahnya, saya pun mengajak teman2nya.

6. Parents Support

Ketika penerimaan rapor Desember lalu, saya mengundang para orang tua murid membahas program dan juga permasalahan yang ada, termasuk masalah ini. Ternyata setelah saya membicarakan dan saling mengkomunikasikan permasalahan yang ada, response orang tua positif dan meminta saya untuk membantu murid spesial saya apapun cara dan langkahnya. Bahkan, para orang tua berjanji untuk ikut membantu saya. Wah...wah... ternyata segala sesuatu apabila dikomunikasikan dengan baik, maka hasilnya akan baik pula...

Semoga bermanfaat.. .
Salam Anti Bullying
Nina

Wirausaha Hua..Ha..Ha..

Saya sedang mencari ide yang cukup penting, yaitu bagaimana membuat sebuah buku pengayaan untuk peserta didik di sekolah agar mereka memiliki kemampuan kewirausahaan. Bukan hanya sekedar teori, tetap dapat langsung diparaktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Banyaknya pengangguran terpelajar di negeri ini tentu membuat hati saya gelisah sebagai guru. Ternyata pendidikan yang ditempuh sampai bergelar sarjana tidak membuat orang tersebut mampu mandiri atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri, tetapi justru cuma mencari pekerjaan. Berharap untuk digaji dan bukan menggaji. Memang tidak mudah merubah awalan di menjadi me. DIGAJI dan MENGGAJI. Perlu keyakinan tinggi bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.

Pendidikan Kewirausahaan yang saya maksudkan di sini bukan semacam lembaga pendidikan formal atau pendidikan non formal berupa sekolah singkat ataupun juga kursus, melainkan semacam praktek pendidikan membentuk jiwa wirausaha di lingkungan keluarga.

Suami isteri dalam kisah yang akan saya kemukakan berikut ini memang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, hanya sayangnya keduanya sudah meninggal, sehingga tidak bisa dikonfirmasi lagi. Dari pergaulan cukup lama dengan keluarga ini, saya mendapatkan kesan yang amat mendalam, bagaimana mereka memberikan pendidikan terhadap keempat anaknya. Dengan pendekatan pendidikan seperti yang akan saya ceritakan berikut, ketika anaknya setelah dewasa, tidak ada yang kebingungan mendapatkan mata pencaharian, karena sudah dibekali dengan jiwa kewirausahaan. Bila hal itu juga sudah ditanamkan di sekolah-sekolah kita, tentu akan sangat baik bagi peserta didik. Mereka juga diajarkan bagaimana memiliki keahlian khusus. Keahlian yang membuat dirinya menjadi mandiri dan tenaganya sangat dibutuhkan.

Coba anda perhatikan. Setiap kali diumumkan adanya tes Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS) di setiap departemen atau pemerintah daerah, maka akan ada ribuan orang yang melamar. Padahal kebutuhan pegawai yang dibutuhkan hanya sedikit alias terbatas. Tentu akan banyak orang yang gagal untuk menjadi PNS. Belum lagi mereka-mereka yang gagal menjadi polisi dan tentara di republik ini.

Dari situlah saya berpikir agar anak-anak kita telah dipersiapkan sedini mungkin memiliki kemampuan kewirausahaan yang tinggi. Mereka harus memiliki jiwa enterprenership. Menjadi pengusaha sukses tanpa modal, tetapi dengan akal. Mencoba mencari terobosan baru yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang bernilai. Nilai inilah yang pada akhirnya membuat orang tersebut memiliki keahlian khusus yang membuat dia menjadi mandiri. Tidak bergantung kepada orang tuanya atau hidup dari belas kasih orang lain.

Dari situlah sebenarnya dibutuhkan peran guru, dan orang tua siswa menanamkan pentingnya pendidikan kewirausahaan.

Dengan pendidikan yang berbasis kewirausahaan maka para lulusannya tidak perlu terpaku hanya bekerja di sektor formal, seperti menjadi pegawai negeri sipil, bekerja di BUMN, maupun lainnya yang kelihatan mentereng. Bahkan dengan bekerja di sektor swasta yang berbasis kewirausahaan dapat menciptakan tenaga kerja alias dapat menjadi manajer, bukan semata sebagai pekerja.

Banyak orang sukses tanpa kuliah tinggi dan menjadi sarjana, contohnya Bill gates, sang milyader yang mendirikan microsoft itu. Atau Thomas Alfa Edison sang penemu lampu pijar. Tentu anda pernah membaca sejarahnya bukan?

Pendidikan kewirausahaan belum dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita sehingga wajarlah bila para peserta didik sekarang ini tidak berani untuk memulai berbisnis kecil-kecilan yang tentu tak mengganggu jadwal belajar sekolahnya. Kalau pun ada anak yang berani berbisnis, terkadang orang tua suka melarang karena takut anaknya menjadi tidak fokus belajar. Padahal berbisnis itu juga belajar.

Belajar itu tidak melulu di dalam kelas, tetapi juga bisa di luar kelas. Terkadang anak perlu juga loh belajar dari pasar, supermarket, pabrik/industri, terminal, museum, dan lain-lain pusat sumber belajar lainnya. Masalahnya, sebagian orang tua masih menganggap guru adalah satu-satunya pusat sumber belajar anak. Padahal guru sekarang ini adalah motivator dan fasilitator peserta didik.

Mata pelajaran kewirausahaan di sekolah atau mata kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi sekarang ini perlu diberikan kepada semua peserta didik. Demikian juga kalau memungkinkan setiap pelajaran, di masukkan atau disisipkan unsur kewirausahaan yang di dalamnya terkandung kreativitas, inovasi dan tidak takut kepada resiko, sehingga aspek praktik di lapangan menjadi prioritas utama. Anak sudah harus dididik bagaimana dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menghasilkan uang.

Kita tentu masih ingat pendidikan pada masa lalu penuh dengan prakarya maupun muatan lokal. Para siswa pada SD (bisa juga TK) maupun tingkat pendidikan lainnya diminta membuat prakarya dengan membuat berbagai barang yang bisa dijual dan uang yang terkumpul lalu dapat ditabung. Pada muatan lokal, peserta didik bisa berlatih mengerjakan sawah milik perangkat desa dan hasilnya bisa sebagai kas sekolahan untuk mengadakan berbagai kegiatan seperti kemah maupun peringatan hari-hari bersejarah.

Pengalaman saya sebagai pembina remaja masjid ketika melaksanakan sebuah kegiatan, anak-anak itu tidak saya suruh meminta sumbangan kepada warga, tetapi saya suruh anak-anak itu mengumpulkan koran bekas, majalah bekas, botol atau barang yang tidak terpakai di rumah warga yang dapat dijual. lalu saya kerahkan anak-anak untuk bekerja bakti merapihkan got-got warga yang mampet. Dari sinilah warga akhirnya mau memberikan sumbangan karena kreativitas abak-anak remaja itu. Jadi benar kata pepatah, ada ubi ada talas, ada budi ada balas.

Jiwa kewirausahakan jelas sangat penting dikuasai anak-anak kita agar memiliki daya juang tinggi dalam mencari peluang. Ketika mereka terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan atau putus sekolah misalnya, mereka sudah dibekali keterampilan cukup untuk bertahan hidup. Misalnya mereka diajar cara membuat sabun, merakit komputer, menservice peralatan elektronik, memasak, dan lain-lain sesuai dengan potensi unggul yang ada di sekolah itu yang dapat dikembangkan.

Kenangan akan pendidikan pada masa lalu, sekarang ini menjadi penting dalam upaya menciptakan jiwa kewirausahaan pada para peserta didik. Lihatlah kesuksesan ekonomi etnis keturunan Cina sekarang ini di Indonesia, karena semenjak kecil sudah diajari bagaimana bisa mandiri dalam menekuni suatu usaha bisnis. Bahkan, berbagai negara lain yang sekarang maju pendidikannya tidak terlepas memfokuskan pada pendidikan kewirausahaan beserta praktiknya, yang sebenarnya dulu pernah dimiliki dalam ranah pendidikan kita.

Bangsa ini masih kekurangan pengusaha, jadi wajar saja masih banyak yang bermental pegawai. Celakanya sekolah-sekolah kita belum siap menciptakan penguasaha-pengusaha muda yang mampu mengembangkan peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan mencari lapangan pekerjaan.

Akhirnya, saya berharap ada yang memberikan masukan kepada saya sebagai bahan membuat buku pengayaan yang berisi materi kewirausahaan untuk siswa di pendidikan dasar seperti di sd atau smp. Mohon saran dan masukannya dalam kolom tanggapan.

Dengan pendidikan yang berbasis kewirausahaan maka para lulusannya tidak perlu terpaku hanya bekerja di sektor formal, seperti menjadi pegawai negeri sipil, bekerja di BUMN, maupun lainnya yang kelihatan mentereng. Bahkan dengan bekerja di sektor swasta yang berbasis kewirausahaan dapat menciptakan tenaga kerja alias dapat menjadi manajer, bukan semata sebagai pekerja.

Banyak orang sukses tanpa kuliah tinggi dan menjadi sarjana, contohnya Bill gates, sang milyader yang mendirikan microsoft itu. Atau Thomas Alfa Edison sang penemu lampu pijar. Tentu anda pernah membaca sejarahnya bukan?

Pendidikan kewirausahaan belum dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita sehingga wajarlah bila para peserta didik sekarang ini tidak berani untuk memulai berbisnis kecil-kecilan yang tentu tak mengganggu jadwal belajar sekolahnya. Kalau pun ada anak yang berani berbisnis, terkadang orang tua suka melarang karena takut anaknya menjadi tidak fokus belajar. Padahal berbisnis itu juga belajar.

Belajar itu tidak melulu di dalam kelas, tetapi juga bisa di luar kelas. Terkadang anak perlu juga loh belajar dari pasar, supermarket, pabrik/industri, terminal, museum, dan lain-lain pusat sumber belajar lainnya. Masalahnya, sebagian orang tua masih menganggap guru adalah satu-satunya pusat sumber belajar anak. Padahal guru sekarang ini adalah motivator dan fasilitator peserta didik.

Mata pelajaran kewirausahaan di sekolah atau mata kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi sekarang ini perlu diberikan kepada semua peserta didik. Demikian juga kalau memungkinkan setiap pelajaran, di masukkan atau disisipkan unsur kewirausahaan yang di dalamnya terkandung kreativitas, inovasi dan tidak takut kepada resiko, sehingga aspek praktik di lapangan menjadi prioritas utama. Anak sudah harus dididik bagaimana dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menghasilkan uang.

Kita tentu masih ingat pendidikan pada masa lalu penuh dengan prakarya maupun muatan lokal. Para siswa pada SD (bisa juga TK) maupun tingkat pendidikan lainnya diminta membuat prakarya dengan membuat berbagai barang yang bisa dijual dan uang yang terkumpul lalu dapat ditabung. Pada muatan lokal, peserta didik bisa berlatih mengerjakan sawah milik perangkat desa dan hasilnya bisa sebagai kas sekolahan untuk mengadakan berbagai kegiatan seperti kemah maupun peringatan hari-hari bersejarah.

Pengalaman saya sebagai pembina remaja masjid ketika melaksanakan sebuah kegiatan, anak-anak itu tidak saya suruh meminta sumbangan kepada warga, tetapi saya suruh anak-anak itu mengumpulkan koran bekas, majalah bekas, botol atau barang yang tidak terpakai di rumah warga yang dapat dijual. lalu saya kerahkan anak-anak untuk bekerja bakti merapihkan got-got warga yang mampet. Dari sinilah warga akhirnya mau memberikan sumbangan karena kreativitas abak-anak remaja itu. Jadi benar kata pepatah, ada ubi ada talas, ada budi ada balas.

Jiwa kewirausahakan jelas sangat penting dikuasai anak-anak kita agar memiliki daya juang tinggi dalam mencari peluang. Ketika mereka terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan atau putus sekolah misalnya, mereka sudah dibekali keterampilan cukup untuk bertahan hidup. Misalnya mereka diajar cara membuat sabun, merakit komputer, menservice peralatan elektronik, memasak, dan lain-lain sesuai dengan potensi unggul yang ada di sekolah itu yang dapat dikembangkan.

Kenangan akan pendidikan pada masa lalu, sekarang ini menjadi penting dalam upaya menciptakan jiwa kewirausahaan pada para peserta didik. Lihatlah kesuksesan ekonomi etnis keturunan Cina sekarang ini di Indonesia, karena semenjak kecil sudah diajari bagaimana bisa mandiri dalam menekuni suatu usaha bisnis. Bahkan, berbagai negara lain yang sekarang maju pendidikannya tidak terlepas memfokuskan pada pendidikan kewirausahaan beserta praktiknya, yang sebenarnya dulu pernah dimiliki dalam ranah pendidikan kita.

Bangsa ini masih kekurangan pengusaha, jadi wajar saja masih banyak yang bermental pegawai. Celakanya sekolah-sekolah kita belum siap menciptakan penguasaha-pengusah a muda yang mampu mengembangkan peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan mencari lapangan pekerjaan.

Akhirnya, saya berharap ada yang memberikan masukan kepada saya sebagai bahan membuat buku pengayaan yang berisi materi kewirausahaan untuk siswa di pendidikan dasar seperti di sd atau smp. Mohon saran dan masukannya dalam kolom tanggapan.

Salam Blogger Persahabatan
Omjay

Senin, 04 Januari 2010

The World is Flat

Pernahkah Anda memiliki penglihatan baru dan sangat segar? Sehingga dengan penglihatan yang belum pernah Anda miliki tersebut, Anda menjadi orang yang baru saja dilahirkan ke dunia? Pernah jugakah Anda melihat seluruh isi dunia dari sudut pandang yang sangat berbeda? Sehingga Anda merasakan bahwa isi dunia tersebut senantiasa berubah dan bervariasi serta menjadikan Anda tidak merasakan kebosanan sedikit pun?

Atau, apakah Anda pernah dibuat kaget dengan sebuah kejadian, dan setelah mengalami kejadian tersebut Anda lantas memiliki pandangan yang sangat-sangat tajam?

Penglihatan, melihat, dan pandangan yang saya maksudkan di atas tidak ada kaitannya dengan sepasang mata kita. Tiga kata itu "penglihatan, melihat, dan pandangan" berkaitan dengan pikiran.

Menurut Stephen R. Covey, paradigma memang tidak berkaitan dengan cara melihat yang menggunakan sepasang mata. Paradigma adalah secara melihat dengan menggunakan pikiran. Inilah "makna paradigma" yang ingin saya bicarakan kali ini. Dan baru pada tahun 2009-lah saya benar-benar merasakan kehadiran sebuah buku yang berhasil (secara radikal) mengubah paradigma saya.

Tidak mudah mengubah atau menggeser paradigma. Paradigma ibarat tindak tanduk kita yang sudah kita jalankan dalam waktu yang sangat lama "sehingga menjadi semacam kebiasaan" dan, kadang-kadang, sudah menjadi bagian dari karakter atau jati diri kita. Paradigma juga bisa kita kaitkan dengan kengototan kita dalam mempertahankan sesuatu meskipun yang kita pertahankan itu sesungguhnya salah atau sudah kedaluwarsa. Dan paradigma (yang tidak berhasil kita perbarui tentunya) adalah sebuah kehidupan yang sangat ironis karena kadang kita merasa bahwa kita telah memelihara sesuatu "sesuatu itu adalah pikiran" yang benar, sementara lingkungan sudah berubah dan tidak lagi menerima sesuatu yang benar yang kita pelihara tersebut.

Dan, sekali lagi, saya sungguh harus bersyukur karena sempat mengalami perubahan paradigma secara sangat mendasar ketika menginjak tahun 2009. Perubahan paradigma yang saya alami di tahun 2009 tersebut, kemudian dapat saya gunakan selama setahun penuh dan "pada gilirannya" membuahkan hal-hal yang sangat tidak terbayangkan. Buku apakah yang berhasil mengubah paradigma saya secara sangat mendasar? The World is Flat (2005) karya Thomas L. Friedman. Edisi bahasa Indonesia buku itu terbit pada 2006, namun saya baru membacanya pada Desember 2008 dan berlanjut pada Januari 2009. Friedman, secara sangat mendasar, telah mengubah paradigma saya tentang bumi yang bulat menjadi bumi yang rata bak sekeping mata uang logam.

Perubahan cara saya melihat dunia bukan dengan sepasang mata tetapi dengan menggunakan totalitas pikiran itu memberi saya banyak hal. Saya seperti menemukan dunia - baru yang sudah saya huni selama setengah abad lebih sebagaimana Chistoper Columbus menemukan benua baru Amerika. Saya juga menjadi lebih bersemangat dan bergairah menjalani kehidupan saya di dunia - baru itu karena segalanya hampir mengalami perubahan. Dan saya menemukan cara berkomunikasi, cara menjalin silaturahmi, serta ribuan cara lain dalam berkehidupan yang benar-benar baru dan berbeda dengan sebelumnya.

Apakah saya akan mendapatkan sebuah atau beberapa buah buku, di tahun 2010, yang akan mengubah paradigma saya sekali lagi secara sangat radikal? Atau, buku apa yang telah berhasil mengubah paradigma Anda pada tahun 2009 lalu? Atau, perlukah kita bertanya tentang cara menemukan buku di tahun 2010 yang nantinya mampu mengubah paradigma kita? Betapa mengasyikkannya membaca buku dan kemudian buku yang kita baca itu berhasil mengubah paradigma kita yang salah, yang kita simpan sangat lama di pikiran kita.

Salam
Hernowo

Harapan Anda Tidak Ada Yang Sia-sia

Shahabatku yang baik…

Kita awali dengan bismillahirahmanirrahim. Permulaan aktivtitas di catatan baru sejarah manusia di Tahun 2010. Tentu saya yakin anda dan saya ingin mengukirnya dengan tinta emas. Agar kelak nanti, Saat kita mengontrak dalam kecilnya ruang peristirahatan terakhir. Nama baik kita masih dikenang sebagai orang-orang pengukir kebaikan.

Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptkan ini dg sia-sia Maha Suci Engkau maka hindarkan kami dari siksa api neraka

Shahabatku yang di Sayang Allah...

Ada seorang teman FB mengomentari dari cacatan saya ”Makna Hidup”, Pandangannya dibuat dalam pertanyaan, redaksinya (setelah diedit) : ”Disaat kenyataan berujung tidak sesuai harapan, Kesedihan dan hilang semangat menyapa, Harapanpun menjadi sia-sia...”

Barangkali, itupun pernah tertulis dalam kisah anda dan saya. Oleh karena itu, Ayo kita renungi kembali. Mari kita masuk kembali kedalam diri kita sejenak. Masuk melalui mulut nan indah hingga Kita bertemu dengan segumpal daging yang sungguh menawan. Orang-orang memanggilnya dengan Hati. Izinkan saya bertanya ya,

Pernahkah Kita bercengkerama dengannya?

Apakah Kita patuh dengan nasehat-nasehat yang diberikannya?

Harapan adalah Bahan bakarnya cita-cita. Yang mengerakkan badan untuk bertindak. Dan putus asa menyapa kepada yang Bahan bakarnya telah habis. Bukankah Kita masih ingat dengan firman Allah. Bisa jadi apa-apa yang kamu anggap baik, belum tentu itu baik disisi Allah. dan Apa-apa yang kamu anggap tidak baik, justru itulah yang terbaik bagi Allah...

Jikalau memang seperti itu, manalah mungkin Allah menciptakan dan menjadikan takdir kita tanpa kesia-siaan? mohon fahami cara kerja Sunatullah ya. Terkadang kegagalan itu sengaja Allah hadirkan bagi kita, walau mungkin segenap persiapan sudah kita rangcang sebelumnya. Karena Allah ingin mengabari kepada kita, Bahwa terwujud dan terjadinya harapan kita itu, bukanlah andil kita semata, Melainkan ada wewenang Allah disana...

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia. (QS. 2:117)

Oleh karena itu, Mari kita bersama-sama tetap menatap harapan indah didepan kita. Walau mungkin kita melihat sebongkah cahaya kecil diatas bukit kegegelapan. Sunguh Allah mengbulkan doa-doa dalam prasangka hamba-Nya.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah [2] : 186)

Salam Bahagia dan selamat beraktivitas di kerja perdana di Tahun 2010
Rahmadsyah Mind-Therapist

Menebak Usia Mumi

Ini cerita Gus Dur beberapa tahun yang lalu, sewaktu jaman orde baru. Cerita tentang sayembara menebak usia mumi di Giza, Mesir. Puluhan negara diundang oleh pemerintah Mesir, untuk mengirimkan tim ahli paleoantropologinya yang terbaik. Tapi, pemerintah Indonesia lain dari yang lain, namanya juga jaman orde baru yang waktu itu masih bergaya represif misal banyaknya penculikan para aktivis. Makanya pemerintah mengirimkan seorang aparat yang komandan intel.

Tim Perancis tampil pertama kali, membawa peralatan mutakhir, ukur sana ukur sini, catat ini dan itu, kemudian menyerah tidak sanggup. Pakar Amerika perlu waktu yang lama, tapi taksirannya keliru. Tim Jerman menyatakan usia mumi itu tiga ribu dua ratus tahun lebih sedikit, juga salah. Tim Jepang juga menyebut di seputar angka tersebut, juga salah.

Giliran peserta dari Indonesia maju, Pak Komandan ini bertanya pada panitia, bolehkah dia memeriksa mumi itu di ruangan tertutup.

"Boleh, silahkan," Jawab panitia.

Lima belas menit kemudian, dengan tubuh berkeringat pak komandan itu keluar dan mengumumkan temuannya kepada tim juri.

"Usia mumi ini lima ribu seratus dua puluh empat tahun tiga bulan tujuh hari," Katanya dengan lancar, tanpa keraguan sedikit pun.

Ketua dan seluruh anggota tim juri terbelalak dan saling berpandangan, heran dan kagum. Jawaban itu tepat sekali! Bagaimana mungkin pakar dari Indonesia ini mampu menebak dengan tepat dalam waktu sesingkat itu ? hadiah pun diberikan. Ucapan selamat mengalir dari para peserta, pemerintah Mesir, perwakilan negara-negara asing dan sebagainya dan sebagainya. Pemerintah pun bangga bukan kepalang.

Menjelang kembali ke Indonesia, Pak komandan dikerumuni wartawan dalam dan luar negeri di lobby hotel.

"Anda luar biasa," kata mereka. " Bagaimana cara anda tahu dengan persis usia mumi itu?"

Pak komandan dengan enteng menjawab,"saya gebuki, ngaku dia.

Obrolan Presiden Gus Dur

Saking udah bosannya keliling dunia, Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Perancis terbang bersama Gus Dur buat keliling dunia. Boleh dong, emangnya AS dan Perancis aja yg punya pesawat kepresidenan. Seperti biasa... setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.

Tidak lama presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: "Wah kita sedang berada di atas New York!"

Presiden Indonesia (Gus Dur): "Lho kok bisa tau sih?"

"Itu.. patung Liberty kepegang!", jawab Clinton dengan bangganya.

Ngga mau kalah presiden Perancis, Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. "Tau nggak... kita sedang berada di atas kota Paris!", katanya dengan sombongnya.

Presiden Indonesia: "Wah... kok bisa tau juga?"

"Itu... menara Eiffel kepegang!", sahut presiden Perancis tersebut.

Karena disombongin sama Clinton dan Chirac, giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat...
"Wah... kita sedang berada di atas Tanah Abang!!!", teriak Gus Dur.

"Lho kok bisa tau sih?" tanya Clinton dan Chirac heran karena tahu Gus Dur itu kan nggak bisa ngeliat.

"Ini... jam tangan saya ilang...", jawab Gus Dur kalem.

He He

Gus Dur tentang Krisis Ekonomi

Ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, beliau mengirim tim ekonominya ke AS untuk bertemu dan meminta pandangan Presiden Bill Clinton tentang Ekonomi Indonesia yang saat itu sedang didera krisis.

Sesampainya di AS, tim ekonomi disambut di Gedung Putih namun dengan nada yang sangat pesimis.“Kami di AS punya Johny CASH (aktor di Las Vegas), Stevie WONDER (penyanyi kondang), dan Bob HOPE (pelawak tenar)” demikian sambut Clinton. “Anda di Indonesia, tidak punya CASH (uang tunai), tidak ada WONDER (keajaiban), jadi tidak ada HOPE (harapan) …. CASHLESS, WONDERLESS, dan HOPELESS!” Tegas Bill.

Tim ekonomi Indonesia pun pulang dengan wajah tertunduk lesu.Sesampainya di Istana Merdeka, Tim ekonomi melapor kepada Presiden Gus Dur.“Gimana hasil kunjungan ke AS?” Sapa Gus Dur. Ketua Tim ekonomi pun berkeluh kesah: “Wah, payah Gus! Menurut Clinton Indonesia tidak punya Johny CASH, Stevie WONDER, dan Bob HOPE. Jadi kita CASHLESS, WONDERLESS, dan HOPELESS! Pendeknya susah deh, Gus! ”Sambil senyum-senyum, Gus Dur menjawab dengan jenaka dan cerdik: ”Gitu aja kok repot!!! Kita memang tidak punya Johny CASH, Stevie WONDER, dan Bob HOPE…. Tapi kita punya banyak SLAMET, HARTO, dan UNTUNG!!!”

He he he ... :-)
Gus Dur memang muantab!

Minggu, 03 Januari 2010

Writing Toolbox

Ini kisah yang diceritakan oleh sang pengarang novel thriller nomor wahid, Stephen King. Kisah King ini dapat kita baca di buku nonfiksi-menariknya , On Writing: A Memoir of the Craft, tepatnya mulai halaman 145 edisi bahasa Indonesianya. King berkisah tentang kehidupan pamannya, Oren, seorang tukang kayu, yang memiliki kotak perkakas (toolbox) bernama “big ‘un”.

Dengan rinci, King menggambarkan kotak perkakas, dengan segala isinya, milik pamannya itu. Lantas, pada suatu ketika, King mengalami suatu peristiwa yang membuatnya heran dan kemudian bertanya kepada pamannya. ”Aku patuh, tetapi juga bingung,” tulis King. ”Kutanyakan kepadanya mengapa dia membawa-bawa kotak perkakas keliling rumah padahal yang dia perlukan hanya satu obeng.”

”Ya; tapi Stevie,” kata pamannya, sambil membungkuk untuk memegang pegangan kotak tersebut, ”aku tidak tahu apa lagi yang akan kutemukan begitu aku sampai di sini, iya kan? Yang paling tepat adalah membawa semua peralatan itu. Jika tidak, kau biasanya akan menemukan sesuatu yang tidak kauharapkan dan akhirnya kecewa.”

”Aku ingin menyarankan,” tulis King setelah mendengar kata-kata pamannya, ”bahwa untuk menghasilkan tulisan terbaik sesuai dengan kemampuanmu, kau harus menyediakan kotak perkakasmu sendiri dan kemudian mengerahkan seluruh tenagamu agar kau bisa mengangkat kotak perkakas itu. Selanjutnya, bukannya melihat betapa sulitnya pekerjaan yang harus kaulakukan dan menjadi tidak bersemangat menulis, sebaiknya kau segera mengambil peralatan yang tepat dan langsung mulai bekerja.”

Dalam On Writing, King menyebut beberapa ”peralatan” menulis yang perlu disediakan di dalam kotak perkakas menulis. Nah, berpijak pada saran King, saya kemudian mempersiapkan kotak perkakas menulis dan mengisi kotak tersebut dengan pelbagai ”peralatan” menulis yang saya kumpulkan selama tahun 2009. Berikut adalah isi kotak perkakas menulis milik saya:

1. AMBAK

Ini akronim dari ”Apa Manfaatnya Bagi-Ku?”. Setiap kali ingin menjalankan kegiatan menulis, saya tentu bertanya kepada diri saya sendiri, apa manfaat yang akan saya peroleh dengan kegiatan menulis saya ini. Meskipun kadang di benak saya sudah jelas tergambar manfaat itu, saya tetap bertanya dan berusaha merumuskan manfaat yang akan saya peroleh tersebut secara tertulis.

2. Membaca

Saya harus rajin membiasakan diri membaca teks-teks yang bergizi agar diri saya kaya raya dengan kata. Menulis, bagi saya, adalah mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam ”ruang batin” saya dengan bantuan hanya—sekali lagi hanya—kata-kata. Apabila saya miskin kata, saya pun akan kerepotan ketika menulis.

3. Mengikat Makna

Ini kelanjutan dari AMBAK dan juga sarana ampuh untuk nengefektifkan kegiatan membaca. ”Peralatan” menulis nomor tiga ini sangat sering saya gunakan ketika saya dihadang oleh problem-problem menulis yang sangat menjengkelkan. ”Peralatan” ini memiliki sub-”peralatan” lain dalam bentuk: membaca ”ngemil”, membaca yang menghasilkan, menulis bebas, menulis dengan otak kanan, menulis subjektif, menulis mencicil, dan menangkap ide.

4. Mind mapping

Ini ”peralatan”penting saya ketika saya mengalami kebuntuan, kemalasan, dan kejenuhan menulis. Kadang ”peralatan” ini juga amat berguna ketika saya ingin mengembangkan ide. Menemukan dan memiliki ide tentu sangat penting, namun—bagi saya—mengembangkan ide jauh lebih penting.

5....

Saya belum tahu nama ”peralatan” kelima ini. Yang jelas, ”peralatan” kelima ini mampu membantu saya dalam mengintegrasikan dan menyinergikan seluruh ”peralatan” yang saya miliki. Semoga nanti, di tahun 2010, saya dapat mengidentifikasi ”peralatan” kelima ini dengan lebih jelas dan rinci.

Apakah Anda juga memiliki ”peralatan” menulis di writing toolbox Anda?

Salam
Hernowo

Warisan Terbaik

Long life education. Mungkin kita tak asing lagi dengan pepatah asing itu. Pendek, hanya terdiri atas tiga kata. Namun, maknanya sangat dalam. Yakni, belajar sepanjang hayat.

Saya mendengar kalimat tersebut untuk kali pertama pada saat duduk di bangku SMP. Kalimat tersebut meluncur dari bibir guru kami untuk memotivasi kami dalam belajar.

Ya, belajar memang tak boleh berhenti pada satu titik atau masa. Belajar tak mengenal muda atau tua. Bahkan, belajar tak dibatasi oleh usia. Islam sendiri mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu.

”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama?” (At-Taubah: 122).

”Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam” (HR Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi dari Anas bin Malik)

*****

Dalam suatu kesempatan, saya mengedit berita kriminal yang terjadi di salah satu daerah di Jawa Timur. Yakni, seorang anak tega membunuh orang tuanya hanya gara-gara tidak diberi warisan. Dalam kesempatan lain, saya mengedit berita pembunuhan yang melibatkan saudara kandung. Pemicunya adalah masalah warisan.

Gara-gara warisan, saudara tega membunuh saudaranya.

Gara-gara warisan, anak tega menghilangkan nyawa orang tuanya.

Hanya karena warisan, darah menjadi tak lebih berharga ketimbang uang.

Tidak sekali dua kali saya mendapati atau membaca berita seperti itu. Duniawi benar-benar dapat membuat mata hati seseorang buta. Harta betul-betul ”bisa” membeli nyawa seseorang. Tak terkecuali, darah saudara kandung atau orang tua sendiri sekalipun.

*****

Menjelang wisuda, orang tua saya datang ke Surabaya untuk menghadiri acara tersebut. Lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta seolah tak tampak ketika mereka melihat saya ditahbiskan bersama rekan-rekan lain. Bangga dan bahagia.

Malam sebelum acara tersebut, ayah saya berkata bahwa beliau tidak bisa memberi apa-apa kepada saya sebagai bekal saya selepas lulus kuliah. Saya hanya menghela napas. Kami bertiga berbincang-bincang cukup lama hingga larut malam.

Saya belum menangkap maksud ayah. Pikiran saya terpecah. Di satu sisi, saya senang bisa menuntaskan pendidikan. Di sisi lain, saya bakal menghadapi medan tantangan yang luas setelah menjadi raja sehari sebagai sarjana.

Ya, banyak rekan saya yang justru khawatir. Mereka menghadapi masalah yang sama dengan saya. Kebanyakan di antara kami waktu itu hanya memikirkan ”harus segera dapat pekerjaan”.

Padahal, saya sadar betul bahwa sarjana itu tidak cukup hanya mencari pekerjaan. Sarjana dilahirkan untuk membuka lapangan pekerjaan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Malam itu, ayah saya mengatakan bahwa beliau senang karena saya sudah lulus. ”Hanya ilmu yang bisa saya titipkan sama kamu, bukan uang atau harta lain,” ucap beliau ketika itu. Beliau yakin saya bisa berbuat lebih baik dengan ilmu. Bila terus digunakan, ilmu ibarat pedang. Ia akan semakin tajam bila terus diasah. Berbeda dengan uang, ia akan habis tak tersisa setelah dipakai terus-menerus.

Kalimat tersebut masih terngiang hingga kini. Saya sadar bahwa saya telah menerima warisan terbaik dari orang tua saya. Warisan tersebut adalah ilmu. Tentunya, ilmu itu mesti dimanfaatkan secara baik.

Setiap kali selesai shalat, tak lupa saya selalu panjatkan doa untuk orang tua saya. Sebab, mereka sangat berjasa dalam perjalanan hidup saya. Pengorbanan mereka sangat besar dalam mendidik kami dan membekali kami dengan warisan terbaik.

Saya memang tak menerima uang puluhan juta rupiah atau tanah dan rumah bagus dari orang tua. Saya hanya menerima pelajaran yang amat baik dari beliau dan itu tak bisa dihargai dengan apa pun.

Rabighfirli waliwalidayya warhamhumma kama rabbaya nisaghira...
Salam
Eko Prasetyo

Catatan Dunia Pendidikan 2009

TAHUN 2009 telah kita tinggalkan dengan mencatat berbagai pemikiran dan keluh kesah di bidang pendidikan. Selama tahun itu, wacana yang muncul tentang dunia pendidikan berkembang sangat bagus. Ini bisa dilihat dari partisipasi semua lapisan masyarakat memberikan pandangan-pandangan secara sangat konstruktif. Sedikitnya ada tiga hal
besar yang berkembang dan muncul sepanjang tahun 2009 sebagai sebuah wacana dan perlu kiranya kembali digarisbawahi memasuki tahun 2010.

Pertama, berkait dengan pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kembali diperbincangkan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi pemerintah berkait dengan gugatan pelaksanaan ujian nasional (UN) 2005-2006. Bagi pemerintah, persoalan UN bukan lagi untuk diperdebatkan, tapi untuk dilaksanakan secara kredibel dan bertanggung jawab. Disiapkannya UN ulangan adalah hal yang paling signifikan dan merupakan jalan keluar
bagi peserta didik yang menempuh pendidikan formal untuk mendapatkan ijazah formal. Sebelumnya mereka yang tidak lulus UN dapat menempuh ujian kesetaraan. Maka tahun 2010 mereka bisa mengikuti UN Ulangan. Karena itu, saatnya kita melakukan desakralisasi terhadap UN, agar tidak perlu ada kekhawatiran terhadap UN, karena memang faktanya UN sama saja dengan ujian-ujian lain yang dilakukan di sekolah.

Kedua, di bidang perundangan yang berkait dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pro-kontra terhadap UU No 9 Tahun 2008 tentang Badan Hukum Pendidikan, sepertinya belum juga mereda. Mereka yang kontra berpandangan antara lain, UU itu kurang disemangati oleh pengakuan atas eksistensi swasta, sehingga ada pasal-pasal yang diibaratkan seperti `pedang achilles' yang memotong urat kaki sekolah swasta. Lainnya, beranggapan, UU itu merupakan upaya untuk melakukan
liberalisasi kebijakan pendidikan (education policy).

Sementara itu mereka yang pro berpendapat, UU BHP bagian upaya melindungi masyarakat atau peserta didik dari jerat para penyelenggara lembaga pendidikan yang diselenggarakan dengan semangat bisnis semata dan dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, sebagai badan hukum nirlaba yang profesional.

Sedikitnya ada empat alasan yang dapat disampaikan untuk memperjelas bahwa UU BHP tidak akan meliberalisasi lembaga pendidikan.

Pertama, sebagai badan hukum nirlaba, BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan (Pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatannya, keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan
kapasitas dan/atau mutu layanan (Pasal 37 ayat 6, Pasal 38 ayat 3, Pasal 42 ayat 6), jika ini dilanggar, diancam baik dengan sanksi administratif (Pasal 60, 61, dan Pasal 62) maupun sanksi pidana (Pasal 63).

Kedua, BHP menjamin dan membantu kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/ SMK/MA, dan perguruan tinggi (Pasal 40 ayat 3). Bahkan, BHP menanggung seluruh biaya pendidikan dasar tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 41 ayat 1). Adapun untuk pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi, BHP menyediakan paling sedikit 20% peserta didik mendapatkan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu secara ekonomi (Pasal 46 ayat 2).

Ketiga, dalam UU BHP ada ketentuan, BHP wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki
potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik (Pasal 46 ayat 1 dan 2).

Keempat, BHP pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak boleh memungut dana berlebihan dari masyarakat, maksimal 1/3 (satu pertiga) biaya operasional (Pasal 41 ayat 8 dan 9). Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya membayar sesuai dengan kemampuan dalam pembiayaan (Pasal 41 ayat 7). Ini karena
seluruh biaya investasi, infrastruktur, alat, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan untuk pendidikan SD/ MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan perguruan tinggi semuanya ditanggung pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 41 ayat 1, 3, dan 5).

Dari empat alasan itu, dapat disimpulkan, ketentuan dalam pasal-pasal UU BHP sesungguhnya menggambarkan BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan. Artinya, sangat berlebihan jika ada anggapan di sebagian masyarakat kita yang menyatakan bahwa UU BHP akan menjadikan lembaga pendidikan menjalankan praktik-praktik liberalisasi.

Hal ketiga yang juga cukup menjadi masalah besar sepanjang tahun 2009 adalah adanya keinginan lembaga pendidikan dalam hal ini di lingkungan perguruan tinggi, untuk masuk, diperhitungkan dan bersaing di tingkat internasional. Memang sudah ada beberapa jurusan yang masuk ke peta perhitungan dan persaingan internasional, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Karena itu, ke depan upaya dan keinginan itu harus terus ditumbuhkembangkan. Semua itu memberikan gambaran masyarakat telah menempatkan urgensi pendidikan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan disuarakan.

Nondiskriminatif Semua wacana yang berkembang tersebut sesungguhnya telah mengikuti pola pikir dalam kerangka based society yang mengikuti hierarki struktural dalam data dan informasi sebagai sebuah knowledge understanding. Persoalannya tinggal bagaimana menyikapi semua wacana dan fakta yang berkembang itu selanjutnya? Ada banyak hal bisa dilakukan untuk menyikapinya. Yang pasti kita berharap, semua itu tidak dijadikan hanya sekadar data mentah, yang berkembang di tingkat wacana dan diskusi akademis, tetapi harus lebih dari itu, bisa diwujudnyatakan sebagai sebuah kebijakan atau wisdom.

Dalam soal kualitas misalnya, kita merasakan wacana yang berkembang masih sebatas knowledge understanding, sehingga tiap kali kita memperbandingkan kualitas dengan Singapura dan Malaysia, misalnya, kita selalu mencari pembenar, mereka bisa lebih berkualitas dan melakukan semua itu, karena jumlah penduduknya relatif sedikit dan
kecil. Seolah ketika jawaban itu di sodorkan untuk memberikan argumentasi, tidak ada lagi celah untuk mencari jalan keluar.

Kini bagaimana jika kita menyodorkan perso alan pendidikan di China, dengan jumlah pen duduknya yang mencapai angka 1,3 miliar orang.

Kenapa kualitas pendidikan mereka juga cukup baik dan diperhitungkan. Bukan hanya ditunjuk kan dalam prestasi-prestasi olimpiade sains, tapi juga beberapa perguruan tingginya mampu bersa ing di tingkat internasional! Jika fakta ini diso dorkan, kiranya tidak ada lagi alasan menjusti fikasi kelemahan yang kita miliki.

Boleh jadi kesuksesan China meningkatkan kualitas pendidikannya tadi dipandang sebagai sebuah wacana yang memiliki data dan informasi cukup menarik. Persoalannya dapatkah kita melakukan atau meniru cara mereka? Tentu ini persoalan lain bagaimana kita menyikapinya.

Tapi sepanjang itu hanya disikapinya sebagai sebuah wacana, data dan informasi semata, itu belum bisa memberikan dampak signifikan, jika memang belum dijadikan sebuah wisdom. Itu pulalah yang ingin ditunjukkan terhadap wacana dan fakta yang berkembang selama tahun 2009.

Mampukah kita menjadikan wacana-wacana itu sebagai sebuah kebijakan atau wisdom?

Itulah sebabnya pertanyaan yang muncul dan perlu mendapat jawaban adalah, sudahkah kita menjadikan semua itu masuk dalam sebuah kebijakan besar yang harus selalu ditingkatkan dari tahun ke tahun. Bukankah wacana baru akan memiliki arti dan makna manakala bisa menjelma menjadi sebuah kebijakan? Karena, jika - tidak, itu baru
menjadi intellectual exercise.

Yang jelas, kebijakan ke depan yang akan dih jalankan Depdiknas adalah kebijakan nondis - kriminatif. Kebijakan pendidikan yang tidak lagi membedakan asal-usul pengelolaan (negeri swasta), status ekonomi (kaya-miskin), kewilayahan (Jawa-luar Jawa), maupun latar belakang pengelola (keagamaan-nonkeaga maan). Kebijakan ini muaranya pada pelaksanaan education for all.

Sedikitnya ada empat hal yang diperlukan untuk menjalankan kebijakan nondiskriminatif itu.

Pertama, melakukan konvergensi visi dari setiap lembaga pemerintah dan atau institusi pendidikan, termasuk di dalamnya para aktor.

Kedua, memperbanyak aksi riil daripada wacana.

Ketiga, merealisasikan komitmen dalam bentuk - kebijakan baik menyangkut pendanaan maupun, hal-hal lain yang terkait kualitas.

Keempat, partisipasi publik untuk menjaga stamina.

Yang terakhir ini menjadi amat perlu, karena disadari atau tidak membangun dunia pendidikan tidak bisa dilakukan dengan sekejap dan waktu singkat, tapi butuh waktu yang panjang, sehingga dibutuhkan kontinuitas, keberlangsungan dan akuntabilitas.

Salam
Habe Arifin

Kapsul Kecerdasan

Solusi cepat bagi para pelajar yang mengalami hambatan berprestasi atau meraih jenjang pendidikan lanjutan ternyata cukup banyak diminati belakangan ini. Namun, solusi itu bukan berupa kursus yang sudah biasa ditawarkan oleh LBB (Lembaga Bimbingan Belajar), tetapi berupa kapsul.

Ya, namanya Kapsul Kecerdasan. Kapsul tersebut diproduksi oleh sebuah lembaga bernama Bioenergi Center yang berpusat di DI Yogyakarta. Meski harganya sangat mahal untuk sebuah kapsul, namun kapsul ini ternyata diminati.

"Yang paling banyak diminati adalah Kapsul Kecerdasan untuk persiapan masuk SMP/SMU favorit, yang harganya Rp 9 juta per biji. Ini dimungkinkan karena memang kapsul ini mampu meningkatkan daya ingat dan daya tangkap sehingga siswa bisa lancar saat ujian," ujar Kamsi, staf bagian customer service Bioenergi, pekan lalu.

Harga termurah Kapsul Kecerdasan adalah Rp 1.250.000 per butir. Harga termahal, yang disebut dengan Kapsul Super, mencapai Rp 30 juta per butir.

Namun begitu, Kamsi enggan mengungkapkan cara kerja kapsul tersebut hingga bisa meningkatkan kecerdasan bagi yang mengkonsumsinya. Namun dijelaskan, bahwa kapsul tersebut ditemukan berdasarkan penelitian dan pengembangan oleh si penemu, yaitu Dr Syaiful M. Maghsri DN Med MPH, yang juga pendiri Bioenergi Center.

“Saya tidak bisa menjelaskan apa formulanya, kalau berkenan bisa langsung ke mari untuk saya pertemukan dengan bapak Dr Syaiful,” ujar Kamsi.

Kapsul super

Dicontohkan oleh Kamsi, seorang lulusan SMA yang hendak masuk perguruan tinggi negeri bisa memilih dua kapsul yang cocok. Bila ingin memilih jurusan standar, pembeli "cukup" merogoh kocek sebesar Rp 15 juta untuk mendapatkan sebutir kapsul Super 1. Sedangkan untuk jurusan favorit dan sarat dengan pengetahuan ilmiah dan bahasa asing,-- seperti jurusan kedokteran, si pembeli perlu mengeluarkan Rp 30 juta untuk mendapatkan kapsul Super 2.

Berdasarkan catatan Kamsi, konsumen Kapsul Kecerdasan itu tak hanya dari Yogyakarta dan sekitarnya. Kapsul seharga jutaan rupiah ini juga dipesan oleh konsumen dari sejumlah negara seperti Singapura, Hongkong, Belanda, dan Inggris.

"Kapsul ini beda dengan produk herbal. Produk herbal kami juga punya dan harganya lebih murah, yaitu hanya Rp 175.000, berbentuk kapsul dalam botol isi 120 buah untuk konsumsi selama sebulan," paparnya.

Kapsul Kecerdasan, lanjut Kamsi, lebih dijamin khasiatnya dan lebih cepat proses kerjanya daripada produk herbal. Hanya saja, pemberian kapsul yang mengandung bioenergi ini tidak bisa sembarangan tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.

"Kapsul Kecerdasan yang diberikan untuk anak TK misalnya, berbeda dengan untuk anak SD kelas 3, SD kelas 4, SMP, atau SMA yang mau masuk perguruan tinggi. Bahkan, meski sama-sama untuk konsumsi anak kelas 3 SD pun, belum tentu sama formulanya. Masih harus dilihat hambatan apa yang dialami si anak," jelasnya.

Jadi, sebelum memesan, kata Kamsi, pemesan harus menuliskan nama anak yang akan mengonsumsi, nama orangtua, agama, dan tanggal lahirnya. Kemudian yang bersangkutan menjelaskan permasalahan atau kesulitan yang dihadapi.

"Misalnya, anak itu susah makan, daya ingatnya lemah, dalam pergaulan minder dan kurang berani, maka anak ini akan mendapat formula khusus," ujar wanita yang sudah bergabung dengan Bioenergi Center sejak tiga tahun ini.

Tak hanya itu. Kamsi mengatakan, kapsul tersebut juga bisa memengaruhi perilaku seorang anak sehingga bisa lebih patuh pada orangtua. "Intinya kapsul ini bisa menekan energi negatif, sehingga pribadi yang bersangkutan dapat perlindungan dari energi positif," tuturnya.

Meski mengaku kapsul ini cukup banyak diminati, Kamsi enggan mengungkapkan berapa omzet penjualan per hari. Alasannya adalah rahasia perusahaan.

Salam
LTF-Surya